“Saya harus pulang sekarang.”Rapat baru saja selesai diadakan. Angga melirik jam tangan dan pikirannya jatuh pada Maya dan Dira di rumah. Mereka akan baik-baik saja 'kan?“Kenapa terburu-buru, Pak Angga?” tanya seorang sekretaris muda, Amara Belina. Wanita yang sukses menjadi pusat perhatian karena cantik dan modis, mantan Putri Indonesia beberapa tahun silam.“Saya ada urusan di rumah,” balas Angga sekenanya. Laki-laki itu berjalan dengan langkah panjang di koridor, sehingga Amara harus bekerja keras menyeimbangkannya.“Apa karena Dira?” Amara bertanya spontan.Angga tidak menjawab, memilih untuk mendiamkan wanita berambut lurus sepunggung itu. Amara memendam kekecewaannya di jurang paling dalam.Tidak lama kemudian, panggilan masuk ke telepon wanita itu. Sambil terus mengawasi jalan, Amara mengangkatnya. Sambungan lalu terputus tepat ketika mereka memasuki lift.“Tapi, Pak, kita punya jadwal rapat satu jam dari sekarang. Saya baru dapat kabar kalau pihak Winar Group ingin rapat dim
"Keluar sekarang juga!"Rumah sudah seperti kapal pecah ketika Angga datang. Bantal sofa berhamburan. Mainan berantakan. Bekas makanan tidak dibersihkan. Dan tersangka berada dalam pencarian.Mereka bersembunyi di meja bar dapur."Keluar sekarang kalau tidak mau saya potong gaji!" Angga berkata dengan intonasi tinggi.Tidak lama setelahnya Han keluar diikuti Dira. Dua orang ini tidak berani mengangkat wajah ketika menghadap Angga. Mereka juga tidak berani kabur atau berkutik sedikit pun. Lebih baik mendengarkan khotbah panjang daripada gajinya terancam, pikir Han.Angga mengembuskan napas kasar. Sekali lagi menampaki sekitar yang makin memperburuk suasana hati. "Siapa yang bertanggung jawab atas semua kekacauan ini?!"Dira sangat takut ketika melihat sang Ayah. Anak kecil itu refleks menunjuk Han. "Han, Ayah. Dila cuma ikut-ikutan."Mendengarnya membuat Angga secara khusus mengarahkan atensi pada Han. Laki-laki itu sudah menduganya. Tidak mungkin Dira akan bertindak seimplusif ini kal
“Sial.” Angga meletakkan paper bag berisi pakaian itu di nakas. Hari yang melelahkan. Dan untuk mengalihkan semua yang mengganjal di kepala, laki-laki itu memilih untuk bekerja. Angga mengerahkan semua konsentrasinya pada layar laptop. Tapi yang terjadi kemudian adalah ingatannya tentang pernyataan Bisma. Seharusnya Angga tidak terlalu kaget. Sejak awal pun dia tahu cara Bisma memperlakukan Maya berbeda. Tapi kenapa hatinya tetap sakit? Sore tadi Bisma datang dan sangat kebetulan Angga yang membukakan pintu. Laki-laki itu tidak dipersilakan masuk. Akan lebih baik menurut Angga berbicara di luar saja. “Saya ingin bertemu Maya,” ucap laki-laki itu langsung ke intinya. Beradu pandangan Angga yang menatap sinis. Raut muka Angga jadi berkali-kali lipat serius. “Ada perlu apa?” “Memangnya gak boleh?” Bisma balik bertanya. “Ya.” Bisma mengerutkan dahi dalam. Laki-laki itu tidak paham alur berpikir Angga. “Alasannya?” Angga memperhatikan Bisma secara keseluruhan sebelum menjawab.
