“Aku belum mandi. Karena dari tadi sibuk mengompres Bunda. Kalau keluar belum mandi, aku tidak nyaman.” Yasmin berkata dengan kepala menunduk.
“Baiklah. Kamu mandi dulu, ya? Pak Dhe menunggu di ruang tamu.”
“Tapi aku tidak bisa ambil baju di lemari. Itu sebabnya juga aku belum mandi.”
Danang menghembuskan napas pelan, sebelum akhirnya berkata, “Ayo, kita ambil. Bajunya ada di lemari mana?” tanyanya kemudian.
“Ada di kamarku. Bunda juga tidur di sana, katanya biar tidak ingat Ayah.”
Dilema. Itu yang Danang rasakan. Di satu sisi, ingin rasanya segera pergi meninggalkan rumah orang tuanya. Akan tetapi, di sisi lain, hati nuraninya tidak tega, membiarkan anggota keluarga dalam keadaan sakit.
“Baiklah, ayo kita ambil,” kata Danang lagi. Mereka lalu berjalan beriringan menuju sebuah kamar denga
Part 21"Pak Dhe, bolehkah aku meminta sesuatu?" tanya Yasmin saat kami sudah di dalam mobil hendak pulang."Apa?" tanya Danang yang masih fokus di balik kemudi."Aku ingin duduk di teman kota. Sudah lama aku tidak ke sana. Aku ingin naik motor kecil dan juga beli gulali," jawab Yasmin jujur."Kamu ingin sekali ke sana?" tanya Danang memastikan."Iya. Dulu Ayah sering mengajakku ke sana. Aku sudsh tidak pernah ke sana lagi karena Bunda sangat sedih. Kalau aku mengajak ke sana, pasti akan bilang, takut menangis ingat Ayah." Jawaban dari Yasmin membuat Danang memalingkan wajahnya. Ia melihat seorang anak kecil yang malang, yang harus kehilangan ayahnya sejak usia kecil. Hatinya tentu sedih. Namun, bila diminta menggantikan sosok Adrian, Danang merasa itu tidak adil baginya."Nanti main sama Pak Dhe, sampai Yasmin puas," ujar Danang saat keduanya t
"Yasmin tidur, Nang?" tanya Wening saat melihat anak lelaki sulungnya masuk membopong tubuh Yasmin."Iya. Kenyang dan capek sepertinya,""Tidurkan di kamar Ibu. Biar Firna bisa istirahat. Dan gak ketularan sakit bundanya."Danang menurut dengan perintah sang ibu. Ia lalu kembali ke mobil untuk mengambil makanan yang ia beli."Duh, Firna, kamu kenapa sakit seperti ini? Kamu kenapa tidak sembuh-sembuh? Ibu jadi sangat khawatir. Takut terjadi yang tidak-tidak lagi. Sudah kehilangan Adrian, masa kamu seperti ini sih, Nak?" Suara Wening terdengar telinga Danang dari dalam kamar Yasmin.Ayah Nadine dan Raline memegang ponsel yang sudah mati. Ia kini berada di kamarnya. Seharian ia belum menghubungi Rasti. Dan kini, saat benar-benar butuh, benda itu tidak bisa digunakan. Ingin rasanya segera pulang. Namun, melihat keadaan Wening yang berjalan tertatih, membuatnya merasa tidak tega
Danang menghitung setiap detik yang bergerak pada jarum jam yang ada di dinding. Hujan lebat membuatnya tidak bisa keluar untuk membawa gawai yang mati ke tempat servis. Ditambah lagi, keadaan inu dan Firna yang sakit.Mengingat Firna yang sakit, Danang bangun dengan niat ingin melihat keadaan istri keduanya itu.Bagaimanapun, ia harus memantau keadaan Firna.Ketika sampai di kamar, wanita itu tengah berusaha untuk meraih gelas yang ada di atas nakas, hingga akhirnya, benda tersebut malah jatuh dan pecah, menimbulkan suara keras."Jangan beranjak tetap di sana," ucap Danang, lalu gegas pergi untuk mengambil alat kebersihan guna membersihkan serpihan kaca gelas."Minumlah!" ucap Danang seraya mengulurkan gelas yang sudah ia bawa lagu dari dapur.Dengan ragu, dan tangan bergetar, Firna menerima benda itu. Namun, Danang dengan cepat mencegah. Karena takut, gelas
Demi apapun juga, Rasti merasa marah sekali dengan mertua perempuannya. Ia tidak menyangka kalau problem yang dialami dirinya dan sang suami akan diadukan pada anaknya yang masih kecil. "Tidak benar, Sayang. Papa hanya diminta ikut menjaga Yasmin karena dia masih sangat kecil," ujar Rasti menenangkan hati putri sulungnya. 'Rupanya Bu Wening memang menginginkan aku untuk bertindak lebih jauh lagi,' ucap Rasti dalam hati. "Mama, Raline juga pernah dengar, kalau Yasmin katanya mau panggil Papa, Papa juga. Atau Ayah. Apa dia anaknya Papa?" Si bungsu Raline ikut bertanya. Rasti merengkuh kedua putrinya ke dalam pelukan. Hatinya sangat sakit. Namun, untuk sementara waktu, tidak bisa berbuat apapun selain menunggu Danang pulang dan mendengar keputusan darinya akan hubungan pernikahannya dengan Firna. * Tiga malam sudah, Danang tidak pulang. Selama itu ju
"Iya, Mas, ini aku. Istri yang menunggumu selama tiga hari di rumah dan kamu tidak kunjung memberikan kabar. Maaf, bila aku harus mencarimu ke mari. Mengacaukan kebahagiaan kalian barangkali. Karena aku hanya ingin memastikan, suamiku baik-baik saja. Jadi, aku dan anak-anak tidak perlu cemas. Dan syukurlah, kamu terlihat bahagia dan baik-baik saja di sini," jawab Rasti tegas, menutupi segala pilu dalam hati."Ras, maaf, hape-ku rusak. Aku tidak sempat ke tempat servis karena Ibu dan Firna sakit dan mereka tidak ada yang menjaga. Yasmin sendirian tidak ada yang mengurus. Bapak pergi ke luar kita belum pulang. Aku sampai kerja dari rumah. Maksudku, dari sini. Maksudku, Ibu yang sakit keras, Firna sakit juga. Jadi, Ibu tidak ada yang menjaga. Aku menjaga Ibu." Penjelasan Danang terdengar berbelit."Jadi, siapa yang kamu jaga sebenarnya, Mas? Ibu, Yasmin, atau Firna?" tanya Rasti penuh selidik.Danang tidak bisa menjawab. Ta
Sebelum melanjutkan bicara, Rasti menarik napas panjang."Pertanyaan yang selanjutnya. Ibu ...," ujarnya dengan suara bergetar.Sedih yang berusaha ia tahan, kini tak lagi bisa disembunyikan. "Aku tahu, aku dianggap tidak pantas menjadi menantu di keluarga ini, karena aku tidak memiliki suatu apapun. Atau lebih tepatnya, aku tidak tahu, orang tuaku meninggalkan apa saja untukku karena aku terlalu terpuruk meratapi nasib saat itu. Aku terlalu bodoh percaya begitu saja apa. yang dikatakan orang-orang yang mengaku sebagai penolong." Berkata demikian, Rasti melirik Danang. Namun, beberapa detik kemudian, pandangannya beralih pada Wening kembali. "Akan tetapi, kedua anakku, mereka adalah darah daging Mas Danang. Mereka punya perasaan dan usia mereka masih sangat kecil. Pantaskah apabila Ibu sebagai nenek mereka mengatakan hal yang menyakitkan? Hingga akhirnya, Ibu memberikan pilihan, apakah mereka menerima pernikahan ayahnya atau kami harus hidup
Sampai di rumahnya, Rasti segera menenggak sebotol air dingin yang ia ambil dari kulkas. Meskipun ia sadar, air itu tidak mampu untuk meredam gejolak panas dalam hati, tapi setidaknya, tenggorokannya yang kering telah tersiram.Duduk di sofa depan televisi, Rasti menimbang-nimbang langkah yang akan diambil. Jika seblumnya, ia telah memutuskan untuk mengubur keinginan mengungkap masa lalu orang tuanya dalam-dalam, tidak dengan saat ini. Wanita itu memiliki tekad untuk menuntaskan semuanya.Rasti melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas siang. Ia lalu bergegas bangkit lagi, untuk menuju sebuah tempat. Teringat akan ucapan sang suami yang mengatakan tidak bisa pergi ke kantor.Dengan mengendarai motor matic kesayangan, Rasti kembali menembus jalan raya yang padat. Setelah setangah jam lebih berkendara, sampailah ia pada showroom mobil yang kepemilikannya tengah ia ragukan.Dengan melenggang sa
“Aku tanya dulu ya, Mbak, sama Bapak. Kalau tidak bisa pulang, kalau Mbak Rasti pengin ketemu Bapak segera, palingan Mbak yan disuruh ke sana,”“Baik, Huda, hubungi bapak kamu segera dan kasih kabar sama aku,” ucap rasti memutus telepon.Jenuh karena tidak mendapatkan informasi, Rasti memilih bangkit dan berpamitan pada karyawan untuk pulang. Ia lalu menjemput anak-anaknya ke sekolah.***Di rumah sakit, Danang harus mengurus Firna seorang diri. Tidak ada alat komunikasi yang bisa digunakan, membuatnya tidak bisa menghubungi keluarga istri sirinya.Ibu Yasmin sudah ditangani dan masuk ruangan dengan kelas VIP. Danang yang bingung hanya bisa duduk termenung di sofa tunggu seraya menatap tubuh yang terbaring di atas ranjang.“Yasmin …,” rintih Firna. “Yasmin …,” ulangnya lagi.Da
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny