“Kita harus mengikuti mamamu, Dira!” Han berseru setelah menampaki wajah laki-laki yang membersamai Maya. Mereka menyamar dengan menggunakan buku sampel untuk menutupi wajah. Merayap dari rak ke rak dengan hati-hati agar tidak tertangkap basah. Han memutar otak keras. Selama ini dia telah mengawasi kehidupan wanita itu. Tapi jangan salah paham dulu. Hal ini dilakukannya karena Angga yang memerintahkan. Maka tidak mengherankan jika Han mengernyit ketika mengingat siapa saja anggota keluarga Maya. Laki-laki yang bersama Maya bukan salah satunya. Han mengetahuinya dengan baik. Laki-laki itu tidak memiliki hubungan darah apapun dengan Maya. “Itu siapa, Han?” Dira bertanya kebingungan. Mereka terus bergerak tidak jauh dari Maya. Wanita itu tampak mengambil buku, lalu meletakkan kembali. Begitu terus berulang kali. Laki-laki yang mengekorinya sesekali menoleh ke belakang. Raut wajahnya terlihat membosankan. Han mengeluarkan ponsel dan memotret keduanya. Dia tidak akan kehilangan kes
“Melangkah ke hal yang lebih serius, maksudnya gimana?” Maya tidak ingin mengambil kesimpulan terlalu cepat, bahkan sekadar memikirkannya. Perkataan laki-laki itu sungguh tidak masuk akal bagi Maya.“Ya …, seperti pernikahan, misalnya?” Rudi membalas dengan pertanyaan. Laki-laki itu tersenyum. “Bukannya kita emang dijodohkan, ya?”Maya tidak bereaksi apa-apa karena telah mengetahuinya. Tapi membahas masalah ini dengan Rudi membuat wanita itu sedikit mual.Wanita itu menghela napas dalam lantas membenarkan duduk. “Bukannya ini terlalu cepat, ya, buat bahas pernikahan? Kita aja baru ketemu sekali. Lagian kita belum tentu cocok juga ‘kan?” kata Maya sungkan.Tapi seharusnya laki-laki itu sadar telah ditolak secara halus. Maya sengaja tidak mengungkapkannya terang-terangan. Bagaimana pun juga, dia harus tetap menjaga perasaan orang lain agar tidak tersinggung.“Masalah kecocokkan bisa nyusul seiring waktu, May.” Rudi mencoba untuk meyakinkan.“Yang penting itu masalah finansial.” Laki-lak
“Tolong lepas dulu aksesori kamu, Mas Han. Geli aku liatnya,” ucap Maya setibanya mereka di parkiran. Wanita itu geleng-geleng kepala. “Lagian kenapa pakai begituan segala, sih?”Han membukakan pintu belakang mobil. Setelah memastikan kedua orang itu masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman, barulah laki-laki itu bisa tenang. Artinya, Maya tidak bisa memukulnya karena laki-laki itu akan fokus menyetir.Han duduk di belakang kemudi, melihat Maya yang kelihatan masih menunggu jawaban. Laki-laki itu mengembuskan napas perlahan untuk mengurangi kecemasannya.“Tadinya saya dan Dira memang ingin ke mall, Bu. Niatnya mau beli buku buat Dira. Eh, tau-taunya malah ketemu Bu Maya lagi berduaan sama laki-laki lain. Jadi, ya, kami mergokin Ibu dan menyamar.”Tubuh Maya menegang. Jadi mereka melihatnya?Maya duduk dengan gelisah. Wanita itu berdeham. Suaranya berubah sumbang. “Mana ada laki-laki lain. Masih ada hubungan keluarga, kok.”“Seingat saya enggak ada keluarga Bu Maya yang wajahny
[Bu Maya, saya minta maaf. Saya salah kirim! Tolong jangan salah paham!]Maya memejamkan mata untuk waktu yang lama. Dadanya seketika sesak. Oh, jadi banyak urusan di kantor termasuk juga ini? Wanita itu tertawa miris.Bagaimana bisa dia tidak salah paham, sedangkan foto itu menampilkan Angga dan Amara tengah makan malam berdua di sebuah restoran!Orang ini pasti sengaja melakukannya!Han kembali dan menangkap kejanggalan dari sikap Maya. Wanita itu diam dengan mata berapi-api.“Ada masalah apa, Bu Maya?” tanya Han hati-hati. Tampaknya dia tidak boleh gegabah dalam bertindak. Jelas sekali wanita itu tidak baik-baik saja, meski berusaha untuk ditutupinya.Maya menghela napas demi meredam emosi yang masuk. Intonasi suaranya terdengar lirih sekaligus marah. “Katamu Angga dan Amara enggak punya hubungan melebihi pekerjaan profesional, Mas Han.”Ya, memang begitu kenyataannya. Ada apa.Laki-laki itu menautkan kedua alis. Han samar mengangguk. “Iya, Bu Maya, mereka memang tidak punya hubung
“Masuk!” ucap Angga ketika seseorang mengetuk pintu kantornya. Laki-laki itu tidak mengalihkan fokus ke layar laptop.Han masuk dengan paper bag berisi bekal makanan di tangan. Laki-laki itu meletakkannya di meja --tempat Angga biasa menjamu tamu, berlanjut menghadap Angga yang tidak tidak merasa terganggu sedikit pun.“Ibu Maya bawain bekal, Pak.” Lapor Han kemudian. “Sepertinya Bu Maya takut Bapak tidak sempat sarapan hari ini, sehingga makan di luar.” Gerakan tangan Angga berhenti seketika, digantikan dengan tatapan penuh perasaan aneh. Ucapan Han seperti menyindir, tapi Angga tidak tahu hal itu disebabkan dorongan apa. “Maksudmu, Han?” Akhirnya laki-laki itu bertanya, meski dia tidak bersalah. Tapi melihat Han memasang wajah intimidasi membuat laki-laki itu penasaran.“Sepertinya Ibu Maya tahu Pak Angga tadi malam makan malam berdua dengan Amara,” ucap Han. Kali ini dengan gayanya yang santai, tapi menimbulkan ketegangan pada Angga.“Itu hanya makan malam biasa, untuk mengisi pe
“Akhirnya Bu Maya sampai juga!” seru Salsa pada sang kekasih di sampingnya. Mengekor di belakang wanita itu ada Angga dan Dira yang berjalan bersisian. Salsa terpaku dengan penampilan Maya dan Dira yang selayaknya ibu dan anak. Tidak jauh berbeda dengan Han yang berekspresi sama. Mereka berdiri di bawah pohon mangga yang rindang. Salsa membisikkan sesuatu pada Maya. “Saya sudah tahu situasinya dari Mas Han, Bu. Saya gak nyangka Bu Maya bakalan datang sekeluarga.” Maya hampir tersedak mendengar kata ‘sekeluarga’ yang dilontarkan Salsa. Untungnya Angga tidak jadi memakai baju yang sama dengan mereka. Kalau hal itu sampai terjadi, entah Han harus menganga seberapa lebar lagi. “Udahan, ih, liatnya!” senggol Salsa pada Han. Laki-laki itu masih tidak percaya atasannya bersungguh-sungguh datang. Menurut Han, acara ini terlalu mencolok bagi Angga yang mengenakan jas formal mahalnya. “Tapi kenapa Pak Angga gak pakai baju samaan kayak Ibu Maya dan Dira?” tanya laki-laki itu penasaran. May
“May!” panggil Bisma ketika wanita itu mendekat ke area sekitar pelaminan. Tamu-tamu tampak mengantre untuk bersalaman dengan pengantin. Maya hanya tersenyum sebagai balasan. Laki-laki itu memakai batik cokelat, kontras dengan baju persatuan keluarga yang memakai warna hijau sage, yang tidak sengaja mengingatkan Maya pada pekerjaan suami Risti yang seorang tentara. Bisma menelan kekecewaan karena mereka berakhir dengan dua warna pakaian yang bertolak belakang. Tapi apapun alasannya, laki-laki itu bisa menerimanya asalkan …. “Lia, saya dan Dira akan menunggu di mobil.” Asalkan Angga tidak terlibat di dalamnya. “Iya, tunggu aja.” Wanita itu menoleh, menampaki Angga yang tengah menggendong Dira. Bisma hanya bisa diam sambil memperhatikan. Kenapa laki-laki itu ada di sini, sih?! Tanpa diduga ternyata Ibu Neneng ikut bergabung, bahkan rela turun dari atas pelaminan selepas menyalami tamu-tamu. Beliau sangat antusias dengan kedatangan Maya dan ‘kekasih’nya itu. “Akhirnya Ibu Maya
