Polo akhirnya mendatangi saudara kembarnya yang malah memainkan kejantanan salah seorang Monster tersebut dengan ujung pistol dalam genggaman. Irina memalingkan wajah terlihat tak ingin ikut serta dalam pengamatan itu.
"Darahnya merah kehitaman. Secara logika, dia masih manusia, Polo. Mungkin bisa diibaratkan minyak dan air yang tercampur. Kita harus mencari seorang dokter atau ... profesor, atau ... petugas lab, atau siapapun yang bekerja di dunia medis untuk meneliti mereka. Memisahkan senyawa aneh di tubuh para monster ini. Mungkin, kita bisa menemukan obatnya," ucap Marco menunjuk darah para monster yang tergenang di lantai helikopter.
"Dokter? Kau berencana mencari ilmuwan di tengah reruntuhan dan hancurnya kota-kota di dunia? Begitu?" tanya Polo menegaskan dan Marco mengangguk cepat.
"Itu seperti mencari emas dalam kubangan lumpur, Marco. Selama bertahun-tahun, kita mencari manusia hidup dan hanya beberapa yang berhasil kita selamatkan. Tak ada satupun dari mereka seorang dokter," tegas seorang pilot yang menggantikan tugasnya tadi.
"Tabung!" sahut Irina tiba-tiba dari tempatnya duduk.
"Tabung apa?" tanya Polo bingung.
"Tabung yang menidurkan kalian hingga berpuluh-puluh tahun lamanya! Pasti ada petunjuk di sana. Tak bisakah kalian berdua pikir jika mungkin, mungkin saja ... ada jejak yang bisa kita dapatkan dari tabung tersebut," jawab Irina antusias sampai matanya terbelalak lebar.
"Ke Miami? Kau ingin kami kembali ke Miami? Hah! Yang benar saja! Tempat itu sudah seperti neraka! Kami hampir mati saat berusaha keluar dari tempat itu!" pekik Marco menolak keras.
"Tak bisakah kau pahami, Tuan Marco? Ayahmu yang bernama ... mm, sorry aku ...."
"Brian," sahut Polo dan Marco bersamaan.
"Ah, yes, itu maksudku. Dia menyuntikkan kalian sebuah vitamin. Lalu ... kalian tertidur dan terbangun dalam sebuah tabung. Bisa jadi, ayah kalian sengaja melakukannya. Bisa jadi, Brian tahu hal ini akan terjadi. Ia menyelamatkan nyawa kalian dengan memasukkan dalam tabung itu," ucap Irina menjelaskan penuh semangat.
Polo dan Marco terdiam.
"Damn! Aku selama ini menyalahkan ayah dan ibu karena meninggalkan kami," ucap Polo sedih menutup matanya dengan salah satu tangannya.
"Kita harus ke tempat tabung itu berada. Berharaplah, kita akan menemukan jejak keberadaan orang tua kalian. Semua hal baik masih bisa terjadi dalam keterpurukan ini," ucap Irina menyemangati para pria di depannya yang terlihat lesu.
"Bagaimana jika tidak ada?" sahut Polo terlihat putus harapan.
"Kita pergi ke utara. Jika kalian mencari manusia yang selamat, seharusnya mereka ada di sana. Aku yang menyarankan agar mereka berlindung di tempat dingin," ucap Irina yang membuat mata semua orang terbelalak.
"What? Benarkah? Masih ada manusia hidup dalam jumlah banyak di bumi ini?" tanya Marco memekik.
"Namun, aku tak tahu. Apakah orang-orang itu berhasil selamat sampai ke sana atau tidak. Kami ... berpisah di jalan," jawab Irina tertunduk sedih dengan mata kembali berlinang.
"Kita bisa pergi ke Utara, Teman-teman. Kita memiliki peluang hidup di sana," sahut pria berwajah Asia terlihat gembira mendengar berita tersebut.
"Kau bermaksud untuk meninggalkan kelompok demi hidup di Utara? Bersama para manusia penakut itu, begitu?!" pekik Marco marah dan mendorong dada pria Asia tersebut hingga terpepet dinding helikopter.
"Hei, hei, tenang. Kita harus menghargai keputusan Chen. Mungkin, ia sudah lelah ikut bersama kita, Marco," ucap Polo mendekap Marco dari belakang.
"Pengecut!" ucap Marco meludahi pria Asia yang terlihat tertekan tersebut. Semua pria berpakaian hitam dan bersenjata itu terdiam, terlihat ragu akan keputusan yang akan mereka pilih.
