Dengan langkah berdebar, Rasti menuju ruang tamu. Tempat dimana Yasmin berada. Urusan Mbok Sum sudah beres, ia tinggal memastikan, Yasmin keluar dari rumah. Meskipun masih kecil, bukan tidak mungkin, anak dari Firna itu akan mengadu pada eyangnya, kalau dirinya masuk ke kamar dari pemiliki rumah megah itu.
“Yasmin mau jajan?” Rasti memancing dengan pertanyaan itu.
“Mau. Tapi, Eyang gak kasih uang tadi,” jawab Yasmin jujur.
“Baiklah, ini Bu Dhe kasih uang buat jajan, ya? Kamu jajan sesuka hati kamu. Di warung depan saja, ya? Nyebrangnya hati-hati,” ujar Rasti seraya mengulurkan uang dua puluh ribuan. Anak kecil itu bersorak girang. Dan langsung berlari meninggalkan kamar.
Degup jantung Rasti terasa semakin kencang, manakala ia mulai melangkah menuju kamar yang berhadapan dengan ruang keluarga. Pintu kamar yang tinggi tertutup rapat. Dalam hati berharap, kamarnya tidak terkunci. Namun, harapann
Mohon maaf salah uploud. Sudah saya perbaiki.
“Jika aku ke sana, apa bapak kamu mau berbicara semuanya sama aku?” tanya Rasti setelah sekian lama terdiam. “Mungkin saja, Mbak, coba saja,” jawab Huda acuh. “Aku tahu, aku memang telah bersalah dengan percaya begitu saja orang-orang yang tiba-tiba datang. Tapi sekarang, aku sudah bertekad untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Dan aku, sudah memegang sesuatu yang sangat penting,” kata Rasti mencoba membuat Huda tak lagi menyalahkannya. “Apa itu, Mbak?” tanya Huda penasaran. Kalimatnya sudah tidak seacuh yang tadi. “Kamu tidak perlu tahu sekarang. Yang jelas, bila kamu memang kasihan sama mendiang bapakku, maka bantulah aku untuk menemui Pak Rano,” “Tempat kerja Bapak itu jauh, Mbak. Harus naik pesawat, setelah itu, masih harus menempuh perjalanan berjam-jam,” “Tidak masalah. Aku akan melakukannya,” tegas Rasti.
Firna yang masih duduk di atas bed dengan infus terpasang di lengan, hanya bisa mengikuti gerak-gerik lelaki yang sangat dicintainya itu melalui tatapan matanya. Sekalipun raga dan hati Danang tak bisa ia miliki, dirinya sudah cukup bahagia dengan hanya melihat senyum terukir di bibir kakak iparnya itu. “Mas, suatu ketika nanti, saat aku sudah siap, aku akan mengatakan itu pada kamu,” ucap Firna dengan suara sedih. “Apa maksdunya?” Danang yang sedang memasukkan baju ke dalam tas mendongak dan bertanya. “Talak. Kau boleh mengucapkannya saat aku sudah benar-benar siap. Untuk saat ini, biarkanlah aku menjadi istri sirimu, istri rahasiamu, yang hanya bahagia melihat kamu tersenyum untukku.” Danang bangkit dari posisi berjongkok, berdiri di samping Firna lalu berkata, “aku akan doakan kamu bertemu dengan jodoh kamu yang sesungguhnya. Yang mencintai kamu dan kamu pun mencintainya.
“Kalian di sini ternyata. Papa panggil tidak ada yang menyahut,” ucap Danang saat menemukan yang dicari berada di dalam kamar.“Papa kenapa baru pulang?” si Kecil Raline bertanya.“Maaf, Papa habis—“ Danang berhenti memberikan penjelasan. Karena ia tahu, jika ditersukan akan menyakiti hati Rasti. “Kalian sedang apa di sini?” sambungnya lagi.“sedang bermain, Papa,” jawab Raline yang belum paham apa yang terjadi.“Kakak kenapa diam? Tidak kangen sama Papa?” tanya Danang pada Nadine. Anak sulungnya itu menggeleng lemah.“Mama?” Tatapan danang kini beralih pada istri pertamanya.“Mandilah! Jika belum makan, masih ada makanan di meja” Rasti menjawab dingin.Danang sadar dan memahami, bila ia diperlakukan sedemikian cuek oleh ketiga orang yang
“Bapak dan Ibu sayang sama kamu, rasti,” “Rasa sayang itu bisa dirasakan. Bukan hanya sekadar ucapan dari orang lain.” “Kenapa aku seperti tidak mengenal kamu, Rasti? Berapa hari kam u bekerja? Dan dengan siapa kamu bekerja? Sehingga sifatmu berubah seperti in ….” “Kamu terlalu sibuk menjaga Firna. Hingga tidak tahu dengan apa yang terjadi sama aku.” “Dia sendirian tidak ada yang menunggu.” “Ada orang tuanya. Atau, bisa meminta siapapun orang yang butuh bayaran untuk menjaganya.” “Rasti! Jawab dulu pertanyaan aku!” tegas Danang. “Ok. Aku tidak berubah, Mas. Aku hanya seperti orang yang tersadar dari mimpi yang sangat panjang. Yang dinina bobokan oleh singa, hanya agar aku tidak pernah bangun dan tahu kenyataan yang terjadi.” Mendengar jawaban Rasti, danang tersentak. Ada gurat gelisah di wajah. Hatinya mendadak diliputi keta