“Hubungan kita terlalu rumit,” ujar Maya dengan suara tersekat. Wanita itu memutuskan kontak matanya dengan Angga. Dia tidak siap menghadapi ini, meski hatinya terbawa dengan ucapan laki-laki itu. Angga berusaha untuk tetap tenang di antara kekacauan dalam dirinya. “Beri saya satu kesempatan lagi, Lia.” Laki-laki itu memohon, keluar dari karakternya. Angga tidak peduli dengan harga diri. Kali ini dia ingin Maya kembali melihat padanya. “Saya berjanji akan memperbaiki semuanya. Kita mulai kembali dari awal.” Tapi sudah banyak yang berubah dari diri Maya. Wanita itu menghela napas dalam. Akal dan hatinya bertolak belakang, tidak lagi sejalan dengan dirinya yang dulu; yang mudah untuk menerima. Bisakah mereka? Kenapa tidak mencobanya? Tidak. Tidak. Jangan berharap lagi kalau tidak ingin terluka. Tapi lihat usaha Angga yang sekarang, Lia …. Maya memejamkan mata cukup lama. Mereka kembali bersitatap. Satu pertimbangan sudah dibuat. “Paling enggak kamu harus jelasin semuanya, Ga. Sem
[Sebenarnya selama ini aku suka kamu, May.]Bisma memijat pelipisnya yang berdenyut. Tangannya tertahan untuk mengirimkan pesan itu pada Maya. Pikirannya berkecamuk hebat. Jika dia tidak mengatakannya sekarang, bisa jadi Angga yang lebih dahulu memiliki Maya.Bisma tidak ingin membiarkan hal itu terjadi. Sudah cukup bagi Bisma menahan rasa sakit yang terus-terusan menjarah jiwanya. Dia akan mengatakannya sekarang.Satu pesan masuk sebelum laki-laki itu sempat menekan tanda pesawat.***Maya dapat merasakan tatapan tak bersahabat Angga. Laki-laki itu melipat tangannya sambil mengernyit dalam-dalam.“Kamu sedang apa dengan Bisma?” tanyanya penuh intimidasi. Seketika otak Maya dibayangi kata-kata bahwa laki-laki itu sedang cemburu.Oh, astaga. Mereka bukan remaja kasmaran lagi padahal.“Cuma ngobrol biasa, kok.” Maya tidak ingin memperkeruh suasana. Dia ingin mengakhiri obrolan itu sebelum menjalar ke banyak hal. “Ayo kita pulang. Kamu bisa jalan sendiri atau harus dibantu?”Angga menghe
“Coba jelasin ke aku. Kok bisa gini?”Maya mengamati memar di lutut kanan Angga. Wanita itu sebenarnya sudah tahu apa yang menyebabkan memar Angga semakin parah. Namun, dia ingin Angga yang menjelaskannya sendiri.Angga mengangkat bahu tak tahu. “Saya tidak tahu kenapa memar begitu. Sepertinya tiba-tiba muncul.”Maya mendengkus. Wanita itu berpikir Angga hanya berpura-pura padanya. Padahal kenyataannya Angga memang benar tidak ingat.Tidak lama kemudian dokter sekolah –Bu Susi masuk ke ruangan. Perawakannya agak kurus dengan setelan jas putih. Tangannya membawa nampan berisi mangkok, saputangan, gorengan, dua botol air, dan juga obat-obatan.Bu Susi meletakkan nampan di atas nakas. Sebelumnya wanita paruh baya itu sudah memeriksa memar yang dimiliki Angga.“Memarnya tinggal dikompres aja, Bu Maya. Saya juga bawakan obat paracetamol dan ampicillin untuk diminum Pak Angga,” ucap dokter sekolah yang umurnya tidak lagi muda itu. Wajahnya dihiasi senyum tipis. “Kalau begitu saya tinggal sa
“Kamu ngapain di sini?!”Maya kaget bukan main. Wanita itu sampai melongo. Di sampingnya sudah ada Angga dengan setelan pakaian olahraga.“Saya mau ikut lomba, memangnya tidak boleh?” ucap Angga tanpa melirik Maya sedikit pun.“Bukannya gak boleh. Kalo itu, sih, terserah kamu. Tapi kenapa tiba-tiba banget?” Maya melipat tangan, menatap Angga penuh tanda tanya. “Lagian aku ‘kan udah bilang bakalan main sama Bisma.” Angga menghela napas dalam. Kali ini mereka saling bersitatap. “Apa kamu tidak mengerti mengapa saya sampai melakukan ini, Lia?”“Apa?” Maya semakin menantang tatapan itu lebih jauh, menelisik jawaban di mata laki-laki itu.Angga mengalihkan pandangan, lurus kehadapan. Ditatap demikian oleh Maya membuat debar jantungnya tak nyaman. Laki-laki itu berucap dengan tegas. “Saya cemburu. Puas kamu?”Maya terdiam. Tidak tahu harus bereaksi apa. Yang pasti, jantungnya berdebar akibat pernyataan blak-blakan itu.Angga pergi ke panitia, meminta tali pengikat. Tanpa meminta persetujua
“Wah, kalo masalah itu saya gak ikut campur, deh.”Salsa melihat Dira yang tadinya sudah berada di sekolah kembali lagi menuju parkiran. Sebelum sempat anak kecil itu berdiri di antara dua orang dewasa yang ribut masalah lomba, atau sebenarnya cinta, Salsa lebih dahulu menjauhkan Dira.“Dira sayang, ayok kita ke kantor. Mama sama ayah kamu lagi ada yang dibicarain sebentar. Kita gak boleh ikut campur masalah mereka, oke?” kata Salsa pada anak kecil itu, sedangkan Angga dan Maya saling diam."Kenapa Dila gak boleh ikut?" Salsa memutar otak, tapi tidak juga menemukan alasan yang tepat. "Pokoknya kita gak boleh ikut campur, Dira. Kita masuk lagi ke sekolah, ya?"Dira menurut saja ketika Salsa memegang tangan dan membawanya pergi. Kelegaan menyeruak dalam diri Salsa karena berhasil menyelamatkan Dira dari situasi yang benar-benar tidak terduga ini.“Kamu mengerti atau tidak perasaan saya, Lia?” Angga mengulang perkataannya.Suara berat itu menyapu pendengaran hingga dada Maya berdesir ha
“Angga kenapa, sih?”Maya mengamati buket mawar di tangannya. Selesai makan tadi, Angga langsung kembali ke kantornya. Laki-laki itu juga tidak berbicara sepatah kata apapun, sehingga membuat Maya semakin bingung.Bunyi notifikasi di ponsel Maya sejak tadi tidak berhenti. Maya meletakkan buketnya di meja rias, kemudian menilik apa yang sedang hangat dibicarakan oleh orang-orang di grup guru. Ternyata tidak lain dan tidak bukan mengenai lomba yang akan dilaksanakan besok.Maya hanya menyimak, tidak berminat untuk bergabung. Seperti biasa Salsa yang paling banyak bersuara di sana.Lalu satu notifikasi dari pengirim pesan yang lain masuk ke ponsel Maya.Bisma pengirimnya.[May, besok kamu ikut lomba apa?] tanyanya.Maya mengetik apa adanya. [Belum tau, sih. Liat besok aja. Emang lombanya ada apa aja?]Tidak lama setelahnya Bisma mengirimkan susunan acara yang dilaksanakan besok. Agenda terakhir di jadwal adalah lomba-lomba yang dilakukan oleh siswa dan guru seperti tarik tambang, balap k
“Kesambet, Pak?!” Han harap-harap cemas dengan keadaan Angga yang jauh dari kebiasaan. Laki-laki itu sudah bersiap memanggil dukun seandainya Angga memang tidak bisa diselamatkan. Sejak tadi atasannya tidak berhenti tersenyum dan tertawa sendiri. Han sadar tidak termasuk dalam fokus Angga. Tahu tidak dipedulikan, Han yang tadinya agak takut mendekat lekas berdiri di samping Angga dan menaruh dokumen secara sembarang di meja. Laki-laki itu memberanikan diri untuk mengguncang tubuh atasannya. “Pak Angga jangan gila!” “HAANN!” Angga menyorot dengan marah. “Apa yang kamu lakuin ke saya?!” Han mundur beberapa langkah, takut diamuki. “Ya saya kira Bapak lagi kesurupan. Salah siapa senyum-senyum sendiri kayak orang gak waras.” Angga membenarkan jasnya, lalu menghela napas dalam. Ungkapan cinta Maya telah menghinoptis membuat Angga tidak bisa berhenti memikirkannya. Meski masih diperhatikan oleh Han, Angga bersikap untuk tidak peduli. Laki-laki itu memilih menghadapi laptop dan memilih
