MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 9Aku menatap nanar kertas yang tergeletak di atas nakas itu. Surat panggilan dari pengadilan Agama. Rina menggugat cerai, berani sekali dia. Siapa yang mengajarinya menjadi pembangkang begini?Dulu dia begitu penurut dan tak banyak membantah, meski kusuruh bekerja keluar negeri, terpisah dengan Raffi yang saat itu masih berusia lima tahun.Kepalaku masih terasa berat. Kucoba untuk bangun ingin melihat keadaan diluar."Buruan Dino, jangan malas!"teriak Ibu kudengar samar-samar dari luar.Pasti Ibu dan Doni sedang membereskan kekacauan yang tadi dibuat bodyguard nya Rina. Memang keterlaluan istriku itu."Kamu sudah sadar?" Ibu datang dan duduk dipinggir ranjangku. Ranjang yang kupakai bersama Rina jika menginap dirumah Ibu."Kepala Bima masih pusing, Bu." lirihku sambil memijat kening."Kamu sih segala pake dikasih surat-suratnya. Jadi pusing sendiri kan?"sesal Ibu."Kalau ga dikasih, rumah Ibu diobrak-abrik, emang Ibu ikhlas?" desisku. Baru diber
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 10"Heh, apa-apaan kalian!" dua orang bodyguard itu masuk ke rumah. Marni yang berusaha menghalangi dipegangi oleh salah satu diantara mereka."Lepaskan!" Marni berontak, tapi tak berdaya. Aku juga berusaha menghalangi mereka tapi aku takut tewas hari itu juga. Tato tengkorak dilengan salah satu dari mereka membuatku kian tak punya nyali.Satu persatu perabotan didalam rumah dibawa. Televisi dan sofa sudah berpindah keluar rumah."Tolong... tolooong!" teriak Marni membuat warga mulai berdatangan. "Mbak Marni ini kenapa?" tanya salah satu warga yang terlihat prihatin."Mereka mau merampok rumah saya dan isinya, Bu. Tolong panggilkan Pak RT!" pinta Marni yang sudah berurai air mata.Belum sempat aku melarang, perempuan setengah baya tetangga Marni itu sudah berlari cepat. Pasti menuju rumah Pak RT. Aduh, jadi panjang urusannya.Karina yang duduk didalam mobil cuek saja sambil memainkan gawainya.Terbuat dari apa hati wanita itu. Tok tok tokAku me
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 11Hati siapa yang tak mendidih saat hasil jerih payahnya dihabiskan begitu saja. Yang lebih menyakitkan dia memakai uang yang kutabung untuk menikah lagi.Berkali-kali kutatap foto pernikahan yang dikirim Nana padaku. Nana adalah teman akrabku dari kecil. Rumahnya tak jauh dari rumahku. Menurut Nana sejak Mas Bima menikah rumah itu tak pernah lagi dia tempati, keterlaluan.[Pulanglah, Rin. Tak ada keuntungan kamu disana kecuali nanti hanya akan mendapatkan kekecewaan. Raffi juga kecanduan gadget. Mereka hanya mengambil uangmu tanpa menunaikan kewajibannya.]Aku mengusap air mata yang tak henti mengalir."Hey, kamu! Kenapa disini! Kembali bekerja!" bentak seorang laki-laki dengan bahasa Mandarin. Dia yang kuketahui adalah anak dari yang punya perusahaan ini.Ya Allah aku kaget luar biasa. Gegas kusimpan gawaiku dan merapikan penampilanku yang pasti kusut habis menangis. Tadi saat ke toilet iseng aku membuka gawai. Hingga aku membaca pesan Nana itu
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 12"Mommy... " Mei-Yin, memelukku.Putri satu-satunya Tuan Liu sangat dekat denganku. Apalagi Mei-Yin sekarang tinggal di apartemen ayahnya. Hampir tiap malam gadis lima tahun itu diam-diam mengetuk pintu kamarku dan tidur bersama. Hingga tak jarang Tuan Liu memarahi gadis itu karena pagi-pagi sudah mengetuk pintu kamar ayahnya.Setelah satu setengah tahun bekerja sebagai sekretaris Tuan Liu aku memutuskan hendak pulang. Sejak mengetahui kebusukan Mas Bima, aku tak lagi mengirimkan uang seperti sebelumnya. Dia tak protes karena aku beralasan jika perusahaan sedang mengalami penurunan pendapatan. Belum tahu saja, sejak menjadi sekretaris Tuan Liu, gajiku lima kali lipat dari gaji sebelumnya."Kamu yakin, mau pulang?" Tuan Liu menatapku lekat.Aku mengangguk. "Saya harus menyelesaikan masalah rumah tangga saya, Tuan." ujarku berat. Sangat sulit mendapatkan pekerjaan dengan gaji sebesar ini. Pekerjaan yang tak begitu berat, bahkan terkadang aku han
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 13"Mas, kita kemana, nih?" Marni menepuk pundakku yang sedari tadi tak sadar masih memandangi mobil Karina dan Ferari mewah itu makin menjauh."Ke rumah Ibu lah, kemana lagi!" bentakku.Tak lihat apa aku lagi kesal, Karina pergi dengan laki-laki tajir melintir-lintir seperti itu. Harapan untuk tidak jadi bercerai rasanya makin tipis. Bener kata Karina, seharusnya aku selingkuh dengan wanita yang tajir juga, ini malah dapat yang kere nya sama, huff nasib...nasib kenapa otak tak mikir dari dulu-dulu ya.Modal bohai doang, begini kan jadinya. Kalau lagi apes, apesnya sama-sama."Mas, itu angkotnya." Marni dengan tubuh gempalnya berlari-lari kecil memberhentikan sebuah angkot yang lewat."Bang, berhenti! Kita mau numpang ke kampung sebelah!" teriak Marni sambil melambaikan tangannya.Angkot biru itu berhenti didekat kami."Mau numpang aja apa mau nyewa?" tanya sang supir.Ya ampun, ini manusia udah takut duluan kita ga bayar. Ya pasti dibayar lah, pa
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 14Hari makin meninggi. Hatiku masih dilanda kesal. Bisa-bisanya Karina melakukan hal ini padaku. Menggugat cerai tapi saat sidang pertama dia enggan datang. Dia kira dia siapa? Mentang-mentang banyak duit, trus menyerahkan semuanya kepada Pengacara. Huh! Sombong amat!Kulirik jam di gawaiku, sudah jam dua belas siang. Aku menyewa ojek mau menuju sekolahan Raffi. Raffi pasti tinggal bersama Karina. Aku bisa membututinya dari belakang.Sengaja aku turun agak jauh dari gerbang sekolah agar Karina tak melihatku. Aku yakin Karina yang menjemput Raffi. Pas sekali anak-anak baru saja bubar. Aku terus meneliti satu persatu anak yang keluar dari gerbang.Yes! Itu dia Raffi. Tak lama sebuah mobil berhenti didepannya. Aku harus mengikuti mereka. Aku bergegas ke tempat tukang ojek yang tadi sudah aku sewa. Sh*t! Mana dia? Aku mengedarkan pandangan ke segala arah. Tapi, tak kutemukan laki-laki itu. Ah, si*l, mana aku sudah bayar lagi. Mobil Karina mulai menj
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 15Baru sehari tak ada Marni, hidup ini terasa hampa. Berkali-kali aku mencoba menghubunginya tapi tak bisa. Nomornya tak aktif. Parahnya aku tak mengetahui nama akun Marni di aplikasi berwana biru yang biasa dia eksis. Huff, Marni Mas rindu...Mataku beralih ke nama Karina. Foto profil nya sudah berganti dengan foto dia sendiri, memakai kaca mata hitam, matanya lurus menatap lautan. Dengan rambut yang terbuai tertiup angin, cantik sekali.Ya Allah, jangan sampai aku terpisahkan dengan dua istri yang sangat kucintai ini.[Dek, Mas kangen.]Pesanku tak dibaca walau dia sedang terlihat Online.[Dek, tolong beri Mas kesempatan kedua. Mas akan berubah. Mas janji akan menjadi suami yang baik buat Adek.]Tapi, pesan itu tetap tak dibaca. Kucoba men-dial nomornya. Tak diangkat! Oh Karina, menguji kesabaran banget sih.Brak brak brak!Bukan lagi suara ketukan tapi sudah seperti suara gedoran."Bima! Bangun. Udah siang gini kamu masih tidur! Bantu ibu men
