MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 4
Ting!
Sebuah nomor baru mengirim pesan ke gawaiku. Ah, paling orang nyasar.
Ting!
Pesan kedua kubuka dengan mulut menganga, dan pandangan yang tiba-tiba mengabur.
Oh tidak! Jangan... Ini hanya mimpi kan!!
[Mas, aku sekarang ada dirumah. Kamu dimana?][Mas, cepatan pulang, aku lelah banget mau istirahat. Sekalian beli makanan, aku lapar tadi di bandara nunggu jemputannya lama.]Ya ampun, oh tidak. Tak mungkin!"Kenapa sih, Mas kayak orang kesurupan gitu, mondar-mandir ga jelas!" rutuk Marni.
"Rina, Dek. Rina ada dirumah. Aduh gimana ini! Mati aku!" keringat dingin berjatuhan. Gimana ini, kalau dia bertanya uangnya aku harus jawab apa. Rumah kami juga aku renov sekadarnya saja.
"Ya udah, samperin sana. Pura-pura senang saja. Lalu minta uang yang dia bawa."seloroh Marni yang ada benarnya juga. Rina pasti masih wanita polos seperti dulu, aku yakin itu.
"Oke, oke Mas pulang dulu. Kamu jangan telepon-telepon Mas dulu ya. Sementara Mas ga bisa kesini sering-sering."tuturku sambil memakai jaket dan mengambil helm. Biar Rina menyangka aku memang mencari kerja sesuai alasanku nanti.
Jantungku berdebar-debar bukan karena akan bertemu Karina. Tapi, lebih kepada khawatir jika istriku itu marah jika tahu uang yang dua kumpulkan bertahun-tahun habis olehku. Ah, emang harus begitu kan? Aku kan kepala keluarga, aku yang berhak atas dia. Uang istri uang suami juga kan?
Sesampainya dirumah, seorang wanita dengan pakaian modis, rambut tergerai indah. Jelas sekali kalau pemilik rambut itu adalah wanita yang pandai merawat diri. Kulitnya begitu putih, dari jarak beberapa meter aku tak bisa mengenalinya karena posisi wanita itu yang membelakangiku. Mungkin teman Rina."Mas..."
Perempuan itu berbalik badan saat motorku berhenti tepat di halaman rumah.
"Karina?"
Karina tersenyum, ya Allah, wanita ini ternyata istriku. Tak ada lagi Rina yang dekil, kusam. Rambut yang kusut tergelung asal. Dari ujung rambut hingga ujung kaki, Rina tampak sangat sempurna. Bibirnya dipoles lipstick merah muda, begitu menggoda.
"Maaf aku ga ngabarin, mau buat kejutan."ujarnya. Sungguh kejutan yang membuat bukan lagi terkejut tapi benar-benar merasa berada bertemu bidadari, seketika cinta itu bersemi, rindu menggebu.
"Dek, Mas rindu!"
Aku mendekati Rina hendak memeluknya.
"Eh, jangan peluk-peluk! kamu bau!" kekehnya yang membuatku mengurungkan niat.
Aku tersipu, Rina benar-benar mengemaskan. Tak sabar aku membuka pintu rumah. Rumah yang jarang aku tempati, bahkan hampir tak pernah
"Hayo sayang, masuk." aku menarik tangannya, tapi dengan lembut tangan mulus itu melepaskan tanganku.
"Aku bisa sendiri!"pungkasnya.
Lagi aku hanya bisa menggusap tengkukku, kenapa jadi canggung begini dengan istri sendiri. Wangi tubuh Rina menguar saat aku berdekatan dengannya. Ya ampun, kenapa hasrat ini begitu menggelora melihatnya.
"Raffi mana, Mas?"tanya Rina. Matanya liar menatap keadaan rumah, membuat jantungku dad-dig-dug tak menentu.
"Raffi di rumah Ibu, Dek." jawabku dengan terus membuka jendela rumah ini. Udara pengab perlahan hilang
"Kok rumahnya berdebu begini? kamu gak pernah bersihin ya, Mas?"tanya Rina, tangannya sibuk menepuk-nepuk telapak tangan yang tak sengaja terkena debu. Satu persatu meja, lemari bahkan kaca yang tersangkut di dinding pun dia colek, yang meninggal bekas hitam di jarinya.
"Mas, ga sempat, Dek. Namanya laki-laki. Mas sibuk cari kerja." kilahku.
"Mencari kerja setiap hari?mencari kerja apa mencari istri muda!" datar tapi mencekik.
Degh!
"Ja--jangan gitu, Dek. Mas lelaki setia kok." desisku gugup.
Rina sekarang masuk ke kamar tidur kami. Kasur yang sudah lama tak kutiduri tampak kotor. Rina berdecak kesal. Bibir tipisnya yang makin ranum itu mengerucut. Rina bak seorang audit yang sedang melakukan sidak, semua ruangan dia sisir. Dan aku seperti kacung yang mengikuti derap langkahnya dari belakang.
"Dek, kamu ga kangen sama, Mas?" panggilanku diabaikan. Rina terus melangkah menuju dapur, dapur yang berantakan piring kotor yang entah kapan teronggok disana menyisakan bau yang menyengat.
"Dek...!" Rina menoleh, mata indahnya menatapku penuh tanda tanya.
"Nanti Mas, beresin. Sekarang kita ke kamar aja, yuk. Mas kangen." lagi aku mendekati Rina. Perempuan itu dengan angkuh berlalu meninggalkanku.
"Beresin sekarang, Mas! Aku akan kesini lagi dua jam lagi!" Rina berlalu keluar rumah, mengutak-atik gawai nya yang tampak bagus.
Tak lama sebuah mobil datang menjemput.
"Sayang! kamu mau kemana?"jeritku saat melihat Rina berjalan kearah mobil itu.
"Sebelum rumah ini bersih dan rapi, aku tak mau tinggal disini!"sahutnya sebelum menghilang dibalik pintu mobil yang kemudian tertutup rapat.
Sumpah! Kenapa aku seperti orang beg* begini ya? Bahkan aku tak bisa menyentuh istriku sendiri. Rencana hendak memarahinya karena tak mengirimkan uang, menguap begitu saja. Yang ada rasa sungkan dan merasa ga enak padanya.
Rina seratus delapan puluh derajat berubah. Apa begitu setiap wanita yang pulang dari luar negeri? Padahal menurut Rina dia hanya menjadi operator produksi. Terkadang ada rasa heran seorang operator produksi bisa mengirim uang dalam jumlah yang lumayan banyak tiap bulan. Apa pekerjaan Rina benar hanya itu saja, apa dia jual diri? Awas saja kau Rina!
Ting!
[Jangan kebanyakan bengong, Mas! Aku tak bisa menunggu lama! Buruan bersihin rumah sekarang juga!]
Pesan dari Rina. Sial*n kenapa dia tahu aku masih bengong menatap jalanan yang sudah tak ada lagi mobil yang membawa dia.
Gegas aku mengambil sapu, membersihkan rumah yang seperti sarang hantu ini. Debu berterbangan. Huff, menyebalkan sekali Rina. Seharusnya tugas membersihkan rumah ini tugas dia. Tapi, tak apalah aku mengalah. Nanti setelah uangnya dia serahkan padaku, baru tanduk ini kukeluarkan.
"Bim... Bima...!"
Suara motor berhenti didepan rumah diiringi suara teriak Ibu.
"Apa sih, Bu?"keluhku. Tak tahu apa aku sedang kerja rodi membersihkan rumah sendirian.
"Anakmu Raffi, halunya sudah kebangetan. Cepat bawa ke psikolog. Main hape mulu jadi kayak anak ga waras gitu."tuduh Ibu asal."Halu gimana sih, Bu?" sapu yang sedari tadi kupegang kuletakkan dan berjalan ke arah Ibu.
"Itu, dia bilang malam ini mau nginep di rumah Ibunya. Ibu khawatir anak kamu itu kalau ga kena sambet, kemungkinan pengaruh hape."jelas Ibu dengan muka kesal.
"Emang Ibunya sudah pulang, Bu."tampikku membuat mata ibu membelalak.
"Serius kamu?"aku mengangguk lemah.
"Waaah, mana jatah Ibu? Ibu sudah tak sabar ingin beli cincin biar orang-orang makin iri sama, Ibu." sembur Ibu yang membuatku makin lemas.
"Lho kamu kenapa?"tanya Ibu melihatku berlalu meninggalkan Ibu. Ibu ini tak ada topik selain uang dalam pikirannya.
"Ibu bantuin Bima dulu deh, baru nanti bahas uang."dengusku lalu kembali mengambil sapu yang tadi kupakai.
