“Pegal kakinya?”
“Enggak kok, Mas.”
“Sini Mas pijitin.”
"Enggak usah kakiku kotor, lagian kan Mas lagi ....”
“Mas bisa! Karena Mas pincang jadi kamu pikir enggak bisa ngurus kamu!”
“Bukan begitu, Mas hiks hiks.”
“Astaghfirrullahaladzim, maaf Dil. Aku bikin kamu takut.” Saga hanya meliriku dia paham betul, tak mau ikut campur masalah kami.
“Maaf Mas kelepasan.”
“Sudah aku bilang aku gak mau dipijat, kenapa Mas malah bentak aku.” Inilah yang aku takutkan aku tak mampu membendung emosi, dan akhirnya malah terjadi. Aku masih berupaya menarik kaki Dilra agar bisa kupijat, tapi dia kembali menurunkan kakinya ke bawah.
“Sudah kubilang gak usah, turunkan aku di sini.” Ya Tuhan, kenapa Dilra jadi sensitif sekali. Biasanya dia tak begini, ini di mana mana mungkin keturunkan dia.
“Turun atau aku lompat.&rdq
“Sa yang..”Belum sempat dia berkata tapi Dila sudah tak sadarkan Diri.“Mbak Rina, cepat ke sini, tolong saya!”Dina adalah asisten rumah tanggaku, tak lama dia langsung datang, wajahnya benar-benar panik, dengan cepat dia langsung turun ke bawah meminta pertolongan tetangga sekitar, tak kupedulikan tatapan orang-orang padaku. Usia kandungan Dilra menginjak 8 bulan, berat badannya berangsur naik tiap bulannya, hingga dia harus di gotong 3 orang agar.Kami membawa Dilra ke klinik terdekat untuk menghentikan pendarahan, alhamdulillah Dilra dan calon bayi kami masih bisa diselamatkan. Hanya saja kondisinya masih sangat lemah.Aku masuk ke ruangan Dilra, wajahnya pucat pasi bak mayat.“Maafkan Mas Dil, maaf karena Mas sudah meragukan kesetiaanmu, Mas pikir kamu enggak akan senekat ini Dil, untuk apa kamu lakukan ini demi aku, bodoh kamu Dil, bodoh.”Sembari memegang lengannya, aku terus menciumnya berkali-kali, hing
"Oke kalau kamu enggak mau menulis, enggak masalah sayang, Mas akan taruh di sini.” Dilra enggan menjawab memilih berbaring di ranjang .Aku keluar dengan perasaan yang entah. Miris, mengetahui dua perempuan yang berarti dalam hidupku malah bernasib sama.“Papah?”“Ya Sayang?”“Bunda marah lagi?” tanya Dion.“Enggak, bunda cuma capek.”“Kenapa Bunda enggak mau ngomong? Aku kan sudah enggak nakal Pah."“Enggak sayang, begini saja deh Dion masuk saja, ajak Bunda bicara pelan-pelan, mau?”“Mau Pah.” Lewat celah kecil di balik pintu, aku mengawasi, Dion mulai memeluk bundanya dari belakang, setelah sebelumnya mengajak bicara namun tak ada respons. Dan ajaibnya. Dilra berbalik, mengusap wajah Dion dengan lembut, meski tak ada kata yang terucap, melihat rengkuhannya pada putra kecil kami, jelas sekali ada begitu banyak kasih sayang yang tersirat dalam diamnya.
"Ada beberapa kasus pasien yang seperti ini Pak, kita lihat saja setelah 3 hari ke depan, bisa jadi karena terlalu lama enggak bicara, jadi Bu Dilra harus kembali menyesuaikan diri lagi, pelan-pelan ya karena saya yakin seharusnya terapi kita berhasil.”Meninggalkan tempat psikiater itu, kami berjalan keluar dengan perasaan hampa.“Kenapa begini Dil?”Ssttt Arghhh!!!Aku memukul keras setir itu, meluapkan emosi yang merasuk. Dilra terkesiap, pandangannya lekat menatap khawatir ke wajahku. “Mas, enggak masalah kalau harus menghadirkan Hiro ke sini, asalkan kamu bisa sembuh Mas lakukan Dil, bahkan kalau kamu mau menikah dengannya sekalipun Mas ikhlas.” “Mas enggak sanggup lihat kamu kayak begini, ini sangat menyiksa, Dil.”Aku mendekap tubuhnya, tapi Dilra malah mendorong pelan memaksaku melepas rengkuhanku padanya, seraya menangkupkan telapak tangan di wajahku, telunjuknya mengusap pelan linangan air mata yang tur
"Jadi selama ini kamu bohong?”Dilra justru mengulum senyum manis.“Kenapa coba enggak jujur, kamu bikin Mas frustrasi tahu enggak?”“Maaf ya, aku cuma mau mencari momen yang tepat saja.”Tiba-tiba pintu kamar kami diketuk dari luar, rupanya Dion di balik sana, dengan kue tart yang ada di tangannya.“Happy birthday Papah,” katanya dengan penuh semangat, padahal ini sudah larut malam, di belakangnya sudah ada si Mbak lengkap dengan nampan berisi pisau juga beberapa piring kecil.Ya Tuhan rasanya baru kemarin aku menyalahkanmu , atas semua yang terjadi dalam hidup, merasa bahwa bahagia, seakan terus saja dibuat menjauh, tapi sekarang dengan mudahnya engkau membalikkan takdirku begitu saja.“Apa ini Dil?”Tanyaku seraya menatapnya nanar, hal-hal seperti ini membuatku emosional.“Selamat ulang tahun Mas, maaf ya membuatmu khawatir, terapinya berhasil kok.”Ya Allah D
“Dil, please kali ini saja, Mas lagi banyak kerjaan. Kamu bisa ‘kan urus anak-anak dulu, jangan taruh mereka dekat Mas. Lihat, dokumen yang baru keluar printer malah ketumpahan minuman. Kalau kamu memang enggak sanggup jaga mereka, bilang!”“Apa memang sudah bosan jadi istri?” sentakku kala itu. Bagaimana aku tak kesal. Dia membiarkan anak-anak masuk ke ruang kerja menumpahkan minuman ke atas lembaran dokumen yang baru saja keluar dari printer. Sementara itu, dia justru asyik di dapur. Bukankah ini keterlaluan.“Dilra, kamu dengar enggak!” Tidak lama setelah itu terdengar derap langkah seseorang mendekati pintu. Ada Dilra di balik sana. Saat itu anak-anak ketakutan memilih memeluk kaki Ibunya, dengan sangat erat.“Seenggaknya kamu nyahutin kalau suami manggil.” Ini yang paling membuat amarahku kian memuncak Dilra justru balik menatap mataku dengan mata nanarnya. Jelas saja itu akan dengan mudah meluluhkan hat
“Hay sayang kenapa ke kantor enggak bilang dulu? Kamu jangan salah paham ya, kami enggak melakukan apa-apa,” ucapku sedikit gelagapan Sial kenapa aku begitu gugup. Aku dan Sekar gelagapan dibuatnya. Sampai-sampai gelas berisi air mineral harus jatuh. Sekar refleks menjerit, tak hanya itu dia bahkan mendekapku begitu erat. Aku langsung mendorongnya. Rupanya suara gelas tadi cukup memancing perhatian orang. Asistenku Vina langsung mengetuk pintu dan masuk begitu saja dengan wajah yang panik. Kenapa harus ada orang saat situasi seperti ini. Sekarang bukan hanya satu. Aku bisa melihat banyak kepala yang menyembul dari balik pintu.Aku mendorong Sekar dengan kasar.“Apan sih, enggak usah lebay deh. Cuma pecahan gelas kok.”“Kamu lihat apa Vina? Keluar!”“Oh iya Pak maaf saya lancang masuk ke dalam, saya pikir terjadi sesuatu.”“Keluar!”“Iya Pak, saya permisi Pak, Bu.”
“Istriku cuma satu kok?”“Loh terus yang di kamar sebelah itu siapa?” tanya Dokter Bima. Dahiku berkerut, tak ada wanita dewasa di sini. Kalau pun Asisten Rumah Tangga, Mungkinkah datang secepat itu. Tanpa pikir panjang aku memaksakan diri keluar, untuk melihat wanita di kamar sebelah, tentu dibantu Dokter Bima. Sayangnya tidak ada siapa pun di sana. Aku bergerak ke lantai bawah, mendekati suara anak-anak. Lalu mataku langsung tertuju pada seseorang yang duduk di sofa ruang tamu.“Sekar? Kamu kenapa bisa di sini?”Ekspresi Sekar tampak sangat tertekan. Matanya sesekali melirik ke arah dapur, aku mengikuti ke mana matanya tertuju. Tak ada siapa pun di sana. Kecuali anak-anak yang tengah bermain tepat di bawah mini bar.“Aku tadi lihat kamu kecelakaan di jalan, jadi aku inisiatif bawa kamu ke sini?”“Dari mana kamu tahu alamatku?”“KTP kamu.”“Terus Dilra di mana?”
“Ya enggak usah dengar mereka, biarkan aja, biasanya juga begitu 'kan." “Iya biasanya memang begitu, tetapi sekarang,yakin hatimu juga tetap begitu? Aku tahu apa yang kamu katakan soal sekar di pesta itu. Aku juga tahu setiap hari kamu makan di tempat Sekar, pasti karena dia yang masak.” “Kamu itu salah paham Dilra, siapa sih yang ngomong sama kamu? Semua itu enggak benar. Mas makan di sana, cuma mau cari suasana baru.” “Awalnya aku berusaha buat percaya, tetapi setiap hari semua seperti terbantahkan, lalu sampai kapan aku harus membiarkanmu tenggelam dalam dosa?” “Please Dil, ngomong aja langsung, tujuan kamu apa? Jangan membuatku menduga-duga.” “Kamu ingin menikahi dia tanpa melepaskan aku 'kan?” “Aku enggak segila itu Dilra, dia masih sah istri orang. Aku enggak seserakah itu. Cemburu kamu itu berlebihan.” Aku melepas rengkuhanku lalu berbalik memunggunginya. “Kamu mau bersumpah? Di depa
Saat merasakan tubuhnya mulai bergetar Dilra segera menepi. Untunglah Ilham sigap mengambilkan air untuknya. “Maaf bikin kalian repot.” “Sudah tugas kami menjaga Ibu,” kata mereka kompak. Adam baru saja menyusul ke sini, karena penasaran melihat Ilham berlarian di tengah kebun. Dilra menatap hamparan kebun nanas miliknya dengan mata nanar. “Panggil Bi Nunik ke sini ya. Aku kayaknya enggak kuat jalan sendiri,” ucapnya lemah. “Bi Nunik lagi nyusul ke sini Bu, tadi ikut panik juga lihat Ilham lari.” “Ayo, Bu. Saya bantu jalan sampai rumah.” “Makasih, Bi.” “Di rumah sudah saya siapkan makanan, Bu. Kesukaan Ibu semua, coba dimakan sedikit-sedikit. Biar ada tenaga.” “Nanti saya makan, kalau perut saya enakkan. ‘Kan sayang makanan enak yang Bibi masak, malah dimuntahkan lagi.” Dilra masih saja mencoba tersenyum pada Bi Nunik, meski saat itu dadanya semakin sesak. Sampai-sampai mereka terpaksa menghentikan jalannya.
“Ibu, mau ke mana?”“Nyusul Pak Adam.”“Enggak usah, tunggu di mobil saja. Paling lagi diberi penyuluhan sama satpam, sebentar lagi pasti balik.”Dilra tak mampu menutupi kekhawatirannya. Bukan hanya pada Adam juga pada nasibnya dan anak-anak. Pikirannya carut marut, menerka-nerka, siapa kemungkinan yang ingin mencelakakannya.Sebelum pergi ke luar kota dia sempatkan untuk kembali ke rumah lamanya. Melepas rindu juga untuk beberapa barang yang akan dia butuhkan. Langkahnya pelan memandangi setiap sudut rumah beserta isinya, sementara anak-anak berlarian ke ruang bermain. Mengumpulkan barang mereka, sebanyak mungkin. Tiba di depan pintu kamarnya langkahnya terhenti saat mendapati seseorang baru saja masuk tanpa mengetuk. Rupanya Mbak Rina, dia menghampiri majikannya, saling memeluk melepas rindu setelah sekian lama tak berjumpa.Wanita itu mulai mengajak tuannya beristirahat di dalam kamar. Namun, sebelum pergi, d
Ruangan pengap dan lembap berukuran 3x3 dengan dinding yang sebagian berlumut, juga langit-langit yang berlubang menandakan rumah ini memang sudah lama tak terjamah. Pencahayaan yang hanya mengandalkan dari senter, membuatnya semakin suram. Hari ini bahkan harus menjadi saksi biksu, pertumpahan darah yang tak bisa dielakkan lagi. Sorot mata membunuh itu masih menatap tajam pada perempuan yang meringkuk seraya memegangi perutnya. Pakainya telah berubah warna menjadi merah darah. Sayup-sayup terdengar kata tolong keluar dari bibirnya yang memucat.“Sudah kukatakan jangan mengusikku, apalagi dia!” Suara bariton kini mendominasi ruangan. Lengan yang berlumur darah itu mencengkeram dagu, wanita lemah di depannya, memaksa agar dia melihat bagaimana perbuatannya membuat wanita yang berada dalam pangkuannya tergeletak tak berdaya.“Aku enggak akan segan, bahkan untuk menghabisimu.” Wanita itu ingin bicara, tetapi rasa sakit di bagian perut membuatnya te
“Loh, Mas mau ke mana?”“Makasih buat infonya, tolong kabari saya kalau Dilra hubungi kamu.”Tanpa persiapan apa pun Galang pergi ke kota Bandung. Untunglah di perjalanan dia sempat tertidur sebentar, setidaknya tenaganya sedikit memulih.“Pak kalau mau tidur enggak apa-apa. Nanti saya bangunkan kalau sudah sampai Bandung," kata Demian, salah satu staff di kantornya.“Enggak perlu, barangkali saya lihat anak istri saya di jalanan.”“Tapi mata Bapak kelihatan capek.”“Enggak apa, saya baik-baik saja.”Galang tetap membuka matanya lebar-lebar. Menengok ke kiri dan kanan dengan gelisah. Sayangnya yang di cari tak ada di sini. Dia benar-benar hanya membuang waktu.Minggu berlalu Galang masih berada di kota kembang. Seperti orang gila dia terus mencari keberadaan anak dan istrinya. Selama di sana dia menetap di rumah Ibu Rima. Malam hari dia baru pulang untuk tidur, l
Esok hari Galang terbangun, namun tak mendapati Dilra di sampingnya. Dia turun untuk mencari, rupanya Dilra tengah di dapur.“Sayang, masih terlalu pagi kok udah masak aja.”“Lagi kepengen aja, aku buat rendang.”“Tahu aja makanan kesukaan, Mas.”“Makanya itu karena masaknya makan waktu, jadi aku mulainya lebih awal.”Galang meletakkan wajahnya di bahu Dilra yang terbuka, wanita itu memakai daster yang mengekspose kedua bahunya yang putih mulus tanpa celah. Tak cukup sampai situ, Galang melingkarkan perutnya di perut Dilra.“Jangan begini.”“Habisnya kamu bikin Mas pengen nempel terus.”Dilra hanya tersenyum, lekas dia berbalik, sebelum pria itu membuatnya harus kembali mandi.“Mas, belum subuh ‘kan?”
Aku hanya diam menikmati suasana kota di sore hari. Sampai kami tiba di lampu merah, untungnya jalanan belum terlalu padat, ini masih pukul 4 sore setengah jam lagi mungkin akan berbeda.Motor menepi di dekat alun-alun, di sini cukup ramai.“Enggak apa-apa ‘kan duduk di sana sebentar ya.” Aku menunjuk pada bangku di taman.“Memangnya kenapa, di mana pun jadi, Mas. Ayo,” ajaknya. Aku masih menggenggam lengan Dilra. Kami duduk menikmati pemandangan anak-anak remaja yang tengah bermain skate board.“Tinggal dulu ya, Mas mau beli minum buat kamu.” Di sana Dilra lebih banyak diam, hanya bicara tiap kali aku menanyakan sesuatu. Aku masih belum menyerah, mencoba mengalihkan perhatiannya pada beberapa remaja yang berpakaian ala korea. Mereka sepertinya sedang shooting video. Orang-orang ramai berkeremun di dekat anak-anak itu. Aku bisa melihat Dilra pun sesekali terkekeh melihat aksi para penari yang begitu en
“Aku yang egois mengedapankan perasaanku meski itu menyakiti Ayah. Aku yang membuatnya meninggal, Ren.” Dilra masih saja menyalahkan dirinya sendiri.“Kamu yakin ingin meninggalkan suamimu?” tanya Irene.“Harus, Ren. Cepat atau lambat.”“Sanggup?” bukannya menjawab Dilra malah menangkupkan wajahnya pada ke dua telapak tangan.“Yakinkan dirimu, Dil. Bisa jadi kalau Ayah masih hidup dia akan merestui hubungan kalian. Selama melihat putrinya bahagia.”“Enggak mungkin, Ayah membenci Mas Galang dan keluarganya. Dia bahkan memilih mati jika aku nekat rujuk, tapi Allah … memanggilnya lebih dulu,” katanya. Dilra terisak, ah andai aku tidak sedang menyamar sudah kupeluk dia. Saat itu ponsel Dilra berdering. Sepertinya panggilan dari anak-anak.“Loh, memangnya Papah pergi ke mana? Bunda enggak pergi sama Papah kok,” kata Dilra.Gawat. Sepertinya aku
Hari yang ditunggu tiba. Sekalinya dapat job malah di luar kota dengan 2 lokasi berbeda. Sebenarnya aku ingin ikut tetapi di akhir bulan. Kantor selalu banyak pekerjaan. Aku tak mungkin meninggalkannya. Tadi pagi saat Dilra berpamitan. Sesungguhnya aku ingin sekali menahannya. Namun, itu sama saja membuatnya lari dari tanggung jawab. Jam makan siang tiba entah ini teleponku yang ke berapa. Dilra hanya tertawa melihatku terus menerus menghubunginya lewat sambungan video.“Aku masih sendiri, Mas. Enggak ada siapa pun, paling nanti ada Irene yang temani aku,” katanya. Aku hanya tersenyum lalu kembali mematikan telepon. Ingin sekali kutanya kapan dia akan bertemu Hiro, tetapi aku takut dia kira aku begitu protektif. Ini hari pertama dia bekerja seharusnya aku mendukungnya.“Pak, permisi, Ehem!” Ternyata seseorang baru saja berdehem. Itu Vina sekretari
Setahuku akan ada petugas keamanan yang berkeliling setiap 3 jam sekali apalagi setelah keributan yang terjadi di rumahku kemarin siang, keamanan kompleks pasti lebih diperketat. Jadi kurasa kami tak perlu capek-capek mengusirnya. Sudah pasti dia akan kembali di usir. Entah tadi malam dia ke mana, hingga sepagi ini sudah ada di depan rumah. “Mas, lebih cepat dikit,” kata Dilra. “Santai ajalah Dek, kenapa juga harus buru-buru,” sahutku. Andai saja aku bisa melambatkan waktu rasanya aku ingin selalu di sampingmu Dil. Setelah mengutarakan keinginanmu untuk kembali bekerja. Hatiku selalu was-was, seolah kamu akan pergi jauh meninggalkanku dan anak-anak. “Kenapa berhenti, Mas?” kata Dilra. Di depan kami ada sebuah tanah lapang yang cukup besar. Dilra langsung turun lantas memeriksa keadaanku. Dia pikir aku selemah itu. Kalau memang khawatir harusnya kamu di rumah saja, jangan pernah bekerja. Biar aku saja. Aku bahkan rela bekerja lebih giat lagi, demi bisa m