MATI KUTU KETIKA ISTRI TKW-KU KEMBALI 16"Mimpi apa Ibu semalam bakal terusir dari rumah Ibu sendiri huhuhu... Semua gara-gara kamu, Bima! Ga becus mengurus istri. Kalau saja istri mu itu ga ngelunjak kita ga bakalan begini."Ibu terus meraung sepanjang jalan. Memancing perhatian orang-orang dijalan."Bu, bisa diam ga sih Bu. Nanti kita di video in lagi. Viral lagi, kita udah jadi bahan gosipan Emak-emak kaum rebahan, yang sambil tiduran aja bisa melempar hujatan." paparku kesal."Huhuhu... Pantas teman-teman arisan Ibu, pada tahu. Mereka bilang ibu mertua k*ji, tak berkeprimertuaan. Huhuhu mereka bilang Ibu tega, mengisap darah menantunya. Bodohnya Ibu tak sadar jika mereka sudah tahu masalah ini. Mereka mulai menjauhi Ibu, huhuhu kalau seperti ini terus jantung Ibu bisa ga kuat menerima cobaan ini." Ibu memegang perutnya.Sejak kapan pula jantung pindah ke kampung tengah, Bu, Bu!Aku mengusap wajahku kasar. Melelahkan sekali menjadi orang susah ini. Ingin kerja juga aku sudah lelah
"Sayang, kamu baik-baik saja." Mas Ahmad jelas tak melihat Jianheeng di bandara.Tapi aku dengan jelas bisa melihatnya. Aneh, kenapa dia bisa ada disini?"Oh, baik, aku baik-baik saja." Kami baru saja sampai di Taiwan."Mas, aku mau ke toilet dulu, ya." Aku pun bergegas berlari tanpa menunggu jawaban Mas Ahmad. Takut jika aku kehilangan jejak.Aku harus mencari tahu mau kemana perempuan itu, dari raut wajahnya terlihat dia sangat terburu-buru dan ketakutan.Dengan perlahan aku mengintip, ternyata dia mau terbang juga. Mau kemana dia?Setelah aku memastikan perempuan itu pergi, aku baru menemui Mas Ahmad. Dan kami pun melanjutkan perjalanan ke rumah Mama. Sekalian mau menjemput Raffi dan Sarah."Wah, pengantin baru sudah pulang?" sambut Papa senang. "Ada kabar bahagia buat kalian." Lanjutnya.Kami saling beradu pandang."Apa, Pa?" tanya Mas Ahmad tak sabar."Jianheeng sudah tak akan pernah menganggu kalian lagi." Kata Papa yakin."Papa yakin?" Tanya Mas Ahmad."Sangat yakin. Dia di us
Aku menatap rumah yang kubangun dengan keringatku itu, kosong. Keputusanku sudah bulat, aku akan mengabdikan hidup pada suami. Walau sebenarnya Mas Ahmad tak keberatan jika aku di Indonesia dan dia disana. Tapi, aku tak mau mengambil resiko. Tak sedikit rumah tangga yang kandas karena hubungan jarak jauh. Aku tak mau itu terjadi untuk kedua kalinya.Mbak Narsih sudah aku pulangkan, tega tak tega. Karena dia begitu rajin dan royal dalam bekerja itu yang sangat aku suka."Sayang, apa tak ada lagi barang yang mau dibawa?" ujar Mas Ahmad setelah menutup tas terakhir berisi semua pakaian dan mainan Raffi.Aku menggeleng, kurasa sudah semua.Surat keterangan pindah dari sekolah lama Raffi pun sudah aku kantongi. Tinggal, bisnis telah dibangun itu yang belum kutemukan solusinya.Sekiranya Nana tak mengkhianati kepercayaanku pasti aku tak seresah ini.[Karin, maafkan aku. Plis, Rin jangan hukum aku, aku mengaku khilaf.]Pesan dari Nana lagi.[Na, temui aku di toko dua puluh menit lagi.]jawab
Aku memijit keningku, Mas Ahmad terus memegang tanganku seolah memberi kekuatan. Aku dilema harus tinggal di Taiwan dan meninggalkan kehidupanku disini. Atau tinggal disini meneruskan usaha, tapi dengan resiko suami digondol kucing garong."Sayang, Jangan terlalu dipikirkan. Jalani saja, mungkin Nana ingin merasakan apa yang kamu rasakan."Aku menghela nafas panjang, bagaimana dia ingin merasakan hasilnya saja. Sementara dia tak merasakan bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan semua ini. Memang jika melihat hasilnya siapa yang tak ingin. Tapi, kalau mereka merasakan apa yang aku rasakan selama menjadi TKW di negeri yang bahkan aku tak punya sanak famili satupun, mereka pasti juga enggan.***Selesai makan di sebuah restoran kami kembali kerumah. Rumah sudah sepi. Dan tampak juga rapi."Bu, ini kuncinya tadi Bu Nana menitipkannya." ucap Udin security rumah ini.Aku mengambil kunci itu, setelah mengucapkan terimakasih akupun berlalu.Rumah sudah rapi, dan tak ada lagi barang-barang m
"Wah, kejutan sekali kamu kembali, Rin." sambut Nana senang.Aku tersenyum tipis, rumah yang kutitipkan padanya sekarang seolah-olah menjadi miliknya sendiri. Berantakan, ceceran makanan memenuhi ruangan. Anak Nana yang masih berumur empat tahun itu berlompat-lompatan di atas sofa."Maaf, keadaan rumahmu seperti ini." Nana sepertinya menyadari atas ketidaksukaanku.Bukan aku melupakan kebaikannya. Tapi, dengan dia memperlakukan rumahku seperti rumahnya sendiri seperti ini, apa tidak lancang?Aku hanya menitipkan agar dia sesekali melihat keadaan rumah. Apalagi kami punya usaha bersama, yang sebenarnya itu juga merupakan usahaku yang kuserahkan penanganan sementara kepadanya."Siapa, Dek?" seru laki-laki dari lantai atas, lalu tanpa menyadari kehadiranku dia turun dengan bertelanjang dada."Astaghfirullah..." Lirihku.Nana terlihat tak enak hati."Mas, ada Karina. Kamu pakai baju dan cepat turun." desisnya.Aku membuang pandangan keluar jendela."Eh, Ibu sudah pulang?" Narsih art yang
***Aku sedang berkemas, ketika kulihat Mas Ahmad sedang sibuk dengan ponselnya. Tak biasa dia begitu serius menatap benda pipih itu."Siapa yang siapa mengirim pesan, Mas?" tanyaku.Mas Ahmad terlihat kaget dan menyembunyikan ponselnya dalam kantong celana.Wajahnya memucat, Ada apa sebenarnya dalam ponsel itu kenapa tiba-tiba raut wajahnya berubah? Aku berusaha biasa saja. Tapi, dalam hatiku sedang menaruh curiga. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan dariku."Ti-tidak ada apa-apa sayang, hanya Manager Mas yang mengabarkan perkembangan perusahaan." ujarnya nya gugup."Oh ya, sudah kalau gitu Mas sekarang istirahat lah. Besok pagi kita akan segera berangkat. Aku khawatir kamu kecapean. Apalagi kamu kan baru sembuh." ujarku.Mas Ahmad tersenyum lalu menarikku dalam pelukannya."Mas, aku belum selesai nanti kalau aku sudah selesai aku akan menyusulmu, oke?"Perlahan aku melepaskan pelukan Mas Ahmad. Dia membalikkan tubuhku dan mencium keningku sesaat."Jangan lama-lama, ya?" katanya ge
Jianheeng menatapku tajam, aroma ketakutan di wajahnya mulai memudar. Berganti wajah penuh kebencian."Kau baru mengenal Liu, Jangan berharap kau bisa mendapatkannya, dengar itu! Sebelum kau datang Aku sudah lebih dahulu mendapatkan hatinya. Jangan berbangga hati jika kamu sekarang menjadi istrinya. Karena nanti kau akan menangis ditinggalkan olehnya, dasar wanita kampungan!"Jianheeng menghempaskan tanganku dan berlalu dengan meninggalkan tatapan yang penuh kebencian. Namun Aku tak tinggal diam dengan cepat aku menarik tangannya kembali."Jangan pernah mimpi kau kan dapatkan Ahmad wanita murahan!" "Kau tak akan mendapatkan Mas Ahmadku. Persiapkan saja dirimu untuk sebuah kekecewaan!" LanjutkuLalu aku melepaskan tangan wanita itu sehingga dia tersungkur ke lantai. Aku pun meninggalkannya tanpa mempedulikan dia yang meringis kesakitan. Tekat ini sudah bulat aku tidak akan melepaskan atau membiarkan suamiku diambil lagi.Tak lama Mas Ahmad keluar dia sedikit heran melihat wajahku masi
"Karina, Jianheeng memang dulu kami jodohkan dengan Liu. Berharap Liu bisa melupakan Lian, mendiang istrinya. Tapi, kami tak pernah memaksa Liu. Karena Liu sendiri tak pernah peduli dengan Jianheeng."Papa menarik nafas dalam-dalam. Sepertinya Papa sudah tahu apa yang terjadi. Kami sedang duduk dikursi panjang lorong rumah sakit pagi ini."Papa curiga, Jianheeng memasukkan obat tidur dosis tinggi kepada Liu. Agar bisa merebut Liu dari Karina, dengan cara tak pantas. Papa akan menyelesaikan semua. Papa janji. Tapi, Papa sangat berharap jangan tinggalkan Liu. Papa tak tahu apa yang akan terjadi padanya jika Karina meninggalkan Liu."Papa memijit keningnya, wajah tua itu tampak begitu lelah. Semalam beliau yang menjaga Mas Ahmad sendirian."Karina, Ahmad sangat mencintaimu. Papa bersumpah dengan nama Allah, bahwa anak Papa tulus mencintai Karina. Dia tak akan berani macam-macam. Papa jamin itu, jika dia berbuat yang tidak-tidak, Papa yang akan membuat dia menyesal seumur hidup."Air mata
"Kenapa baru menghubungi saya sekarang!" sesalnya dengan nada tinggi.Tanpa sempat menjelaskan, dokter itu telah menghubungi ambulance agar segera menjemput kesini.Mas Ahmad langsung dilarikan ke rumah sakit. Aku tak bisa berkata apa-apa. Dan akhirnya ikut bersama Mas Ahmad ke rumah sakit.Sesampainya disana, infus segera dipasang. Aku terduduk diluar karena belum diperbolehkan masuk.Hari sudah menjelang sore. Aku teringat Raffi yang dihotel sendirian. Segera aku menghubungi anakku itu, khawatir dia menelepon Mama dan Papa dan masalah makin runyam."Assalamu'alaikum, maaf Bu. Raffi ketiduran." ujar Raffi setelah beberapa kali panggilanku tak dijawab."Wa'alaykumussalam, oh syukurlah. Ibu kira kamu kemana, Nak. Raffi, udah makan?" "Alhamdulillah sudah, Bu. Tinggal sholat ashar yang belum, karena ketiduran." kekehnya."Ya sudah, setelah ini sholat ya. Oh ya, Ibu pulang agak malam. Raffi gapapa kan disana?" tanyaku memastikan."Gapapa, Bu. Aman InsyaAllah."Hatiku terasa lega. Aku bis
Seorang wanita dengan pakaian seksi berjalan angkuh melewatiku. Wangi parfumnya dapat tercium beberapa meter ke belakang. Aku pun meneruskan langkah hingga kami bertemu lagi dalam lift yang sama.Ternyata lantai yang kami tuju pun sama. Perempuan itu berjalan lebih dulu, bunyi high heels nya terdengar lantang beradu dengan lantai.Dia berbelok menuju arah yang sama denganku. Perasaanku mulai tak nyaman. Hingga benar, dia berhenti tepat didepan pintu kamar Mas Ahmad.Aku terpaku, perempuan itu bisa masuk tanpa perlu mengetuk pintu terlebih dahulu. Mas Ahmad tak terlihat, kaki ini terasa menyatu dengan lantai yang kuijak. Tanganku dingin, tapi hatiku begitu panas.Dengan mengucap Bismillah, aku melanjutkan langkahku.Perlahan kubuka knop pintu. Tampak Mas Ahmad berbaring di ranjang dan ada perempuan itu yang membelai rambut kepalanya mesra. Mata suamiku terpejam rapat, apa dia begitu menikmati sentuhan itu.Brak!Pintu terbanting beradu dengan tembok dinding membuat kedua manusia itu te