‘Jangan melewati batas, Maya!’ ucap wanita itu pada diri sendiri. Apapun yang dirasakannya sekarang jelas bukan hal yang bagus. Tidak seharusnya Maya berdebar.Harus profesional. Harus profesional. Wanita itu terus merapalkannya dalam hati. Angga menyelesaikan tawanya. Dengan serius menanggapi kesalahpahaman di antara mereka. “Tenang, saya tidak ada masalah di kantor. Saya baik-baik saja. Saya hanya kebanyakan khawatir akhir-akhir ini."Khawatir? Karena apa? Angga masih bicara. “Jangan sakit lagi, Lia.” Ditatap dengan sendu seperti itu membuat tubuh Maya meremang. Wanita itu segera menetralisirnya dengan meminum segelas air tanpa jeda. Nada bicara Angga yang ringkas dan tegas telah membawa pikiran Maya ke ingatan sebelumnya. Mereka hujan-hujanan ketika pulang sekolah dan besoknya Maya sakit hingga izin sekolah beberapa hari. Angga sangat menyesali tindakannya sebagai si pembuat keputusan. Dia merasa gagal menjadi pelindung. “Hujannya gak berenti-berenti, Ga. Terus gimana kita pu
“Kamu kenapa, sih, Bis? Kalo ada masalah bilang aja.” Maya merasa ganjil. Belum lagi perkataan laki-laki itu sama seperti yang diucapkan Angga. Kebetulan? Ya, mungkin. Mereka tidak ingin Maya sakit. Tapi, plis, itu hanya demam. Bukan masalah serius. “Aku baik, May.” Laki-laki itu menjawab dengan suara serak. “Aku cuma lagi kangen suaramu.” Maya terhenyak. Hah? Dia tidak salah dengar 'kan? Kenapa juga harus kangen, sedangkan Maya baru izin sehari? Wanita itu menghela napas setelah berpikir panjang. “Emangnya kamu habis diapain sama Salsa?” Biasanya Maya yang jadi penengah dua orang itu kalau ribut. Dan hari ini wanita itu tidak masuk sekolah. Jadi Maya berkesimpulan bahwa Bisma tidak punya tempat mengadu lain. Ya, hanya itu alasan yang bisa dipikirkan Maya. Toh, apalagi selain itu? Maya menguap sampai mungkin bisa menelan apel utuh. Wanita itu sudah tidak kuat lagi menahan kantuk, apalagi seharusnya sedang dalam masa pemulihan. "May." Laki-laki itu memanggil. Diam. “Aku suka
“Ayok, Sayang.” Maya menyuruh Dira naik ke mobil lebih dahulu. Mereka lalu duduk di kursi penumpang belakang. Sesuatu yang aneh bagi seorang ‘nyonya’, menurut Amara. Bukankah seharusnya Maya duduk di samping pengemudi? Ya, tidak apa-apa masalahnya untuk duduk di kursi belakang. Ini hanya tentang kebiasaan orang-orang. “Kita mau ke mana?” tanya Amara sekadar berbasa-basi pada Angga. Arahnya berlawanan dengan kantor tempat mereka bekerja. “Sekolah.” Angga menjawab singkat. Amara mengernyit. Ya, wanita itu memang melihat Dira memakai ransel tadi. Masih sedikit tidak menyangka karena Angga sangat protektif pada sang anak, terutama berkenaan dengan dunia luar. Jadi, anak kecil itu sudah sekolah? Dan bukan tidak mungkin Maya yang bertugas untuk menungguinya. Amara menyandarkan dirinya ke kursi, sesekali melihat ke kursi belakang lewat spion depan. Maya dan Dira sedang asik membaca buku yang diselingi dengan candaan-candaan mereka. Mereka membuat Amara tidak bisa berkonsentrasi untuk me
“Kamu apain Bisma kemarin?” Belum sampai satu menit Salsa duduk dan Maya sudah memberinya pertanyaan yang tidak wanita itu dipahami. Memang Salsa berbuat apa pada Bisma? Kemarin mereka baik-baik saja. Salsa menggeleng. Jujur dengan keadaan. “Saya gak ada ngapa-ngapain Bisma, Bu.” Maya melihat Salsa dengan dahi berkerut. “Masa, sih? Tadi malam Bisma nelpon kayak orang yang lagi ada masalah. Biasanya ‘kan yang bikin masalah itu kamu.” Salsa berdecak, merasa tidak dipercaya. Wanita itu melipat tangan lanjut menyilangkan kaki, menatap wanita di hadapannya sinis. “Itu mah dulu waktu saya belum sama Mas Han, Bu Maya. Sekarang saya udah insaf gangguin Pak Bisma. Nanti ayang cemburu. Saya 'kan setia orangnya." Maya mengangguk, merasa bisa menerima alasan Salsa, meski tidak yakin dengan bagian akhir. Sekarang yang menjadi pertanyaan, ada apa dengan Bisma tadi malam? “Mama, Dila minta tolong.” Sekali ini Maya memperbolehkan Dira untuk bermain game di ponsel. Tapi perlu di garis bawahi te
Halo, semuanya, perkenalkan saya Olia Safitri. Saya berterima kasih sebanyak-banyak kepada pembaca semua. Saya berharap cerita ini bisa diterima dengan baik, walaupun update-nya agak ngaret disesuaikan dengan kehidupan penulis yang sedang menjalani semester enam. Jangan lupa vote, komen, dan rate cerita ini, guys. Membuka setiap bab artinya berkontribusi dengan kehidupan penulis yang dilanda krisis moneter. Hehehe. Di sini saya juga mau klarifikasi kalau salah mengaktifkan fitur. Alhasil bab 35 akhirnya berubah jadi catatan penulis. Tolong maklumi saya karena baru tau T-T. Awalnya ngira itu catatan penulis yang biasa ada di bawah bab, tapi bisa otomatis terisi ke seluruh bab. Haha. Gaptek banget asli. Tapi sisi baiknya jadi tau, sih, fungsi yang sebenarnya apa. Saya meminta maaf apabila ada kekurangan atau salah dalam penulisan. Kritik dan saran sangat dibutuhkan demi perbaikan novel ini. Akhir kata, saya berdoa supaya rezeki kita semuanya lancar dan selalu diliputi hal-hal baik. Oi
[Sebenarnya selama ini aku suka kamu, May.]Bisma memijat pelipisnya yang berdenyut. Tangannya tertahan untuk mengirimkan pesan itu pada Maya. Pikirannya berkecamuk hebat. Jika dia tidak mengatakannya sekarang, bisa jadi Angga yang lebih dahulu memiliki Maya.Bisma tidak ingin membiarkan hal itu terjadi. Sudah cukup bagi Bisma menahan rasa sakit yang terus-terusan menjarah jiwanya. Dia akan mengatakannya sekarang.Satu pesan masuk sebelum laki-laki itu sempat menekan tanda pesawat.***Maya dapat merasakan tatapan tak bersahabat Angga. Laki-laki itu melipat tangannya sambil mengernyit dalam-dalam.“Kamu sedang apa dengan Bisma?” tanyanya penuh intimidasi. Seketika otak Maya dibayangi kata-kata bahwa laki-laki itu sedang cemburu.Oh, astaga. Mereka bukan remaja kasmaran lagi padahal.“Cuma ngobrol biasa, kok.” Maya tidak ingin memperkeruh suasana. Dia ingin mengakhiri obrolan itu sebelum menjalar ke banyak hal. “Ayo kita pulang. Kamu bisa jalan sendiri atau harus dibantu?”Angga menghe
“Coba jelasin ke aku. Kok bisa gini?”Maya mengamati memar di lutut kanan Angga. Wanita itu sebenarnya sudah tahu apa yang menyebabkan memar Angga semakin parah. Namun, dia ingin Angga yang menjelaskannya sendiri.Angga mengangkat bahu tak tahu. “Saya tidak tahu kenapa memar begitu. Sepertinya tiba-tiba muncul.”Maya mendengkus. Wanita itu berpikir Angga hanya berpura-pura padanya. Padahal kenyataannya Angga memang benar tidak ingat.Tidak lama kemudian dokter sekolah –Bu Susi masuk ke ruangan. Perawakannya agak kurus dengan setelan jas putih. Tangannya membawa nampan berisi mangkok, saputangan, gorengan, dua botol air, dan juga obat-obatan.Bu Susi meletakkan nampan di atas nakas. Sebelumnya wanita paruh baya itu sudah memeriksa memar yang dimiliki Angga.“Memarnya tinggal dikompres aja, Bu Maya. Saya juga bawakan obat paracetamol dan ampicillin untuk diminum Pak Angga,” ucap dokter sekolah yang umurnya tidak lagi muda itu. Wajahnya dihiasi senyum tipis. “Kalau begitu saya tinggal sa
“Kamu ngapain di sini?!”Maya kaget bukan main. Wanita itu sampai melongo. Di sampingnya sudah ada Angga dengan setelan pakaian olahraga.“Saya mau ikut lomba, memangnya tidak boleh?” ucap Angga tanpa melirik Maya sedikit pun.“Bukannya gak boleh. Kalo itu, sih, terserah kamu. Tapi kenapa tiba-tiba banget?” Maya melipat tangan, menatap Angga penuh tanda tanya. “Lagian aku ‘kan udah bilang bakalan main sama Bisma.” Angga menghela napas dalam. Kali ini mereka saling bersitatap. “Apa kamu tidak mengerti mengapa saya sampai melakukan ini, Lia?”“Apa?” Maya semakin menantang tatapan itu lebih jauh, menelisik jawaban di mata laki-laki itu.Angga mengalihkan pandangan, lurus kehadapan. Ditatap demikian oleh Maya membuat debar jantungnya tak nyaman. Laki-laki itu berucap dengan tegas. “Saya cemburu. Puas kamu?”Maya terdiam. Tidak tahu harus bereaksi apa. Yang pasti, jantungnya berdebar akibat pernyataan blak-blakan itu.Angga pergi ke panitia, meminta tali pengikat. Tanpa meminta persetujua
“Wah, kalo masalah itu saya gak ikut campur, deh.”Salsa melihat Dira yang tadinya sudah berada di sekolah kembali lagi menuju parkiran. Sebelum sempat anak kecil itu berdiri di antara dua orang dewasa yang ribut masalah lomba, atau sebenarnya cinta, Salsa lebih dahulu menjauhkan Dira.“Dira sayang, ayok kita ke kantor. Mama sama ayah kamu lagi ada yang dibicarain sebentar. Kita gak boleh ikut campur masalah mereka, oke?” kata Salsa pada anak kecil itu, sedangkan Angga dan Maya saling diam."Kenapa Dila gak boleh ikut?" Salsa memutar otak, tapi tidak juga menemukan alasan yang tepat. "Pokoknya kita gak boleh ikut campur, Dira. Kita masuk lagi ke sekolah, ya?"Dira menurut saja ketika Salsa memegang tangan dan membawanya pergi. Kelegaan menyeruak dalam diri Salsa karena berhasil menyelamatkan Dira dari situasi yang benar-benar tidak terduga ini.“Kamu mengerti atau tidak perasaan saya, Lia?” Angga mengulang perkataannya.Suara berat itu menyapu pendengaran hingga dada Maya berdesir ha
“Angga kenapa, sih?”Maya mengamati buket mawar di tangannya. Selesai makan tadi, Angga langsung kembali ke kantornya. Laki-laki itu juga tidak berbicara sepatah kata apapun, sehingga membuat Maya semakin bingung.Bunyi notifikasi di ponsel Maya sejak tadi tidak berhenti. Maya meletakkan buketnya di meja rias, kemudian menilik apa yang sedang hangat dibicarakan oleh orang-orang di grup guru. Ternyata tidak lain dan tidak bukan mengenai lomba yang akan dilaksanakan besok.Maya hanya menyimak, tidak berminat untuk bergabung. Seperti biasa Salsa yang paling banyak bersuara di sana.Lalu satu notifikasi dari pengirim pesan yang lain masuk ke ponsel Maya.Bisma pengirimnya.[May, besok kamu ikut lomba apa?] tanyanya.Maya mengetik apa adanya. [Belum tau, sih. Liat besok aja. Emang lombanya ada apa aja?]Tidak lama setelahnya Bisma mengirimkan susunan acara yang dilaksanakan besok. Agenda terakhir di jadwal adalah lomba-lomba yang dilakukan oleh siswa dan guru seperti tarik tambang, balap k
“Kesambet, Pak?!” Han harap-harap cemas dengan keadaan Angga yang jauh dari kebiasaan. Laki-laki itu sudah bersiap memanggil dukun seandainya Angga memang tidak bisa diselamatkan. Sejak tadi atasannya tidak berhenti tersenyum dan tertawa sendiri. Han sadar tidak termasuk dalam fokus Angga. Tahu tidak dipedulikan, Han yang tadinya agak takut mendekat lekas berdiri di samping Angga dan menaruh dokumen secara sembarang di meja. Laki-laki itu memberanikan diri untuk mengguncang tubuh atasannya. “Pak Angga jangan gila!” “HAANN!” Angga menyorot dengan marah. “Apa yang kamu lakuin ke saya?!” Han mundur beberapa langkah, takut diamuki. “Ya saya kira Bapak lagi kesurupan. Salah siapa senyum-senyum sendiri kayak orang gak waras.” Angga membenarkan jasnya, lalu menghela napas dalam. Ungkapan cinta Maya telah menghinoptis membuat Angga tidak bisa berhenti memikirkannya. Meski masih diperhatikan oleh Han, Angga bersikap untuk tidak peduli. Laki-laki itu memilih menghadapi laptop dan memilih
“Eh tau gak kalo Pak Angga ternyata udah punya pacar?” “Masa, sih? Gak percaya!” “Iya, sih, susah dipercaya apalagi katanya pacar Pak Angga itu guru.” “Astaga, makin gak percaya aku. Masa orang sekeren Pak Angga pacarannya sama guru. Mustahil banget!” Wanita dengan rambut kucir kuda itu mengambil lipstik dari tasnya, lalu melihat lawan bicaranya dengan heran. “Emang dapat gosip dari mana, sih? Ada-ada aja.” “Budi yang nyeritain. Dia bilang ketemu Pak Angga sama pacarnya di kondangan.” Wanita dengan rambut tergerai itu menjelaskan, sedangkan tangannya sibuk menyapukan bedak ke wajah. “Budi?” Ada nada tidak percaya di dalamnya. Senyum penuh ledekan dilemparkan pada kawannya itu. “Heh? Emang kondangannya anak siapa sampe Budi bisa satu tempat sama Pak Angga? Gila ngaco banget tau gak.” Wanita dengan rambut tergerai mengangkat bahu tak tahu. Terlepas dari benar atau tidaknya berita itu, dia tidak ingin terlibat terlalu jauh. “Iya, sih. Emang mustahil Budi bisa satu tempat sama Pak An
“Apa, sih, maunya Angga?!” Maya memijat pelipis, berakhir dengan sungutan kesal dan meninggalkan Angga dengan Bisma di koridor. Baiklah, sekarang Maya tidak peduli dua orang laki-laki itu dewasa itu akan bertengkar karena pikirannya telah terbawa arus lain. Segala tindakan Angga yang membuatnya merasa ‘dicintai’ membuat Maya pening. Apa sebenarnya motif laki-laki itu? “Mama kenapa?” Dira bertanya dengan raut khawatir, sedangkan Maya hanya menggeleng pelan. Wanita itu merasa tertangkap basah. “Mama gak papa, kok, Sayang.” Maya tersenyum pada anak kecil di sampingnya. Kalau sampai ditegur begini, berarti emosinya benar-benar menguar keluar, bukan? Anak kecil itu masih menatap Maya seperti mencari jawaban lain di sana. “Ayok, kita main lego blocks aja, Sayang.” Maya berusaha mengalihkan pembicaraan. Wanita itu mengambil tas Dira, lalu mengeluarkan isinya. “Yey! Dila mau buat lumah, Mama!” kata Dira antusias. Anak kecil itu kemudian mengambil beberapa blocks dan mulai membangun imaj
“Libur semester nanti kamu pulang ke Jawa?” tanya Maya pada Angga. Saat itu mereka berada di kelas sepuluh dan berangkat sekolah. Aktivitas yang akhir-akhir selalu mereka lakukan bersama. Mereka baru sampai di gerbang sekolah dan melihat siswa laki-laki sangat antusias bermain bola di lapangan. Apakah mereka tidak takut berkeringat dan membuat kelas berbau tidak nyaman? Aih, menurut Maya, mereka tidak keren sama sekali. Mereka berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang selalu wangi. Maya jadi penasaran, parfum apa kira-kira yang digunakan Angga? Namun, pikiran gadis itu segera teralihkan ketika Angga menjawab pertanyaannya. “Mungkin enggak. Masih belum tau.” Maya melihat Angga dengan alis Maya bertaut heran. “Emang kenapa gak pulang?” Laki-laki itu sedikit melirik ke arahnya, lalu mengendikkan bahu. “Entahlah. Kayaknya karna takut disuruh-suruh selama liburan. Lagian libur semester paling cuma seminggu.” Maya tertawa. “Iya, sih. Aku setuju. Kalo liburan biasanya bakalan disuru