Danang gelisah di dalam kamar tidur. Ia yang sudah berbaring menunggu sang istri datang seperti waktu-waktu sebelumnya –harus menlan rasa kecewa. Sejak sore tadi, Rasti bersikap sedikit pendiam. Meski dirinya berusaha mengajak mengobrol berkali-kali, wanita yang telah ia nikahi bertahun-tahun itu menjawabnya singkat. Pun dengan Nadine, si Sulung yang sangat dicintainya itu berkali-kali tertangkap basah tengah memandang dirinya dengan tatapan yang tidak biasa. “Kakak kangen sama Papa?” pancing Danang saat lepas Maghrib anaknya selesai sholat. Nadine menggeleng. Danang lalu mengajaknya ke teras, dengan alasan menunggu pedagang lewat. “Kakak marah sama Papa?” tanya Danang lagi saat keduanya duduk bersila di atas keramik. “Kakak hanya takut. Suatu hari nanti, kami harus diusir Eyang dari rumah ini,” jawab Nadine polos. “Kakak, Sayang, jangan berpikir
"Rasti, kita perlu bicara,” ucapnya saat Rasti telah bersiap berangkat. Sementara Nadine dan raline telah menunggu di depan rumah. “Tidak ada yang perlu dibicarakan, Mas. Kita ini suami istri yang yah, seperti biasanya. Jadi, menurut aku, tidak ada masalah penting,” “Kamu benar-benar berbeda,” desis Danang. “Setiap orang, akan berada di fase yang berbeda suatu ketika. Entah karena sebuah kejenuhan, keadaan yang menyakitkan, maupun karena disebabkan oleh suatu kebohongan yang ia ketahui. Meskipun suami istri, tapi masing-masing dari kita, tetaplah pribadi yang memiliki ruang untuk privasi,” ujar Rasti datar. Danang kembali tersentak. Sebuah kata bohong, begitu menampar hatinya. “Pulanglah cepat! Aku akan mengajak kalian jalan-jalan,” ucap Danang memberi perintah. “Aku tidak yakin, bila hari ini tidak ada yang memintamu datang.” Usai berkata demikia
Ponsel Rasti kembali berdering saat ia akan menjalankan kendaraan dari bank menuju sekolah kedua anaknya. Dengan terpaksa menyandarkan motor kembali dan mengangkat telepon yang ternyata dari sang suami.“Pulang cepat, ya? Kita akan jalan-jalan,” ujar Danang tanpa basa-basi.Rasti yang semula berniat menjemput Nadine dan Raline, mengurungkan niat. Karena untuk saat itu, dirinya tidak ingin berdekatan dengan Danang. Karena ia sadar, terlalu lemah bila sudah berdekatan dengan lelaki yang telah mengarungi biduk rumah tangga dengannya bertahun-tahun, terlebib bila sudah mendapatkan sentuhan kasih sayang.“Tidak! Kali ini aku tidak akan mundur,” ujarnya seraya menggelengkan kepala. “Aku sudah teralu lemah, karena merasa dicintai seseorang di saat kehilangan orang tua. Ada hal yang harus aku kerjakan, dan aku tidak akan mampu melakukannya bila Mas Danang sudah mengatakan sesuatu hal yang manis. Ah,
Tak berapa lama, wanita itu kembali dengan sudah memakai daster. Jilbab instan senada dan bibirnya memakai pewarna yang merah menyala. “Mak, gak usah berlebihan, sih,” ucap Maryam sengit. “Biarin aja deh, Mar. Mak juga ‘kan kepengin dandan.” Rasti hanya tertawa melihat pertengkaran kecil kedua ibu dan anak di hadapannya. Ia lalu bangkit dan bersiap pergi. “Eh, Ras!kamu sudah makan belum?” tanya Sumarti membuat rasti berhenti. “Sudah sholat belum?” sambungnya lagi. Rasti menggelengkan kepala. “Kamu ini, Ras. Kamu muslim apa bukan? Kok ya jam segini belum sholat dan mau bertamu. Mau sholat jam berapa? Ayo, sana, sholat dulu! Bagaimana mau berjuang? Kalau kamu tidak minta tolong sama yang punya jagat raya?” omel Sumarti. Bibirnya yang sudah merah merona bergerak lincah. Untuk kali ini, rasti terpukul dengan apa yang Sumarti kat
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny