Pagi ini aku kembali memulai aktivitasku dengan menyeduh kopi. Semalam Arka pulang, setelah membiarkan aku menangis hingga lelah.Kupikir dia akan bermalam, ternyata tidak. Dia tidak mau memberi kesempatan warga sekitar untuk berpikir negatif tentangku. Aku senang menyadari bahwa lelaki yang dekat denganku tak pernah berusaha untuk mengambil keuntungan.Arka memberiku libur selama tujuh hari. Itu berarti saat masuk kembali, statusku sudah berubah menjadi istri. Ada banyak gelombang rasa di hati. Takut, khawatir, sedih, bahagia ….Aku takut suatu hari nanti Arka mempermasalahkan statusku yang seorang janda. Bagaimanapun dia seorang lelaki yang belum pernah menikah. Mungkin saat ini dia memiliki pemikiran terbuka dan modern.Tapi tentang hati, siapa yang tahu? Bukankah hati sangat mudah terbolak balik? Apa aku siap menghadapinya suatu saat nanti?Bagaimana jika aku tak bisa memuaskan dirinya?Dia lelaki bebas. Mungkinkah dia tidak mempedulikan statusku, karena 'kebebasannya'? Bagaimana
Kami membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk sampai di kota asalku. Kota yang sama dengan tempat tinggal Akmal. Kami langsung menuju rumah sakit daerah, tempat ibu Akmal dirawat."Ka …, a--aku gugup." Aku meremas ujung kaos yang ku pakai."Kamu belum siap?" tanya Arka.Aku menunduk. Ternyata aku masih selemah ini. Seharusnya waktu bisa membuatku semakin kuat.Ayolah Marta! Kamu bisa! Kamu kuat! Aku terus menyemangati diriku sendiri.Arka menyodorkan sebotol air mineral yang telah dibuka sebelumnya. Aku segera menenggaknya. Menguras isinya hingga tersisa setengah."Ck, pelan-pelan." Arka memberiku selembar tisu. Beberapa tetes air menetes membasahi bagian atas kaos yang ku pakai."Setidaknya aku punya alasan tepat, kalau-kalau nanti terlalu sering ke kamar mandi," cengirku.Ponsel Arka kembali berdering. Lagi-lagi panggilan dari Akmal.Alih-alih mengangkat telepon, Arka mengabaikannya. Dia mengetik sesuatu sebentar. "Aku mengabarinya kalau kita sudah sampai," ujarnya tenang.Aku menata
Arka menarik dan memaksaku duduk."Ini rumah sakit," ucapnya tajam saat aku menolak. Amarah yang meledak kuat membuatku hilang akal.Akhirnya aku duduk menyandar di bangku dan memejamkan mata. Mencoba menenangkan hatiku sendiri. Sebanyak mungkin ku raup oksigen.Perlahan akal sehatku kembali. Tak sepatutnya aku berkata kasar, bagaimanapun Akmal hanya seorang anak. Tak ada anak yang mau membuat ibunya larut dalam kesedihan. Hanya caranya salah. Tak sepatutnya dia membawa Raina.Aku dan Raina bertengkar hebat karenanya. Ku akui Raina juga keterlaluan. Tapi dia ...."Ta." Suara Arka terdengar pelan. Saat mataku terbuka, ku lihat dia menyodorkan air mineral."Maaf, ada yang bernama Raina di sini?"Seorang perawat muncul dari ruangan ibu sebelum aku sempat meneguk air yang Arka beri.Mendengar namanya di panggil, Raina berdiri. Perutnya yang membuncit membuatnya terlihat semakin cantik. Dengan sigap Pak Har mendampingi Raina. Namun langkahnya dihentikan perawat."Maaf, hanya ibu Raina," uc
"Ada apa, May?" tanyaku heran saat melihat mata Maya membulat."I--ini?" Dia menunjuk sesuatu di bagian belakang gaun. Aku segera merebutnya, tak sabar dan juga khawatir terjadi sesuatu pada gaun cantikku.Sementara itu Arka terlihat tenang.Tak hanya Maya, akupun terkejut melihat sebuah logo berwarna perak menyembul disana. Nyaris tak terlihat karena tersembunyi di bagian dalam.Logo mungil yang hanya berisi huruf 'A' yang tertulis dengan sangat cantik. Itu sebuah tanda jika gaun yang akan kupakai besok hasil karya seorang desainer papan atas yang cukup misterius. Dia hanya membuat gaun pengantin berjumlah terbatas dalam satu tahun. "Arka, kamu bohong. Ini bukan gaun rancanganmu, kan?" Aku kecewa.Bukankah kemarin Arka bilang, dia merancang gaun untukku? Tapi kenapa gaun yang sekarang ada ditanganku berlogo 'A'? Seharusnya disana terdapat logo pink dengan simbol huruf 'Art', seperti gaun-gaun rancangan Arka yang terpajang di butik."Ta, ini keren, loh! Aku sangat menginginkan gaun p
Sosok Panji yang terlihat suram berdiri tegak di depanku. Dari belakangnya Pak Haris terlihat berlari mendekati kami.Aku masih belum bisa bersuara setelah sekian lama. Seolah ada sesuatu yang membuatku bungkam. Panji terlihat sangat kacau. Kemeja yang dia pakai terlihat kusut. Wajahnya yang tampan terlihat muram, seperti tertutup kabut.Matanya tajam menyorot lurus ke arahku. Aku seperti terintimidasi olehnya. Aku bahkan tak sadar jika Ita dan Maya sudah di sebelahku."Ta," gumamnya pelan. Sangat pelan, hingga hanya seperti hembusan angin."Kamu ..., cantik."Omong kosong apa ini? Dia tiba-tiba muncul dengan kondisi yang berantakan, dan hanya mengucapkan kata itu? Ingin kulepas sepatu dan melempar ke arahnya.Tidak adakah kata yang lain?Kata yang lain? Apa? Apa yang kuharapkan?Apa aku baru saja mengharapkannya memintaku mundur dari pernikahan ini?Aku ingin berteriak memakinya. Mengungkapkan putus asaku yang seperti dimainkan olehnya. Aku ingin mencakar wajah sombong, yang sayangny
Aku mengamati wajah lelaki yang saat ini sedang menikmati makan malamnya. Dia terlihat begitu menikmati, sesekali berkomentar tentang kelezatan hidangan yang di olah chef kepercayaannya.“Kamu suka?“ tanyanya entah untuk yang keberapa kali.Aku tersenyum. Arka membalas senyumku dengan lengkungan bibir, kadang diselingi kedipan mata.Sebenarnya aku tidak pernah memimpikan hal ini sama sekali. Tidak pernah terpikir jika aku akan dengan cepat menemukan pengganti Akmal. Belum setahun, bahkan masih dalam hitungan bulan.Rasa sakit itu masih ada, meskipun tidak jelas sakit kenapa. Entah karena kebodohan kami yang terlalu cepat emosi, atau karena perceraian.Tidak, aku yakin jika perceraian kami tidak pernah kusesali. Apalagi, sekarang di depanku ada sosok pengganti yang lebih dari mantan suamiku.“Jangan ngelamun, Ta.“ Arka mengelap mulutnya dengan selembar tisue.“Habis ini kita langsung pulang?“ tanyaku cepat.“Ngapain buru-buru?“ Lelaki yang dulu terlihat menyebalkan itu kini bertanya de
Aku memejamkan mata. Mencoba mengais ketenangan dalam pelukan Arka. Lelaki itu terus mengusap punggung dan juga kepalaku.Pelan dia membawaku menjauhi pintu kamar mandi. Hembusan nafasnya sesekali terdengar di telingaku. Sepertinya Arka sengaja melakukan itu, seolah dia ingin menunjukkan keberadaannya. Di sampingku.“Apa kamu tidak nyaman di sini?“ tanya Arka seraya membingkai wajahku. Memberi jarak hingga mata kami bertemu.“Sangat nyaman.“ Seandainya bayangan Akmal tidak muncul tiba-tiba tadi.Arka mengamatiku. Tatapannya seolah mencoba menembus dalam pikiranku. Aku tahu, dia mencoba mencari jejak kebohongan di sana.“Aku capek,” keluhku. Berusaha mengalihkan perhatiannya.“Tidurlah.“ Dia mendorongku pelan.Aku rebah diatas ranjang diiringi tatapannya yang berubah lembut. Dia membantu menutup badanku dengan selimut.“Ka, maaf!“ Aku sendiripun tidak tahu, kenapa aku meminta maaf. Entah maaf untuk apa, yang jelas aku merasa perlu mengatakannya.“Tenanglah, aku ada di sini untuk menjag
Ekspresi Arka tak terbaca. Namun, nada suaranya sangat jelas terdengar jika dia keberatan dengan tindakanku yang berani mengangkat panggilan dari perempuan itu.“Agh …! Dia pasti ngomong aneh-aneh, kan?“ geramnya.“Kenapa? Kamu terlihat takut,” ucapku dengan suara tenang.“Dia perempuan nggak jelas. Aku khawatir dia ngomong nggak bener ke kamu, Ta,” sangkalnya.Sikapnya aneh. Bisa jadi dia takut rahasianya dengan Tika terbongkar. Apa yang dia takutkan? Toh semalam dia sendiripun mengakui jika pernah berbagi nafas dengan perempuan itu.Jangan salahkan jika kemudian aku merasa tak nyaman. Aku tidak sedang merasa sok suci, tapi paling tidak aku pernah menikah. bukan seks bebas seperti mereka. Itu sangat menjijikkan.Aku janda, statusku jelas. Hanya dengan Akmal aku melakukannya.Pandanganku pada Arka berubah. Dia lelaki bebas, walau aku belum lama mengenalnya, sedikit banyak aku tahu bagaimana dia.“Kamu cuci muka dulu, biar seger,” ucapnya sambil menuang segelas susu.Wajahnya kembali s
Pulang adalah pilihan terakhir. Rumah ini terlihat sangat sepi. Namun, aku merasa setiap sudut tidak lepas dari sosok seorang Arka.Aku ingin menangis. Menikmati sesak yang semakin dalam menghujam.Rasa bersalah karena menyusupkan nama lelaki lain selain Arka, membuatku merasa jika Arka pantas melakukan ini padaku.Mungkin dia merasa, dalam hatiku belum sepenuhnya menerima dia.[Ka, pulang.] Tanpa sadar aku menulis pesan untuknya.[Aku kangen.] Entah kenapa kalimat singkat itu kuketik begitu saja.Tidak peduli kapan terbaca. Setidaknya aku berusaha mengungkapkan isi hati.Tanpa permisi, tiba-tiba saja kenanganku dengan Arka kembali datang. Awal pertemuan, lalu semua yang pernah kami lalui. Semua muncul tiba-tiba.Ada nyeri yang tiba-tiba menghujam. Saat bayangan pernikahan kami tertayang. Aku seorang istri. Namun, di hatiku masih belum bisa seutuhnya menerima. Masih ada nama lain yang tertulis indah, walau aku berusaha menghapusnya.Tidak. Aku tidak benar-benar menghapusnya. Aku hanya
Bodoh!Aku terus mengutuk kebodohanku sendiri. Sekarang, selain lemah dan tidak bisa apa-apa, cap apa lagi yang akan Panji sematkan untukku?Murahan?Ck!Aku meremas stang motor dengan kuat. Itu juga membuat laju motor semakin menggila.Tanpa peduli dengan apapun, aku terus melaju. Membiarkan angin menampar wajahku berkali-kali.Jalanan yang lengang di jam kerja membuatku merasa bebas. Mengumpat, memainkan gas dan melakukan apapun di atas kendaraan roda dua ini.Bahkan tanpa sadar aku berkendara semakin jauh. Bukan ke arah rumah Pak Har. Melainkan ke tempat sunyi yang pernah ku kunjungi.Saat ini aku hanya ingin sendiri. Menyepi, memuaskan diri merutuk juga mengutuk.Sendiri.Perjalananku berakhir di atas bukit, tempat yang pernah kukunjungi bersama Maya, Pak Haris dan juga Panji.Aku tetap duduk di atas motor. Mencoba mencari ketenangan di atas ketinggian.Suasana yang sedikit mendung, menyelamatkanku dari terik matahari.Pelan kulepas helm, dan meletakkan benda itu di gantungan yang
Kepalaku seperti berputar.Banyak kemungkinan dan bayangan buruk berjubel di sana.Jika benar perempuan itu Amel, berarti Arka menghamili gadis itu! Lalu, di mana mereka sekarang?Aku bergegas mengobrak abrik laci di meja Arka. Rasa marah begitu besar, hingga nafasku sesak.Arka brengs*k!!!Lelaki itu, apa maunya! Membuat seorang gadis hamil, lalu menikahiku? Gila!Apa dia dilahirkan oleh batu, hingga tidak bisa menjaga harga diri dan perasaan seorang perempuan?Umpatan masih terus bergaung di dalam hatiku. Sementara tanganku bergerak lincah mengeluarkan apa saja yang ada di dalam laci. Kertas, kain, alat gambar dan lain-lain.Tanpa kuduga, aku melihat selembar foto ikut terhempas. Penasaran kuambil dan mataku menyipit.Seorang anak laki-laki, tertawa lebar menghadap kamera. Sementara dua orang dewasa duduk mengapitnya. Keduanya merangkul anak itu dengan senyum mengembang.Ini Arka? Kernyitku saat mengamati foto itu lebih detail. Aku bahkan melihat pancaran rasa bahagia dari tiga soso
Jam sembilan kurang lima menit, terlihat sebuah motor berbelok dan berhenti di parkiran.“Mbak!“ Pengendara itu berteriak memanggil.“Ita,” sapaku. Perempuan itu membuka helm, lalu melepas jaket. Setelah mencabut kunci motor, dia bergegas turun dan menghampiriku.“Ngapain pagi-pagi nongkrong di situ?“ tanyanya heran.Aku tersenyum geli. “Nungguin kamu, Beb,” godaku.“Ih, geli!“ ucapnya sambil tergelak.Tangannya terlihat mencari sesuatu di tas. Tak lama, sebuah kunci yang sangat kukenal berhasil dia keluarkan.“Ini nggak dalam rangka sidak, kan?“ tanya Ita.“Enggak, aku cuma pengen main,” sangkalku.Ita membuka pintu utama butik. Aroma khas kain bercampur pengharum ruangan segera menyambutku. Suasana ruang display tidak ada yang berubah.“Mbak tunggu di ruangan Pak Bos aja, aku bersih-bersih dulu,” kata Ita yang sudah memegang alat kebersihan.Melihatnya, aku seperti kembali ke masa lalu. Hanya saja, dulu Bos galak itu memintaku datang lebih pagi dan membawakannya sarapan.“Mbak!“ Ita
Aku memutuskan tidur di penginapan bersama Maya. Nyaris semalam kami menunggu, kalau-kalau Amel muncul. Penantian yang sia-sia menimbulkan rasa lelah yang teramat sangat.Bertiga dengan Maya dan Agnes, kami berbagi tempat tidur. Beruntung pihak penginapan menyediakan ruang khusus untuk pegawai. Kondisi keuangan yang menipis, membuatku harus berhemat.Aku bahkan baru sadar, belum pernah menerima uang sepeserpun dari Arka.Arka, lelaki itu ikut menyedot pikiranku. Kemana dia? Apa mungkin dia berpikir aku masih di rah Pak Har? Karena itu tidak ada rasa khawatir di hatinya?Atau, jangan-jangan sesuatu terjadi padanya?Segera kuenyahkan pikiran buruk. Aku berharap, dimanapun dia saat ini semoga dalam keadaan baik-baik saja.***“Aku mau ke butik,” sahutku ketika Agnes menanyakan kegiatanku hari ini.“Oh, tapi sebelumnya kamu sarapan dulu, ya,” katanya sambil menunjuk area taman.Aku mengangguk dan kembali merapikan penampilan.Tanpa menunggu lama, aku segera menyusul gadis itu. Di meja tam
Cepat kucekal tangan Panji. Aku tidak mau ikut campur, tapi aku juga tidak mau Panji melakukan kesalahan. Cukup dua kali aku melihatnya berkelahi. Pertama dengan Pak Har, kedua dengan Arka.Sosok Aldi cepat masuk ke lobi. Seperti biasa, dia melempar senyum pada semua yang ada di ruangan ini.“Kamu bukannya masuk pagi, May? Ngapain nongkrong di sini?“ tanya lelaki itu tanpa merasa bersalah.“Kamu kemana aja?“ pancing Maya.“Ini kenapa pada heboh nanyain aku, sih? Berasa artis, deh,” kekehnya pelan.Panji semakin menengang. Semakin kuat pula cekalan tanganku di lengannya.“Ta, dosa, loh, ngegandeng laki lain.“ Aldi masih sempat menggodaku.Kepala ini berdenyut, sikapnya tidak menunjukkan jika dia baru saja membawa kabur anak orang.Kulirik Panji, lelaki itu sangat terlihat sulit menahan diri.“Di, dari mana aja kamu? Sesore ini kita kalang kabut nyariin. Ponsel kamu juga nggak aktif!“ Agnes tiba-tiba datang dan memberondongnya dengan pertanyaan.“Pulang kerja tadi langsung mancing, pons
“Aku harus ke penginapan sekarang!“ gumam Maya. Dia bergegas keluar kamarku.“May, aku ikut!“Maya menghentikan langkahnya. Menataoku dengan pandangan bingung. Tanpa banyak bicara, kutarik tangannya agar tidak membuang waktu terlalu lama.Sebagai resepsionis yang menyambut kedatangan Amel, kehadiran Maya pasti sangat diperlukan. Mungkin dia melihat siapa yang mengantar Amel, atau apapun itu.“Aku ambil tas sebentar,” katanya sambil melepas gandengan tanganku.“Oke, aku nyalain motor dulu, ya!“ Seruku sambil berjalan keluar rumah.Beruntung kunci motor biasa kami gantung di dekat pintu. Hal ini memudahkan saat keadaan mendesak seperti ini. Tidak ada drama mencari kunci motor yang pasti akan memakan waktu dan membuat suasana semakin tidak nyaman.Sesampainya di penginapan, semua pegawai memandang kami dengan tegang.Panji setengah berlari ke arahku. “Amel nggak cerita apa-apa ke kamu?“ cecarnya.Aku menggeleng. Raut wajah Panji terlihat sangat kacau. Urat di dahinya terlihat menegang.K
Pak Har seperti tidak ingin membahas tentang 'perempuan itu'. Bahkan hingga sore, dia tidak lagi muncul. Meski begitu, aku tetap berusaha berhati-hati saat berkeliaran di dalam rumahnya. Kamar Raina saja tidak lepas dari pantauan, apalagi ruangan lain.Seharian aku lupa tidak menghubungi Arka. Begitupun dengannya. Tidak ada pesan masuk di kolom percakapan kami.Tidak seperti hubungan orang lain, dimana hampir setiap waktu saling mengirim pesan. Tentang itu, aku bisa mengambil kesimpulan, aku baik-baik saja tanpa mendapat kabar atau apapun dari Arka.Entah karena hari ini aku terlalu sibuk, atau karena aku menikmati kebersamaanku dengan Raina.Perempuan itu merengek agar aku mau menginap. Tentu saja aku menolaknya dengan tegas. Bagaimana aku bisa tidur jika ada yang mengawasi disetiap sudut rumah ini?!Pak Har bilang, CCtv itu di pasang untuk memudahkannya mengetahui kondisi Raina. Bagiku itu hanya sekedar alasan. Aku khawatir lelaki tua itu sebenarnya seorang psikopat.Semoga Tuhan me
Airmata Raina mulai menggenang. Wajahnya terlihat semakin kuyu.“Kamu kenapa?“ tanyaku hati-hati.Kuberi elusan lembut di bahunya. Raina perempuan tegar yang selalu ceria. Dulu. Berbeda dengan Raina yang kutemui sekarang.“Aku tidak bisa hidup seperti ini, dia sangat menakutkan!“ Suara Raina sedikit tertahan.“Pak Har kasar? Suka memukul?“Raina menggeleng. Aku semakin bingung dibuatnya.“Dia sangat menginginkan anakku. Sementara aku tidak mau bersamanya. Aku ingin pergi, Ta. Bawa aku pergi dari sini, tolong ….“Suara Raina terdengar mengiba. Airmata masih terus mengucur, bahkan semakin deras.“Dia juga menginginkanmu, Na. Bukan hanya anakmu. Buktinya dia mencarimu, dan tidak melupakanmu, kan?“Raina menggeleng. Hormon kehamilan mungkin memengaruhinya. Aku berusaha menenangkan perempuan itu.“Masih sakit?“ tanyaku sambil mengelus perutnya pelan.Raina menggeleng.“Makan, ya?“ Kulirik nampan berisi sarapan yang belum disentuh.Lagi-lagi Raina menggeleng.“Hei, kamu tidak bisa berbuat s