New York tahun 2070.
Gemuruh rendah yang dihasilkan mesin besar bergema dalam gelapnya malam. Dengan berbekal cahaya bulan sebagai penerangnya, terlihat samar sebuah helikopter melintasi langit malam.
Di dalam helikopter, sejumlah orang memasang wajah tegang, mengkhawatirkan suasana mencekam yang dihasilkan suara guntur yang mulai terdengar. Awan mendung yang menutupi sinar bulan, menandakan badai akan segera datang.
Mendadak, kilatan petir terlihat, dan hal tersebut diikuti dengan guncangan hebat helikopter.
"Marco! Visual!" teriak seorang lelaki dengan manik biru lautan yang berdiri tegap di pintu palka helikopter tipe kargo tersebut.
"Negatif, Polo! Tak ada kehidupan!" jawab seorang pria lain dari bangku kemudi helikopter bernama Marco. Mata merahnya yang fokus pada pemandangan di depannya dan tak menyadari bahwa co-pilotnya terlihat begitu tegang.
Pria benama Polo tersebut berdecak. Matanya menyipit saat merasakan udara dingin mulai menerpa tubuhnya dan membuat rambutnya terhempas seketika.
"Cari lokasi pendaratan yang aman! Kita lanjutkan pencarian begitu badai reda," tegas Polo seraya mengalihkan pandangan dari pemandangan mengerikan yang dipamerkan lokasi di bawah sana, sebuah dataran hancur-lebur yang sempat dipanggil sebuah ‘kota’. “Nanti, ketika—!”
Sebelum Polo menyelesaikan ucapannya, suara ledakan dahsyat mengejutkan awak dalam helikopter tersebut. Polo bergegas kembali ke pintu palka untuk mengintip.
"Polo! Tangkap!" teriak co-pilot sembari melemparkan teropong pendeteksi suhu panas dari tempat duduknya.
Polo langsung berjongkok dan menempelkan benda yang memiliki lensa berlapis tersebut di kedua matanya. "Ada manusia yang selamat!" teriaknya lantang mengejutkan semua orang.
Para pria berseragam hitam yang duduk di bangku helikopter segera berdiri dan mendatangi Polo.
"Hanya satu. Jangan buang waktu untuk menyelamatkannya, Capt!" tegas seorang pria bertubuh gemuk dari teropong suhu.
"Satu lebih baik daripada tidak sama sekali. Jika yang di bawah itu kau, apakah tak ada keinginan untuk diselamatkan?" jawab Polo melirik pria di sampingnya. Pria itu mengangguk pelan, terlihat malu.
Mendengar ucapan pria dengan wajah serupa dirinya itu—saudara kembarnya—Marco segera mengarahkan helikopter ke lokasi yang telah di tandai oleh Polo.
Polo melemparkan sebuah benda berbentuk tabung berwarna perak dengan dua katup di sisi kanan kiri memiliki lubang-lubang kecil seperti penyaring.
"Hah! Hah!" engah seorang gadis dengan rambut berwarna cokelat dikuncir kuda, berlari kencang menghindari kejaran sekumpulan orang yang terlihat buas dengan mulut berliur dan mata merah.
"Agh! No! No!" teriaknya panik yang sudah jatuh di atas tanah dan puing-puing bangunan di sekitarnya.
"Harrghhh!"
"Aaaaaa!"
Gadis itu meringkuk menutupi kepala dengan kedua tangan, pasrah dengan takdir kejam yang akan menentukan hidupnya.
Namun, mata gadis itu melebar seketika saat mendengar suara benda jatuh di dekat sepatu boots dan mengeluarkan bunyi nyaring memekakkan telinga.
Gadis tersebut melihat sebuah benda yang dikenalinya mengeluarkan asap pekat berwarna putih dari dua katup yang menyeruak di sekitarnya.
