POV FIRNA
Aku menyukainya sejak pertama kali kami berjumpa. Meski kutahu, ia pemuda yang sudah dewasa, tapi entah kenapa, aku merasa jatuh hati. Pucuk dicinta, ulampun tiba. Ia yang aku kagumi ternyata sosok yang akan dijodohkan denganku.
“Jika kamu mau, orang tua Danang mau ke sini untuk ya, sekadar menjalin kesepakatan di depan kalian berdua.” Begitu kata Papa suatu malam saat kami selesai makan.
Hati ini berbunga dan penuh kebahagiaan. Namun, aku menyembunyikannya di hadapan Mama dan Papa, serta adik semata wayangku yang saat itu masih duduk di bangku kelas lima. Dia cowok yang jahil dan hobi menggoda. Ole karenanya, aku tidak ingin menunjukkan senyum malu-ku di depannya.
Kjepala ini tertunduk seraya mengangguk. Saat mendongak, kulihat senyum Mama penuh godaan.
“Mama tahu, kamu suka sama Danang,” ujarnya saat masuk ke kamarku, setelah acar
Selepas SMA, aku memutuskan untuk kuliah. Hal ini tentu ditertawakan kawan-kawanku. Dan aku, hanya menanggapiu dengan senyum. Senyuman yang mengungkapkan kepedihan karena cintaku harus kandas.Pak Hartono tentu tidak setuju dengan keputusan anak sulungnya. Ia tetap memaksa, bahwa suatu hari, kami harus berdiri di pelaminan.“Jangan sedih, Sayang. Danang bilang ingin seorang wanita yang dewasa. Kamu harus menjadi dewasa dulu, Ibu yakin, dia pasti mau sama kamu,” ujar ibu Mas Danang yang sudah mengajariku memanggil sebutan ibu sejak dulu—mencoba memberikan wejangan.Hati berusaha menepis rasa itu. Tapi yang terjadi, aku semakin terluka. Sikapnya yang lemnut, tutur bahasa yang santun dan senyumannya, tidak bisa hilang begitu saja dari ingatan ini.“Anak kecil itu harus belajar yang rajin, jangan malah pengin nikah,” kelakar yang sering kali ia ucapkan saat kami sering jalan
“Kamu tidak pulang, Mas?” tanya Firna saat malam hari ia sudah bisa duduk di atas bed-nya.“Tidak. Aku akan menjagamu di sini,” jawab Danang. Ia masih mengenakan kaus dan celana jeans yang sama dengan yang ia pakai saat pagi.“Pulanglah, Mas! Aku bisa di sini sendirian,” ujar Firna lagi.“Mana ada orang sakit sendirian, Fir?” tanya Danang. Matanya masih menatap layar televisi yang menempel pada dinding.“Ada. Orang yang sakit hati,” kelakar Firna.Danang hanya melirik sekilas wanita yang sama-sama menonton tayangan televisi.“Firna, kenapa kamu menikah dengan aku?” tanyanya kemudian setelah beberapa menit saling diam.Giliran Firna yang menoleh pada Danang seraya berkata, “Siapa yang bisa menolak keinginan Ibu Wening, Mas?” tanya Firna balik. “Kamu p
Rasti termenung seorang diri. Menatap jalanan depan rumah yang basah oleh air hujan. Ia duduk di teras, sembari menunggu sesuatu hal yang ia sudah yakin tidak akan datang. Malam telah larut, tapi ia memilih duduk di sana setelah kedua anaknya terlelap. Ada banyak misteri yang harus ia pecahkan, dibalik lara hatinya mendapati kenyataan hidup dimadu. Maka mulai malam itu, perempuan dengan hidung mancung itu telah bertekad, untuk tetap kuat, demi mengetahui rahasia yang disembunyikan oleh ayah mertuanya. Rasti selama ini jarang memegang uang banyak. Ia berpikir kalau segala kebutuhan hidup telah ditanggung oleh Danang dan tidak pernah merasa sedikitpun kekurangan. Oleh karenanya, ia tidak pernah meminta uang untuk sekadar tabungan. Dan itu amat sangat ia sesali. Diambilnya gawai yang ada di atas meja, dan mulai menekan nomer sahabatnya, Airini. Ia seolah lupa, bahwa waktu telah menunjukkan pukul sebelas malam, dan tem