"Kalau itu mah, ibu siap!" Ibu bergegas masuk, menyingsingkan lengan baju dan mulai beres-beres. Lumayan aku dapat bantuan. Doni kusuruh menyapu halaman, enak saja dia mandorin.
Hari mulai beranjak petang. Rumah kembali bersih, tinggal menenangkan Ibu dan Doni yang merengek minta beli makanan. Uang dari mana?
"Sabar, Bima telpon Rina dulu, Bu."
Panggilanku dijawab.
"Malam ini aku dan Raffi nginap di rumah teman. Besok aku pulang."
"Tapi, Dek...!
Tut Tut!
Suara telepon dimatikan sepihak.Buj*gh, makan apa ini? Ga ada makanan apapun disini. Uang juga ga ada.
Dia malah enak-enakan nginap dirumah temannya."Bim! Mana makanan nya?" teriak Ibu.
Au ah elap!
Lavaaaarrrr...!BersambungMATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 5Pagi ini cacing diperutku mulai berdemo, demo yang mulai anarkis karena dari kemarin belum di isi nasi. Ibu yang tak kuat menahan lapar, pulang dengan Doni. Menyebalkan sekali, enaknya bareng-bareng. Giliran susah tanggung sendiri, nasib... nasib.Suara mobil terdengar dari luar."Bu, Raffi ga mau tinggal disini, di rumah tadi aja."rengek Raffi yang terdengar olehku."Sabar, sayang."sahut perempuan yang kupastikan itu adalah Karina.Duh, kenapa jantungku berdebar-debar begini."Assalamu'alaikum..."salam mereka serentak."Wa'alaykumussalam..." jawabku dan membuka kan pintu.Wajah cerah Karina tersenyum tipis, tanpa menyalami tanganku terlebih dahulu, Karina masuk kerumah."Dek, kamu ga salaman dulu sama suami sendiri!"hardikku."Oh...!" Rina berhenti melangkah lalu menoleh padaku."Maaf, suamiku sayang. Lima tahun di negri orang membanting tulang memeras keringat, hampir membuatku lupa jika aku memiliki suami!"pelan tapi tajam. Sekilas Karina mer
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 6Motorku dan Doni sudah sampai dihalaman rumah. Diiringi mobil yang membawa Karina dan Raffi berikut algojonya. Gil*! Rina benar-benar tak seperti Rina lima tahun lalu. Wajahnya yang makin cantik malah bertambah angkuh. Sebenarnya apa pekerjaan dia di Taiwan? Aku tak yakin jika hanya seorang operator produksi, bod*h nya aku tak pernah peduli soal itu."Bim... Ibu ga mau terseret urusan rumah tangga kamu! setelah sertifikat rumah itu kamu ambil, buruan pergi dari sini. Urusan kamu dengan Karina dan Marni, Ibu jangan dilibatkan!"cecar Ibu pelan.Astaga naga! Aku lupa tentang Marni. Semoga saja Rina tak tahu jika aku sudah menikah lagi. Kenapa urusan menjadi rumit begini."Sssst... Ibu ga usah sebut-sebut nama itu. Nanti Karina dengar!"rutukku. Bisa dikutuknya nanti aku."Cepet, Mas! nunggu apa lagi!"bentak Rina. Aku dan Ibu bergegas masuk kerumah. Kalau saja Rina tak membawa bodyguard sudah kutampar muka angkuhnya itu."Dek, kita masuk dulu, yuk.
Dua hari tak ada kabar dari Rina. Hanya kemarin dia meminta menyiapkan semua perlengkapan Raffi, karena Raffi mau di pindahkan ke pesantren. Daripada di rumah main gawai terus, begitu alasannya. Terserah dia saja kalau masalah itu, bukankah itu lebih baik. Kewajibanku memberi jajan dan menjaga Raffi jadi berkurang.Sorenya seorang laki-laki menjemput semua barang-barang Raffi. Sempat kutanyakan alamat Karina. Tapi, dia tak mau menjawab.Syukur juga sih, berharap Rina lupa dengan tabungannya. Kalau rumah jelek itu, biarkan saja dia ambil. Toh, itu memang miliknya. Aku sudah punya rumah yang kubeli untuk Marni. Rina minta cerai pun tak masalah, masih ada Marni."Apa Ibu bilang, dia cuma gertak sambel doang. Mana berani dia kesini mencelakai kita. Mungkin juga duitnya habis, ga mampu lagi bayar bodyguard, secara hanya TKW bukan pengusaha hahahaha." tawa ibu membahana.Aku hanya menimpali sekadarnya karena lagi fokus chatting dengan Marni yang semlohai.[Sayang, udah mandi belum?] pesanku
Drrttt drrttt drrtttPonselku berbunyi dari tadi, lelah masih tersisa setelah pertarungan tadi."Mas, gawaimu dari tadi bunyi terus."seru Marni sambil menggoyang-goyangkan tubuhku."Apa sih, Dek. Mas masih ngantuk."sahutku dengan nada berat khas orang mengantuk."Itu dari tadi ada yang nelpon, coba lihat kali penting." Marni menyodorkan gawaiku. Dia yang sudah mandi mengeringkan rambutnya."Halo...!""Bimaa...! Buruan pulang, mobil Ibu mau dirampok. Buruan pulang...huhuhu." suara Ibu melengking diiringi tangis histeris."Ya ampun, siapa yang mau merampok, Bu?" aku yang tadi tiduran langsung bangun. Marni ikut menghampiri dan duduk disampingku."Istrimu! Dia mau membawa mobil dan motor Doni. Buruan pulang, Bim! Ibu ga mau mobil Ibu dibawa. Ibu ga mau! pokoknya ga mau...!" aku menjauhkan telepon dari telingaku, suara Ibu membuat telingaku berdenging sakit."Oke, oke Bima segera pulang. Bilang Karina, tunggu Bima sampai dulu, ya Bu!" aku menutup telepon, bergegas mandi dan berpakaian. "
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 8"Sayang, please. Jangan seperti ini. Kita bicarakan lagi baik-baik, lihat kita menjadi tontonan warga." aku mendekati Rina. Wanita cantik itu bahkan tak mau menatapku. Pandangannya lurus ke depan dengan tangan bersedekap di dada."Bima, usir mereka! Apa kata teman-teman arisan Ibu, kalau mereka melihat ini."cecar Ibu frustasi.Sebagian dari mereka memegang gawainya dan mengarahkan kepada kami."Biarkan saja sih, kapan lagi kalian viral dan menjadi artis dadakan."ucap Karina santai, tega sekali dia."Sayang, tolonglah. Mas minta maaf, memang uang tabungan kita terpakai oleh Mas. Tapi, Mas janji akan membayarnya. Ingat sayang, kita ini suami istri."rayuku. Rina diam saja saat aku memegang pundaknya. Ya ampun, Rina-ku yang sekarang sangat beda. Kulitnya halus terawat, bahkan wangi tubuhnya tercium olehku."Kamu kemana kan uang itu?"tanyanya sambil menghempaskan tanganku yang sedang menyentuhnya."Hmm... anu Sayang, anu... hmm... untuk membeli mob
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 9Aku menatap nanar kertas yang tergeletak di atas nakas itu. Surat panggilan dari pengadilan Agama. Rina menggugat cerai, berani sekali dia. Siapa yang mengajarinya menjadi pembangkang begini?Dulu dia begitu penurut dan tak banyak membantah, meski kusuruh bekerja keluar negeri, terpisah dengan Raffi yang saat itu masih berusia lima tahun.Kepalaku masih terasa berat. Kucoba untuk bangun ingin melihat keadaan diluar."Buruan Dino, jangan malas!"teriak Ibu kudengar samar-samar dari luar.Pasti Ibu dan Doni sedang membereskan kekacauan yang tadi dibuat bodyguard nya Rina. Memang keterlaluan istriku itu."Kamu sudah sadar?" Ibu datang dan duduk dipinggir ranjangku. Ranjang yang kupakai bersama Rina jika menginap dirumah Ibu."Kepala Bima masih pusing, Bu." lirihku sambil memijat kening."Kamu sih segala pake dikasih surat-suratnya. Jadi pusing sendiri kan?"sesal Ibu."Kalau ga dikasih, rumah Ibu diobrak-abrik, emang Ibu ikhlas?" desisku. Baru diber
