“Biarkan dia pergi, tidak usah kamu kejar, Danang!” ujar Hartono saat langkah kaki anak lelakinya hendak melangkah menyusul anak istri.“Tapi, Bapak ….”“Sudah saatnya mungkin, kamu kembali pada apa yang seharusnya menjadi takdir kamu sejak dulu. Tidak sadarkah kamu, Danang, kalau Firna memang ditakdirkan untuk menjadi jodoh kamu? Masuklah, nikmati hidangan. Lihatlah dan buka mata kamu! Wanita yang kamu perjuangkan, tidak punya adab sama sekali. Bahkan, Firna tidak pernah membentak bapak ibumu. Meskipun dia seringkali diminta untuk bertahan dalam posisi yang menyakitkan, dia tetap patuh. Sementara Rasti? Dia tidak punya siapapun di dunia ini, tapi tidak pernah merasa bersyukur, membangkang pada kita yang telah menyelamatkan dia dulu. Mengambilnya agar memiliki keluarga.”“Tapi, Pak, bukankah kita telah mengambil ….”“Apa yang kita dapatkan sudah menjadi rezeki buat kita. Karena, sesuatu tidak mungkin menghampiri, jika itu bukan takdirnya. Jadi, semua yang kita miliki, itu memang jatah
Danang seolah tertampar dengan pengakuan dari wanita yang selalu memendam rasa cinta untuknya sejak dulu kala. Ia telah memulai sesuatu yang salah dengan Rasti. Dan kini, apa yang terjadi di masa lalu, mengikatnya dalam sebuah belenggu. Dan Firna, juga harus berada dalam lingkaraqn menyakitkan itu. “Maaf,” ujar Danang lirih. Ia sudah berdiri di belakang Firna. Tangannya memegang pundak wanita ayu di depannya. Firna berbalik. Sepsanag mata yang lentik menatap bola mata Danang. “Tetaplah bersikap lembut padaku. Meski aku tidak mendapatkan nafkah batin sebagai istrimu. Karena itu, satu-satunya hal yang bisa membuat aku bertahan,” pintanya penuh harap. Danang menghenbuskan napas kasar. Sebelum akhirnya mengangguk. Dan tanpa sadar, jari jemarinya meremas tangan Firna. “Maafkan aku,” ujarnya lirih. ‘Ingin rasanya aku menghambur ke pelukan kamu, Mas. Menikmati waktu hanya berdua di kamar ini,’ ucap Firna dalam hati. Untuk sejenak, mereka saling tatap. Firna dengan tatapan penuh cinta ber
Rasti keluar dari kantor Aris dengan perasaan yang bercampur. Antara lega, juga geram. Betapa keluarga mantan mertuanya telah menyembunyikan banyak hal. Namun, memperlakukannya seolah dirinya hanyalah sampah yang dipungut dan didaur ulang menjadi sebuah hiasan di rumahnya. Selalu diungkit dengan alasan balas budi.“Sabar, satu bula lagi aku baru bisa bertindak, untuk sementara waktu, aku akan menerima apapun perlakuan mereka,’ ucap rasti dalam hati memberikan kekuatan untuk dirinya sendiri.“mama sudah selesai?” tanya Raline setelah beralri menubruk tubuh rasti.“Sudah, Sayang. Habis ini, mau kemana, ayo? Mama turuti,” jawab Rasti sumringah.“Mau makan steak di tempat biasa itu, Ma. Kakak mau?” tanya Raline pada Nadine. Kakaknya hanya menjawab dengan anggukan.Rasti melirik jam di pergelangan tangan. Sudah menunjukkan pukul empat lewat. “Baiklah,” sahutnya mantap.Sepanjang perjalanan, rasti tidak mendengarkan Raline yang berbicara banyak hal. Anak kelas satu SD itu mengomentari apa s
Giliran Nadine yang memandang ketiga orang tersebut tanpa kedip. Dilihatnya Danang yang menggandeng tangan Yasmin, mendudukkan anak kecil itu dengan begitu lembut. Firna yang tersenyum melihat tingkah manis dua orang yang sangat ia cinta. Semuanya tak lepas dari perhatian Nadine.Rupanya, Danang memang baru saja ke toilet karena mengantar Yasmin menyusul Firna. Sementara makanan telah tersaji di meja. Restaurant itu memang cepat dalam menyajikan makanan.“Suapi,” rengek Yasmin pada Danang.“Suapi Bunda ya, Sayang, Pak Dhe capek. Kasihan,” bujuk Firna. Namun, Yasmin tetap merengek.“Gak papa, sini, aku yang suapi.” Danang mengambil sendok yang ada di tangan Firna, lalu menyuapi Yasmin yang duduk di hadapannya.Sekilas, orang yang tidak tahu akan mengira jika mereka sebuah keluarga. Karena kenyataannya memang, Firna adalah istri Danang meskipun siri. Sikap hangat ketiganya, bisa membuat iri siapapun yang melihat. Tak terkecuali dengan dua kakak beradik yang melihat ayah mereka berada di
