Kami tiba saat hari sudah gelap, dengan dua mobil beriringan. Memasuki halaman yang sangat luas, mobil berhenti tepat di depan pintu. Mas Zaki turun lebih dulu membimbingku hingga kami masuk ke dalam.Rumah ini dua kali lebih besar dibanding yang kami tempati sebelumnya. Bernuansa Eropa dengan tembok tinggi di sekeliling. Sepertinya aku dan Mas Zaki akan menjadi keluarga yang tertutup di sini, demi menghindari kejaran wartawan atau pun orang-orang suruhan Hana. Warna putih dindingnya sesuai dengan seleraku, ditambah tirai keemasan yang dipasang hampir di setiap ruangan yang berjendela. Kamar tidur utama terletak di lantai bawah, sementara untuk tamu di atas. Tentu saja seperti rumah ini, ukuran semua ruangan dua kali lebih besar dibanding yang ada di tempat kami sebelumnya. Jelas aku senang, karena artinya perpustakaan di sini juga lebih banyak menampung buku-buku. Aku belum menjelajahi semua ruangan. Rasa lelah dan syok akibat peristiwa penyerangan sore tadi, membuat enggan untuk b
Aku mengangguk lalu mulai merebahkan diri saat dia keluar ruangan dan menutup pintu. Ternyata aku memang butuh istirahat dan tidur sejenak. Rasanya seluruh tulangku remuk.***Aku terbangun tengah malam, saat tenggorokan terasa sakit. Tak ada tanda bahwa Mas Zaki sudah masuk ke kamar ini setelah tadi dia meninggalkan aku sendirian. Mungkinkah suamiku itu masih di ruang kerjanya bersama Rizal?Aku melangkah keluar kamar untuk menuju ruang makan. Minum segelas air hangat sepertinya akan mebuat tenggorokanku lebih enak. Perkiraanku benar. Duduk di ruang makan sendiri seperti ini membuat pikiranku menerawang ke mana-mana. Tentang hubunganku dengan Mas Zaki dan juga Hana. Tentang wartawan yang pasti masih akan memburu kami demi mendapatkan berita menarik menurut mereka. Tiba-tiba aku mendengar seperti suara seseorang berseru tertahan. Arahnya dari ruang kerja Mas Zaki. Karena penasaran, aku melangkah mendekati tempat itu. Ternyata pintunya sedikit terbuka, hingga aku dapat mendengar pem
"Wid, kamu ngapain di sini?"Wajahku mungkin saat ini sudah sepucat mayat. Berbagai asumsi tentang Mas Zaki memenuhi kepala. Lalu, sekarang dia di sini, dan menatap dengan curiga. Maaf jika aku harus berbohong, Mas. Tentu saja itu hanya kuucapkan dalam hati. "Eh, i-itu ... ta-tadi aku haus, lalu ambil minum dan mau dibawa ke kamar. Entah kenapa tiba-tiba kayak ada yang bikin aku kaget, dan gelasnya jatuh."Mas Zaki memandang pecahan gelas di lantai, kemudian beralih padaku. "Mba Jum!" serunya memanggil salah satu asisten di rumah ini. Rizal ikut memperhatikan lantai. Sekilas dia melirik hingga tatapan kami beradu. Detik berikutnya Mas Zaki sudah menggenggam tanganku dan melangkah ke kamar kami. Aku mengikutinya di belakang. "Ada apa, Cinta?" tanya Mas Zaki saat kami sudah di dalam kamar."Ng-nggak ada apa-apa, Mas. Aku cuma kaget tadi."Mas Zaki mengulurkan tangannya dan membelai lembut pipiku."Tidur lagi, ya? Aku temani."Kami naik ke peraduan. Mas Zaki menggeser tubuhku hingga
Karena menurutku tidak mungkin, maka pertanyaan itu hanya tenggelam di dalam benak saja. Yang sangat membahagiakan, walau hari dan malamnya kini terbagi, Mas Zaki masih hapal semua jadwal terkait bayi yang ada di rahimku. Seperti hari ini, dia mengantarku untuk kontrol ke dokter kandungan. Sebenarnya Mas Zaki ingin aku diperiksa di rumah saja. Lebih aman katanya. Namun, aku memaksanya agar bisa kontrol di rumah sakit."Aku juga ingin bertemu banyak orang dan merasakan udara luar, Mas. Bosan.""Iya, aku mengerti, tapi wartawan belum berhenti mencarimu, Cinta.""Aku yakin kamu pasti bisa membuat aku aman."Mas Zaki hanya menggelengkan kepala menghadapi kerasnya keinginanku. Ke rumah sakit kali ini, Pak Wawan yang menyetir karena Mas Zaki enggan."Aku ingin memanfaatkan waktu bersamamu, Cinta. Kalau nyetir, fokusnya ke jalan, bukan pada istri cantikku ini," ujarnya sambil mencubit pipiku. Tentu saja hal itu membuat wajahku memanas. Pipiku pastinya seperti kepiting rebus saat ini.Di s
Mas Zaki membimbing aku ke kamar setelah Nela dan Pak Wawan memastikan di sana aman. "Tunggu di sini. Nela akan berjaga di pintu," pesannya saat kami sudah di dalam. Aku hanya mengangguk, lalu duduk di bibir ranjang. Menatap punggungnya sampai hilang di balik pintu, lalu mencoba melerai rasa sesak yang tiba-tiba membekap dada. Mencintai Mas Zaki ternyata harus siap menghadapi banyak gelombang. Aku membuka ponsel yang sejak tadi dalam mode silent. Ada banyak pesan masuk yang semuanya kuabaikan. Satu yang menggelitik rasa penasaranku. Sepertinya dari Arsi, tapi kenapa banyak sekali?[Fri, lu baik-baik aja, kan?][Fri, tolong jawab. Gue udah lihat semua berita di TV dan Instagram. Sekarang lu di mana? Gue ke rumah lu, katanya semua orang udah pindah.][Fri, gue baru liat berita lagi. Lu beneran istri keduanya Zaki?]Aku baru hendak menjawab pesan dari Arsi ketika laki-laki itu terlihat online. Belum satu huruf pun aku tuliskan di kolom, dia sudah lebih dulu menelepon. Aku ragu hendak
Kami semua duduk di ruang keluarga sekarang. Pak Wawan telah selesai mengurus ular di depan kulkas tadi."Kamu apain ularnya, Wan?" tanya Mas Zaki yang duduk di sampingku."Pertama saya berdoa dulu, Pak. Saya baca surat As Saffat Ayat 79 yang bunyinya salaamun ‘alaa nuuhin fil ‘alamin. Itu doa saat bertemu binatang buas yang diajarkan guru saya. Lalu saya usir dengan minta dia keluar baik-baik, tapi nggak mau. Saya ancam untuk dibunuh juga diam aja ularnya. Habis itu saya baca doa a'udzu bikalimatillahittaammati min syarri maa khalaq. Yang artinya, aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk yang diciptakanNya. Ularnya langsung lemas, Pak. Saya tangkap dan bawa keluar.”"Sekarang di mana ularnya?""Udah saya bunuh Pak.""Kenapa dibunuh?""Saya yakin itu ular kiriman seseorang dari jauh, Pak.""Ah, yang benar kamu. Jangan asal nuduh.""Saya nggak nuduh siapa-siapa, Pak. Hanya saja saya yakin itu bukan ular biasa. Itu sihir, Pak.""Wah, saya nggak pe
Tangan kirinya membelai punggungku. Hangat dan nyaman. Tangan kanannya ada di puncak kepalaku. Mengusap perlahan dan berulang kali. Menghadirkan damai hingga ke dasar hatiku. "Apa yang diceritakan pada Rizal, itu berbeda. Aku kecewa pada Hana di malam pertama kami, itu sudah jelas. Bukan berarti cintaku saat itu luntur. Bukan berarti aku ingin menceraikannya hanya karena setetes darah yang tak kulihat di tempat tidur. Manusia menikah bukan untuk bercerai, Wid. Kita menikah, untuk mempertahankannya, bahkan membawa ikatan ini hingga ke surga. Lalu, bukankah aku juga manusia, yang kalau nanti sampai ada pengkhianatan lagi, bisa kecewa?"Aku memeluknya, dan membuat tubuh kami semakin erat menyatu. Bahagia hadir di hatiku saat ini, tapi beriring dengan sedih yang aku pun tak mengerti kenapa. "Jangan pernah berpikir yang aneh-aneh lagi," lanjutnya. "Aku mencintaimu sejak malam itu, dan akan membawa rasa itu hingga kita ke surga bersama-sama."Aku mengangguk dan tersenyum, hingga kemudian
"Ponsel baru, ya, Bu?" tanya Nela saat aku keluar membawa kotak bergambar handphone. Dibanding Amel, Nela memang lebih banyak berbicara dan rasa ingin tahunya besar. Aku tak mempermasalahkan selama tidak sampai mengganggu ranah privasi. "Iya, nih. Dibeliin Mas Zaki.""Ponsel Ibu yang lama rusak?""Bukan rusak, tapi disita sama bos kamu itu."Wajah Nela menyiratkan rasa terkejut, tapi bibirnya bergerak-gerak seperti menahan tawa. "Disita? Ibu bikin salah apa memangnya?""Nggak bikin salah. Dia aja yang cemburunya kebangetan."Nela benar-benar tertawa kali ini. "Artinya Bapak benar-benar cinta sama Ibu, tuh.""Dicintai memang enak, tapi diposesifin berlebihan itu menyebalkan, Nela.""Iya juga, sih. Ngomong-ngomong Ibu dah lihat tentang ...."Perempuan muda itu tampak ragu. "Hana?"Dia mengangguk ragu. "Udah lihat di TV tadi. Ini lagi mau lihat di internet."Aku melangkah menuju ruang tamu, tentu saja diikuti Nela. Ya, hidupku seperti dipenuhi banyak bayang-bayang. Awalnya risih, t
Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d
Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan
"Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul
Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening
"Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca
Aku menatap wajah tiga lelaki itu satu persatu. Apakah mereka tidak berpikir tentang hatiku saat ini? Sosok yang ada di hadapan mereka jelas bukan barang yang bisa diperebutkan begitu saja. Apakah mereka tidak berpikir tentang luka yang hadir setelah perceraian? Apalagi dengan sebab yang tanpa pernah terucap. Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Tanpa senyum dan kata-kata. Untuk sesaat kulihat sepasang mata yang terluka. Tatapan itu tak pernah kusangka akan hadir, dari dia yang pernah mengucap talak. Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar saat Nela bertanya lirih. "Bu Widia butuh sesuatu? Biar saya siapkan.""Nggak usah. Saya hanya ingin istirahat. Cegah siapapun yang ingin bertemu saya.""Baik, Bu."Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Tiba-tiba tubuhku merasa sangat lelah.Kuhempaskan diri di atas pembaringan yang dingin. Sejenak memandangi langit-langit kamar. Sekelebat bayang Mas Zaki muncul di sana. Wajahnya terlihat lebih tirus dibanding saat sebelumn
Mas, tentu kau tahu, aku sangat senang memandangi bintang saat gelap. Di waktu seperti itulah aku bisa mendengar isi kepala sendiri. Namun, bintang-bintang itu terasa jauh hari ini. Seperti dirimu.Aku berusaha menutupi semua yang terjadi. Tak ingin Ayah tahu tentang perceraian yang tidak pernah kusepakati. Namun, saat kamu telah bicara di depan media, aku bisa apa?Yang kutakutkan bukan kemurkaan Ayah, melainkan Bang Deri. Kakak sepupu dari garis Ibu. Kami tumbuh besar bersama. Ia menjagaku laksana boneka porselen yang tak boleh jatuh. Bang Deri juga yang paling menentang saat aku dijodohkan dengan Mas Zaki. "Kamu nggak butuh lelaki lain, Wid. Cukup aku yang akan menjadi segalanya buat kamu."Kalimat itu ia ucapkan saat tahu aku tak menolak dijodohkan dengan Mas Zaki. "Aku ngerti perasaan Abang, tapi ini keputusan Ayah karena harus menjalankan wasiat Ibu. Apalagi, kita adalah sepupu.""Kita bisa nikah, Wid. Nggak ada larangan dalam agama untuk menikahi sepupu.""Ya, tapi di keluarg
Pernahkah kamu jatuh cinta, lalu alih-alih bahagia justru menderita kerenanya? Aku punya cinta pertama, tapi harus meninggalkannya karena perjodohan yang dilakukan para tetua tanpa peduli hati yang terluka. Lalu kubiasakan kalbu dan raga untuk menerima cinta yang baru. Merawatnya hingga benih cinta pun tumbuh di taman hati. Namun, sekali lagi aku harus terluka. Semestinya dulu aku menjaga jarak dan menarik batas. Menjaga hati agar tak terluka saat cintanya kemudian surut. Tidak. Cinta Mas Zaki tentulah masih tetap sama untukku. Kami bahkan masih bercinta hingga kelelahan di pagi hari. Namun, kenapa kemudian kata cerai yang terucap?Ia sama sekali tak menyebut sebuah alasan. Bahkan telah melangkah jauh sebelum aku tahu kenapa. Pagi itu seluruh hidupku berubah seratus delapan puluh deraja. Mas Zaki ternyata telah membereskan semua perlengkapanku, Cyra, Nela, Vita, dan Bi Ani. Mulai dari pakaian dan aneka kebutuhan. "Kamu harus pindah dari rumah ini. Tenang aja, semua sudah aku urus