Gadis itu seperti mendapatkan kekuatannya kembali. Ia segera berdiri dan bergegas menaiki reruntuhan puing bangunan dengan besi mencuat dari fondasinya, bersembunyi di balik dinding keropos itu.
"Hah ... hah ... itu ...," engahnya dengan jantung berdebar kencang serasa akan meledak dan matanya langsung memindai ke atas langit.
Matanya menajam saat melihat seperti kumpulan burung besar berwarna hitam terbang menuju ke arahnya.
Senyum gadis tersebut merekah. Ia berdiri dan melambaikan tangan. Namun ....
"Aghhh!" teriaknya terkejut saat tiba-tiba tubuhnya di tarik ke belakang hingga ia terjungkal dari balik dinding dan kini terlentang di atas puing.
"Hargghhh!"
Mata gadis itu melebar dan ia segera merangkak mundur dengan cepat menggunakan kedua telapak tangan sebagai penumpu tubuhnya yang sudah kotor karena aksinya malam itu agar tetap hidup.
"Pergi!" teriaknya sembari melemparkan benda apapun yang bisa diraih dalam genggaman tangan ke tubuh seorang pria yang terlihat buas dan luka di sekujur tubuhnya.
Seketika, terdengar suara tembakan bertubi-tubi yang membuat gadis itu langsung memejamkan mata dan menutup kedua telinga, kembali meringkuk di atas puing agar tak terkena peluru tajam mematikan di dekatnya.
Suara langkah kaki terdengar seperti menginjak bebatuan yang berserakan di tempat tak bertuan tersebut.
"Periksa dia."
Mata gadis itu kembali terbuka meski tubuhnya gemetaran tanpa ia kehendaki. Ia membuka kedua tangan yang menutup telinganya dengan gugup.
Pandangannya terkunci pada sosok pria tampan meski terlihat berantakan dan kumal karena noda tanah di wajahnya.
"Bangun dan angkat kedua tanganmu!" perintah seorang lelaki berkulit hitam, mengarahkan senapan laras panjang ke tubuhnya.
Gadis itu perlahan bangun meski terlihat ragu. Ia kembali tertegun saat sebuah senter dengan lampu menyilaukan mata menyorot manik hijaunya.
"Buka mulut dan matamu! Jika kami melihat gejala, kau mati di tempat," tegas seorang pria berambut pirang dengan senter di tangannya.
Gadis itu melakukan yang diperintahkan dan mencoba untuk tenang. Namun, matanya kembali pada sosok pria yang berdiri di samping mayat menunjukkan wajah datar.
"Matamu biru. Apakah ... kau Polo? Pria yang disebut sebagai 'Penyelamat'?" tanya gadis itu yang praktis, membuat Polo menoleh seketika.
"Angin membawa berita palsu, Nona. Jika aku seorang penyelamat, seharusnya ... tak perlu ada kematian di tiap kota yang aku singgahi," jawabnya sembari berjalan mendekati sekumpulan pria yang terkena dampak gas berwarna putih hasil lemparannya dari atas langit.
Gadis itu nekat mendatangi Polo meski dihadang oleh para lelaki berseragam hitam.
"Bagiku kau tetap pahlawan. Kau menyelamatkanku. Kabar yang kudengar, kau mengumpulkan para 'Monster' untuk disembuhkan. Apakah ... kau berhasil melakukannya?" tanya gadis itu menatap Polo tajam yang berdiri memunggunginya.
Semua pria dari tim Polo saling melirik dalam diam. Polo membalik tubuhnya dan berdiri di kejauhan menatap gadis tak dikenalnya itu.
"Kabar terakhir yang kudapat, aku tak pernah mengumpulkan para monster untuk diobati. Aku bahkan tak tahu jika mereka bisa disembuhkan. Apa kau bermaksud memberikanku petunjuk? Siapa kau sebenarnya?" tanya Polo menyorotnya tajam.
"Irina Tolya."
"Iriana Tolya." Praktis, mata semua orang melebar saat gadis yang mereka selamatkan menyebutkan namanya. Polo mendekati gadis itu dan menarik pergelangan tangannya. Gadis itu terdiam ketika jaket hitamnya yang robek dari bagian lengan sebelah kiri di lihat oleh pria bermanik biru tersebut. "Agh!" rintihnya ketika Polo menyayat lengannya yang putih dengan sebuah pisau hingga darahnya menetes. Gadis itu membungkam mulutnya dengan air mata menetes begitu saja. Polo melihat darah gadis itu menyeruak, tapi warnanya merah kehijauan. Mata semua orang yang melihat terbelalak lebar. "Cerita itu benar. Ada seorang gadis yang bisa mengendalikan pengaruh serum 'Monster' dalam tubuhnya. Itu bukan mitos, Polo. Itu kisah nyata!" tegas seorang pria berambut pirang menatap Polo tajam. Polo menghisap darah yang menyeruak itu dengan mulutnya. Semua orang tertegun, tapi seketika, Polo meludah dan mengelap mulutnya dengan kain di lengan baju tempurnya.
Irina tertidur selama proses pemindahan para monster tersebut ke dalam helikopter. Namun, sosok Irina menarik perhatian Marco. Pria bermanik merah tersebut mendekati gadis berambut cokelat ikal, memiliki bulu mata lentik melengkung senada dengan alisnya dan parasnya menunjukkan keramahan bahkan saat memejamkan mata. Pandangan semua pria yang duduk di bangku kini terkunci pada gerak-gerik tak lazim dari saudara kembar Polo. "Dasar psikopat! Hentikan perilaku menjijikkanmu itu!" tegas Polo dari tempat duduknya dengan mata melotot. "Iyuh," ucap seorang pria sampai memejamkan mata karena Marco malah menjilat hidung mancung gadis itu hingga ia terbangun dari tidurnya. "Hah!" kejutnya saat melihat wajah Marco membungkuk di depannya dan mengunci kedua pergelangan tangannya seraya menekannya ke dinding helikopter. Marco menyeringai dan kembali menjulurkan lidah. Para pria memalingkan wajah begitupula Irina yang membungkam mulutnya saat Marco m
Semua penumpang dalam helikopter panik seketika. Lima lelaki yang terindikasi terkena serum monster kembali mengamuk dan meraung di dalam kantong mayat."Shoot them!" teriak Polo sembari melepaskan seat belt yang menahan perutnya."No! No! No!"DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!Mata Irina terpejam seketika. Ia mengepalkan kedua tangan di depan wajahnya terlihat menahan marah. Namun, gerak-geriknya yang mencurigakan itu, membuat seluruh moncong senapan terarah ke tubuhnya.Akan tetapi, tangis kesedihan yang malah mereka dengar dari gadis cantik itu. Polo menatap Irina yang menangis terisak seperti menyayangkan perbuatan yang mereka lakukan."Hiks! Kalian ingin memusnahkan ras kita, ha? Sudah berapa banyak yang kalian bunuh? Sudah kubilang jika mereka bisa disembuhkan! Ini bukan wabah! 'Monster' tidak menular!" teriaknya dengan air mata sudah mengguyur deras wajah cantiknya seperti hujan lebat di luar."Jika h
Polo akhirnya mendatangi saudara kembarnya yang malah memainkan kejantanan salah seorang Monster tersebut dengan ujung pistol dalam genggaman. Irina memalingkan wajah terlihat tak ingin ikut serta dalam pengamatan itu."Darahnya merah kehitaman. Secara logika, dia masih manusia, Polo. Mungkin bisa diibaratkan minyak dan air yang tercampur. Kita harus mencari seorang dokter atau ... profesor, atau ... petugas lab, atau siapapun yang bekerja di dunia medis untuk meneliti mereka. Memisahkan senyawa aneh di tubuh para monster ini. Mungkin, kita bisa menemukan obatnya," ucap Marco menunjuk darah para monster yang tergenang di lantai helikopter."Dokter? Kau berencana mencari ilmuwan di tengah reruntuhan dan hancurnya kota-kota di dunia? Begitu?" tanya Polo menegaskan dan Marco mengangguk cepat."Itu seperti mencari emas dalam kubangan lumpur, Marco. Selama bertahun-tahun, kita mencari manusia hidup dan hanya beberapa yang berhasil kita selamatkan. Tak ada satupun dar
