Luna seperti menelan bongkahan besar kristal matahari. Ia tak tahu harus bicara apa.
Di satu sisi ia lega karena melihat Maya baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda luka apapun di tubuhnya dan temannya itu cantik dan tampak percaya diri seperti biasa, Wajahnya hanya sedikit mengkilap karena keringat.
Di sisi lain, Luna juga kebingungan. Maya tidak menunjukan sikap bermusuhan kepada kedua preman di sampingnya, malah mereka kelihatan segan. Begitu Maya mengibaskan tangan, dua orang itu langsung meninggalkannya di kamar.
“Mbak Maya?” tanya Luna. “kok bisa di sini? Saya … saya kira…”
“kamu kira apa?” Maya balik bertanya. “Mereka itu temen-temen mbak.”
“Tapi mereka penjahat, mbak,” jawab Luna, “Garda patriot kok temenan sama penjahat?”
“’Kamu duluan ‘kan yang nyangka mbak itu garda patriot.” Jawab Maya. Ada nada geli di suaranya. “Mbak sih cuma iyain aj
Luna hanya sempat menjerit tertahan ketika bayangan hitam itu mencoba menggulungnya bersama Dirga.Ia tidak bisa menghindar. Kakinya terlalu berat untuk bergerak. Jadi, ia hanya melakukan sesuatu yang terpikirkan olehnya. Luna spontan mengangkat tangan mencoba menahan serangan Maya walaupun tahu itu akan sia-sia. Tangannya yang kecil tak akan sanggup menahan ombak hitam yang akan segera menelannya hidup-hidup.Bayangan itu menghantam tangan Luna dengan kekuatan pukulan seorang petinju kelas berat dan membuatnya terdesak ke dinding. Punggung Luna terasa nyeri ,sementara rasa ngilu yang berdenyut-denyut menjalari lengannya. Maya rupanya tidak bercanda. Sensasi dingin terasa di tangannya. Luna menghitung sampai tiga dengan mata terpejam. Ia bersiap untuk melihat pemandangan serba gelap dan hawa dingin yang akan ia temui nanti. Pikiran pertama yang terlintas di dalam kepalanya adalah; Apa
Di belakang ada harimau, sedangkan di depan ada manusia buaya jelek yang siap menyantap mereka. Setidaknya, begitulah keadaan yang dirasakan Luna sekarang.Mobil van hitam itu berhenti tidak jauh dari kedua anak itu. Lampu depannya masih menyala terang ketika Maya turun diikuti Ojan dan Malih di belakangnya. Bersama dengan Modo, mereka bergerak mengepung Luna dan Dirga dengan perlahan dan waspada.“Jangan deket-deket!” Luna mengacungkan tinjunya ke arah Modo lalu ke belakang. “Aku masih bisa mukul kalian sampai mental, lho!”Luna harap gertakannya bisa membuat para penjahat itu ragu untuk menangkapnya, atau lebih baik lagi kalau mereka kabur karena ketakutan. Namun, harapannya tampak sulit terkabul, apalagi dengan suara yang mencicit dan tangan yang gemetaran.Modo dan gerombolannya semakin mendekat, sementara Luna terus mengacungkan tinju sambil berusaha menutupi dada dengan
Luna bermimpi.Ia menjadi salah satu anggota Garda Patriot, memakai seragam warna merah menyala dengan lambang matahari keemasan di dadanya. Saat itu, ia sedang berjalan mengendap-endap di balik tumpukan tong di dalam sebuah gudang besar untuk mencari seorang penjahat.Luna akhirnya menemukan si penjahat. Orang itu sedang memunggunginya dan memakai jas laboratorium putih dan tampak sibuk mengerjakan sesuatu. Dikelilingi meja dengan banyak tabung reaksi yang dipenuhi cairan bermacam-macam warna dan baunya minta ampun, seperti ratusan parfum yang dicampur dan diaduk jadi satu.Dengan sekuat tenaga, Luna menerjang si penjahat dari belakang. Mereka sama-sama jatuh dan berguling di lantai. Si penjahat meronta-ronta liar, sampai Luna harus memukul wajahnya dua kali. Setelah si penjahat itu diam, dengan hati-hati Luna menyibak rambutnya untuk melihat wajahnya.Begitu rambut si penjahat tersibak. wajah Tante
Kehadiran Pak Wira membuat Luna seakan di dekatnya ada sebuah perisai besar yang kokoh. Pak Wira kelihatan seperti pria paruh baya pada umumnya. Berambut putih dan tipis sementara keriput-keriput halus menghiasi wajahnya yang berhidung mancung. Namun, dilihat dari bentuki tubuhnya yang terbalut jaket hitam, jelas sekali beliau selalu menjalani latihan olah tubuh yang keras. “Begini Pak Sadewa, kita langsung saja ke masalahnya, ” kata Pak Wira. “Saya mau minta izin ke bapak, agar Luna boleh bergabung dengan kelompok kami, Garda Patriot.” Mata Luna membulat ketika mendengar perkataan Pak Wira. Ia merasa di dalam otaknya terdengar bunyi klik yang menyambungkan semuanya. Pak Wira adalah Mahameru, orang yang menolongnya kemarin. Pimpinan dari kelompok idamannya itu sekarang mengajaknya untuk bergabung dengan mereka. Rasanya, Luna ingin melompat gembira, tetap
Sadewa biasanya tidak mempercayai keajaiban. Namun, saat ini ia sangat membutuhkan hal itu.Mobil yang ia tumpangi melambat di tengah arus ratusan kendaraan. Sadewa duduk dengan gelisah di kursi belakang. Mulutnya berkomat-kamit berdoa rosario. Entah sudah berapa peristiwa ia lewati, Sadewa sama sekali tidak ingat. Setiap kali Sadewa memejamkan mata, ia bisa melihat Luna, putri satu-satunya yang sekarang sedang terbaring di ranjang rumah sakit. Dari hari ke hari, kondisinya semakin memburuk. Semua dokter yang ia temui sudah angkat tangan.Semuanya memvonis hal yang sama: Luna mungkin hanya bisa bertahan beberapa hari saja. Mobil itu akhirnya berhenti sama sekali ketika lampu merah menyala. Sadewa memaki dalam hati. Setiap satu detik yang terbuang di jalanan, peluang hidup anak perempuan satu-satunya itu semakin menipis.
Sembilan tahun sejak keajaiban itu, Sadewa nyaris tidak berubah. Ia tetap pria kurus yang sama, hanya saja mulai sedikit keriput. Helai-helai berwarna kelabu mulai bermunculan di antara rambutnya yang keriting, sementara kacamata bingkai kotaknya terus menebal dari tahun ke tahun.Mengurus seorang anak perempuan sendirian bukanlah hal yang mudah. Apalagi Sadewa juga harus membagi tenaga dan pikiran untuk banyak hal yang lain. Ia harus memeriksa mineral di sebuah batu sambil membacakan dongeng, atau mengetik laporan sambil menyiapkan susu. Di larut malam, di mana semuanya sudah gelap dan tenang, Sadewa masih harus meneliti kristal yang sudah menciptakan sebuah keajaiban untuknya: Kristal Matahari.Usaha Sadewa tidak sia-sia. Luna tumbuh dengan sehat. Putri kecilnya itu sekarang memiliki semua kecantikan dari Diana-mendiang istrinya: Bertubuh mungil dengan kulit putih bening dan rambut hitam tebal yang
Luna seharusnya bisa menebak bagaimana kalau Papa tahu ia membakar telapak tangannya sendiri. Seharusnya ia bisa menyembunyikan hal itu dengan lebih baik.Di malam hari, Luna membukakan pintu untuk Papanya yang lupa membawa kunci. Dahi Sadewa langsung mengkerut.“itu tangan kamu kenapa?” selidik Sadewa “Coba Papa lihat.”Dengan gelagapan Luna menyembunyikan tangannya yang terluka ke balik punggung sambil menggeleng cepat. “Ng-nggak apa-apa, kok, pa.” kata Luna, “Cuma-”“Cuma apa?” tanya Sadewa. “Sini, Papa mau lihat.”Sambil tertunduk lesu, Luna menjulurkan tangan yang terluka kepada Sadewa. Ada bercak berwarna merah gelap yang cukup besar di telapaknya, dan rasanya masih sakit. Padahal Luna sudah mengguyurnya dengan air keran cukup lama dan mengoleskan pasta gigi yang banyak.
Sejak kejadian di Mall, Luna selalu mencari berita tentang Garda Patriot setiap kali ada kesempatan.“Kamu mau ngapain sih, sekarang jadi suka pinjam ponsel Papa terus?” tanya Sadewa waktu Luna meminjam ponsel untuk kelima kalinya dalam minggu itu.“Tugas sekolah, pa.”“Jangan bohong,” kata Papanya. “Kamu pasti cari Garda Patriot lagi. Iya kan?”Dengan malu-malu, Luna mengangguk. “Habis, seru sih,” katanya.“Di Internet banyak yang bilang, mereka itu sama kayak Luna yang punya kekuatan hebat lho, dan juga sering bantuin nangkep penjahat.”“Kalung yang kamu pakai itu buat bikin kamu sehat bukan buat main-main jadi jagoan.” Sadewa mengingatk
Kehadiran Pak Wira membuat Luna seakan di dekatnya ada sebuah perisai besar yang kokoh. Pak Wira kelihatan seperti pria paruh baya pada umumnya. Berambut putih dan tipis sementara keriput-keriput halus menghiasi wajahnya yang berhidung mancung. Namun, dilihat dari bentuki tubuhnya yang terbalut jaket hitam, jelas sekali beliau selalu menjalani latihan olah tubuh yang keras. “Begini Pak Sadewa, kita langsung saja ke masalahnya, ” kata Pak Wira. “Saya mau minta izin ke bapak, agar Luna boleh bergabung dengan kelompok kami, Garda Patriot.” Mata Luna membulat ketika mendengar perkataan Pak Wira. Ia merasa di dalam otaknya terdengar bunyi klik yang menyambungkan semuanya. Pak Wira adalah Mahameru, orang yang menolongnya kemarin. Pimpinan dari kelompok idamannya itu sekarang mengajaknya untuk bergabung dengan mereka. Rasanya, Luna ingin melompat gembira, tetap
Luna bermimpi.Ia menjadi salah satu anggota Garda Patriot, memakai seragam warna merah menyala dengan lambang matahari keemasan di dadanya. Saat itu, ia sedang berjalan mengendap-endap di balik tumpukan tong di dalam sebuah gudang besar untuk mencari seorang penjahat.Luna akhirnya menemukan si penjahat. Orang itu sedang memunggunginya dan memakai jas laboratorium putih dan tampak sibuk mengerjakan sesuatu. Dikelilingi meja dengan banyak tabung reaksi yang dipenuhi cairan bermacam-macam warna dan baunya minta ampun, seperti ratusan parfum yang dicampur dan diaduk jadi satu.Dengan sekuat tenaga, Luna menerjang si penjahat dari belakang. Mereka sama-sama jatuh dan berguling di lantai. Si penjahat meronta-ronta liar, sampai Luna harus memukul wajahnya dua kali. Setelah si penjahat itu diam, dengan hati-hati Luna menyibak rambutnya untuk melihat wajahnya.Begitu rambut si penjahat tersibak. wajah Tante
Di belakang ada harimau, sedangkan di depan ada manusia buaya jelek yang siap menyantap mereka. Setidaknya, begitulah keadaan yang dirasakan Luna sekarang.Mobil van hitam itu berhenti tidak jauh dari kedua anak itu. Lampu depannya masih menyala terang ketika Maya turun diikuti Ojan dan Malih di belakangnya. Bersama dengan Modo, mereka bergerak mengepung Luna dan Dirga dengan perlahan dan waspada.“Jangan deket-deket!” Luna mengacungkan tinjunya ke arah Modo lalu ke belakang. “Aku masih bisa mukul kalian sampai mental, lho!”Luna harap gertakannya bisa membuat para penjahat itu ragu untuk menangkapnya, atau lebih baik lagi kalau mereka kabur karena ketakutan. Namun, harapannya tampak sulit terkabul, apalagi dengan suara yang mencicit dan tangan yang gemetaran.Modo dan gerombolannya semakin mendekat, sementara Luna terus mengacungkan tinju sambil berusaha menutupi dada dengan
Luna hanya sempat menjerit tertahan ketika bayangan hitam itu mencoba menggulungnya bersama Dirga.Ia tidak bisa menghindar. Kakinya terlalu berat untuk bergerak. Jadi, ia hanya melakukan sesuatu yang terpikirkan olehnya. Luna spontan mengangkat tangan mencoba menahan serangan Maya walaupun tahu itu akan sia-sia. Tangannya yang kecil tak akan sanggup menahan ombak hitam yang akan segera menelannya hidup-hidup.Bayangan itu menghantam tangan Luna dengan kekuatan pukulan seorang petinju kelas berat dan membuatnya terdesak ke dinding. Punggung Luna terasa nyeri ,sementara rasa ngilu yang berdenyut-denyut menjalari lengannya. Maya rupanya tidak bercanda. Sensasi dingin terasa di tangannya. Luna menghitung sampai tiga dengan mata terpejam. Ia bersiap untuk melihat pemandangan serba gelap dan hawa dingin yang akan ia temui nanti. Pikiran pertama yang terlintas di dalam kepalanya adalah; Apa
Luna seperti menelan bongkahan besar kristal matahari. Ia tak tahu harus bicara apa. Di satu sisi ia lega karena melihat Maya baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda luka apapun di tubuhnya dan temannya itu cantik dan tampak percaya diri seperti biasa, Wajahnya hanya sedikit mengkilap karena keringat. Di sisi lain, Luna juga kebingungan. Maya tidak menunjukan sikap bermusuhan kepada kedua preman di sampingnya, malah mereka kelihatan segan. Begitu Maya mengibaskan tangan, dua orang itu langsung meninggalkannya di kamar. “Mbak Maya?” tanya Luna. “kok bisa di sini? Saya … saya kira…” “kamu kira apa?” Maya balik bertanya. “Mereka itu temen-temen mbak.” “Tapi mereka penjahat, mbak,” jawab Luna, “Garda patriot kok temenan sama penjahat?” “’Kamu duluan ‘kan yang nyangka mbak itu garda patriot.” Jawab Maya. Ada nada geli di suaranya. “Mbak sih cuma iyain aj
Jangan-jangan, Ojan itu genderuwo yang menyamar jadi manusia. Sejauh yang Luna ingat, belum pernah ada orang yang bisa menahan pukulan dengan tenaga kristal matahari miliknya. Ia bahkan pernah tak sengaja menghancurkan kap mobil yang nyaris menabraknya. Ojan jelas lebih kuat daripada kap mobil. Setelah kena pukul, ia masih bisa berdiri dan ganti mencengkeram pergelangan tangan Luna. Jari-jarinya sekuat besi sampai Luna menjerit, rasanya tangannya akan patah karena cengkeraman orang itu. Luna meronta berusaha membebaskan diri. Ia memukul dan menendang, tetapi Ojan seakan tidak terpengaruh. Ia seolah menganggap serangan-serangan itu hanya gelitikan yang membuatnya geli. “Lepasin temen aku!” Dirga menerjang sambil mengayun-ayunkan kayu yang dari tadi dipegangnya. Ojan menahan serangan Dirga dengan tangan kirinya yang bebas. Batang kayu itu langsung patah menjadi dua.
Luna harap Dirga sedang tidak bercanda.Mereka sekarang berhenti di depan sebuah rumah berlantai dua yang lebih cocok menjadi rumah hantu. Rumah itu kelihatan suram dan sudah ditinggalkan oleh pemiliknya bertahun-tahun. Dinding yang seharusnya bercat putih tampak kuning dan mengelupas di sana-sini, kaca jendelanya juga banyak yang pecah. Di depan pagarnya yang besar, ada Papan tanda DIJUAL yang sudah miring dan lapuk.“Beneran di sini ?” kata Luna ketika bunyi di pin Dirga sudah berhenti.Dirga mengeluarkan pinnya dan menyorotkan ke dinding terdekat. Sekarang, Luna bisa melihat dua titik kuning di peta sekarang hampir saling menempel satu sama lain.“Orangnya pasti di sini,” kata Dirga yakin. “Mau masuk?” Tidak ada kata mundur lagi. Langit di atas kepala Luna sudah mulai berwarna oranye. Ia harus menyelesaikan ini dan p
Mungkin Maya tertangkap oleh gerombolan orang jahat. Ia bisa saja disandera di suatu tempat, bahkan sekarang sedang terluka dan butuh bantuan, atau bisa saja lebih buruk lagi.Luna buru-buru menghentikan pikiran-pikiran yang menakutkan itu. Di tengah rasa panik, ia berpikir keras. Ide yang pertama muncul adalah ia harus menelepon polisi, tetapi ia bahkan tidak tahu Maya ada di mana.Ide lainnya lalu muncul. Ia harus minta tolong kepada teman-teman Maya. Garda Patriot pasti punya banyak jagoan hebat yang bisa menolong Maya. Masalahnya, di mana markasnya? Luna juga tidak tahu.Namun, Luna kenal orang yang mungkin saja mengetahui markas mereka.Dirga, tentu saja dia. Tanpa membuang waktu, Luna bergegas mencari nomor telepon rumah Dirga yang ia catat. Butuh waktu agak lama untuk menemukannya karena kertas catatan itu terselip dalam buku
Awalnya, Luna mengira setelah kristal matahari ada di tangannya ia bisa tidur dengan nyenyak. Namun, ia keliru.Kristal itu seharusnya sudah aman sekarang. Setelah sukses menjalankan aksinya, Luna memasukannya ke dalam tas sekolah. Tertutup kaus olahraga dan tersembunyi di antara buku-buku paket yang tebal. Sayangnya, Luna merasa tidak mengantuk lagi.Kedua matanya tidak mau diajak istirahat sampai jam tiga pagi. Luna merasa baru terlelap beberapa detik saat ia mendengar panggilan Papa dari balik pintu kamar.“Buruan mandi, nanti kamu kesiangan lho.” kata Sadewa.Luna melirik jam wekernya dan mengerang. “Sekarang’kan masih jam setengah enam, pa.”“Katanya mau ke kantor Papa dulu ambil batu. Kalau nggak, nanti kamu telat masuk sekolah.”Luna mengerang lagi. Batu untuk pelajaran IPA hanya cerita bohong