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 10"Heh, apa-apaan kalian!" dua orang bodyguard itu masuk ke rumah. Marni yang berusaha menghalangi dipegangi oleh salah satu diantara mereka."Lepaskan!" Marni berontak, tapi tak berdaya. Aku juga berusaha menghalangi mereka tapi aku takut tewas hari itu juga. Tato tengkorak dilengan salah satu dari mereka membuatku kian tak punya nyali.Satu persatu perabotan didalam rumah dibawa. Televisi dan sofa sudah berpindah keluar rumah."Tolong... tolooong!" teriak Marni membuat warga mulai berdatangan. "Mbak Marni ini kenapa?" tanya salah satu warga yang terlihat prihatin."Mereka mau merampok rumah saya dan isinya, Bu. Tolong panggilkan Pak RT!" pinta Marni yang sudah berurai air mata.Belum sempat aku melarang, perempuan setengah baya tetangga Marni itu sudah berlari cepat. Pasti menuju rumah Pak RT. Aduh, jadi panjang urusannya.Karina yang duduk didalam mobil cuek saja sambil memainkan gawainya.Terbuat dari apa hati wanita itu. Tok tok tokAku me
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 11Hati siapa yang tak mendidih saat hasil jerih payahnya dihabiskan begitu saja. Yang lebih menyakitkan dia memakai uang yang kutabung untuk menikah lagi.Berkali-kali kutatap foto pernikahan yang dikirim Nana padaku. Nana adalah teman akrabku dari kecil. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Menurut Nana sejak Mas Bima menikah rumah itu tak pernah lagi dia tempati, keterlaluan.[Pulanglah, Rin. Tak ada keuntungan kamu disana kecuali nanti hanya akan mendapatkan kekecewaan. Raffi juga kecanduan gadget. Mereka hanya mengambil uangmu tanpa menunaikan kewajibannya.]Aku mengusap air mata yang tak henti mengalir."Hey, kamu! Kenapa disini! Kembali bekerja!" bentak seorang laki-laki dengan bahasa Mandarin. Dia yang kuketahui adalah anak dari yang punya perusahaan ini.Ya Allah aku kaget luar biasa. Gegas kusimpan gawaiku dan merapikan penampilanku yang pasti kusut habis menangis. Tadi saat ke toilet iseng aku membuka gawai. Hingga aku membaca pesan Nana itu
"Sayang, kamu baik-baik saja." Mas Ahmad jelas tak melihat Jianheeng di bandara.Tapi aku dengan jelas bisa melihatnya. Aneh, kenapa dia bisa ada disini?"Oh, baik, aku baik-baik saja." Kami baru saja sampai di Taiwan."Mas, aku mau ke toilet dulu, ya." Aku pun bergegas berlari tanpa menunggu jawaban Mas Ahmad. Takut jika aku kehilangan jejak.Aku harus mencari tahu mau kemana perempuan itu, dari raut wajahnya terlihat dia sangat terburu-buru dan ketakutan.Dengan perlahan aku mengintip, ternyata dia mau terbang juga. Mau kemana dia?Setelah aku memastikan perempuan itu pergi, aku baru menemui Mas Ahmad. Dan kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah Mama. Sekalian mau menjemput Raffi dan Sarah."Wah, pengantin baru sudah pulang?" sambut Papa senang. "Ada kabar bahagia buat kalian." Lanjutnya.Kami saling beradu pandang."Apa, Pa?" tanya Mas Ahmad tak sabar."Jianheeng sudah tak akan pernah menganggu kalian lagi." Kata Papa yakin."Papa yakin?" Tanya Mas Ahmad."Sangat yakin. Dia di us
Aku menatap rumah yang kubangun dengan keringatku itu, kosong. Keputusanku sudah bulat, aku akan mengabdikan hidup pada suami. Walau sebenarnya Mas Ahmad tak keberatan jika aku di Indonesia dan dia disana. Tapi, aku tak mau mengambil resiko. Tak sedikit rumah tangga yang kandas karena hubungan jarak jauh. Aku tak mau itu terjadi untuk kedua kalinya.Mbak Narsih sudah aku pulangkan, tega tak tega. Karena dia begitu rajin dan royal dalam bekerja itu yang sangat aku suka."Sayang, apa tak ada lagi barang yang mau dibawa?" ujar Mas Ahmad setelah menutup tas terakhir berisi semua pakaian dan mainan Raffi.Aku menggeleng, kurasa sudah semua.Surat keterangan pindah dari sekolah lama Raffi pun sudah aku kantongi. Tinggal, bisnis telah dibangun itu yang belum kutemukan solusinya.Sekiranya Nana tak mengkhianati kepercayaanku pasti aku tak seresah ini.[Karin, maafkan aku. Plis, Rin jangan hukum aku, aku mengaku khilaf.]Pesan dari Nana lagi.[Na, temui aku di toko dua puluh menit lagi.]jawab
Aku memijit keningku, Mas Ahmad terus memegang tanganku seolah memberi kekuatan. Aku dilema harus tinggal di Taiwan dan meninggalkan kehidupanku disini. Atau tinggal disini meneruskan usaha, tapi dengan resiko suami digondol kucing garong."Sayang, Jangan terlalu dipikirkan. Jalani saja, mungkin Nana ingin merasakan apa yang kamu rasakan."Aku menghela nafas panjang, bagaimana dia ingin merasakan hasilnya saja. Sementara dia tak merasakan bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan semua ini. Memang jika melihat hasilnya siapa yang tak ingin. Tapi, kalau mereka merasakan apa yang aku rasakan selama menjadi TKW di negeri yang bahkan aku tak punya sanak famili satupun, mereka pasti juga enggan.***Selesai makan di sebuah restoran kami kembali kerumah. Rumah sudah sepi. Dan tampak juga rapi."Bu, ini kuncinya tadi Bu Nana menitipkannya." ucap Udin security rumah ini.Aku mengambil kunci itu, setelah mengucapkan terimakasih akupun berlalu.Rumah sudah rapi, dan tak ada lagi barang-barang m
"Wah, kejutan sekali kamu kembali, Rin." sambut Nana senang.Aku tersenyum tipis, rumah yang kutitipkan padanya sekarang seolah-olah menjadi miliknya sendiri. Berantakan, ceceran makanan memenuhi ruangan. Anak Nana yang masih berumur empat tahun itu berlompat-lompatan di atas sofa."Maaf, keadaan rumahmu seperti ini." Nana sepertinya menyadari atas ketidaksukaanku.Bukan aku melupakan kebaikannya. Tapi, dengan dia memperlakukan rumahku seperti rumahnya sendiri seperti ini, apa tidak lancang?Aku hanya menitipkan agar dia sesekali melihat keadaan rumah. Apalagi kami punya usaha bersama, yang sebenarnya itu juga merupakan usahaku yang kuserahkan penanganan sementara kepadanya."Siapa, Dek?" seru laki-laki dari lantai atas, lalu tanpa menyadari kehadiranku dia turun dengan bertelanjang dada."Astaghfirullah..." Lirihku.Nana terlihat tak enak hati."Mas, ada Karina. Kamu pakai baju dan cepat turun." desisnya.Aku membuang pandangan keluar jendela."Eh, Ibu sudah pulang?" Narsih art yang
***Aku sedang berkemas, ketika kulihat Mas Ahmad sedang sibuk dengan ponselnya. Tak biasa dia begitu serius menatap benda pipih itu."Siapa yang siapa mengirim pesan, Mas?" tanyaku.Mas Ahmad terlihat kaget dan menyembunyikan ponselnya dalam kantong celana.Wajahnya memucat, Ada apa sebenarnya dalam ponsel itu kenapa tiba-tiba raut wajahnya berubah? Aku berusaha biasa saja. Tapi, dalam hatiku sedang menaruh curiga. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan dariku."Ti-tidak ada apa-apa sayang, hanya Manager Mas yang mengabarkan perkembangan perusahaan." ujarnya nya gugup."Oh ya, sudah kalau gitu Mas sekarang istirahat lah. Besok pagi kita akan segera berangkat. Aku khawatir kamu kecapean. Apalagi kamu kan baru sembuh." ujarku.Mas Ahmad tersenyum lalu menarikku dalam pelukannya."Mas, aku belum selesai nanti kalau aku sudah selesai aku akan menyusulmu, oke?"Perlahan aku melepaskan pelukan Mas Ahmad. Dia membalikkan tubuhku dan mencium keningku sesaat."Jangan lama-lama, ya?" katanya ge
Jianheeng menatapku tajam, aroma ketakutan di wajahnya mulai memudar. Berganti wajah penuh kebencian."Kau baru mengenal Liu, Jangan berharap kau bisa mendapatkannya, dengar itu! Sebelum kau datang Aku sudah lebih dahulu mendapatkan hatinya. Jangan berbangga hati jika kamu sekarang menjadi istrinya. Karena nanti kau akan menangis ditinggalkan olehnya, dasar wanita kampungan!"Jianheeng menghempaskan tanganku dan berlalu dengan meninggalkan tatapan yang penuh kebencian. Namun Aku tak tinggal diam dengan cepat aku menarik tangannya kembali."Jangan pernah mimpi kau kan dapatkan Ahmad wanita murahan!" "Kau tak akan mendapatkan Mas Ahmadku. Persiapkan saja dirimu untuk sebuah kekecewaan!" LanjutkuLalu aku melepaskan tangan wanita itu sehingga dia tersungkur ke lantai. Aku pun meninggalkannya tanpa mempedulikan dia yang meringis kesakitan. Tekat ini sudah bulat aku tidak akan melepaskan atau membiarkan suamiku diambil lagi.Tak lama Mas Ahmad keluar dia sedikit heran melihat wajahku masi
"Karina, Jianheeng memang dulu kami jodohkan dengan Liu. Berharap Liu bisa melupakan Lian, mendiang istrinya. Tapi, kami tak pernah memaksa Liu. Karena Liu sendiri tak pernah peduli dengan Jianheeng."Papa menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya Papa sudah tahu apa yang terjadi. Kami sedang duduk dikursi panjang lorong rumah sakit pagi ini."Papa curiga, Jianheeng memasukkan obat tidur dosis tinggi kepada Liu. Agar bisa merebut Liu dari Karina, dengan cara tak pantas. Papa akan menyelesaikan semua. Papa janji. Tapi, Papa sangat berharap jangan tinggalkan Liu. Papa tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Karina meninggalkan Liu."Papa memijit keningnya, wajah tua itu tampak begitu lelah. Semalam beliau yang menjaga Mas Ahmad sendirian."Karina, Ahmad sangat mencintaimu. Papa bersumpah dengan nama Allah, bahwa anak Papa tulus mencintai Karina. Dia tak akan berani macam-macam. Papa jamin itu, jika dia berbuat yang tidak-tidak, Papa yang akan membuat dia menyesal seumur hidup."Air mata
"Kenapa baru menghubungi saya sekarang!" sesalnya dengan nada tinggi.Tanpa sempat menjelaskan, dokter itu telah menghubungi ambulance agar segera menjemput kesini.Mas Ahmad langsung dilarikan ke rumah sakit. Aku tak bisa berkata apa-apa. Dan akhirnya ikut bersama Mas Ahmad ke rumah sakit.Sesampainya disana, infus segera dipasang. Aku terduduk diluar karena belum diperbolehkan masuk.Hari sudah menjelang sore. Aku teringat Raffi yang dihotel sendirian. Segera aku menghubungi anakku itu, khawatir dia menelepon Mama dan Papa dan masalah makin runyam."Assalamu'alaikum, maaf Bu. Raffi ketiduran." ujar Raffi setelah beberapa kali panggilanku tak dijawab."Wa'alaykumussalam, oh syukurlah. Ibu kira kamu kemana, Nak. Raffi, udah makan?" "Alhamdulillah sudah, Bu. Tinggal sholat ashar yang belum, karena ketiduran." kekehnya."Ya sudah, setelah ini sholat ya. Oh ya, Ibu pulang agak malam. Raffi gapapa kan disana?" tanyaku memastikan."Gapapa, Bu. Aman InsyaAllah."Hatiku terasa lega. Aku bis
Seorang wanita dengan pakaian seksi berjalan angkuh melewatiku. Wangi parfumnya dapat tercium beberapa meter ke belakang. Aku pun meneruskan langkah hingga kami bertemu lagi dalam lift yang sama.Ternyata lantai yang kami tuju pun sama. Perempuan itu berjalan lebih dulu, bunyi high heels nya terdengar lantang beradu dengan lantai.Dia berbelok menuju arah yang sama denganku. Perasaanku mulai tak nyaman. Hingga benar, dia berhenti tepat didepan pintu kamar Mas Ahmad.Aku terpaku, perempuan itu bisa masuk tanpa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu. Mas Ahmad tak terlihat, kaki ini terasa menyatu dengan lantai yang kuijak. Tanganku dingin, tapi hatiku begitu panas.Dengan mengucap Bismillah, aku melanjutkan langkahku.Perlahan kubuka knop pintu. Tampak Mas Ahmad berbaring di ranjang dan ada perempuan itu yang membelai rambut kepalanya mesra. Mata suamiku terpejam rapat, apa dia begitu menikmati sentuhan itu.Brak!Pintu terbanting beradu dengan tembok dinding membuat kedua manusia itu te