Sepulangnya dari sekolah, aku mampir dulu ke apotek. Snoopy putih prestige masih setia menemaniku. Mobil sedan pemberian Pak Banyu, belum kupakai. Aku belum berlajar nyetir sendiri ke lapangan. Baru diberitahu tekhnik-tekhniknya saja. Aku membeli tiga buah tespeck. Kuturuti saran Imelda. Aku pun tak akan bilang dulu ke Pak Banyu, Bu Fera maupun siapapun. Sebaiknya aku memastikan dulu kalau beneran sudah ada janin dalam perut ini. Soalnya Pak Banyu sudah begitu berharap akan kehamilanku. Aku hanya takut mengecewakannya. Tiba di rumah, Aluna sudah duduk menungguku. Wajahnya sumringah, tersenyum cerah dan tampak seperti battery full charging hari ini. “Yeayyy, Unda pulang.” Dia menyambut kedatanganku.“Ya, Sayang? Kenapa? Pasti ada PR?” telisikku. Walau tubuh ini merasa agak meriang dan lemes. Namun, di hadapan Aluna aku ingin terlihat baik-baik saja. “No, No, No! My home work was done, Unda! Tapiii, Una punya ini! Mau main sama Unda!” Dia mengeluarkan satu buah benda berbentuk bulat
Pov Misye [Mbak, sudah beberapa hari ini, Bu Jingga gak masuk sekolah. Dia lagi hamil dan kondisinya lemah.] Aku membaca sederet pesan yang dikirimkan oleh informanku.[Ada lagi yang lain, Huda?] [Baru itu saja, Mbak. Hanya saja menurut saya ini peluang kamu, Mbak. Bukannya kamu sempat membahas ingin menggugat hak asuh anak?] Huda, namanya. Seorang buruh pabrik yang habis kontrak dan tak sengaja bertemu denganku dalam kondisi butuh uang. Ayahnya sakit-sakitan, Ibunya tak kerja dan dia memiliki tanggungan yaitu adik-adiknya. [Apa menurut kamu, saya akan menang kalau mengajukan gugatan?] Aku mengiriminya lagi pesan. Dalam beberapa hal, Huda cukup bisa diunggulkan. [Setahu saya, Mbak. Dalam pasal 105 KHI menyebutkan bahwa pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun merpakan hak ibunya. Jadi, mumpung Aluna masih kecil, Mbak Misye jauh berhak menjaganya dari pada keluarga mantan suami Mbak Misye.] Aku tersenyum menatap sederet kalimat yang dikirimkan Huda. Tak
Tak lama, aku dirawat di rumah sakit. Hanya tiga hari. Kini aku sudah diperbolehkan pulang, tapi tetap masih harus bedrest. Kandunganku lemah, kata dokter. “Pak, Una mana?” Lirihku ketika suamiku membantuku berpindah ke tempat tidur. Rasanya kangen, tiga hari tak bertemu dengan gadis kecilku. “Pak lagi?” omelnya lirih. Ah, iya lupa. Papa, itu yang sudah kami sepakati ketika Pak Banyu tahu aku hamil. Tapi kan mirip, ya? Bapak sama Papa, cuma beda huruf depannya saja. Namun, ya sudahlah … “Iya, deh, iya … Papa, Una mana?” Aku mengulangi pertanyaan. “Kamu makan dulu, ya! Saya suapi.” Dia malah mengambil mangkuk berisi bubur yang sudah tersedia di sana dan tak menjawabku. Bi Sesa yang menyiapkannya sepertinya. “Tadi suruh nanya pake Papa, sudah ditanya pun gak dijawab pula.” Aku merajuk sambil membuang muka. Kudengar helaan napas Pak Banyu. Lalu dia memalingkan mukaku agar menghadapnya. “Saya cuma tak mau kamu sedih, Nda.” Mimiknya tampak serius. Dia pun sudah mulai membiasakan mem
Pov Banyu“Banyu, pikirkan caranya? Kita gak boleh membiarkan Aluna ikut dengan Misye!” Mama menatapku. Kami berdiri di lorong rumah sakit karena Jingga masih dirawat di dalam, kandungannya lemah.“Hanya saja, umur Aluna masih di bawah 12 tahun.” Aku bergumam seolah bicara pada diri sendiri. “Ya, Mama tahu. Kita satu poin kalah dari Misye. Namun, Mama yakin … masih ada jalan lain.” Mama tampak berpikir. Aku juga terdiam dan merenung.“Pergilah, temui pengacara, Banyu! Lakukan apapun agar hak asuh itu tak akan jatuh padanya. Andai dia Ibu yang baik, Mama juga gak akan sekhawatir ini. Hanya saja … sepertinya, dia hanya menjadikan Aluna sebagai alat. Mungkin dia baru sadar setelah kamu yang memberikan Jingga mahar satu milyar itu. Dia sadar, kamu adalah pohon uang.”“Oke, Ma. Setelah Jingga keluar dari sini. Akan kutemui pengacara.” “Tidak, Banyu. Pergillah sekarang! Waktu kita tak banyak. Misye itu licik dan satu lagi, dia pandai melihat peluang!” “Baik, Ma! Aku pergi! Tolong jaga Ji
Pov MisyeAluna, dia memang putriku. Bahkan kegemarannya ternyata sama sepertiku. Dia suka musik, dia juga pintar seperti hmmm … Mas Banyu. Aku akui, otak Mas Banyu lebih dari pada aku, hanya saja sayang, kadang dia terlalu lurus. Masih terbayang ekspresi Aluna ketika kuajak jalan-jalan dan kujanjikan banyak hal. “Wah jadi nanti Una bisa masuk tivi, Ma?” Bola matanya berbinar. “Tentu! Selama kamu mau tinggal bareng Mama.” Aku mengusap rambutnya. Aluna rupanya cukup mandiri dan memang sangat tidak merepotkan. Dalam hal ini, aku cukup berterima kasih pada Mas Banyu dan Nenek Tua itu. Rupanya dia menjagakan putriku dengan baik. “Wah Una boleh main games terus sama yutub, Mama?” Sepasang matanya berbinar. “Tentu!” “Horeee! Kalau ada Unda, pasti gak boleh. Cuma boleh dipinjaim HP sebentar sama Unda atau Oma. Nanti disimpan lagi.” “Kasihannya anak Mama. Kalau sama Mama, boleh banget, Sayang. Nanti Mama beliin HP khusus buat Una. Jadi kalau Una mau maen games dan nonton yutub, Una bisa
“Gimana keadaannya? Apa dia dirawat dengan baik?” Kudengar suara Bu Fera menjeda. Dia tengah duduk di teras rumah sambil menikmati satu cangkir teh kamomil yang aku buat. Sesekali helaan napas panjangnya kudengar. “Syukurlah … tolong awasi terus, ya, Bi!” Kudengar lagi dia bicara. Suaranya terdengar berat. Kutahu ada kerinduan di sana. Ya, aku paham. Dia pasti sangat merindukan Aluna. “Ya sudah, saya tutup dulu!” Dia sepertinya sudah mengakhiri panggilannya. Lekas aku mendekat dan tersenyum padanya. “Jingga?” Bu Fera menoleh padaku dan tersenyum. Selalu saja begitu. Di depanku tak pernah sedikitpun dia mengeluh. Bahkan kunilai dia selalu bersikap tegar. “Aku mau pamit dulu, Ma. Mau periksa kandungan.” Aku tersenyum padanya. “Sama Banyu?” tanyanya. Aku menggeleng. Setahuku Pak Banyu masih sangat sibuk berkutat dengan pekerjaan. “Naik mobil online saja, Ma.” “Kalau gitu, biar Mama anter.” Dia langsung bangun, lalu pergi ke dalam. Tak lama, dia kembali dengan kunci mobil dan tas ke
Kepalaku masih terasa berat. Perlahan kubuka mata dan memperhatikan sekitar. Ini bukan di rumah. “Alhamdulilah … akhirnya Mama sadar.” Suara lembut itu. Kumenoleh ke sebelah kanan, rupanya Jingga yang barusan bicara. Dia berjalan mendekat dan menyimpan botol air mineral yang tadi dia pegang ke atas meja kecil. “Kamu sendirian bawa Mama ke sini?” “Sama Pak Banyu, Ma.” “Oh sama Banyu, ya? Mana dia?” Aku mengedarkan pandangan.“Urus administrasi, Ma.” Aku menjawab cepat. “Oh ya sudah … ngomong-ngomong … masih saja nyebut Bapak sama suami kamu?” Aku terkekeh. Menantuku ini lucu sekali. “Ahm itu, biasanya Papa.” Dia menggaruk tengkuk sambil nyengir kuda.“Sini, Jingga. Mama mau bicara.” Aku mengisyaratkan dia untuk mendekat.“Iya, Ma.” Dia pun duduk di sampingku.“Cobalah cari panggilan yang mesra. Banyu belum terlalu tua untuk kamu panggil Aa, Akang, Mas atau Abang. Mama dulu sama almarhum Papa kamu, kalau tak ada anak di depan kami masih manggil Mas, tuh. Meskipun menurut sebagian
Pov 3 Banyu meremas kertas yang ada di depannya ketika hasil sidang dikeluarkan pengadilan. Rasa sakit dan kesal menjalar. Bagaimanapun memang usahanya hanya membuahkan hasil tipis. Dari alat penyadap yang dipasang di mobil Misye, tak ada sedikit pun petunjuk terkait kegiatan yang dia tuduhkan. Begitupun dari pantauan Bi Sesa yang sengaja dikirimnya untuk mengawasi Misye. Banyu hanya memiliki sedikit bukti foto-foto lama Misye dari Alea. Bukti yang tak terlalu menguatkan. Di mana mereka tampak terlibat dalam sebuah club dan tengah pesta minuman. “Maaf Pak Banyu. Saya sudah berusaha maksimal. Hanya saja ini semua sudah keputusan hakim. Namun, tenang saja … jika suatu saat terbukti mantan istri Anda berbuat buruk, kita bisa mengambil alih hak asuh itu lagi,” jelas Pak Roy. Banyu hanya meliriknya dingin. Tak ada tanggapan. Benar-benar kecewa berat. Memang selama Bi Sesa mengikuti Aluna di sana. Dia bilang jika Misye tak pernah kelayapan, bahkan tak pernah pulang malam. Alat penyadap y