Suasana duka menyelimuti ruang bawah tanah kediaman Marco-Polo. Robin dan lainnya mendekati tabung yang telah terbuka, tempat di mana Marco dan Polo tidur selama ini.
"Polo, sudahlah. Kita makamkan ayahmu," ucap Robin mendekati Kapten Tim seraya menepuk pundaknya pelan.
Polo mengangguk dan menghapus air mata kesedihan di wajahnya. Robin dibantu oleh Hugo menurunkan mayat Brian dari atas dinding yang tertancap sebuah tombak berwarna hitam.
Polo memegang tombak hitam yang terlihat tak biasa setelah ia amati. Mayat Brian yang telah mengering seperti mumi di baringkan di atas lantai ruang bawah tanah.
KLEK!
Polo tersentak berikut semua orang saat menyadari jika tombak itu bisa dipanjang-pendekkan. Kini, tombak hitam itu seperti sebuah tongkat sepanjang 30 cm. Ujung runcing di sisi kanan dan kiri tombak masuk ke dalam lubang tersebut.
Marco mulai bisa menenangkan diri setelah Irina mengelus punggungnya lembut dan terus tersenyum padanya.
Tak terasa, hari sudah berganti lagi. Polo membagi anggota timnya untuk segera menjalankan tugas pertama dari misi yang telah ia susun.Edward dan Ritz yang berada di helikopter tetap ditugaskan untuk menjaga benda terbang tersebut. Mereka menjadi pengawas di sekitar kawasan kediaman Lopez-Brian."Oke. Tugas mengamati perilaku para Monster aku berikan pada Irina dan—""Aku, aku! Biarkan aku menemani Irina, Polo!" sahut Marco langsung mengangkat tangannya tinggi."Oh, oke," jawab Polo pasrah, senyum Marco terkembang. Irina hanya bisa diam menerima keputusan."Ayo, Irina. Kita mengamati dari Mercusuar saja. Di sana, kita bisa melihat seluruh kawasan sampai bibir pantai," ajak Marco menggandeng tangan kanan Irina dengan santai.Sedang, semua orang dibuat kaget karena Marco begitu agresif bahkan gadis cantik itu sampai tak bisa berkutik dengan sikap sok ramahnya."Lalu bagaimana dengan para monster yang berada di dalam rumah, Polo?
Seharian, Irina dan Marco mengamati perilaku para monster dari atas Mercusuar. Irina mencatat semua dalam buku dengan rapi. Marco melihat tulisan Irina yang baginya sangat indah. "Tulisanmu seperti lukisan, Irina. Aku rasa, kau pintar menggambar," ucap Marco menilai dan gadis cantik itu menunjukkan senyum menawannya, Marco terpaku. "Oke, dengarkan. Kita akan melakukan pantauan sampai satu minggu ke depan untuk mengumpulkan semua data. Kita akan membuat catatan dan perekaman dari perilaku para monster dengan berbagai percobaan yang akan kita lakukan," ucap Polo dari sambungan radio. "Yes, Sir!" jawab semua orang serempak kecuali Irina dan Marco yang terpaksa membisu agar para monster tak mengetahui keberadaan mereka. Malam itu, Irina melakukan pencatatan ulang ke komputer portabel dalam bentuk tablet. Marco menemani Irina dengan berjaga dan melakukan pengawasan dari lantai tertinggi Mercusuar. "Eh, sebentar. Kita bisa
Semua orang lemas seketika. Edward dan Ritz merasa bersalah karena tak mengecek sisa bahan bakar selama mereka berada di kendaraan terbang tersebut. "Eh, wait. Helikopter ibu. Di hanggar biasanya ada tong-tong berisi bahan bakar. Kita bisa memeriksanya, Polo," ucap Marco mendekati saudara kembarnya dengan mata berbinar. "Oh, kau benar. Masih ingat jalan ke sana?" tanya Polo dan Marco mengangguk mantab. "Oke, berkumpul, perubahan rencana," perintah Polo tegas di depan pintu belakang helikopter. Ritz dan Edward ikut merapat. "Aku, Marco, Ritz, Edward, Bruno dan Robin akan pergi ke hanggar untuk mengambil bahan bakar dengan forklift itu. Sisanya, berjaga dan masukkan semua peti ke dalam. Saat kami kembali, kita siap terbang. Mengerti?" "Yes, Sir!" tegas anak buah Polo yang ditugaskan untuk berjaga. Ritz mengemudikan forklift. Polo menumpang dengan berdiri memunggungi Ritz di belakang sembari menyiagakan senapan bius di tangan kanannya.
Polo panik. Marco tak sadarkan diri dan di datangi oleh sekumpulan monster yang menunjukkan kebuasannya, siap untuk mencabik tubuh saudara kembarnya itu. Saat Polo siap menantang bahaya dengan berlari untuk melawan para monster itu sendirian, tiba-tiba .... DOR! DOR! DOR! Mata Polo terbelalak. Langkahnya terhenti seketika dan merunduk. Ia melihat beberapa monster tergeletak tak bernyawa terkena tembakan telak di belakang kepala. Para monster yang bisa merasakan jika bahaya berada di sekitar mereka, mulai mengerang dan mencari sosok yang menewaskan jenisnya. "Wow!" pekik Polo saat melihat sebuah drone melayang dengan persenjataan terpasang di tubuh benda berwarna hitam tersebut. Drone tersebut menembaki para monster dengan membabi-buta dan menewaskan semua manusia yang terkena serum ganas tersebut. Polo hanya bisa berjongkok dengan senapan bius dalam genggaman dan memandangi para monster yang tergeletak di asp
Lopez terkejut. Ia bergegas mendatangi puteranya yang memiliki manik merah seperti api menyala terang. Lopez memeluk anaknya erat dan Marco membalasnya dengan sentuhan yang sama. Semua orang tersenyum. "Yah, aroma ini sama dengan tombak hitam itu. Jadi, itu kau, Mom," ucap Marco sembari menghirup bau dari sang Ibu dengan mata terpejam. Lopez melepaskan pelukan dan menatap mata anaknya seksama. "Apa yang kau rasakan? Apa ada perubahan dalam dirimu?" Marco mengangguk. "Aku juga, hanya saja, kemampuan Marco lebih banyak," sahut Polo terlihat iri dari ucapannya. Lopez tersenyum. Ia meminta Polo mendekat dan duduk di sampingnya. Lopez diapit oleh dua anak kembarnya. "Dengar. Kalian ditakdirkan bersama. Ingat itu, dan apapun yang terjadi, kalian harus selalu kompak. Iri boleh, tapi jangan jadikan itu perpecahan diantara kalian. Hidup kita sekarang lebih sulit tanpa ayah dan orang-orang yang kita sayangi. Namun, Ibu yakin jika kita akan baik-baik sa
Semua pria di dalam pesawat pribadi milik Lopez dibuat menganga, setelah melihat tayangan mengejutkan dari produk-produk buatan Vesper Industries. Mereka malah tak sabar ingin menjajal kemampuannya, tapi malam sudah semakin larut, dan tak ingin membuat kegaduhan di luar. "Polo. Ibu dan ayahmu sungguh hebat. Jangan-jangan, selama mereka di sini, merekalah penjaga Miami. Hanya saja, aku masih penasaran, bagaimana cara ibumu mengurung para monster itu? Aku sangat yakin, kita bisa menyelesaikan kasus ini dengan ibumu sebagai kunci jawabannya," ucap Robin mantab dan diangguki semua orang. Polo dan semua orang mengangguk setuju. Namun malam itu, mereka harus bersabar untuk bertanya karena Lopez tertidur lelap di ranjangnya. Marco yang begitu merindukan sang Ibu, tidur di sebelahnya sembari memegangi tangannya erat. Polo yang bersikap lebih dewasa layaknya seorang pria di usianya, memilih untuk menjaga dua orang yang dikasihinya di cabin pesawat be
Kesedihan menyelimuti seisi helikopter yang mengenal sosok Lopez. Marco ambruk dalam air mata penyesalan karena tak bisa menyelamatkan nyawa sang ibu. Polo tak hentinya menangis dengan memeluk kedua lututnya di lantai helikopter sebagai rasa kecewa karena tak bisa membawa ibunya pergi seperti janjinya. "Kenapa berakhir seperti ini, Polo? Kita sudah menemukan ibu, tapi ... kenapa monster merenggutnya? Ia bilang sendiri jika monster bisa disembuhkan, tapi kenapa ia memilih mati?" tanya Marco menantap saudaranya dengan nafas tersengal dan air mata terus menetes, meski berusaha tegar. Polo menggeleng. Ia tak bisa berpikir jernih. Saat semua orang sedang terselimuti duka mendalam, tiba-tiba .... DOK! DOK! DOK! Mata semua pria di tempat itu tertuju pada tabung yang ditempati oleh Irina. Marco segera berdiri dan mendatangi satu-satunya wanita yang berhasil mereka selamatkan dari serangan monster. Mata Marco terbelalak, saat Irina berteriak d
Marco memimpin timnya di depan. Fabio bertugas sebagai navigator dengan tablet dalam genggaman yang terhubung dengan satelit Theresia di angkasa, meskipun akses yang diberikan terbatas. "Marco, bagaimana?" tanya Lucas saat pria bermanik merah tersebut mengendus sekitar untuk memastikan tak ada monster. "Kita tak bisa berlama-lama di sini. Aku bisa mencium bau monster. Hanya saja, jaraknya masih cukup jauh. Namun, mereka punya kaki untuk mengejar 'kan?" jawabnya yang praktis, membuat semua orang bergidik ngeri. "Polo, bagaimana?" tanya Hugo yang berdiri di samping Kapten pasukannya dengan senapan bius dalam genggaman. "Sejauh aku memandang, tempat ini sepi, tak ada pergerakan. Kecuali kapal yang merapat ke bibir pantai. Kita harus segera ke sana. Orang itu pasti ketakutan dan butuh bantuan. Kitalah harapan terakhirnya," sahut Polo menunjuk sebuah kapal kecil berlayar putih di kejauhan. "Bagaimana pantauan satelit?" sambung Polo. "Aku m
Lazo dan Safa menatap pria bermanik biru di depannya dengan saksama. "Kenapa mereka bisa bangun? Apakah tabung rusak?" tanya Safa menduga, dan semua orang selain pasturi itu mengangguk. "Lalu ... di mana kedua orang tuamu?" tanya seorang pria yang dulunya adalah salah satu pion dari kelompok mafia lain. "Akan kuceritakan sembari kalian bersiap. Ayo," ajak Yusuke. Safa dan Lazo mengangguk pelan. Polo disalami oleh dua orang yang baru saja bangkit itu. Polo tampak sungkan, tapi bisa merasakan jika dua orang itu cukup tangguh karena terlihat dari cara bersikap. "Asal kalian tahu, Lazo seorang pekerja kantoran sebuah perusahaan ternama di Jerman . Namun, itu hanya kedok saja. Ia dan isterinya adalah seorang petarung. Bahkan, saat sudah memilih menjadi warga sipil, keduanya melanjutkan profesi itu," bisik Lucy. "Petarung seperti apa?" tanya Bruno ikut penasaran. "Petarung bayaran. Mereka tak bisa meninggalkan profesi sebagai mafia seutuhnya. Dulunya, Benjamin Lazo dikenal dengan nama
Helikopter Marco terbang menuju ke bandara Seward karena kehabisan bahan bakar. Semua anggota Marco bersiap jikalau ada monster yang datang menyerang seperti kejadian beberapa hari yang lalu. Marco mencari titik pendaratan dekat lokasi bahan bakar. Semua anggota menyiapkan Rainbow Gas tanpa bom untuk melumpuhkan para monster karena mereka harus hemat amunisi. Perlahan, helikopter mendarat dekat sebuah hanggar. Hugo, Fabio dan Chen bersiap jikalau melihat monster mendekati kendaraan terbang mereka. Namun, sampai helikopter itu mendarat sempurna dan mesin dimatikan, tak ada satupun monster terlihat. "Cepat! Cepat!" pinta Lucas selaku co-pilot seraya keluar dari helikopter lalu mengambil dua derigen cadangan di dekat dudukan tempat tiga kawannya duduk. Marco segera keluar dan menggunakan indera penciumannya untuk memeriksa sekitar. Marco memberikan kode kepada kawan-kawannya jika tempat itu aman tak tercium keberadaan monster. Hugo memimpin di depan menuju ke tempat tong-tong bahan ba
Ternyata, Irina sungguh tak keluar kamar usai Sakura menginterogasinya. Kecurigaan Sakura dan Maksim semakin menguat karena gadis cantik itu mengurung dirinya di kamar hingga makan siang tiba. Marco dan timnya yang telah selesai mengamankan gedung dengan darah monster hasil kerja keras Maksim, segera masuk ke dalam hotel untuk menikmati makan siang yang telah dipersiapkan oleh para anggota Red Skull. Anak-anak membantu dengan membersihkan ruangan di hotel yang sering digunakan agar tetap rapi dan bersih. Keharmonisan terasa di dalam bangunan bertingkat yang kini dihuni oleh para manusia yang berhasil bertahan dari wabah monster. Para pria masuk ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri sebelum berkumpul di ruang makan. Namun, saat Marco akan masuk ke kamar, ia terkejut karena pintu itu dikunci dari dalam. Marco mencoba mengetuk pintu berulang kali, tapi Irina tak kunjung membuka pintu kamar tersebut. Marco mulai panik karena tak ada tanggapan dari dalam kamarnya. "Irina! Irin
Anak-anak yang dikumpulkan di lobi, mendapat sambutan hangat dari anggota Red Skull dan Irina. Sakura sangat berterima kasih meski ia sedih setelah mengetahui jika Galina telah berpulang. Sakura berjanji akan mengunjungi makan Galina bersama Maksim nantinya. Malam itu, anak-anak diberikan kamar untuk mereka tinggal selama di tempat tersebut. Terlihat, anak-anak senang karena fasilitas dari hotel memberikan kenyamanan dan ada banyak orang dewasa di sekitar yang akan melindungi mereka. Namun, Irina malah mengurung diri di kamarnya tak ikut menyambut seperti yang lain. Gadis itu terlihat takut setelah mengetahui jika Sakura mengenal orang-orang yang telah tewas dari pihak 13 Demon Heads saat disebutkan oleh anggota Red Skull. CEKLEK! "Hem, pasti dia lelah," ucap Marco ketika kembali ke kamar dan mendapati Irina sudah tertidur di ranjang. Marco segera melucuti pakaiannya lalu membersihkan diri di kamar mandi yang berada dalam satu ruangan, meski terpisah dinding dengan ruang tidur. Tu
Kelompok Marco bergegas berlari mendatangi kelompok yang baru saja datang untuk mengamankan mereka dari serangan Monster. Kelompok itu terpaksa berpisah karena letak pendaratan helikopter. Marco berlari kencang mendahului kelompoknya karena ia mencium bau monster di sekitar wilayah itu. Marco panik, takut anak-anak itu terluka. Sedang Maksim, Fabio, Lucas dan anak-anak yang ikut bersama mereka terus berlari mendatangi gedung hotel tempat mereka berlindung nantinya. Namun, tiba-tiba saja .... "Horg!" "Serigala monster!" teriak Fabio lantang saat melihat tiga ekor serigala berlari kencang, muncul dari persimpangan jalan. Hewan-hewan itu terlihat beringas. Mata mereka menyala merah dengan air liur menetes dari rahang bergigi tajam tersebut. "AAAAA!" jerit anak-anak histeris. "Terus berlari! Jangan berhenti!" teriak Maksim berusaha sekuat tenaga mengikuti anak-anak itu. Fabio dan Lucas dengan sigap mengarahkan senapan laras panjang mereka untuk menjatuhkan para serigala. "Heaaahhh
Saat Irina tampak gugup karena ditatap tajam oleh kekasihnya—Marco—dan dicurigai oleh Maksim, tiba-tiba terdengar suara mesin gemuruh rendah dari kejauhan. Maksim, Irina dan Marco yang berada di atap gedung langsung menoleh ke asal suara. Mata mereka menyipit saat mendapati dua buah helikopter mendekat dengan sorot lampu menyilaukan menunjukkan posisi mereka di malam gelap. "Itu mereka! Itu pasti Sakura dan timnya!" seru Maksim gembira. Praktis, Marco dan Irina langsung berdiri ikut bahagia. Namun, mereka melihat cahaya berkedip dari dermaga tempat kapal dijaga oleh Chen dan Amy. Kapal mereka menjauh dari dermaga seraya terus menyuarakan klakson kapal. Irina melebarkan mata saat hidung Marco bergerak seperti mengendus. "Monster!" seru Marco lantang menunjuk ke bagian bawah bangunan. Mata Irina dan Maksim terbelalak lebar ketika melihat di jalanan, segerombolan manusia buas itu berlari ke arah mereka. Marco yakin, para monster itu pasti tertarik karena suara dan pergerakan helikopt
Praktis, semua orang terkejut mendengar hal yang tak pernah diketahui itu. Maksim memangis terisak terlihat begitu sedih. Hati para pendengar ikut pilu. Pinky dan anggota Red Skull duduk di sekeliling Maksim mencoba menenangkan hatinya yang berduka. "A-aku ... aku sedang dalam perjalanan untuk menyusul Galina karena ia tak bisa kuhubungi. Aku ... ingin memastikan jika Utara memang layak dihuni. Aku ... aku berencana membawanya kemari bersama anggota Red Skull yang masih bertahan, tapi ... hiks, Galina," ucapnya sedih sampai terbata. Tak ada yang bisa memberikan nasehat atau ucapan meneduhkan hati. Marco memeluk Maksim yang terlihat begitu kehilangan sang isteri. Marco melirik Pinky dan wanita itu mengajak Zeni untuk memanggil anggota lainnya. Marco menemani Maksim bersama Irina yang masih berada di lobi hotel. Sedang anggota lainnya, kembali menyusuri bangunan untuk mencari tempat bernaung selama di hotel yang ditinggalkan tersebut. Akhirnya, tangis Maksim reda setelah ia puas melu
Semua orang sudah bersiap dan membidik pintu lift yang masih tertutup rapat. "Satu, dua, tiga!" TING! "Hah!" "Oh! Tahan! Tahan!" teriak Irina saat ia hampir saja melemparkan granat Rainbow Gas dalam genggamannya. Marco segera turun dan berlari mendekat. Irina merapatkan tubuhnya ke sisi Marco saat pria itu mengendusnya. Irina memasukkan kembali granat itu ke dalam saku celananya. "Bagaimana, Marco? Dia manusia atau ... monster?" tanya Irina cemas. "Baunya seperti monster. Namun, jika melihat gelagatnya, ia seperti manusia. Mirip ...." "Seperti saat Bykov ditemukan?" sahut Hugo dan Marco mengangguk membenarkan. Marco memberi kode kepada anggota Red Skull yang bersembunyi jika pria tersebut seperti bukan ancaman. Marco melangkah mendekat perlahan terlihat hati-hati karena pria itu tampak ketakutan. "Hei, apa ... kau baik-baik saja?" tanya Marco penasaran. Tiba-tiba saja, pria itu keluar dari lift dan memeluk Marco. Semua orang terkejut karena pria tua bertubuh gemuk itu menang
Polo, Bruno dan Robin terlihat fokus dengan tujuan baru mereka. Speed boat menyusuri sungai hingga akhirnya mereka tiba di lokasi. Terlihat sebuah bangunan seperti telah dipersiapkan layaknya benteng pertahanan. Yusuke merapatkan kapalnya di sebuah dermaga kecil tepi sungai itu. Para penumpang turun satu persatu tanpa muatan. "Kita tak ke hanggar?" tanya Polo heran. "Kita akan pergi besok pagi. Malam ini, kita menginap di sini. Segera turunkan barang. Sebelum gelap, kita harus bersiap," jawab Yusuke seraya menenteng senapan laras panjangnya. "Memang kenapa dengan malam hari?" tanya Bruno curiga. "Akhir-akhir ini, serangan monster sering terjadi. Seperti yang kubilang sebelumnya, orang-orang yang berhasil selamat diawasi. Sebelum kami tiba di sini, aku melihat drone melintas di tempat terakhir kami berada. Tak mungkin 'kan jika monster yang mengendalikannya. Jadi, aku cukup yakin jika itu perbuatan anak buah Hendrik," jawab Lope. Polo dan semua orang tegang seketika. "Seperti kec