"Tidak terlalu dalam, tapi saya sangat tahu bagaimana sikap dan prinsip Pak Zaki. Bahkan beliau sangat menghindari sentuhan fisik dengan perempuan. Hampir tidak pernah berjabat tangan secara langsung. Pak Zaki pasti menangkupkan dua tangannya di depan dada saat bertemu rekan bisnis yang perempuan."Satu fakta lainnya dari Mas Zaki yang baru aku tahu. Sepertinya Amara memang tidak punya hubungan yang spesial dengan Mas Zaki. Analisa dan gaya bicaranya terlihat normal dan netral saat dia menceritakan tentang suamiku. "Mbak Amara sudah lama kenal dengan suami saya?""Cukup lama, Bu. Hampir sepuluh tahun. Pak Zaki yang mengajari saya bisnis dan bahkan menjadi investor terbesar dalam usaha yang saya bangun. Beliau juga yang menjadi jalan dalam saya mendapatkan jodoh.""Maksudnya?""Suami saya adalah salah satu karyawan Pak Zaki, Bu.""Wah, saya yang mainnya kurang jauh ternyata."Kami berdua tertawa. Amara benar-benar memberikan pelayanan terbaiknya hari ini. Tubuhku terasa segar dan waja
Seva? Mau apa perempuan itu? Kenapa dia jadi sangat cantik sekarang? Dengan kecepatan maksimal, aku membuka pintu dan melangkah keluar. Dari ujung mata aku melihat Amel yang sangat terkejut dan langsung melompat keluar.Mas Zaki yang mendengar suara pintu mobil dibuka dan langsung ditutup kembali, seketika menoleh. Kilat khawatir terbit di matanya saat menatapku. "Widia, menjauh!"Aku tak menuruti keinginannya, sementara Amel sudah berada di samping. Saat itulah Seva berkata lembut. "Tenang, Mas. Aku datang ke sini hanya ingin minta maaf, khususnya pada istrimu."Seva menunduk. Ia mulai terisak. Semakin lama bahunya terlihat berguncang. "Mas, aku bersyukur pernah mengenal orang sepertimu. Walau kemudian aku sangat sakit karena mencintaimu terlalu dalam," lirih Seva dalam isaknya. Tiba-tiba aku merasa menyesal telah turun dari mobil dan ingin tahu pembicaraan mereka. Kenyataan bahwa Mas Zaki sangat spesial di hati banyak perempuan, sungguh membuatku tidak percaya diri. "Widia. Ma
Mobil melaju melanjutkan perjalanan kami yang tertunda. Mas Zaki membetulkan posisi duduknya hingga tubuh kami saling bersentuhan. Tangannya melingkar di pinggangku. Kepalanya tiba-tiba direbahkan ke bahuku. "Terima kasih," bisiknya."Kenapa berterima kasih?""Karena kamu telah menjadi kuat di sampingku. Selalu sabar menghadapi gelombang bersamaku."***Tempat yang sudah disiapkan Mas Zaki ternyata adalah rooftop cafe and resto yang ada di atas bangunan salah satu hotel tertinggi di Jakarta. Lebih tepatnya ini adalah hotel tertinggi di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara.Kami bisa menyaksikan pemandangan spektakuler ibukota di malam hari sambil menyantap menu-menu Peruvian-Japanese food yang khas dari restoran ini. Kabarnya, ini adalah hotel dengan rooftop restaurant yang kerap jadi pilihan nomor satu untuk destinasi makan malam romantis bersama pasangan. Namun, kenapa kali ini sangat sepi? Hanya kami berdua yang ada di tempat ini bersama beberapa orang pelayan yang melayani dengan
Hampir tiga jam kami berada di bawah langit malam yang cerah. Menikmati dinner paling indah sepanjang hidupku. Mas Zaki bahkan sempat memberikan opsi untuk menginap di hotel saja. "Aku masih ingin berdua saja denganmu, Cinta.""Kasihan Cyra, Mas.""Nggak apa. Ada suster yang jaga dia, dan kamu juga udah nyetok ASI banyak 'kan?""Iya, sih, tapi tetap aja aku kepikiran Cyra."Mas Zaki menghela napas berat."Oke. Kita pulang. Memang beda kalau lelaki dan perempuan, ya.""Beda apanya?""Setelah melahirkan, prioritas seorang perempuan adalah anaknya, baru setelah itu suami. Beda denganku. Kamu tetap prioritas utama buatku, Sayang.""Kenapa gitu?""Pertama karena nggak akan ada Cyra tanpa kamu. Kedua, yang nanti menemani hidupku sampai tua adalah kamu, bukan anak-anak. Cyra misalnya, suatu hari dia pasti harus bersama suami dan keluarganya, bahkan saat kita menua."Aku hanya mengangguk dan mencoba memahami pemikiran Mas Zaki. Dalam perjalanan pulang, kalimatnya terus berputar-putar di kepa
"Kamu itu lucu, Mas. Mana bisa di zaman sekarang aku dilarang buka internet? Hampir semua kontak komunikasi kita ada di ponsel, dan di sana dengan mudah aku bisa mengakses berita apapun.""Oke, tapi apapun yang kamu baca, jangan dimasukkan ke dalam hati. Jangan mudah percaya dengan semua yang tayang di sana."Aku mengangguk tanda setuju. Setelah Mas Zaki berangkat ke kantor, segera kuambil ponsel. Benar saja, ada pesan dari Disha. Gadis itu mengirimkan undangan pertunangannya berupa video melalui aplikasi hijau. Masih satu minggu lagi.Semoga kamu bahagia, ucapku dalam hati saat melihat wajah Arsi. Entah kenapa, aku merasa senyumnya tak menyentuh mata. Ia terlihat kaku. Semoga dugaanku salah. Beralih ke Instagram, mataku terbelalak melihat satu berita di akun gosip. Seseorang berhasil memotret aku dan Mas Zaki saat sedang makan malam.Saat mantannya dirawat karena depresi, Zaki Indra Ramadhan justru tertangkap kamera sedang melakukan dinner romantis dengan istri kedua, Widia Afridia
Namun, aku segera mencoba menguasai keadaan. Suamiku tak bisa dibiarkan dalam cemburu yang membakarnya. Aku mengambil dua tangan sekekar karang itu, dan menciuminya. Mencoba menyalurkan ketenangan melalui sentuhan kulit kami. Disha memandangi aku dan Mas Zaki bergantian. "Mas, bolehkah ....""Ya, jelaskan aja."Aku mulai menceritakan pada Disha tentang Arsi. Sejak awal kami kenal hingga berpisah karena perjodohanku dengan Mas Zaki. Beberapa kali Disha seperti menahan napas. Hingga saat aku selesai, dia mengusap wajahnya dan menghembuskan napas berat. "Jadi, bisa dibilang Arsi belum move on dari Mbak Widia? Ya, Tuhan. Lalu apa artinya rencana pertunangan kami?"Aku dan Mas Zaki saling pandang. Kilat kemarahan masih terlihat di mata suamiku itu, tapi kini mulai redup. Melihat kami yang tidak mengucap sepatah kata, Disha kembali bicara. "Oke. Sekarang aku tanya. Gimana dengan Mbak Widia sendiri?""Maksud kamu?""Ya, apakah Mbak Widia masih mencintai Arsi.""Nggak, Dis. Buatku Arsi a
"Tenang, Mbak. Itu semua sudah berlalu. Yang jelas, saat Mas Zaki masih memiliki rasa itu, semua akses lelaki yang menaruh hati padaku ditutupnya. Tentu saja itu meresahkan. Apalagi aku nggak cinta sama dia."Seketika aku ingin tersenyum karena lega mendengarnya. Mas Zaki sepertinya melihat itu."Seluruh keluarga menentang rasa yang Mas Zaki miliki," lanjut Disha. "Walau tidak ada salahnya mencintai sepupu, tapi keluarga besar kami menganggap itu tabu. Suamimu itu sebenarnya tidak mudah menghapus rasa di hatinya, Mbak. Untung saja kemudian ada Hana yang hadir di kehidupannya."Aku menelan ludah. Bukankah hidup memang soal rasa? Maka pahit adalah satu dari sekian banyak yang harus kunikmati. "Udah, Dish!" seru Mas Zaki sambil berdiri dan berjalan ke arahku.Dia memberikan pelukan hangatnya dari belakang, dan menciumi puncak kepalaku. Disha menutup mulutnya dengan tangan, seperti baru menyadari efek kalimat terakhirnya."Maaf, Mbak.""Nggak apa. Artinya, itu juga yang Mas Zaki lakukan
"Aku nggak dandan. Lihatlah.""Kamu nggak dandan juga udah cantik banget.""Mas, aku nggak mau kita ribut, deh. Yang ada bisa berantakan semuanya ini. Kamu mau yang terbaik buat kita 'kan?""Oke. Aku cuma nggak ikhlas aja kamu nanti berduaan sama Arsi.""Hei, kita udah sepakat 'kan? Lagipula, ini di rumah Disha dan kamu bisa mengawasi kami lewat layar CCTV. Aku dan dia hanya akan bicara, nggak ngapa-ngapain."Mas Zaki menganggukkan kepalanya. Dia kemudian diam, bahkan hingga kami sampai di tempat tinggal Disha. Rumah yang terlalu besar untuk ditinggali sendiri oleh gadis itu. Kami duduk berempat di ruang makan yang luas. Mas Zaki di sampingku, sementara di hadapannya ada Arsi yang duduk bersebelahan dengan Disha. Setelah berbasa-basi sejenak, kami menikmati makan malam dengan agak canggung. Bagaimanapun, lewat bahasa tubuhnya Mas Zaki sangat terlihat menjagaku dari Arsi. Hingga lelaki itu bahkan enggan menatap ke arahku. "Makasih, kalian udah menyempatkan untuk datang ke sini. Saya
Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d
Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan
"Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul
Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening
"Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca
Aku menatap wajah tiga lelaki itu satu persatu. Apakah mereka tidak berpikir tentang hatiku saat ini? Sosok yang ada di hadapan mereka jelas bukan barang yang bisa diperebutkan begitu saja. Apakah mereka tidak berpikir tentang luka yang hadir setelah perceraian? Apalagi dengan sebab yang tanpa pernah terucap. Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Tanpa senyum dan kata-kata. Untuk sesaat kulihat sepasang mata yang terluka. Tatapan itu tak pernah kusangka akan hadir, dari dia yang pernah mengucap talak. Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar saat Nela bertanya lirih. "Bu Widia butuh sesuatu? Biar saya siapkan.""Nggak usah. Saya hanya ingin istirahat. Cegah siapapun yang ingin bertemu saya.""Baik, Bu."Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Tiba-tiba tubuhku merasa sangat lelah.Kuhempaskan diri di atas pembaringan yang dingin. Sejenak memandangi langit-langit kamar. Sekelebat bayang Mas Zaki muncul di sana. Wajahnya terlihat lebih tirus dibanding saat sebelumn
Mas, tentu kau tahu, aku sangat senang memandangi bintang saat gelap. Di waktu seperti itulah aku bisa mendengar isi kepala sendiri. Namun, bintang-bintang itu terasa jauh hari ini. Seperti dirimu.Aku berusaha menutupi semua yang terjadi. Tak ingin Ayah tahu tentang perceraian yang tidak pernah kusepakati. Namun, saat kamu telah bicara di depan media, aku bisa apa?Yang kutakutkan bukan kemurkaan Ayah, melainkan Bang Deri. Kakak sepupu dari garis Ibu. Kami tumbuh besar bersama. Ia menjagaku laksana boneka porselen yang tak boleh jatuh. Bang Deri juga yang paling menentang saat aku dijodohkan dengan Mas Zaki. "Kamu nggak butuh lelaki lain, Wid. Cukup aku yang akan menjadi segalanya buat kamu."Kalimat itu ia ucapkan saat tahu aku tak menolak dijodohkan dengan Mas Zaki. "Aku ngerti perasaan Abang, tapi ini keputusan Ayah karena harus menjalankan wasiat Ibu. Apalagi, kita adalah sepupu.""Kita bisa nikah, Wid. Nggak ada larangan dalam agama untuk menikahi sepupu.""Ya, tapi di keluarg
Pernahkah kamu jatuh cinta, lalu alih-alih bahagia justru menderita kerenanya? Aku punya cinta pertama, tapi harus meninggalkannya karena perjodohan yang dilakukan para tetua tanpa peduli hati yang terluka. Lalu kubiasakan kalbu dan raga untuk menerima cinta yang baru. Merawatnya hingga benih cinta pun tumbuh di taman hati. Namun, sekali lagi aku harus terluka. Semestinya dulu aku menjaga jarak dan menarik batas. Menjaga hati agar tak terluka saat cintanya kemudian surut. Tidak. Cinta Mas Zaki tentulah masih tetap sama untukku. Kami bahkan masih bercinta hingga kelelahan di pagi hari. Namun, kenapa kemudian kata cerai yang terucap?Ia sama sekali tak menyebut sebuah alasan. Bahkan telah melangkah jauh sebelum aku tahu kenapa. Pagi itu seluruh hidupku berubah seratus delapan puluh deraja. Mas Zaki ternyata telah membereskan semua perlengkapanku, Cyra, Nela, Vita, dan Bi Ani. Mulai dari pakaian dan aneka kebutuhan. "Kamu harus pindah dari rumah ini. Tenang aja, semua sudah aku urus