Marco mengambil alih menjadi pemimpin tim kali ini karena Polo dan anggota lainnya tak mau berdebat dengan lelaki bermanik merah tersebut.Irina dan Polo memilih duduk di bangku karena lantai helikopter dipenuhi oleh peta serta perlengkapan komunikasi lainnya. Para anggota tim duduk melingkar mendengarkan instruksi Marco dengan seksama."Bagaimana kau bisa selamat sampai sejauh ini, Irina?" tanya Polo menatapnya curiga."Aku beradaptasi. Aku pernah bertemu pasukan militer sebelumnya saat serangan besar terjadi di Mexico. Aku ikut dalam kelompok mereka sampai ke titik evakuasi. Aku mengamati cara mereka mengunakan senapan, granat, peluncur misil dari RPG dan senjata lainnya. Hingga malam itu, ketika beberapa orang yang selamat akan diseberangkan ke Cuba menggunakan sebuah kapal, kami di serang entah dari mana para monster itu datang. Orang-orang terluka dan tewas," ucapnya terlihat berusaha untuk tetap tegar saat bercerita."Oke, lanjutkan," pinta Polo.
Irina menatap wajah Polo penuh selidik saat pria itu mengatakan hal yang menarik perhatiannya tentang sosok Marco dan kemampuan yang dimilikinya.Mata Irina kembali ke tablet yang menangkap pergerakan Marco saat ia mengendap ke balik semak tanpa diikuti oleh dua pria yang menjaganya.Mata Irina melebar ketika ia melihat pergerakan kameranya seperti sempat kabur beberapa detik lalu kembali jelas dan berubah kabur saat Marco bergerak."Apakah kita mengalami gangguan sinyal?" tanya Irina sembari membenarkan sebuah parabola portabel yang tersambung ke tablet dalam genggamannya."Itulah salah satu kehebatan dari Marco. Dia gesit dan sangat hebat dalam menyelinap. Ia juga bisa mencium bau dari jarak 1 kilometer. Oleh karena itu, dia tertarik padamu. Sepertinya baumu lain dari manusia yang pernah ia temui sebelumnya," sahut co-pilot yang tiarap di atas helikopter, membidik siapapun yang berusaha menyerang timnya."Wow! Apakah ..
Wajah semua orang serius seketika."Silent Gold?" sahut Polo seakan tak percaya dengan yang diucapkan oleh Irina dan Marco.Polo segera berdiri dan mendekatkan bilah pedang itu ke bawah cahaya lampu untuk melihat lebih jelas tentang senjata yang ditemukannya."Apa itu Silent Gold?" tanya Robin—pria berkulit hitam—yang ikut mengambil sebuah belati dan menggenggamnya erat."Aku hanya pernah mendengar kisahnya. Namun, ibu dulu mengatakan jika itu sebuah dongeng zaman peperangan. Apa jangan-jangan ... ah! Itu hanya mainan!" pekik Marco menyangkal ucapannya sendiri."Agh!" rintih Polo dan erangannya mengejutkan semua orang."Ada apa? Kau kenapa?" tanya Robin panik dan bergegas mendekati Captain-nya."Oh! Kau berdarah!" pekik Chen. Pria berwajah Asia itu segera membuka tas ransel untuk mengambil perlengkapan medis.Kening Irina berkerut. Ia melihat darah Polo berwarna merah kebiruan. Irina menat
Kesedihan dalam heningnya bunker menyelimuti hati semua orang. Irina berusaha untuk mengendalikan dirinya yang dirundung kesedihan. Marco menatap wajah Irina tajam yang berusaha tegar dengan terus menggergaji gembok untuk membuat suara berisik di dalam ruangan itu.Hingga akhirnya, Marco berhasil membuka seluruh gembok dari peti-peti yang berhasil diturunkan. Lucas dan Chen menyingkirkan peralatan makan mereka untuk bisa melihat lebih jelas isi dari peti-peti tersebut."Ini seperti membuka kado Natal, Polo. Jangan merusak kesenanganku, aku ingin membuka semuanya," ucap Marco dengan keringat membasahi keningnya."Oke, oke," jawab Polo pasrah mengangkat kedua tangan. Irina tersenyum melihat Polo begitu sabar menghadapi tingkah saudara kembarnya.Marco menggosokkan kedua tangan sambil menjulurkan lidah terlihat begitu bersemangat. Ia berjongkok di salah satu peti berwarna hitam yang memiliki tanda titik cet berwarna di bagian penutupnya.KLEK!
Lazo dan Safa menatap pria bermanik biru di depannya dengan saksama. "Kenapa mereka bisa bangun? Apakah tabung rusak?" tanya Safa menduga, dan semua orang selain pasturi itu mengangguk. "Lalu ... di mana kedua orang tuamu?" tanya seorang pria yang dulunya adalah salah satu pion dari kelompok mafia lain. "Akan kuceritakan sembari kalian bersiap. Ayo," ajak Yusuke. Safa dan Lazo mengangguk pelan. Polo disalami oleh dua orang yang baru saja bangkit itu. Polo tampak sungkan, tapi bisa merasakan jika dua orang itu cukup tangguh karena terlihat dari cara bersikap. "Asal kalian tahu, Lazo seorang pekerja kantoran sebuah perusahaan ternama di Jerman . Namun, itu hanya kedok saja. Ia dan isterinya adalah seorang petarung. Bahkan, saat sudah memilih menjadi warga sipil, keduanya melanjutkan profesi itu," bisik Lucy. "Petarung seperti apa?" tanya Bruno ikut penasaran. "Petarung bayaran. Mereka tak bisa meninggalkan profesi sebagai mafia seutuhnya. Dulunya, Benjamin Lazo dikenal dengan nama
Helikopter Marco terbang menuju ke bandara Seward karena kehabisan bahan bakar. Semua anggota Marco bersiap jikalau ada monster yang datang menyerang seperti kejadian beberapa hari yang lalu. Marco mencari titik pendaratan dekat lokasi bahan bakar. Semua anggota menyiapkan Rainbow Gas tanpa bom untuk melumpuhkan para monster karena mereka harus hemat amunisi. Perlahan, helikopter mendarat dekat sebuah hanggar. Hugo, Fabio dan Chen bersiap jikalau melihat monster mendekati kendaraan terbang mereka. Namun, sampai helikopter itu mendarat sempurna dan mesin dimatikan, tak ada satupun monster terlihat. "Cepat! Cepat!" pinta Lucas selaku co-pilot seraya keluar dari helikopter lalu mengambil dua derigen cadangan di dekat dudukan tempat tiga kawannya duduk. Marco segera keluar dan menggunakan indera penciumannya untuk memeriksa sekitar. Marco memberikan kode kepada kawan-kawannya jika tempat itu aman tak tercium keberadaan monster. Hugo memimpin di depan menuju ke tempat tong-tong bahan ba
Ternyata, Irina sungguh tak keluar kamar usai Sakura menginterogasinya. Kecurigaan Sakura dan Maksim semakin menguat karena gadis cantik itu mengurung dirinya di kamar hingga makan siang tiba. Marco dan timnya yang telah selesai mengamankan gedung dengan darah monster hasil kerja keras Maksim, segera masuk ke dalam hotel untuk menikmati makan siang yang telah dipersiapkan oleh para anggota Red Skull. Anak-anak membantu dengan membersihkan ruangan di hotel yang sering digunakan agar tetap rapi dan bersih. Keharmonisan terasa di dalam bangunan bertingkat yang kini dihuni oleh para manusia yang berhasil bertahan dari wabah monster. Para pria masuk ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri sebelum berkumpul di ruang makan. Namun, saat Marco akan masuk ke kamar, ia terkejut karena pintu itu dikunci dari dalam. Marco mencoba mengetuk pintu berulang kali, tapi Irina tak kunjung membuka pintu kamar tersebut. Marco mulai panik karena tak ada tanggapan dari dalam kamarnya. "Irina! Irin
Anak-anak yang dikumpulkan di lobi, mendapat sambutan hangat dari anggota Red Skull dan Irina. Sakura sangat berterima kasih meski ia sedih setelah mengetahui jika Galina telah berpulang. Sakura berjanji akan mengunjungi makan Galina bersama Maksim nantinya. Malam itu, anak-anak diberikan kamar untuk mereka tinggal selama di tempat tersebut. Terlihat, anak-anak senang karena fasilitas dari hotel memberikan kenyamanan dan ada banyak orang dewasa di sekitar yang akan melindungi mereka. Namun, Irina malah mengurung diri di kamarnya tak ikut menyambut seperti yang lain. Gadis itu terlihat takut setelah mengetahui jika Sakura mengenal orang-orang yang telah tewas dari pihak 13 Demon Heads saat disebutkan oleh anggota Red Skull. CEKLEK! "Hem, pasti dia lelah," ucap Marco ketika kembali ke kamar dan mendapati Irina sudah tertidur di ranjang. Marco segera melucuti pakaiannya lalu membersihkan diri di kamar mandi yang berada dalam satu ruangan, meski terpisah dinding dengan ruang tidur. Tu
Kelompok Marco bergegas berlari mendatangi kelompok yang baru saja datang untuk mengamankan mereka dari serangan Monster. Kelompok itu terpaksa berpisah karena letak pendaratan helikopter. Marco berlari kencang mendahului kelompoknya karena ia mencium bau monster di sekitar wilayah itu. Marco panik, takut anak-anak itu terluka. Sedang Maksim, Fabio, Lucas dan anak-anak yang ikut bersama mereka terus berlari mendatangi gedung hotel tempat mereka berlindung nantinya. Namun, tiba-tiba saja .... "Horg!" "Serigala monster!" teriak Fabio lantang saat melihat tiga ekor serigala berlari kencang, muncul dari persimpangan jalan. Hewan-hewan itu terlihat beringas. Mata mereka menyala merah dengan air liur menetes dari rahang bergigi tajam tersebut. "AAAAA!" jerit anak-anak histeris. "Terus berlari! Jangan berhenti!" teriak Maksim berusaha sekuat tenaga mengikuti anak-anak itu. Fabio dan Lucas dengan sigap mengarahkan senapan laras panjang mereka untuk menjatuhkan para serigala. "Heaaahhh
Saat Irina tampak gugup karena ditatap tajam oleh kekasihnya—Marco—dan dicurigai oleh Maksim, tiba-tiba terdengar suara mesin gemuruh rendah dari kejauhan. Maksim, Irina dan Marco yang berada di atap gedung langsung menoleh ke asal suara. Mata mereka menyipit saat mendapati dua buah helikopter mendekat dengan sorot lampu menyilaukan menunjukkan posisi mereka di malam gelap. "Itu mereka! Itu pasti Sakura dan timnya!" seru Maksim gembira. Praktis, Marco dan Irina langsung berdiri ikut bahagia. Namun, mereka melihat cahaya berkedip dari dermaga tempat kapal dijaga oleh Chen dan Amy. Kapal mereka menjauh dari dermaga seraya terus menyuarakan klakson kapal. Irina melebarkan mata saat hidung Marco bergerak seperti mengendus. "Monster!" seru Marco lantang menunjuk ke bagian bawah bangunan. Mata Irina dan Maksim terbelalak lebar ketika melihat di jalanan, segerombolan manusia buas itu berlari ke arah mereka. Marco yakin, para monster itu pasti tertarik karena suara dan pergerakan helikopt
Praktis, semua orang terkejut mendengar hal yang tak pernah diketahui itu. Maksim memangis terisak terlihat begitu sedih. Hati para pendengar ikut pilu. Pinky dan anggota Red Skull duduk di sekeliling Maksim mencoba menenangkan hatinya yang berduka. "A-aku ... aku sedang dalam perjalanan untuk menyusul Galina karena ia tak bisa kuhubungi. Aku ... ingin memastikan jika Utara memang layak dihuni. Aku ... aku berencana membawanya kemari bersama anggota Red Skull yang masih bertahan, tapi ... hiks, Galina," ucapnya sedih sampai terbata. Tak ada yang bisa memberikan nasehat atau ucapan meneduhkan hati. Marco memeluk Maksim yang terlihat begitu kehilangan sang isteri. Marco melirik Pinky dan wanita itu mengajak Zeni untuk memanggil anggota lainnya. Marco menemani Maksim bersama Irina yang masih berada di lobi hotel. Sedang anggota lainnya, kembali menyusuri bangunan untuk mencari tempat bernaung selama di hotel yang ditinggalkan tersebut. Akhirnya, tangis Maksim reda setelah ia puas melu
Semua orang sudah bersiap dan membidik pintu lift yang masih tertutup rapat. "Satu, dua, tiga!" TING! "Hah!" "Oh! Tahan! Tahan!" teriak Irina saat ia hampir saja melemparkan granat Rainbow Gas dalam genggamannya. Marco segera turun dan berlari mendekat. Irina merapatkan tubuhnya ke sisi Marco saat pria itu mengendusnya. Irina memasukkan kembali granat itu ke dalam saku celananya. "Bagaimana, Marco? Dia manusia atau ... monster?" tanya Irina cemas. "Baunya seperti monster. Namun, jika melihat gelagatnya, ia seperti manusia. Mirip ...." "Seperti saat Bykov ditemukan?" sahut Hugo dan Marco mengangguk membenarkan. Marco memberi kode kepada anggota Red Skull yang bersembunyi jika pria tersebut seperti bukan ancaman. Marco melangkah mendekat perlahan terlihat hati-hati karena pria itu tampak ketakutan. "Hei, apa ... kau baik-baik saja?" tanya Marco penasaran. Tiba-tiba saja, pria itu keluar dari lift dan memeluk Marco. Semua orang terkejut karena pria tua bertubuh gemuk itu menang
Polo, Bruno dan Robin terlihat fokus dengan tujuan baru mereka. Speed boat menyusuri sungai hingga akhirnya mereka tiba di lokasi. Terlihat sebuah bangunan seperti telah dipersiapkan layaknya benteng pertahanan. Yusuke merapatkan kapalnya di sebuah dermaga kecil tepi sungai itu. Para penumpang turun satu persatu tanpa muatan. "Kita tak ke hanggar?" tanya Polo heran. "Kita akan pergi besok pagi. Malam ini, kita menginap di sini. Segera turunkan barang. Sebelum gelap, kita harus bersiap," jawab Yusuke seraya menenteng senapan laras panjangnya. "Memang kenapa dengan malam hari?" tanya Bruno curiga. "Akhir-akhir ini, serangan monster sering terjadi. Seperti yang kubilang sebelumnya, orang-orang yang berhasil selamat diawasi. Sebelum kami tiba di sini, aku melihat drone melintas di tempat terakhir kami berada. Tak mungkin 'kan jika monster yang mengendalikannya. Jadi, aku cukup yakin jika itu perbuatan anak buah Hendrik," jawab Lope. Polo dan semua orang tegang seketika. "Seperti kec