“Eh tau gak kalo Pak Angga ternyata udah punya pacar?” “Masa, sih? Gak percaya!” “Iya, sih, susah dipercaya apalagi katanya pacar Pak Angga itu guru.” “Astaga, makin gak percaya aku. Masa orang sekeren Pak Angga pacarannya sama guru. Mustahil banget!” Wanita dengan rambut kucir kuda itu mengambil lipstik dari tasnya, lalu melihat lawan bicaranya dengan heran. “Emang dapat gosip dari mana, sih? Ada-ada aja.” “Budi yang nyeritain. Dia bilang ketemu Pak Angga sama pacarnya di kondangan.” Wanita dengan rambut tergerai itu menjelaskan, sedangkan tangannya sibuk menyapukan bedak ke wajah. “Budi?” Ada nada tidak percaya di dalamnya. Senyum penuh ledekan dilemparkan pada kawannya itu. “Heh? Emang kondangannya anak siapa sampe Budi bisa satu tempat sama Pak Angga? Gila ngaco banget tau gak.” Wanita dengan rambut tergerai mengangkat bahu tak tahu. Terlepas dari benar atau tidaknya berita itu, dia tidak ingin terlibat terlalu jauh. “Iya, sih. Emang mustahil Budi bisa satu tempat sama Pak An
“Apa, sih, maunya Angga?!” Maya memijat pelipis, berakhir dengan sungutan kesal dan meninggalkan Angga dengan Bisma di koridor. Baiklah, sekarang Maya tidak peduli dua orang laki-laki itu dewasa itu akan bertengkar karena pikirannya telah terbawa arus lain. Segala tindakan Angga yang membuatnya merasa ‘dicintai’ membuat Maya pening. Apa sebenarnya motif laki-laki itu? “Mama kenapa?” Dira bertanya dengan raut khawatir, sedangkan Maya hanya menggeleng pelan. Wanita itu merasa tertangkap basah. “Mama gak papa, kok, Sayang.” Maya tersenyum pada anak kecil di sampingnya. Kalau sampai ditegur begini, berarti emosinya benar-benar menguar keluar, bukan? Anak kecil itu masih menatap Maya seperti mencari jawaban lain di sana. “Ayok, kita main lego blocks aja, Sayang.” Maya berusaha mengalihkan pembicaraan. Wanita itu mengambil tas Dira, lalu mengeluarkan isinya. “Yey! Dila mau buat lumah, Mama!” kata Dira antusias. Anak kecil itu kemudian mengambil beberapa blocks dan mulai membangun imaj
“Libur semester nanti kamu pulang ke Jawa?” tanya Maya pada Angga. Saat itu mereka berada di kelas sepuluh dan berangkat sekolah. Aktivitas yang akhir-akhir selalu mereka lakukan bersama. Mereka baru sampai di gerbang sekolah dan melihat siswa laki-laki sangat antusias bermain bola di lapangan. Apakah mereka tidak takut berkeringat dan membuat kelas berbau tidak nyaman? Aih, menurut Maya, mereka tidak keren sama sekali. Mereka berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang selalu wangi. Maya jadi penasaran, parfum apa kira-kira yang digunakan Angga? Namun, pikiran gadis itu segera teralihkan ketika Angga menjawab pertanyaannya. “Mungkin enggak. Masih belum tau.” Maya melihat Angga dengan alis Maya bertaut heran. “Emang kenapa gak pulang?” Laki-laki itu sedikit melirik ke arahnya, lalu mengendikkan bahu. “Entahlah. Kayaknya karna takut disuruh-suruh selama liburan. Lagian libur semester paling cuma seminggu.” Maya tertawa. “Iya, sih. Aku setuju. Kalo liburan biasanya bakalan disuru