Rasti hanya memainkan sendok pada daging yang ada di hadapan. Danang berusaha keras membujuk Raline yang sudah terlanjur ngambek.“Kenapa Papa pergi ngajak Yasmin? Apa Papa mau jadi papanya Yasmin?” Raline masih terus protes.“Sayang, tadi itu, Yasmin minta makan. Bundanya gak bisa naik mobil ….” Danang memberikan alasan.“Kenapa Papa tidak mengejar kami? Kenapa Papa biarkan kami jalan kaki dan Mama kelelahan gendong aku?” Raline terus meracau.“Sayang, jangan keras-keras. Malu dilihat banyak orang nanti,” ujar Danang membujuk. “Maafkan Papa ya, tadi Papa masih ikut acara ulang tahunnya Eyang,” sambungnya lagi.Nadine melakukan hal yang sama dengan Rasti. Memainkan daging di depannya.“Ras ….” Panggil Danang lembut. Terselip rasa bersalah yang begitu besar, mendengar penuturan si Bungsu. “Maaf, ya?” lanjutnya lagi.Rasti masih diam. Ia tidak mungkin menjawab di hadapan kedua anaknya. “Sudah selesai? Kalau sudah, ayo, kita pulang,” ajaknya tanpa mempedulikan keberadaan Danang.“Aku mal
Mobil telah kembali memasuki halaman rumah. Tanpa mempedulikan Firna yang terlihat kerepotan menggendong Yasmin yang tidur, Danang segera keluar mobil dan berlari masuk ke dalam rumah. Dilihatnya kedua orang tuda yang tengah berbahagia, bernyanyi menggunakan mic dengan melihat teks yang terpampang di layar lebar. Tidak peduli waktu menjelang Maghrib, kedua pasang suami istri yang sudah berumur itu judtru terlihat menikmati alunan musik.Tanpa ijin dari Wening maupun Hartono, Danang mematikan televisi.“Danang kenapa sih?” protes Wening tidak terima.“Kenapa Ibu membuatkan seragam yang berbeda untuk mereka?” tanya Danang tanpa basa-basi.Wening menarik napas, dan merubah posisi duduk, lalu berkata, “Danang, jujur saja, ibu sudah lama mengenal orang tua Rasti, jauh sebelum membawa Rasti ke sini. Ada banyak hal yang membuat kami tidak cocok. Termasuk bapakmu sebagai rekan bisnis. Kamu tahu, bukan? Bila sebuah perasaan itu tidak dipaksakan? Tidak semua orang seperti Firna, yang bisa memaa
“Kenapa matamu sembab?” tanya Danang menyelidik saat Rasti baru pulang dari mengantar anaknya ke sekolah. Ia memang tidak berangkat bekerja, karena akan membahas keadaan rumah tangganya dengan Rasti. Pagi hari, istrinya terdengar melakukan panggilan telepon dengan atasan dan membahas tentang toko yang diliburkan.“Tidak apa-apa. Kenapa kamu belum berangkat?” tanya Rasti balik. Meskipun terdengar dingin, tapi Danang sangat bahagia mendengar sang istri berbicara setelah beberapa hari saling diam.“Aku sengaja menunggumu. Aku ingin bicara sama kamu. Aku, aku rindu sama kamu,” aku Danang lirih.“Oh …,” sahut Rasti datar. Ia lalu memasuki kamar, hendak mengambil baju santai.“Jangan seperti ini terus. Aku tidak tahan. Kembalilah seperti dulu. Aku, aku sangat mencintai kalian,” ucap Danang sambil memeluk tubuh Rasti dari belakang.“Keadaan sudah lain, Mas. Semuanya telah berubah, dan kamu sudah memiliki Firna,” lirih Rasti.“Berhentilah membahas dia saat kita bersama. Agar kamu merasa, hany
Betapa terkejutnya Danang, setelah mengetahui kalau mereka sedang mencari sertifikat showroom.“Kenapa bisa gak ada?” tanya Danang ikut heran.“Ya, ibu tidak tahu, Danang. Ibu taruh di sana. Lagian, siapa yang berani masuk kamar ini dan mengambil benda itu? Itu sertifikat ada di balik map yang sudah usang. Tidak berharga sama sekali,” ujar Wening dengan masih meneliti baju yang ada di lantai satu per satu.Danang menggigit bibir bawahnya. Ia mencoba mengingat-ingat sesuatu hal, kemudian menghubungkan dengan pertanyaan rasti tadi pagi. Ia lalu berbalik dan menuju kamarnya.“Apa mungkin, Rasti mengambil sertifikat itu? Makanya dia tadi tanya tentang orang tuanya?” gumam Danang setelah duduk di tepi ranjang. Ia terlihat berpikir keras.Merasa tidak tenang, dirinya bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam kamar.Sebuah ketukan di pintu membuatnya berhenti. Saat ia membukanya, Hartono berada di sana. “Apa ada yang masuk kamar, saat kamu di rumah dan bapak ibu tidak ada di rumah?” tanyan
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny