Malam ini Amira duduk dengan gelisah. Obat dari Adelia sudah habis. Tadi temannya itu bilang begitu, saat Amira menanyakan. Amira kembali merasa sendiri. Semua kenangannya kembali hadir mengusik jiwanya.Rasa tidak nyaman karena tidak minum pil membuat Amira kembali memandang bintang. Dirinya kembali teringat Andra, walau dia meyakinkan diri bahwa Andra berselingkuh, hati kecilnya menolak. Hatinya masih yakin Andra tidak semudah itu berpaling.Bintang berkedip manja malam ini. Mengisyaratkan dirinya siap menjadi teman Amira malam ini. Kembali Amira teringat dengan buku harian milik Andra. Dia mencari-cari tapi tidak menemukannya. Amira panik, buku harian itu adalah peninggalan Andra sebagai kenangan.Gadis itu keluar keringat dingin karena buku itu tidak kunjung ditemukan. Dia duduk di ujung tempat tidur. Berusaha mengingat-ingat kapan terakhir memegang buku tersebut. Adelia … ya dia teringat kini, yang terakhir membaca buku itu adalah temannya itu. Amira memeriksa tempat di mana Ade
Amira melirik Adelia yang sama nampak terkejut bertemu dengan lelaki itu. Timbul pertanyaan dalam diri gadis tersebut."Adelia seperti mengenal orang ini, tetapi mengapa dia tidak bercerita?" pikir Amira. "Kau!" serunya. Matanya sudah terasa berkabut karena air mata."Bintang! Sedang apa kamu di sini?" seru Adelia tidak kalah kaget."Bintang?" tanya Amira cepat. Matanya memandang mohon penjelasan kepada Adelia."Ya, dia Bintang temanku di SMA. Sudah lama tidak kelihatan hampir dua tahun lamanya." Adelia menjelaskan, matanya menatap tajam ke arah Amira. Memperhatikan gerak tubuh Amira, melihat reaksi gadis itu bertemu dengan Bintang. "Kamu kenal dia?" tanya Adelia kemudian."A … aku ti … tidak kenal," jawab Amira tergagap. Amira berpikir lebih baik tidak mengakui kalau muka Bintang mirip sekali dengan Andra. Hanya saja Bintang tidak punya tahi lalat di pipi kirinya."Aku kuliah di sini sekarang," jawab Bintang. Sekilas Bintang menatap Amira lalu menatap lagi Adelia."Kenalkan, ini teman
Amira tersenyum kecut mendengar penghiburan Laila. Dia tidak yakin dengan perasaan Bintang. Adelia dan Bintang begitu akrab. "Kamu yakin, Laila?" tanya Amira."Aku yakin," tandas Laila. Entah mengapa ada semacam ketertarikan di hati Amira. Dia tidak mungkin mencintai orang lain selain Andra. Dalam diri Bintang, Amira seperti melihat Andra seutuhnya. Laila memperhatikan badan Amira yang semakin kurus. mukanya tidak bercahaya serta pandangan yang kuyu. Laila curiga, karena temannya di Jogja ada yang berpenampilan seperti Amira. Ternyata terdeteksi menjadi pemakai obat-obatan terlarang."Kamu bergaul sama siapa aja?" tanya Laila. "Temanku di sini hanya Adelia," jawab Amira.Mengapa kamu kurus sekali?" tanya Laila lagi. "Apakah kamu sakit?""Aku sering sakit kepala, Adelia yang punya obatnya. Aku sering beli kepadanya," jawab Amira."Obat apa?" tanya Laila."Obat sakit kepala tapi selain sakitku hilang, perasaan seperti di awang-awang," jawab Amira sambil menerawang mengingat. "Apa?
Amira menghela napas panjang, mengumpulkan kekuatan untuk menceritakan kisah sedihnya sebelum bertemu Kamilia. Dia teringat bagaimana bapaknya memaksanya untuk pergi mengikuti wanita itu –mucikari. Orang yang seharusnya menjadi pelindung malah menjerumuskannya."Aku ditebus oleh kakakku itu dan dibawa ke sini," ujar Amira. "Setelah itu beberapa hari di rumah akhirnya kakakku menyuruhku untuk melanjutkan sekolah lagi." Amira mengakhiri ceritanya."Beruntung sekali kamu bertemu orang baik," kata Laila."Ya, dia memang sangat baik sekali. Kamu tahu cerita masa lalu kakakku itu?" "Tahu dari mana, bertemu pun baru kali ini," jawab Laila."Menurut ceritanya, kisahnya sama sepertiku," kata Amira pelan. "Cuma bedanya dia tidak ada yang menolong, kalau aku ada.""Ooh, aku tidak bisa membayangkan perasaan hatinya dulu," ujar Laila."Ya, dia bercerita kepadaku … tiap malam menangis bahkan waktu tidur pun menangis. Belum lagi dapat siksaan dari suami kontraknya juga.""Mengerikan sekali," desis
Amira melirik sang instruktur yang begitu keren, pastinya karena dia juga seorang model. Tadinya ingin bertanya tapi Amira malu. Timbul ide dalam pikirannya, dirinya harus menjadi teman dekatnya Bintang. Gadis itu ingin tahu apa yang sesungguhnya terjadi."Kamu juga model?" tanya Amira lugu."Tentu saja, iya. Mengapa aku bisa jadi instruktur model? Ya, karena aku model senior," jawab Bintang."Tapi, aku tidak pernah melihatku di media," ucap Amira jujur. "Dih … mainmu kurang jauh! Hahaha hahaha hahaha hahaha." Bintang tertawa. Dia merasa lucu dengan kepolosan Amira."Hehehe hehehe." Amira ikut tertawa. Tunggu! Gadis itu ingat sesuatu … iklan shampoo! Ya … sekarang dirinya ingat, Bintang adalah bintang iklan shampoo.Diam-diam Amira kagum dengan keramahan Bintang. Berbanding terbalik dengan sikapnya di kampus. Entah apa yang membuatnya berubah. Mungkin karena Amira adik dari model terkenal –Kamilia, dan itu membuat Amira tidak dipandang sebelah mata."Adelia pacarmu?" tanya Amira masi
Garganif datang menjelang malam hari. Dia tetap dengan keputusannya untuk meminta perusahaan yang di Kalimantan. "Bagaimana? Apa kamu berubah pikiran dengan tidak pulangnya aku?" tanya Garganif langsung."Heh … kamu pikir aku mati dengan tidak pulangnya kamu?" Kamilia tersenyum sinis. Capek sekali dia menghadapi suami seperti itu. Sudah parasit tidak tahu diri pula, diberikan kedudukannya malah inginkan kursinya."Dasar istri tidak berguna, aku ceraikan kamu sekarang juga!" seru Garganif."Silahkan! Nanti aku panggil papaku, silahkan kamu bicara kepadanya!" suruh Kamilia."Tidak perlu! Aku tidak ada waktu untuk berbicara kepadanya," ujar Garganif."Dulu, kamu berlutut di hadapannya, memohon restunya untuk meminangku, sekarang seenaknya saja main cerai-cerai saja," ujar Kamilia sinis. "Apa dulu kamu tertarik karena hartaku?" tanya Kamilia lagi.Garganif tidak menjawab. Dia hanya mendengkus, hatinya sudah menghitam dan membatu. Dia hanya inginkan perceraian. Harta membuatnya berubah me
Kamilia tertarik memperhatikan ustadz yang sedang berceramah itu. Tiba-tiba hatinya berdegup. "Ah … bukankah itu Saiful." Hatinya berceloteh, rasa kagumnya mendadak muncul begitu saja. Asmara yang sekian lama terkubur ternyata belum padam sepenuhnya. Kamilia mengeluh dalam hatinya.Lamunannya melayang ke masa silam. Saat usia remajanya masih indah. Kamilia terpaku menatap wajah Saiful yang sedang menyampaikan ceramah. Wajahnya jernih dengan pakaian serba putih dan bersorban. "Ah!" Kamilia berusaha menepiskan rasa kagumnya. Saiful masih sendiri sampai saat ini. Entah menunggu siapa."Kak!" Amira memanggil pelan. Bagi Kamilia itu mengagetkan. Dia sampai terkejut saat menoleh ke arah Amira."Apa?""Itu kan temannya Kakak, Kak Saiful, kan?""Iya," sahut Kamilia malas."Hebat, ya," lanjut Amira."Hmmm."Kamilia enggan berkomentar. Dia memalingkan kembali wajahnya ke arah jalan. Kerumunan itu sudah tertinggal jauh. Namun, masih membekas di ingatan Kamilia.Mereka sampai ke kampung Kamili
Ibrahim berbinar matanya, melotot melihat dompet Harso yang tebal. Menerka-nerka kira-kira berapa juta ada di dompet Harso. Laki-laki itu melongokkan kepalanya mengintip dompet temannya itu."Apa sih?" "Berapa banyak itu?" tanya Ibrahim"Kepo! Hahaha hahaha hahaha.""Ya sudah … cepat mana duitnya!" bentak Ibrahim."Buset … galak yang ngutang daripada yang diutang!" seru Harso."Aku sudah ditunggu sama Joni," kata Ibrahim sambil melirik rekan seperjudiannya."Tiga hari lagi aku tagih!" ancam Harso."Datang aja ke rumah! Kalau sekarang aku menang aku bayar sama bunganya!" seru Ibrahim senang. Dengan cepat laki-laki sudah duduk melingkarkan meja judi."Aku menang!" seru Ibrahim senang. "Hahaha hahaha hahaha hahaha." Dia tertawa terbahak-bahak. Lelaki setengah tua itu berdiri dan menepuk-nepuk dada. Matanya berbinar-binar sambil meraup uang di atas meja.Harso mendekat, dia pun ikut senang Ibrahim menang judi. Itu pertanda duitnya akan segera kembali beserta bunganya. Matanya ikut berbin
"Selamat, Bu Kamilia, aduh jagoannya ganteng sekali!" Teman Kamilia setengah berteriak melihat keelokan buah hatinya."Ya, Allah, ini sih ketampanan yang hakiki!" Amira histeris, dasar cerewet.Harus diakui anaknya memang terlahir sangat rupawan, alhamdulillah. Bukan karena pujian ibunya, tapi setiap orang yang datang menengok semua rata-rata terpesona melihatnya. Mungkin karena ibu bapaknya juga memiliki wajah yang cantik dan tampan, namanya juga seorang model.Namun, di balik puja puji tersebut terdapat cerita yang mengiris hati. Kejadian yang hampir merenggut nyawa Kamilia, karunia Allah yang tak terhingga, wanita itu masih bisa bernafas hari ini.Si tampan ini adalah anak Kamilia yang pertama, usia menjelang empat puluh. Kehamilannya memang agak bermasalah, ketika USG, terlihat ari-ari bayi dibawah menghalangi jalan lahir. Namun, Kamilia bersikukuh untuk lahiran normal.Saat lahiran pun tiba, siang Kamilia sudah pergi ke rumah sakit ditemani suaminya, Saiful. Ternyata pembukaan tid
Suasana hening menunggu aksi Saiful selanjutnya. Menerka-nerka apa sebenarnya yang akan terjadi.Lelaki itu berlutut di depan Kamilia. Tangannya mengeluarkan kotak segi empat kecil berwarna merah. Kamilia terpaku melihat tingkah laki-laki itu. Semua yang hadir juga tidak ada yang bersuara. Suasana hening dan syahdu. Seiring musik mengalunkan nada cinta. "Maukah kau menikah denganku?" Bergetar suara Saiful saat menyatakan keinginannya.Suara tepuk tangan gemuruh disertai suitan. Mereka berharap agar Kamilia juga menerima lamaran Saiful. Berkaca-kaca mata Kamilia, tanpa diduga laki-laki yang dicintainya melamarnya kini."Terima … terima!"Hadirin ramai berteriak. Mereka menyemangati Kamilia agar segera menerima cincin itu. Kamilia memandang ayah dan ibunya. Mereka mengangguk tanda setuju.Perlahan-lahan Kamilia menyodorkan tangannya. Saiful menyambutnya, lalu lelaki itu berdiri. Dia mengambil cincin dari kotaknya dan menyematkannya di jari manis Kamilia.Gemuruh tepuk tangan kembali mem
Sore yang cerah membawa Kamilia serta Amira dan Rinai sampai ke sebuah pelataran rumah sederhana. Kamilia dan Amira pergi menemui orang tua Amira. Untuk pertama kalinya Amira pulang setelah pergi selama bertahun-tahun.Tadinya Amira tidak mau tapi Amira memaksanya untuk meminta restu dari orang tuanya. Mereka pergi bertiga dengan Rinai ke rumah Amira."Ini rumahmu?" tanya Kamilia.Gadis itu hanya mengangguk. Dia menatap lekat rumah yang sudah lama ditinggalkannya. Ribuan kenangan berlompatan dalam benaknya. "Aku tidak mau!" seru Amira."Anak durhaka, ikuti dia! Dia akan memberimu pekerjaan." bentak bapak Amira –Zulfikar."Aku masih ingin sekolah, Pak," ratap Amira."Pergilah! Ikuti dia." Suara Zulfikar semakin lemah. Hatinya juga hancur harus merelakan anaknya menjadi pelacur."Mak!" Amira mencoba memohon pertolongan kepada ibunya.Ibunya hanya menggeleng sambil menangis. Matanya sudah bengkak karena menahan tangis sejak tadi. Kini, air matanya tumpah tidak dapat dibendung lagi. Pupu
Kamilia mengusap air matanya. Bersaing dengan hujan yang semakin deras. Lamunan Kamilia semakin dalam. Tok tok tok.Suara ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunannya. Rupanya Saiful sudah berada di ambang pintu."Pulang," ajak Saiful."Masih hujan," ujar Kamilia. "Kayak jalan kaki saja, ayo!"Dengan malas Kamilia beranjak dan mengikuti pria itu. Wanita itu tidak ingin membantahnya. Hujan masih mengguyur Jakarta saat mereka menyusuri jalan yang basah. Tampak sepasang laki-laki dan perempuan berjalan dalam hujan. Tangan wanita itu merangkul erat pinggang laki-laki itu. Kamilia membayangkan itu adalah Garganif. Sukar diterima akal, jika dirinya kini telah berpisah. Entah mengapa sakit sekali hati Kamilia membayangkan Garganif dengan wanita lain."Kenapa?" tanya Saiful demi dilihatnya Kamilia hanya duduk mematung. Lelaki itu mengikuti arah pandang Kamilia. Dia melihat sepasang manusia berjalan sambil berangkulan. "Teringat siapa?""Tidak ada, kenapa?" "Enggak, lain dari biasanya.
Kamilia merasa curiga melihat Amira dan Bintang berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. "Ngapain mereka?" pikir Kamilia. Dia melirik ke arah Saiful. Sama juga, lelaki itu tampak tersenyum misterius.Rinai yang sudah selesai berbelanja mengajak Kamilia untuk segera pulang. Namun, Saiful memberi kode bahwa dirinya masih ada tempat yang dituju."Oom masih ada urusan lain. Jangan dulu pulang, ya!" bujuk Saiful."Mungkin dia ada urusan mendadak," pikir Kamilia.Berlima mereka menaiki mobil mewah keluaran terbaru. Bintang dan Amira duduk bersebelahan di belakang. Rinai dipangku oleh Kamilia. Terlihat sebagai keluarga yang sangat bahagia. Kamila tersenyum bahagia, begitu pula Saiful. Lelaki itu selalu menyunggingkan senyum."Apa ih, senyam-senyum?" tanya Kamilia."Tidak apa-apa. Sebaiknya kamu tutup mata deh," jawab Saiful."Kenapa? Kalian pada kenapa, sih? Kok mencurigakan?" Kamilia bertanya."Tidak ada apa-apa?" Saiful tersenyum penuh misteri."Apa, sih?" Kamilia menggerutu. "Sok mister
Hari ini Kamilia berniat untuk pergi ditemani oleh Saiful dan Rinai. Bintang dan Amira juga merengek ingin ikut. Dasar, ada-ada saja mereka ini. "Ayolah, Kak, cuma ikut saja nggak minta digendong, kok," kata Amira dengan wajah merajuk. Mau tak mau membuat Saiful dan Kamilia tersenyum dan mengangguk ke arah mereka berdua. Kubiarkan mereka asik menikmati permainan di mall itu, saat Kamilia sendiri memilih masuk pada sebuah salon kecantikan terkenal di tempat itu. Sekarang saatnya dia memanjakan diri, sedikit melupakan hal-hal yang membuat otak dan pikiran lelah dan stress.Saiful dan yang lainnya juga seperti tak keberatan meluangkan waktu hanya untuk menunggui Kamilia yang membutuhkan waktu hingga dua jam lebih itu.Setelahnya, mereka berjalan beriringan. Menyusuri satu demi satu toko yang menjual aneka barang dagangannya, lalu berhenti di sebuah toko baju yang menyediakan perlengkapan kebutuhan anak-anak. Selain desain yang menarik, harganya juga masih ramah dikantong dengan model ya
"Apa sebaiknya kita percepat saja pernikahan kita?" tanya Saiful.Kamilia yang tengah minum orange jus kesukaannya, langsung menyemburkannya dan hampir saja mengenai muka Saiful. Tentu saja lelaki itu kaget dibuatnya."Kamu itu bercandanya nggak lucu tau," kata Kamilia ketus. Wanita itu menatap ke arah Saiful yang langsung terbahak sambil mengangsurkan tisu padanya."Maaf, kamu sampai kaget begitu. Tapi aku tidak bercanda Kamilia, aku serius dengan ucapanku barusan.""Kamu pikir mentang-mentang aku janda, makanya kamu bisa seperti itu memintaku untuk menikah segera?" "Bukan begitu maksudku, hanya saja aku sudah tak tahan dan ingin segera memilikimu. Lagi pula aku takut tergoda dengan yang lain, atau kamu akan kembali kepada Garganif lagi," ungkap Saiful jujur.Kamilia memutar bola matanya malas, merasa ucapan Saiful sungguh tidak penting."Jika aku mau kembali kepada lelaki itu, aku tidak akan duduk di sini bersamamu dan mengatakan padamu tentang kedatangan papanya Rinai.""Oh ya, beg
Kamilia menghentikan mobilnya tepat di depan mereka, Amira dan Bintang. Tawa Kamilia terhenti saat melihat mata Amira bengkak."Apa yang terjadi?Jangan bilang kamu yang membuat Amira menangis!" tuduh Kamilia kepada Bintang."Bukan bukan aku," elak Bintang. Pemuda itu melihat ke arah Amira mengharapkan dukungan."Bukan, Kak. Aku hanya teringat Andra." Amira menjawab sambil masuk ke mobil. "Kamu gak ikut?" tawar Amira."Aku bawa motor." Bintang melambaikan tangannya kepada mereka."Kamu pacaran sama Bintang?" tanya Kamilia."Hehehe." Amira hanya tertawa malu. Dia menunduk menyembunyikan wajahnya yang bersemu merah."Ya, sudah, gak apa-apa. Kakak juga mau nikah," ucap Kamilia mengagetkan Amira."Sama siapa?" Amira menoleh dengan cepat, memastikan kalau dirinya tidak salah mendengar."Saiful." Seketika ingatan Amira melayang kepada sosok laki-laki tampan yang bermata teduh. Seorang laki-laki yang sempurna. Amira juga ingin mempunyai suami seperti dia. Sudah ganteng, sholeh, punya perusaha
Laila terkejut mendengar perkataan Amira. Bisa saja Andra meminta Bintang untuk mencintai Amira."Bisa jadi," kata Laila sambil berbisik. Mereka menjaga agar suaranya tidak terdengar oleh orang lain."Ssst … jenazah sudah keluar. Ayo!" Amira menggamit lengan Laila. Mereka berjalan beriringan dengan pelayat lainnya. Bintang tampak menggandeng sang ibu. Bintang mengedipkan matanya sebagai isyarat dirinya tidak bisa dekat-dekat dengannya. Amira mengangguk, gadis itu mengerti.Amira menangis saat pemakaman, begitu pula Laila dan Adelia. Mereka bertiga lama terpekur setelah orang lain pulang. Mengenang saat-saat kebersamaan dulu dengan kenangannya masing-masing."Kita pulang, yu," ajak Laila.Amira dan Adelia mengangkat wajahnya. Mereka berdiri lalu beranjak dari gundukan tanah merah itu. Berjalan menyusuri deretan batu nisan.Amira menoleh ke arah makam Andra. Gadis itu seperti melihat Andra berdiri menatapnya. Amira berhenti memperhatikan, dia akan kembali lagi. Namun, Laila menggamit le