Halo, semuanya, perkenalkan saya Olia Safitri.
Saya berterima kasih sebanyak-banyak kepada pembaca semua. Saya berharap cerita ini bisa diterima dengan baik, walaupun update-nya agak ngaret disesuaikan dengan kehidupan penulis yang sedang menjalani semester enam. Jangan lupa vote, komen, dan rate cerita ini, guys. Membuka setiap bab artinya berkontribusi dengan kehidupan penulis yang dilanda krisis moneter. Hehehe.Di sini saya juga mau klarifikasi kalau salah mengaktifkan fitur. Alhasil bab 35 akhirnya berubah jadi catatan penulis. Tolong maklumi saya karena baru tau T-T. Awalnya ngira itu catatan penulis yang biasa ada di bawah bab, tapi bisa otomatis terisi ke seluruh bab. Haha. Gaptek banget asli. Tapi sisi baiknya jadi tau, sih, fungsi yang sebenarnya apa.Saya meminta maaf apabila ada kekurangan atau salah dalam penulisan. Kritik dan saran sangat dibutuhkan demi perbaikan novel ini. Akhir kata, saya berdoa supaya rezeki kita semuanya lancar dan selalu diliputi hal-hal baik. Oiya, selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang menjalankan. Tetap semangat semuanyaa ...!Salam cinta,Olia <3"Kita harus bicara, Bisma," ucap Angga. Untuk pertama kalinya laki-laki itu memanggil Bisma dengan nama. Selama ini dia terlihat enggan. Bisma bertanya-tanya, maksud apa yang kira-kira menyelubunginya? Bisma sejujurnya sudah terbiasa dengan tatapan tidak bersahabat Angga. Tapi sekali ini Bisma merasa ada yang berbeda dari cara pandang laki-laki berjas mahal itu. Dia seperti seseorang yang putus asa sekaligus penuh harapan dalam satu masa. Ada apa sebenarnya? Dan untuk mencari tahu, artinya Bisma harus terlibat dalam pembicaraan ini. Laki-laki itu kemudian mensejajarkan diri dengan Angga. Penasaran."Silakan, Pak, jika Anda ingin mengobrol dengan saya." Bisma menjawab formal. Angga mengernyit. Tidak menyangka akan tetap mendapat kehormatan itu, meski tahu mereka adalah rival. Bertarung dalam mendapatkan atensi seorang wanita. Ah, seharusnya pekerjaan dan urusan pribadi harus dipisahkan, begitulah prinsip Angga.Ditatap dengan serius membuat Bisma harus menahan napas. Dalam diam laki
“Emangnya Bisma kenapa?” Untuk yang satu ini, Maya tidak bisa menerimanya. Bisma adalah sosok yang berharga bagi Maya. Laki-laki itu sudah banyak membantunya. Maya mengernyit, mencari-cari apa yang menjadi penyebabnya. “Apa karna dia gak suka kamu, makanya kamu larang aku buat dekat-dekat sama dia?” Angga terdiam. Ya, itu salah satunya. Tapi tidak mungkin bagi Angga mengutarakannya secara blak-blakan. Tahu tidak ada balasan, Maya melanjutkan. “Apa, sih, yang kamu khawatirkan? Emangnya apa yang bisa terjadi antara aku sama Bisma?" Angga menghela napas dalam, mencari alasan paling tepat. Dia tidak ingin terlihat mencolok. “Jangan sampai Dira mengira kalian macam-macam.” Maya terperangah tidak menyangka. Pernyataan Angga sedikit menyinggung perasaannya; ucapan itu jelas bernada negatif. “Macam-macam yang gimana? Orang kami gak ngapa-ngapain. Kalau Bisma perhatian, ya, wajar. Lagian hubungan kami gak lebih dari teman, kok.” Kenapa Angga bisa memiliki pikiran seperti itu, seolah dia w
[Boleh minta pap mukamu gak, May?] Belum sampai satu jam mereka berkenalan dan laki-laki itu sudah berani meminta foto? Respect Maya pada Rudi hilang seketika. Mendadak dia ingin membatalkan pertemuan mereka kalau tidak mengingat janji dengan sang mama. Maya membalas dengan emosi yang mengalir di jari. [Emang buat apaan?] Tidak sampai semenit, pesan itu dibalas. [Siapa tahu ‘kan aku lupa mukamu. Kita udah lama gak ketemu.] Maya memutar bola mata malas, tidak percaya. Lupa muka, katanya? Tenang, Maya punya cara lain untuk mengatasi masalah itu. [Ya, nanti telpon aja pas udah di sana. Asal jangan berekspetasi lebih aja.] Kalau Rudi seseorang yang peka, seharusnya bisa mengerti kalau Maya risi. [Haha, santai aja,] ujarnya. Astaga. Maya tidak berminat sama sekali untuk melanjutkan obrolan mereka. Pesan di grup guru lebih membangkitkan keingintahuannya. [Mengingatkan kembali. Jangan lupa datang ke acara nikahan adik saya, ya, Bapak dan Ibu sekalian.] Bisma membagikan undangan da
“Aku ….” Maya menggantungkan kalimat. Pasokan udara dalam rongga dadanya menyempit dan wanita itu melihat tatapan Angga sebagai sesuatu yang harus dihindari. “Maaf, tapi aku cuma mau ke kamar mandi.” Maya segera melewati Angga yang berdiri di ambang pintu. Mau tidak mau laki-laki itu harus menyingkir. Sesaat kemudian pintu tertutup dengan Maya dibaliknya. Maya memaksimalkan sisa-sisa napas yang tersisa untuk menenangkan diri. Wanita itu menggerutu dalam hati, tidak menyangka akan tertangkap basah begitu mudahnya. Apakah Angga sudah pergi? Maya tidak berani mengecek. Wanita itu berakhir dengan menjelajahi bagian kamar mandi Dira lebih dalam, menatap pantulan wajahnya di cermin. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Awalnya Maya mengira Angga sudah pergi dari kamar Dira. Tapi yang terjadi malah di luar dugaannya. Laki-laki itu berdiri persis di samping pintu kamar mandi. “Astaga!” Maya memekik. Hampir saja menabrak sosok tegap itu. “Ssstt ….” Angga mengintrupsi. “Kita sama-sama tid
“Kamu di mana?” Panggilan baru tersambung kurang dari semenit dan Maya tidak ingin berbasa-basi. Wanita itu baru saja tiba di mall, malah sepuluh menit lebih awal dari yang mereka janjikan. “Aku masih di hotel. Emangnya kenapa, May?” kata sambungan di seberang sana. “Aku udah di tempat.” Maya menjawab. Tidak ingin dibuat menunggu, wanita itu mencari alternatif lain. “Ya udah, aku masuk duluan aja, ya. Kebetulan ada yang mau kubeli dulu.” “Oh, oke, May.” Laki-laki itu menyahut dengan nada ringkas. Jawabannya sudah cukup untuk membuat Maya memutuskan sambungan secara sepihak. Maya mengembuskan napas kasar sebelum memasuki mall. Wanita itu memikirkan barang apa yang akan diberikan pada Risti untuk pernikahannya. Berharap mendapat pencerahan, Maya masuk ke toko peralatan rumah tangga. Ada banyak barang berpasangan yang membuat hati Maya meringis. Wanita itu lalu menentukan pilihan pada mug keramik berpasangan dengan tulisan Mr. dan Mrs.. Hadiah simpel, tapi bermakna.Maya menjelajah
“Kita harus mengikuti mamamu, Dira!” Han berseru setelah menampaki wajah laki-laki yang membersamai Maya. Mereka menyamar dengan menggunakan buku sampel untuk menutupi wajah. Merayap dari rak ke rak dengan hati-hati agar tidak tertangkap basah. Han memutar otak keras. Selama ini dia telah mengawasi kehidupan wanita itu. Tapi jangan salah paham dulu. Hal ini dilakukannya karena Angga yang memerintahkan. Maka tidak mengherankan jika Han mengernyit ketika mengingat siapa saja anggota keluarga Maya. Laki-laki yang bersama Maya bukan salah satunya. Han mengetahuinya dengan baik. Laki-laki itu tidak memiliki hubungan darah apapun dengan Maya. “Itu siapa, Han?” Dira bertanya kebingungan. Mereka terus bergerak tidak jauh dari Maya. Wanita itu tampak mengambil buku, lalu meletakkan kembali. Begitu terus berulang kali. Laki-laki yang mengekorinya sesekali menoleh ke belakang. Raut wajahnya terlihat membosankan. Han mengeluarkan ponsel dan memotret keduanya. Dia tidak akan kehilangan kes
“Melangkah ke hal yang lebih serius, maksudnya gimana?” Maya tidak ingin mengambil kesimpulan terlalu cepat, bahkan sekadar memikirkannya. Perkataan laki-laki itu sungguh tidak masuk akal bagi Maya.“Ya …, seperti pernikahan, misalnya?” Rudi membalas dengan pertanyaan. Laki-laki itu tersenyum. “Bukannya kita emang dijodohkan, ya?”Maya tidak bereaksi apa-apa karena telah mengetahuinya. Tapi membahas masalah ini dengan Rudi membuat wanita itu sedikit mual.Wanita itu menghela napas dalam lantas membenarkan duduk. “Bukannya ini terlalu cepat, ya, buat bahas pernikahan? Kita aja baru ketemu sekali. Lagian kita belum tentu cocok juga ‘kan?” kata Maya sungkan.Tapi seharusnya laki-laki itu sadar telah ditolak secara halus. Maya sengaja tidak mengungkapkannya terang-terangan. Bagaimana pun juga, dia harus tetap menjaga perasaan orang lain agar tidak tersinggung.“Masalah kecocokkan bisa nyusul seiring waktu, May.” Rudi mencoba untuk meyakinkan.“Yang penting itu masalah finansial.” Laki-lak
“Tolong lepas dulu aksesori kamu, Mas Han. Geli aku liatnya,” ucap Maya setibanya mereka di parkiran. Wanita itu geleng-geleng kepala. “Lagian kenapa pakai begituan segala, sih?”Han membukakan pintu belakang mobil. Setelah memastikan kedua orang itu masuk ke dalam mobil dan memasang sabuk pengaman, barulah laki-laki itu bisa tenang. Artinya, Maya tidak bisa memukulnya karena laki-laki itu akan fokus menyetir.Han duduk di belakang kemudi, melihat Maya yang kelihatan masih menunggu jawaban. Laki-laki itu mengembuskan napas perlahan untuk mengurangi kecemasannya.“Tadinya saya dan Dira memang ingin ke mall, Bu. Niatnya mau beli buku buat Dira. Eh, tau-taunya malah ketemu Bu Maya lagi berduaan sama laki-laki lain. Jadi, ya, kami mergokin Ibu dan menyamar.”Tubuh Maya menegang. Jadi mereka melihatnya?Maya duduk dengan gelisah. Wanita itu berdeham. Suaranya berubah sumbang. “Mana ada laki-laki lain. Masih ada hubungan keluarga, kok.”“Seingat saya enggak ada keluarga Bu Maya yang wajahny
[Sebenarnya selama ini aku suka kamu, May.]Bisma memijat pelipisnya yang berdenyut. Tangannya tertahan untuk mengirimkan pesan itu pada Maya. Pikirannya berkecamuk hebat. Jika dia tidak mengatakannya sekarang, bisa jadi Angga yang lebih dahulu memiliki Maya.Bisma tidak ingin membiarkan hal itu terjadi. Sudah cukup bagi Bisma menahan rasa sakit yang terus-terusan menjarah jiwanya. Dia akan mengatakannya sekarang.Satu pesan masuk sebelum laki-laki itu sempat menekan tanda pesawat.***Maya dapat merasakan tatapan tak bersahabat Angga. Laki-laki itu melipat tangannya sambil mengernyit dalam-dalam.“Kamu sedang apa dengan Bisma?” tanyanya penuh intimidasi. Seketika otak Maya dibayangi kata-kata bahwa laki-laki itu sedang cemburu.Oh, astaga. Mereka bukan remaja kasmaran lagi padahal.“Cuma ngobrol biasa, kok.” Maya tidak ingin memperkeruh suasana. Dia ingin mengakhiri obrolan itu sebelum menjalar ke banyak hal. “Ayo kita pulang. Kamu bisa jalan sendiri atau harus dibantu?”Angga menghe
“Coba jelasin ke aku. Kok bisa gini?”Maya mengamati memar di lutut kanan Angga. Wanita itu sebenarnya sudah tahu apa yang menyebabkan memar Angga semakin parah. Namun, dia ingin Angga yang menjelaskannya sendiri.Angga mengangkat bahu tak tahu. “Saya tidak tahu kenapa memar begitu. Sepertinya tiba-tiba muncul.”Maya mendengkus. Wanita itu berpikir Angga hanya berpura-pura padanya. Padahal kenyataannya Angga memang benar tidak ingat.Tidak lama kemudian dokter sekolah –Bu Susi masuk ke ruangan. Perawakannya agak kurus dengan setelan jas putih. Tangannya membawa nampan berisi mangkok, saputangan, gorengan, dua botol air, dan juga obat-obatan.Bu Susi meletakkan nampan di atas nakas. Sebelumnya wanita paruh baya itu sudah memeriksa memar yang dimiliki Angga.“Memarnya tinggal dikompres aja, Bu Maya. Saya juga bawakan obat paracetamol dan ampicillin untuk diminum Pak Angga,” ucap dokter sekolah yang umurnya tidak lagi muda itu. Wajahnya dihiasi senyum tipis. “Kalau begitu saya tinggal sa
“Kamu ngapain di sini?!”Maya kaget bukan main. Wanita itu sampai melongo. Di sampingnya sudah ada Angga dengan setelan pakaian olahraga.“Saya mau ikut lomba, memangnya tidak boleh?” ucap Angga tanpa melirik Maya sedikit pun.“Bukannya gak boleh. Kalo itu, sih, terserah kamu. Tapi kenapa tiba-tiba banget?” Maya melipat tangan, menatap Angga penuh tanda tanya. “Lagian aku ‘kan udah bilang bakalan main sama Bisma.” Angga menghela napas dalam. Kali ini mereka saling bersitatap. “Apa kamu tidak mengerti mengapa saya sampai melakukan ini, Lia?”“Apa?” Maya semakin menantang tatapan itu lebih jauh, menelisik jawaban di mata laki-laki itu.Angga mengalihkan pandangan, lurus kehadapan. Ditatap demikian oleh Maya membuat debar jantungnya tak nyaman. Laki-laki itu berucap dengan tegas. “Saya cemburu. Puas kamu?”Maya terdiam. Tidak tahu harus bereaksi apa. Yang pasti, jantungnya berdebar akibat pernyataan blak-blakan itu.Angga pergi ke panitia, meminta tali pengikat. Tanpa meminta persetujua
“Wah, kalo masalah itu saya gak ikut campur, deh.”Salsa melihat Dira yang tadinya sudah berada di sekolah kembali lagi menuju parkiran. Sebelum sempat anak kecil itu berdiri di antara dua orang dewasa yang ribut masalah lomba, atau sebenarnya cinta, Salsa lebih dahulu menjauhkan Dira.“Dira sayang, ayok kita ke kantor. Mama sama ayah kamu lagi ada yang dibicarain sebentar. Kita gak boleh ikut campur masalah mereka, oke?” kata Salsa pada anak kecil itu, sedangkan Angga dan Maya saling diam."Kenapa Dila gak boleh ikut?" Salsa memutar otak, tapi tidak juga menemukan alasan yang tepat. "Pokoknya kita gak boleh ikut campur, Dira. Kita masuk lagi ke sekolah, ya?"Dira menurut saja ketika Salsa memegang tangan dan membawanya pergi. Kelegaan menyeruak dalam diri Salsa karena berhasil menyelamatkan Dira dari situasi yang benar-benar tidak terduga ini.“Kamu mengerti atau tidak perasaan saya, Lia?” Angga mengulang perkataannya.Suara berat itu menyapu pendengaran hingga dada Maya berdesir ha
“Angga kenapa, sih?”Maya mengamati buket mawar di tangannya. Selesai makan tadi, Angga langsung kembali ke kantornya. Laki-laki itu juga tidak berbicara sepatah kata apapun, sehingga membuat Maya semakin bingung.Bunyi notifikasi di ponsel Maya sejak tadi tidak berhenti. Maya meletakkan buketnya di meja rias, kemudian menilik apa yang sedang hangat dibicarakan oleh orang-orang di grup guru. Ternyata tidak lain dan tidak bukan mengenai lomba yang akan dilaksanakan besok.Maya hanya menyimak, tidak berminat untuk bergabung. Seperti biasa Salsa yang paling banyak bersuara di sana.Lalu satu notifikasi dari pengirim pesan yang lain masuk ke ponsel Maya.Bisma pengirimnya.[May, besok kamu ikut lomba apa?] tanyanya.Maya mengetik apa adanya. [Belum tau, sih. Liat besok aja. Emang lombanya ada apa aja?]Tidak lama setelahnya Bisma mengirimkan susunan acara yang dilaksanakan besok. Agenda terakhir di jadwal adalah lomba-lomba yang dilakukan oleh siswa dan guru seperti tarik tambang, balap k
“Kesambet, Pak?!” Han harap-harap cemas dengan keadaan Angga yang jauh dari kebiasaan. Laki-laki itu sudah bersiap memanggil dukun seandainya Angga memang tidak bisa diselamatkan. Sejak tadi atasannya tidak berhenti tersenyum dan tertawa sendiri. Han sadar tidak termasuk dalam fokus Angga. Tahu tidak dipedulikan, Han yang tadinya agak takut mendekat lekas berdiri di samping Angga dan menaruh dokumen secara sembarang di meja. Laki-laki itu memberanikan diri untuk mengguncang tubuh atasannya. “Pak Angga jangan gila!” “HAANN!” Angga menyorot dengan marah. “Apa yang kamu lakuin ke saya?!” Han mundur beberapa langkah, takut diamuki. “Ya saya kira Bapak lagi kesurupan. Salah siapa senyum-senyum sendiri kayak orang gak waras.” Angga membenarkan jasnya, lalu menghela napas dalam. Ungkapan cinta Maya telah menghinoptis membuat Angga tidak bisa berhenti memikirkannya. Meski masih diperhatikan oleh Han, Angga bersikap untuk tidak peduli. Laki-laki itu memilih menghadapi laptop dan memilih
“Eh tau gak kalo Pak Angga ternyata udah punya pacar?” “Masa, sih? Gak percaya!” “Iya, sih, susah dipercaya apalagi katanya pacar Pak Angga itu guru.” “Astaga, makin gak percaya aku. Masa orang sekeren Pak Angga pacarannya sama guru. Mustahil banget!” Wanita dengan rambut kucir kuda itu mengambil lipstik dari tasnya, lalu melihat lawan bicaranya dengan heran. “Emang dapat gosip dari mana, sih? Ada-ada aja.” “Budi yang nyeritain. Dia bilang ketemu Pak Angga sama pacarnya di kondangan.” Wanita dengan rambut tergerai itu menjelaskan, sedangkan tangannya sibuk menyapukan bedak ke wajah. “Budi?” Ada nada tidak percaya di dalamnya. Senyum penuh ledekan dilemparkan pada kawannya itu. “Heh? Emang kondangannya anak siapa sampe Budi bisa satu tempat sama Pak Angga? Gila ngaco banget tau gak.” Wanita dengan rambut tergerai mengangkat bahu tak tahu. Terlepas dari benar atau tidaknya berita itu, dia tidak ingin terlibat terlalu jauh. “Iya, sih. Emang mustahil Budi bisa satu tempat sama Pak An
“Apa, sih, maunya Angga?!” Maya memijat pelipis, berakhir dengan sungutan kesal dan meninggalkan Angga dengan Bisma di koridor. Baiklah, sekarang Maya tidak peduli dua orang laki-laki itu dewasa itu akan bertengkar karena pikirannya telah terbawa arus lain. Segala tindakan Angga yang membuatnya merasa ‘dicintai’ membuat Maya pening. Apa sebenarnya motif laki-laki itu? “Mama kenapa?” Dira bertanya dengan raut khawatir, sedangkan Maya hanya menggeleng pelan. Wanita itu merasa tertangkap basah. “Mama gak papa, kok, Sayang.” Maya tersenyum pada anak kecil di sampingnya. Kalau sampai ditegur begini, berarti emosinya benar-benar menguar keluar, bukan? Anak kecil itu masih menatap Maya seperti mencari jawaban lain di sana. “Ayok, kita main lego blocks aja, Sayang.” Maya berusaha mengalihkan pembicaraan. Wanita itu mengambil tas Dira, lalu mengeluarkan isinya. “Yey! Dila mau buat lumah, Mama!” kata Dira antusias. Anak kecil itu kemudian mengambil beberapa blocks dan mulai membangun imaj
“Libur semester nanti kamu pulang ke Jawa?” tanya Maya pada Angga. Saat itu mereka berada di kelas sepuluh dan berangkat sekolah. Aktivitas yang akhir-akhir selalu mereka lakukan bersama. Mereka baru sampai di gerbang sekolah dan melihat siswa laki-laki sangat antusias bermain bola di lapangan. Apakah mereka tidak takut berkeringat dan membuat kelas berbau tidak nyaman? Aih, menurut Maya, mereka tidak keren sama sekali. Mereka berbeda dengan laki-laki di sampingnya yang selalu wangi. Maya jadi penasaran, parfum apa kira-kira yang digunakan Angga? Namun, pikiran gadis itu segera teralihkan ketika Angga menjawab pertanyaannya. “Mungkin enggak. Masih belum tau.” Maya melihat Angga dengan alis Maya bertaut heran. “Emang kenapa gak pulang?” Laki-laki itu sedikit melirik ke arahnya, lalu mengendikkan bahu. “Entahlah. Kayaknya karna takut disuruh-suruh selama liburan. Lagian libur semester paling cuma seminggu.” Maya tertawa. “Iya, sih. Aku setuju. Kalo liburan biasanya bakalan disuru