"Ya, kalian semua boleh pergi, tapi jalan kaki. Helikopter dan semua persediaan milik kami. Hanya dipertuntukkan bagi orang-orang yang masih ingin bertempur. Ingin pergi? Silakan. Kalian akan aku tinggalkan di sini. Aku sungguh menyesal menyelamatkan kalian kala itu jika tahu seperti ini balasannya. Menjijikkan," ucap Marco kesal dan melepaskan dekapan Polo di tubuhnya.
Polo dan semua orang yang mendengar mendesah pelan. Mereka tak menyangka jika Marco akan semarah itu.
"Bagaimana jika kita tetap ke Miami? Bila kita gagal dan tak menemukan petunjuk apapun, kita pergi ke Utara. Bagaimana?" tanya Irina mencoba memberikan solusi.
Semua orang terdiam terlihat memikirkan ucapan dari gadis yang baru ditemui mereka hari itu.
"Oke. Aku setuju. Setidaknya kita memiliki plan B dari misi kali ini," sahut Marco semangat.
"Seriously, Marco? Apa kau ingat jalan ke sana?" tanya Polo terheran-heran.
"Kita menaiki helikopter, Brother. Sepertinya kau perlu kurendam dalam teluk agar otakmu kembali jernih. Kau terlalu sibuk menyelamatkan dunia hingga mengabaikan kewarasanmu," sahut Marco santai menunjuk saudara kembarnya.
"Aku? Aku tak waras? Oh, oke! Ya, kau benar. Aku tak waras karena akulah satu-satunya orang yang tahu bagaimana cara memasak, membersihkan ruangan dan mencuci tangan sebelum makan," tegas Polo terlihat kesal sembari berdiri dan ikut bertolak pinggang.
"Hem, aku menyukai kejujuranmu, Brother. Ya, akuilah kesalahanmu. Kau akan tumbuh menjadi manusia yang bijaksana," sahut Marco berwajah lugu.
Polo menggaruk kepala dan memilih menjauh dari Marco yang membuatnya seperti orang gila.
"Aku ikut," sahut Chen si wajah Asia dan diangguki oleh semua orang yang sepakat dengannya.
Marco yang mendengar ucapan dari anggota timnya bertolak pinggang seraya mengangguk-angguk meski masih memasang wajah kesal.
"Aku maafkan sikap egois kalian semua. Berterima kasihlah pada Irina karena memberikan ide cemerlang. Berani berkhianat, aku tak segan melemparkan siapapun dari atas helikopter," ucap Marco mengancam dan semua orang menghembuskan nafas panjang seraya mengangguk paham meski tertekan.
Marco mengambil alih menjadi pemimpin tim kali ini karena Polo dan anggota lainnya tak mau berdebat dengan lelaki bermanik merah tersebut.Irina dan Polo memilih duduk di bangku karena lantai helikopter dipenuhi oleh peta serta perlengkapan komunikasi lainnya. Para anggota tim duduk melingkar mendengarkan instruksi Marco dengan seksama."Bagaimana kau bisa selamat sampai sejauh ini, Irina?" tanya Polo menatapnya curiga."Aku beradaptasi. Aku pernah bertemu pasukan militer sebelumnya saat serangan besar terjadi di Mexico. Aku ikut dalam kelompok mereka sampai ke titik evakuasi. Aku mengamati cara mereka mengunakan senapan, granat, peluncur misil dari RPG dan senjata lainnya. Hingga malam itu, ketika beberapa orang yang selamat akan diseberangkan ke Cuba menggunakan sebuah kapal, kami di serang entah dari mana para monster itu datang. Orang-orang terluka dan tewas," ucapnya terlihat berusaha untuk tetap tegar saat bercerita."Oke, lanjutkan," pinta Polo.
Irina menatap wajah Polo penuh selidik saat pria itu mengatakan hal yang menarik perhatiannya tentang sosok Marco dan kemampuan yang dimilikinya.Mata Irina kembali ke tablet yang menangkap pergerakan Marco saat ia mengendap ke balik semak tanpa diikuti oleh dua pria yang menjaganya.Mata Irina melebar ketika ia melihat pergerakan kameranya seperti sempat kabur beberapa detik lalu kembali jelas dan berubah kabur saat Marco bergerak."Apakah kita mengalami gangguan sinyal?" tanya Irina sembari membenarkan sebuah parabola portabel yang tersambung ke tablet dalam genggamannya."Itulah salah satu kehebatan dari Marco. Dia gesit dan sangat hebat dalam menyelinap. Ia juga bisa mencium bau dari jarak 1 kilometer. Oleh karena itu, dia tertarik padamu. Sepertinya baumu lain dari manusia yang pernah ia temui sebelumnya," sahut co-pilot yang tiarap di atas helikopter, membidik siapapun yang berusaha menyerang timnya."Wow! Apakah ..
Wajah semua orang serius seketika."Silent Gold?" sahut Polo seakan tak percaya dengan yang diucapkan oleh Irina dan Marco.Polo segera berdiri dan mendekatkan bilah pedang itu ke bawah cahaya lampu untuk melihat lebih jelas tentang senjata yang ditemukannya."Apa itu Silent Gold?" tanya Robin—pria berkulit hitam—yang ikut mengambil sebuah belati dan menggenggamnya erat."Aku hanya pernah mendengar kisahnya. Namun, ibu dulu mengatakan jika itu sebuah dongeng zaman peperangan. Apa jangan-jangan ... ah! Itu hanya mainan!" pekik Marco menyangkal ucapannya sendiri."Agh!" rintih Polo dan erangannya mengejutkan semua orang."Ada apa? Kau kenapa?" tanya Robin panik dan bergegas mendekati Captain-nya."Oh! Kau berdarah!" pekik Chen. Pria berwajah Asia itu segera membuka tas ransel untuk mengambil perlengkapan medis.Kening Irina berkerut. Ia melihat darah Polo berwarna merah kebiruan. Irina menat
Kesedihan dalam heningnya bunker menyelimuti hati semua orang. Irina berusaha untuk mengendalikan dirinya yang dirundung kesedihan. Marco menatap wajah Irina tajam yang berusaha tegar dengan terus menggergaji gembok untuk membuat suara berisik di dalam ruangan itu.Hingga akhirnya, Marco berhasil membuka seluruh gembok dari peti-peti yang berhasil diturunkan. Lucas dan Chen menyingkirkan peralatan makan mereka untuk bisa melihat lebih jelas isi dari peti-peti tersebut."Ini seperti membuka kado Natal, Polo. Jangan merusak kesenanganku, aku ingin membuka semuanya," ucap Marco dengan keringat membasahi keningnya."Oke, oke," jawab Polo pasrah mengangkat kedua tangan. Irina tersenyum melihat Polo begitu sabar menghadapi tingkah saudara kembarnya.Marco menggosokkan kedua tangan sambil menjulurkan lidah terlihat begitu bersemangat. Ia berjongkok di salah satu peti berwarna hitam yang memiliki tanda titik cet berwarna di bagian penutupnya.KLEK!
Semua orang terkekeh. Suasana dalam bunker ramai seketika. Polo meminta kepada Marco agar merelakan sepatu yang sudah dipakai oleh Chen dengan dalih pria Asia itu lebih membutuhkannya. "Kau pilih kasih, Polo! Mereka mendapatkan barang bagus, sedang aku hanya menjadi tukang congkel sedari tadi tanpa upah sedikitpun," ucapnya protes. Semua orang menahan tawa. "Hei! Barter kita belum selesai. Aku masih ingin tahu tentang kalian berdua. Aku sangat yakin, jika Marco dan Polo, bukan manusia biasa. Jangan bohong padaku," ucap Irina tegas seraya turun perlahan dari tiang besi tempatnya berpijak. Semua pria di sana ikut menunjukkan wajah serius di mana mereka juga ingin mengetahui lebih dalam tentang dua pria bermanik merah dan biru tersebut. "Wah, kita dikeroyok, Polo. Namun ... aku suka mendengar dongeng. Ceritakan mereka dengan petualangan kita," ucap Marco kembali tersenyum sembari mendatangi sebuah peti untuk melihat isinya. Polo mendesah
Robin memimpin di depan. Ia mengajak semua orang dalam kelompoknya untuk merangkak melewati sisi Timur dari Gym agar bisa memasuki kediaman Marco-Polo yang ditinggalkan selama puluhan tahun silam.Mata Polo mengawasi dari teropong senapan laras panjang berikut dua kawannya yang berada di atas helikopter. Mereka ikut melindungi meski jarak bidik terpaut cukup jauh.Marco memanfaatkan peluang dengan kembali menyemprotkan cet di sisi Selatan meski ukuran dinding kaca lebih luas. Ia berharap, ketika ia dan timnya kembali ke helikopter, pergerakan mereka tak ketahuan oleh para monster."Hah, kami berhasil, kami berhasil! Ya Tuhan, jantungku rasanya mau meledak," ucap Robin dengan nafas menderu, terdengar begitu santer dari sambungan radio."Hati-hati. Aku sudah menggambarkan peta rumahku. Itu sudah yang paling bagus sejak terakhir kali aku menggunakan telunjuk untuk melukis," jawabnya teringat ketika Fabio memberikan sebuah tablet untuknya un
Suasana duka menyelimuti ruang bawah tanah kediaman Marco-Polo. Robin dan lainnya mendekati tabung yang telah terbuka, tempat di mana Marco dan Polo tidur selama ini."Polo, sudahlah. Kita makamkan ayahmu," ucap Robin mendekati Kapten Tim seraya menepuk pundaknya pelan.Polo mengangguk dan menghapus air mata kesedihan di wajahnya. Robin dibantu oleh Hugo menurunkan mayat Brian dari atas dinding yang tertancap sebuah tombak berwarna hitam.Polo memegang tombak hitam yang terlihat tak biasa setelah ia amati. Mayat Brian yang telah mengering seperti mumi di baringkan di atas lantai ruang bawah tanah.KLEK!Polo tersentak berikut semua orang saat menyadari jika tombak itu bisa dipanjang-pendekkan. Kini, tombak hitam itu seperti sebuah tongkat sepanjang 30 cm. Ujung runcing di sisi kanan dan kiri tombak masuk ke dalam lubang tersebut.Marco mulai bisa menenangkan diri setelah Irina mengelus punggungnya lembut dan terus tersenyum padanya.
Tak terasa, hari sudah berganti lagi. Polo membagi anggota timnya untuk segera menjalankan tugas pertama dari misi yang telah ia susun.Edward dan Ritz yang berada di helikopter tetap ditugaskan untuk menjaga benda terbang tersebut. Mereka menjadi pengawas di sekitar kawasan kediaman Lopez-Brian."Oke. Tugas mengamati perilaku para Monster aku berikan pada Irina dan—""Aku, aku! Biarkan aku menemani Irina, Polo!" sahut Marco langsung mengangkat tangannya tinggi."Oh, oke," jawab Polo pasrah, senyum Marco terkembang. Irina hanya bisa diam menerima keputusan."Ayo, Irina. Kita mengamati dari Mercusuar saja. Di sana, kita bisa melihat seluruh kawasan sampai bibir pantai," ajak Marco menggandeng tangan kanan Irina dengan santai.Sedang, semua orang dibuat kaget karena Marco begitu agresif bahkan gadis cantik itu sampai tak bisa berkutik dengan sikap sok ramahnya."Lalu bagaimana dengan para monster yang berada di dalam rumah, Polo?
Lazo dan Safa menatap pria bermanik biru di depannya dengan saksama. "Kenapa mereka bisa bangun? Apakah tabung rusak?" tanya Safa menduga, dan semua orang selain pasturi itu mengangguk. "Lalu ... di mana kedua orang tuamu?" tanya seorang pria yang dulunya adalah salah satu pion dari kelompok mafia lain. "Akan kuceritakan sembari kalian bersiap. Ayo," ajak Yusuke. Safa dan Lazo mengangguk pelan. Polo disalami oleh dua orang yang baru saja bangkit itu. Polo tampak sungkan, tapi bisa merasakan jika dua orang itu cukup tangguh karena terlihat dari cara bersikap. "Asal kalian tahu, Lazo seorang pekerja kantoran sebuah perusahaan ternama di Jerman . Namun, itu hanya kedok saja. Ia dan isterinya adalah seorang petarung. Bahkan, saat sudah memilih menjadi warga sipil, keduanya melanjutkan profesi itu," bisik Lucy. "Petarung seperti apa?" tanya Bruno ikut penasaran. "Petarung bayaran. Mereka tak bisa meninggalkan profesi sebagai mafia seutuhnya. Dulunya, Benjamin Lazo dikenal dengan nama
Helikopter Marco terbang menuju ke bandara Seward karena kehabisan bahan bakar. Semua anggota Marco bersiap jikalau ada monster yang datang menyerang seperti kejadian beberapa hari yang lalu. Marco mencari titik pendaratan dekat lokasi bahan bakar. Semua anggota menyiapkan Rainbow Gas tanpa bom untuk melumpuhkan para monster karena mereka harus hemat amunisi. Perlahan, helikopter mendarat dekat sebuah hanggar. Hugo, Fabio dan Chen bersiap jikalau melihat monster mendekati kendaraan terbang mereka. Namun, sampai helikopter itu mendarat sempurna dan mesin dimatikan, tak ada satupun monster terlihat. "Cepat! Cepat!" pinta Lucas selaku co-pilot seraya keluar dari helikopter lalu mengambil dua derigen cadangan di dekat dudukan tempat tiga kawannya duduk. Marco segera keluar dan menggunakan indera penciumannya untuk memeriksa sekitar. Marco memberikan kode kepada kawan-kawannya jika tempat itu aman tak tercium keberadaan monster. Hugo memimpin di depan menuju ke tempat tong-tong bahan ba
Ternyata, Irina sungguh tak keluar kamar usai Sakura menginterogasinya. Kecurigaan Sakura dan Maksim semakin menguat karena gadis cantik itu mengurung dirinya di kamar hingga makan siang tiba. Marco dan timnya yang telah selesai mengamankan gedung dengan darah monster hasil kerja keras Maksim, segera masuk ke dalam hotel untuk menikmati makan siang yang telah dipersiapkan oleh para anggota Red Skull. Anak-anak membantu dengan membersihkan ruangan di hotel yang sering digunakan agar tetap rapi dan bersih. Keharmonisan terasa di dalam bangunan bertingkat yang kini dihuni oleh para manusia yang berhasil bertahan dari wabah monster. Para pria masuk ke kamar masing-masing untuk membersihkan diri sebelum berkumpul di ruang makan. Namun, saat Marco akan masuk ke kamar, ia terkejut karena pintu itu dikunci dari dalam. Marco mencoba mengetuk pintu berulang kali, tapi Irina tak kunjung membuka pintu kamar tersebut. Marco mulai panik karena tak ada tanggapan dari dalam kamarnya. "Irina! Irin
Anak-anak yang dikumpulkan di lobi, mendapat sambutan hangat dari anggota Red Skull dan Irina. Sakura sangat berterima kasih meski ia sedih setelah mengetahui jika Galina telah berpulang. Sakura berjanji akan mengunjungi makan Galina bersama Maksim nantinya. Malam itu, anak-anak diberikan kamar untuk mereka tinggal selama di tempat tersebut. Terlihat, anak-anak senang karena fasilitas dari hotel memberikan kenyamanan dan ada banyak orang dewasa di sekitar yang akan melindungi mereka. Namun, Irina malah mengurung diri di kamarnya tak ikut menyambut seperti yang lain. Gadis itu terlihat takut setelah mengetahui jika Sakura mengenal orang-orang yang telah tewas dari pihak 13 Demon Heads saat disebutkan oleh anggota Red Skull. CEKLEK! "Hem, pasti dia lelah," ucap Marco ketika kembali ke kamar dan mendapati Irina sudah tertidur di ranjang. Marco segera melucuti pakaiannya lalu membersihkan diri di kamar mandi yang berada dalam satu ruangan, meski terpisah dinding dengan ruang tidur. Tu
Kelompok Marco bergegas berlari mendatangi kelompok yang baru saja datang untuk mengamankan mereka dari serangan Monster. Kelompok itu terpaksa berpisah karena letak pendaratan helikopter. Marco berlari kencang mendahului kelompoknya karena ia mencium bau monster di sekitar wilayah itu. Marco panik, takut anak-anak itu terluka. Sedang Maksim, Fabio, Lucas dan anak-anak yang ikut bersama mereka terus berlari mendatangi gedung hotel tempat mereka berlindung nantinya. Namun, tiba-tiba saja .... "Horg!" "Serigala monster!" teriak Fabio lantang saat melihat tiga ekor serigala berlari kencang, muncul dari persimpangan jalan. Hewan-hewan itu terlihat beringas. Mata mereka menyala merah dengan air liur menetes dari rahang bergigi tajam tersebut. "AAAAA!" jerit anak-anak histeris. "Terus berlari! Jangan berhenti!" teriak Maksim berusaha sekuat tenaga mengikuti anak-anak itu. Fabio dan Lucas dengan sigap mengarahkan senapan laras panjang mereka untuk menjatuhkan para serigala. "Heaaahhh
Saat Irina tampak gugup karena ditatap tajam oleh kekasihnya—Marco—dan dicurigai oleh Maksim, tiba-tiba terdengar suara mesin gemuruh rendah dari kejauhan. Maksim, Irina dan Marco yang berada di atap gedung langsung menoleh ke asal suara. Mata mereka menyipit saat mendapati dua buah helikopter mendekat dengan sorot lampu menyilaukan menunjukkan posisi mereka di malam gelap. "Itu mereka! Itu pasti Sakura dan timnya!" seru Maksim gembira. Praktis, Marco dan Irina langsung berdiri ikut bahagia. Namun, mereka melihat cahaya berkedip dari dermaga tempat kapal dijaga oleh Chen dan Amy. Kapal mereka menjauh dari dermaga seraya terus menyuarakan klakson kapal. Irina melebarkan mata saat hidung Marco bergerak seperti mengendus. "Monster!" seru Marco lantang menunjuk ke bagian bawah bangunan. Mata Irina dan Maksim terbelalak lebar ketika melihat di jalanan, segerombolan manusia buas itu berlari ke arah mereka. Marco yakin, para monster itu pasti tertarik karena suara dan pergerakan helikopt
Praktis, semua orang terkejut mendengar hal yang tak pernah diketahui itu. Maksim memangis terisak terlihat begitu sedih. Hati para pendengar ikut pilu. Pinky dan anggota Red Skull duduk di sekeliling Maksim mencoba menenangkan hatinya yang berduka. "A-aku ... aku sedang dalam perjalanan untuk menyusul Galina karena ia tak bisa kuhubungi. Aku ... ingin memastikan jika Utara memang layak dihuni. Aku ... aku berencana membawanya kemari bersama anggota Red Skull yang masih bertahan, tapi ... hiks, Galina," ucapnya sedih sampai terbata. Tak ada yang bisa memberikan nasehat atau ucapan meneduhkan hati. Marco memeluk Maksim yang terlihat begitu kehilangan sang isteri. Marco melirik Pinky dan wanita itu mengajak Zeni untuk memanggil anggota lainnya. Marco menemani Maksim bersama Irina yang masih berada di lobi hotel. Sedang anggota lainnya, kembali menyusuri bangunan untuk mencari tempat bernaung selama di hotel yang ditinggalkan tersebut. Akhirnya, tangis Maksim reda setelah ia puas melu
Semua orang sudah bersiap dan membidik pintu lift yang masih tertutup rapat. "Satu, dua, tiga!" TING! "Hah!" "Oh! Tahan! Tahan!" teriak Irina saat ia hampir saja melemparkan granat Rainbow Gas dalam genggamannya. Marco segera turun dan berlari mendekat. Irina merapatkan tubuhnya ke sisi Marco saat pria itu mengendusnya. Irina memasukkan kembali granat itu ke dalam saku celananya. "Bagaimana, Marco? Dia manusia atau ... monster?" tanya Irina cemas. "Baunya seperti monster. Namun, jika melihat gelagatnya, ia seperti manusia. Mirip ...." "Seperti saat Bykov ditemukan?" sahut Hugo dan Marco mengangguk membenarkan. Marco memberi kode kepada anggota Red Skull yang bersembunyi jika pria tersebut seperti bukan ancaman. Marco melangkah mendekat perlahan terlihat hati-hati karena pria itu tampak ketakutan. "Hei, apa ... kau baik-baik saja?" tanya Marco penasaran. Tiba-tiba saja, pria itu keluar dari lift dan memeluk Marco. Semua orang terkejut karena pria tua bertubuh gemuk itu menang
Polo, Bruno dan Robin terlihat fokus dengan tujuan baru mereka. Speed boat menyusuri sungai hingga akhirnya mereka tiba di lokasi. Terlihat sebuah bangunan seperti telah dipersiapkan layaknya benteng pertahanan. Yusuke merapatkan kapalnya di sebuah dermaga kecil tepi sungai itu. Para penumpang turun satu persatu tanpa muatan. "Kita tak ke hanggar?" tanya Polo heran. "Kita akan pergi besok pagi. Malam ini, kita menginap di sini. Segera turunkan barang. Sebelum gelap, kita harus bersiap," jawab Yusuke seraya menenteng senapan laras panjangnya. "Memang kenapa dengan malam hari?" tanya Bruno curiga. "Akhir-akhir ini, serangan monster sering terjadi. Seperti yang kubilang sebelumnya, orang-orang yang berhasil selamat diawasi. Sebelum kami tiba di sini, aku melihat drone melintas di tempat terakhir kami berada. Tak mungkin 'kan jika monster yang mengendalikannya. Jadi, aku cukup yakin jika itu perbuatan anak buah Hendrik," jawab Lope. Polo dan semua orang tegang seketika. "Seperti kec