Sepanjang perjalanan menuju rumah mertuanya, Rasti memikirkan alasan apa dan dengan cara apa ia akan mengambil benda berharga yang ada dalam lemari Wening. Dan hingga motor terparkir di halaman rumah besar milik keluarga Hartono, alasan itu tak kunjung ia dapatkan. Sambil terus berharap dalam hati, ia akan menemukan celah masuk ke ruang pribadi milik orang tua sang suami, Rasti melangkah, menuju pintu yang terlihat terbuka. Hanya ada Yasmin yang tengah bermain di ruang tamu bersama boneka-boneka kesayangan, saat kaki Rasti menginjak pintu rumah megah itu. “Yasmin kenapa sendiri?” tanya Rasti pada anak Firna. Meskipun agak sedikit sungkan, tapi ia mencoba untuk bersikap ramah. “Iya, Eyang ke rumah sakit. Ngantar bajunya Pak Dhe Ayah,” jawab Yasmin polos. Rasti merasa terganggu dengan panggilan yang diucapkan anak Firna. “Yasmin kenapa memanggil Pak Dhe seperti itu? Apa tidak sul
Dengan langkah berdebar, Rasti menuju ruang tamu. Tempat dimana Yasmin berada. Urusan Mbok Sum sudah beres, ia tinggal memastikan, Yasmin keluar dari rumah. Meskipun masih kecil, bukan tidak mungkin, anak dari Firna itu akan mengadu pada eyangnya, kalau dirinya masuk ke kamar dari pemiliki rumah megah itu. “Yasmin mau jajan?” Rasti memancing dengan pertanyaan itu. “Mau. Tapi, Eyang gak kasih uang tadi,” jawab Yasmin jujur. “Baiklah, ini Bu Dhe kasih uang buat jajan, ya? Kamu jajan sesuka hati kamu. Di warung depan saja, ya? Nyebrangnya hati-hati,” ujar Rasti seraya mengulurkan uang dua puluh ribuan. Anak kecil itu bersorak girang. Dan langsung berlari meninggalkan kamar. Degup jantung Rasti terasa semakin kencang, manakala ia mulai melangkah menuju kamar yang berhadapan dengan ruang keluarga. Pintu kamar yang tinggi tertutup rapat. Dalam hati berharap, kamarnya tidak terkunci. Namun, harapann
“Jika aku ke sana, apa bapak kamu mau berbicara semuanya sama aku?” tanya Rasti setelah sekian lama terdiam. “Mungkin saja, Mbak, coba saja,” jawab Huda acuh. “Aku tahu, aku memang telah bersalah dengan percaya begitu saja orang-orang yang tiba-tiba datang. Tapi sekarang, aku sudah bertekad untuk mencari kebenaran yang sebenarnya. Dan aku, sudah memegang sesuatu yang sangat penting,” kata Rasti mencoba membuat Huda tak lagi menyalahkannya. “Apa itu, Mbak?” tanya Huda penasaran. Kalimatnya sudah tidak seacuh yang tadi. “Kamu tidak perlu tahu sekarang. Yang jelas, bila kamu memang kasihan sama mendiang bapakku, maka bantulah aku untuk menemui Pak Rano,” “Tempat kerja Bapak itu jauh, Mbak. Harus naik pesawat, setelah itu, masih harus menempuh perjalanan berjam-jam,” “Tidak masalah. Aku akan melakukannya,” tegas Rasti.
Firna yang masih duduk di atas bed dengan infus terpasang di lengan, hanya bisa mengikuti gerak-gerik lelaki yang sangat dicintainya itu melalui tatapan matanya. Sekalipun raga dan hati Danang tak bisa ia miliki, dirinya sudah cukup bahagia dengan hanya melihat senyum terukir di bibir kakak iparnya itu. “Mas, suatu ketika nanti, saat aku sudah siap, aku akan mengatakan itu pada kamu,” ucap Firna dengan suara sedih. “Apa maksdunya?” Danang yang sedang memasukkan baju ke dalam tas mendongak dan bertanya. “Talak. Kau boleh mengucapkannya saat aku sudah benar-benar siap. Untuk saat ini, biarkanlah aku menjadi istri sirimu, istri rahasiamu, yang hanya bahagia melihat kamu tersenyum untukku.” Danang bangkit dari posisi berjongkok, berdiri di samping Firna lalu berkata, “aku akan doakan kamu bertemu dengan jodoh kamu yang sesungguhnya. Yang mencintai kamu dan kamu pun mencintainya.
“Kalian di sini ternyata. Papa panggil tidak ada yang menyahut,” ucap Danang saat menemukan yang dicari berada di dalam kamar.“Papa kenapa baru pulang?” si Kecil Raline bertanya.“Maaf, Papa habis—“ Danang berhenti memberikan penjelasan. Karena ia tahu, jika ditersukan akan menyakiti hati Rasti. “Kalian sedang apa di sini?” sambungnya lagi.“sedang bermain, Papa,” jawab Raline yang belum paham apa yang terjadi.“Kakak kenapa diam? Tidak kangen sama Papa?” tanya Danang pada Nadine. Anak sulungnya itu menggeleng lemah.“Mama?” Tatapan danang kini beralih pada istri pertamanya.“Mandilah! Jika belum makan, masih ada makanan di meja” Rasti menjawab dingin.Danang sadar dan memahami, bila ia diperlakukan sedemikian cuek oleh ketiga orang yang
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny