Gerakannya yang membeku membuat Mas Zaki mencari arah pandang Arsi. Kemudian kami saling menatap. Detik berikutnya kulihat Mas Zaki mengusap wajah dengan kesal. Ada kilat panik di matanya saat melihatku.Kenapa dia harus seperti itu? Apakah dengan membeli rumah sakit tempat adiknya Arsi bekerja kemudian akan membuat semua permasalahan selesai? Kadang aku tak mengerti cara berpikir para lelaki ini.Aku meninggalkan keduanya dengan segera, dan memilih pintu samping untuk masuk ke dalam rumah. Sengaja kulakukan agar tak harus melewati banyak orang yang masih berkumpul di depan. Sampai di depan pintu kamar, aku berpapasan dengan Laras."Untung Mbak Widia datang jadi Cyra ada yang menemani. Aku mau keluar dulu.""Cyra di mana?""Aku pindahin ke tempat tidurnya sendiri."Aku masuk ke kamar, dan menutup pintunya. Sekilas tadi tampak Nela bergerak di belakangku. Pasti dia diminta berjaga oleh Mas Zaki.Kadang aku merasa lelah dengan hidup yang seperti ini. Terus dijaga dan diawasi. Setiap sa
Aku menggeleng. "Jawab, Cinta. Aku nggak suka kalau kamu diam seperti ini. Kamu marah 'kan?"Kenapa dia masih bertanya, pikirku. Benar ucapan banyak orang bahwa lelaki acap kali tak peka dengan bahasa tubuh wanitanya. Apakah aku kurang menunjukkan kemarahan padanya tadi?"Cinta, please. Jangan marah. Semua aku lakukan demi kebaikan kamu."Aku mencoba bertahan untuk tak menanggapi ucapannya. Tak juga aku beralih dari Cyra untuk kemudian memandang wajahnya. "Kamu tahu bagaimana perasaanku saat melihat Cyra di tangan Hana? Rasanya hidupku hampir berakhir. Belum lagi aku juga mengkhawatirkan keselamatanmu. Itu sebabnya kenapa aku melakukan semua ini.""Harus dengan cara mengambil alih kepemilikan rumah sakit? Apa sebenarnya yang sedang ingin kamu tunjukkan? Kemampuan? Kehebatan? Karena kamu bisa? Dulu kupikir Zaki Indra Rahmadian tak seperti itu. Lalu, apa bedanya kamu dengan keluarga Hana yang arogan dan selalu unjuk kuasa?"Aku sudah tak tahan, hingga rentetan kalimat itu meluncur begi
Pukul sebelas siang, dia pulang. Mengucap salam sambil membuka pintu. Aku menjawab salamnya sambil tetap duduk memangku Cyra di dekat jendela ruang tamu. Tempat ini sangat penuh dengan cahaya matahari. "Hai,” sapanya sambil membungkuk untuk mencium keningku.Sesaat kemudian dia beralih pada Cyra. Mencium pipi bayi itu, juga memberikannya sekilas di bibir Cyra yang mungil. "Rasanya manis seperti kamu," ujarnya sambil menatapku.Kuberikan senyum terpaksa padanya, dan dia tahu itu. “Ada apa?”“Nggak ada apa-apa,” jawabku sambil menggelengkan kepala."Ke mana yang lain?""Ibu dan Laras pamit ke Bogor. Mau ke rumah teman lama ibu katanya."“Apa semuanya baik-baik aja?”“Ya.”“Cinta, ada apa?” tanyanya lagi dengan nada yang mulai sedikit memaksa.Aku diam. Dia meraih tanganku."Ya, Allah, Cinta. Tanganmu dingin banget. Belum makan?”Bagaimana aku bisa makan setelah melihatnya di televisi?“Wid,” tegurnya dengan kesal kali ini."Iya, nanti aku makan."Mas Zaki bangkit dan keluar lagi. Ent
Mas Zaki mengerutkan keningnya."Ah, iya. Aku lupa kalau ada wartawan di mana-mana," ujarnya sambil menepuk dahi. "Jadi, benar kamu menjenguknya?"Dia tak menjawab, lalu berdiri dan mendekat ke arahku. Tidak. Mata itu. Kami tak mungkin melakukannya 'kan?Aku benar-benar tak siap ketika kemudian dia memangkas jarak di antara kami. "Sudah satu Minggu, dan itu membuatku gila, Cinta," bisiknya. "Apakah nifas bisa dipercepat?"***Aku dan Mas Zaki duduk di sofa. Sama-sama memandang ke arah jendela yang terbuka, dengan lengan Mas Zaki di bahuku. "Semalam itu, aku di kantor. Pamannya Hana meminta aku menyetujui tuntutannya tentang bagian perusahaan.""Lalu?""Secara hukum, Hana dan keluarganya tak berhak atas apapun. Tak ada bukti yang sah tentang pernikahan kami, dan memang Hana tak berkontribusi apapun terhadap perusahaan, selain dia pernah menjadi istriku untuk rentang waktu sekian tahun. Namun, secara hati, aku tak tega.""Jadi?"Mas Zaki tersenyum memandangku."Akhirnya setelah berun
Artinya sekarang hidupku akan kembali menegangkan. Seperti tahu apa yang aku pikirkan, Mas Zaki menyelesaikan bicaranya dengan Rizal, lalu meraih kepalaku dan membawa ke dalam dekapannya."Tenanglah. Semua akan baik-baik saja. Kamu dan Cyra adalah pusat hidupku. Maka, tak akan ada yang bisa menyakiti kalian selama aku masih hidup."Aku tergugu di dadanya. Kenapa hidup terasa begitu melelahkan? ***Hari ini semua berjalan seperti biasa. Mas Zaki ke kantor, sementara aku menikmati saat-saat bersama Cyra. Pukul sepuluh, bayi mungil itu sudah terlelap kembali. Setelah yakin dia nyaman di tempatnya, aku melangkah keluar kamar dan berpapasan dengan Nela."Bu, di luar ada tamu. Sudah menunggu sejak lima belas menit yang lalu.""Kenapa nggak bilang dari tadi?""Maaf, Bu. Pak Zaki bilang, kami nggak boleh ganggu kalau ibu sedang bersama bapak atau Dek Cyra.""Kalau tamu 'kan penting Nela. Kasihan nunggu lama.""Saya takut melanggar pesan Pak Zaki, Bu.""Ya, sudah. Terima kasih, ya."Aku berj
"Tidak terlalu dalam, tapi saya sangat tahu bagaimana sikap dan prinsip Pak Zaki. Bahkan beliau sangat menghindari sentuhan fisik dengan perempuan. Hampir tidak pernah berjabat tangan secara langsung. Pak Zaki pasti menangkupkan dua tangannya di depan dada saat bertemu rekan bisnis yang perempuan."Satu fakta lainnya dari Mas Zaki yang baru aku tahu. Sepertinya Amara memang tidak punya hubungan yang spesial dengan Mas Zaki. Analisa dan gaya bicaranya terlihat normal dan netral saat dia menceritakan tentang suamiku. "Mbak Amara sudah lama kenal dengan suami saya?""Cukup lama, Bu. Hampir sepuluh tahun. Pak Zaki yang mengajari saya bisnis dan bahkan menjadi investor terbesar dalam usaha yang saya bangun. Beliau juga yang menjadi jalan dalam saya mendapatkan jodoh.""Maksudnya?""Suami saya adalah salah satu karyawan Pak Zaki, Bu.""Wah, saya yang mainnya kurang jauh ternyata."Kami berdua tertawa. Amara benar-benar memberikan pelayanan terbaiknya hari ini. Tubuhku terasa segar dan waja
Seva? Mau apa perempuan itu? Kenapa dia jadi sangat cantik sekarang? Dengan kecepatan maksimal, aku membuka pintu dan melangkah keluar. Dari ujung mata aku melihat Amel yang sangat terkejut dan langsung melompat keluar.Mas Zaki yang mendengar suara pintu mobil dibuka dan langsung ditutup kembali, seketika menoleh. Kilat khawatir terbit di matanya saat menatapku. "Widia, menjauh!"Aku tak menuruti keinginannya, sementara Amel sudah berada di samping. Saat itulah Seva berkata lembut. "Tenang, Mas. Aku datang ke sini hanya ingin minta maaf, khususnya pada istrimu."Seva menunduk. Ia mulai terisak. Semakin lama bahunya terlihat berguncang. "Mas, aku bersyukur pernah mengenal orang sepertimu. Walau kemudian aku sangat sakit karena mencintaimu terlalu dalam," lirih Seva dalam isaknya. Tiba-tiba aku merasa menyesal telah turun dari mobil dan ingin tahu pembicaraan mereka. Kenyataan bahwa Mas Zaki sangat spesial di hati banyak perempuan, sungguh membuatku tidak percaya diri. "Widia. Ma
Mobil melaju melanjutkan perjalanan kami yang tertunda. Mas Zaki membetulkan posisi duduknya hingga tubuh kami saling bersentuhan. Tangannya melingkar di pinggangku. Kepalanya tiba-tiba direbahkan ke bahuku. "Terima kasih," bisiknya."Kenapa berterima kasih?""Karena kamu telah menjadi kuat di sampingku. Selalu sabar menghadapi gelombang bersamaku."***Tempat yang sudah disiapkan Mas Zaki ternyata adalah rooftop cafe and resto yang ada di atas bangunan salah satu hotel tertinggi di Jakarta. Lebih tepatnya ini adalah hotel tertinggi di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.Kami bisa menyaksikan pemandangan spektakuler ibukota di malam hari sambil menyantap menu-menu Peruvian-Japanese food yang khas dari restoran ini. Kabarnya, ini adalah hotel dengan rooftop restaurant yang kerap jadi pilihan nomor satu untuk destinasi makan malam romantis bersama pasangan. Namun, kenapa kali ini sangat sepi? Hanya kami berdua yang ada di tempat ini bersama beberapa orang pelayan yang melayani dengan
Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d
Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan
"Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul
Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening
"Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca
Aku menatap wajah tiga lelaki itu satu persatu. Apakah mereka tidak berpikir tentang hatiku saat ini? Sosok yang ada di hadapan mereka jelas bukan barang yang bisa diperebutkan begitu saja. Apakah mereka tidak berpikir tentang luka yang hadir setelah perceraian? Apalagi dengan sebab yang tanpa pernah terucap. Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Tanpa senyum dan kata-kata. Untuk sesaat kulihat sepasang mata yang terluka. Tatapan itu tak pernah kusangka akan hadir, dari dia yang pernah mengucap talak. Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar saat Nela bertanya lirih. "Bu Widia butuh sesuatu? Biar saya siapkan.""Nggak usah. Saya hanya ingin istirahat. Cegah siapapun yang ingin bertemu saya.""Baik, Bu."Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Tiba-tiba tubuhku merasa sangat lelah.Kuhempaskan diri di atas pembaringan yang dingin. Sejenak memandangi langit-langit kamar. Sekelebat bayang Mas Zaki muncul di sana. Wajahnya terlihat lebih tirus dibanding saat sebelumn
Mas, tentu kau tahu, aku sangat senang memandangi bintang saat gelap. Di waktu seperti itulah aku bisa mendengar isi kepala sendiri. Namun, bintang-bintang itu terasa jauh hari ini. Seperti dirimu.Aku berusaha menutupi semua yang terjadi. Tak ingin Ayah tahu tentang perceraian yang tidak pernah kusepakati. Namun, saat kamu telah bicara di depan media, aku bisa apa?Yang kutakutkan bukan kemurkaan Ayah, melainkan Bang Deri. Kakak sepupu dari garis Ibu. Kami tumbuh besar bersama. Ia menjagaku laksana boneka porselen yang tak boleh jatuh. Bang Deri juga yang paling menentang saat aku dijodohkan dengan Mas Zaki. "Kamu nggak butuh lelaki lain, Wid. Cukup aku yang akan menjadi segalanya buat kamu."Kalimat itu ia ucapkan saat tahu aku tak menolak dijodohkan dengan Mas Zaki. "Aku ngerti perasaan Abang, tapi ini keputusan Ayah karena harus menjalankan wasiat Ibu. Apalagi, kita adalah sepupu.""Kita bisa nikah, Wid. Nggak ada larangan dalam agama untuk menikahi sepupu.""Ya, tapi di keluarg
Pernahkah kamu jatuh cinta, lalu alih-alih bahagia justru menderita kerenanya? Aku punya cinta pertama, tapi harus meninggalkannya karena perjodohan yang dilakukan para tetua tanpa peduli hati yang terluka. Lalu kubiasakan kalbu dan raga untuk menerima cinta yang baru. Merawatnya hingga benih cinta pun tumbuh di taman hati. Namun, sekali lagi aku harus terluka. Semestinya dulu aku menjaga jarak dan menarik batas. Menjaga hati agar tak terluka saat cintanya kemudian surut. Tidak. Cinta Mas Zaki tentulah masih tetap sama untukku. Kami bahkan masih bercinta hingga kelelahan di pagi hari. Namun, kenapa kemudian kata cerai yang terucap?Ia sama sekali tak menyebut sebuah alasan. Bahkan telah melangkah jauh sebelum aku tahu kenapa. Pagi itu seluruh hidupku berubah seratus delapan puluh deraja. Mas Zaki ternyata telah membereskan semua perlengkapanku, Cyra, Nela, Vita, dan Bi Ani. Mulai dari pakaian dan aneka kebutuhan. "Kamu harus pindah dari rumah ini. Tenang aja, semua sudah aku urus