Part 18 - hilang kendaliTanganku mengepal erat mendengar obrolan Mutiara dengan Mbak Tantri yang lagi-lagi merendahkanku. Memang sih, aku tak memberi uang nafkah padanya. Kupikir dia wanita mandiri yang bisa menghasilkan uang sendiri. Pulang dari luar negeri pastilah membawa uang banyak, bahkan aku tak mengungkit hal itu karena ia masih berduka.Namun ... dia sekarang benar-benar berbeda, sangat berbeda. Tak seperti dulu lagi. Perhitungan dan juga membangkang.Pagi itu aku langsung ke warung terdekat untuk sekedar ngopi dan makan gorengan. Beberapa orang laki-laki sudah berkumpul, dengan tujuan yang sama. Ngopi dan sekedar makan kudapan pagi sebagai pengganjal perut."Bu, kopi susu satu ya," ujarku pada pemilik warung dan langsung duduk di bangku kayu yang panjang.Tak lama, kopi pesananku langsung terhidang."Hei Herdy, tumben kamu ngopi di sini lagi, istrimu gak buatin kopi?" tegur salah seorang pria yang bernama Pak Bowo."Dia sudah berangkat kerja, Pak," jawabku."Hei, hati-hati
Part 19 - Telat"Aku gak tahu kalau kamu gak ngasih tahu, Dek. Ada apa?" tanyaku lagi."Aku telat datang bulan," jawabnya lesu. Gadis itu menunduk seolah menyembunyikan rasa cemasnya.Glek, aku menelan air ludahku sendiri mendengar jawaban Irdiana yang seolah bagaikan petir menyambar di siang bolong. "Te-telat datang bulan? Kau serius?" tanyaku. Masih ada rasa tak percaya.Irdiana mengangguk menegaskan kalau ucapannya itu tidak main-main.Mataku membulat. Kok bisa? Aku hanya sekali saja berhubungan dengannya. Itupun karena aku khilaf tak mampu menahan hawa nafsu. Setelah dipikir-pikir kejadian itu sudah lewat tiga bulan."Mas, gimana ini? Aku takut kalau orang tuaku tahu, mereka pasti bakal marah-marah, aku takut hamil, Mas!" ucapnya dengan nada getir."Sebentar, kau tunggu disini dulu." Akupun pergi meninggalkannya begitu saja. Dengan perasaan kacau, aku bergegas mencari apotek terdekat. Hendak membelikan alat test kehamilan, semua ini supaya gamblang. Apakah benar Irdiana hamil at
Part 20"Pak, besok saya izin libur, kalau gak boleh geser libur saja, Pak," pamitku pada pria yang sedang duduk di meja kerjanya.Dia menatapku seakan bertanya.Ijm "Besok 100 harinya putriku, Pak, makanya saya izin libur.""Ya," jawabnya singkat.Terhitung, sudah tiga bulan rupanya aku bekerja di pabrik pengolahan makanan. Setiap hari, pabrik ini selalu beroperasi. Setiap karyawan diberi hak libur di hari yang berbeda alias bergantian. Maka dari itu pabrik tetap beroperasi."Apa kau butuh sesuatu?" tanya pria itu lagi. "Eh? Maksud bapak?""Apa kau butuh tambahan uang?""Ah tidak, Pak, saya tidak mau kashbon.""Baiklah. Kamu boleh libur," jawabnya. Kemudian tatapannya kembali berkutat ke layar laptop.Upah yang kudapat itu buat memenuhi kebutuhanku sendiri sehari-hari selama aku tinggal di sini. Sisanya ditabung. Aku masih membutuhkan banyak uang untuk modal tinggal sendiri.Mas Herdy?Ah, kami bagaikan orang asing. Kami memang masih tinggal satu atap bersama tapi saling acuh dan t
Part 21"Aku ingin kau segera bertanggung jawab, Mas!" ungkap Irdiana setelah ia berkeluh kesah pada ibu."Paling tidak lamar aku secara resmi, Mas. Biar ayah dan ibu tahu kalau kamu memang serius. Aku gak ingin menggugurkan kandungan ini, tapi aku juga gak ingin keluargaku mendapatkan malu.""Iya, Dek. Aku akan segera melamar kamu. Tapi nanti tolong bantu bicara sama Pak Renaldi ya, biar dia gak menghukumku.""Sekali-kali dihukum tidak apa-apa kan, Mas?""Duh, bisa mati aku, Dek," keluhku.Irdiana justru tertawa pelan. "Terus kapan?""Emmh, aku harus diskusi dulu kan sama keluarga," jawabku pelan. Aku tak ingin menyakitinya maupun memberi harapan besar."Aku ingin kepastiannya sekarang!" pungkas Irdiana dengan nada manja. Sikapnya yang begitu menggemaskan membuatku makin sayang. Padahal dia hanya memakai piyama tidur saja, tapi bisa secantik dan seseksi ini kelihatannya."Dek, tenanglah, jangan gegabah dulu.""Aku gak gegabah, Mas! Semua sudah terlambat, aku cuma butuh kepastianmu k
Part 22Meski mendapat penolakan dari orang tua Irdiana, tapi aku yakin kalau gadis itu bisa mengatasinya. Pak Renaldi dan istrinya pasti akan luluh dan menerimaku. Untuk itulah aku perlu mengumpulkan uang. "Gimana Irdiana?" tanya ibu. "Aku ditolak, Bu. Tapi aku sangat yakin, Diana pasti bisa mengatasi ini. Bu, tolong persiapkan aja semuanya untuk melamar Diana.""Lamaran itu butuh uang gak sedikit, Her," sahut ibu."Aku akan minta pada Muti, Bu.""Ibu gak yakin istrimu akan membantu."Aku menghela nafas gusar. Uang tabunganku sudah menipis, paling hanya cukup untuk membeli cincin, belum barang bawaan yang lain. Tapi tidak mungkin kan hanya bawa cincin saja, keluargaku pasti akan dipermalukan habis-habisan. Apalagi Pak Renaldi memang keluarga terpandang.Kuhampiri Mutia selesai tahlilan di rumah. Kuutarakan kalau aku ingin meminjam uangnya, dan itu pasti akan kukembalikan suatu saat nanti. Aku tak percaya kalau dia tak punya uang. Sejak kepulangannya semua serba rahasia. "Sebenar
Part 23“Bu, Ibuu ...!” teriakan Devina mengagetkan Bu Imas Ismawati yang masih shock sepeninggal putranya. Gadis itu lari tergopoh-gopoh menghampiri ibundanya.“Mas Herdy mana, Bu? Dia jadi pergi sama Bang Santos?” tanya putrinya dengan nafas tersengal.Bu Imas mengangguk. “Sebenarnya ibu khawatir sama kakakmu, Dev. Takut kalau anak itu diapa-apain sama si preman. Kasihan.” Wanita paruh baya itu menghela nafas dalam-dalam. “Coba kamu tanya Irdiana, Dev, siapa tahu kakakmu dibawa ke rumah Pak Kades.”Devina mengangguk.“Oh iya, motor kakakmu mana?”“Ada di rumah Mbak Tantri, sepertinya karena panik, Mas Herdy jadi melupakan motornya," sahut gadis itu lagi.“Haduh, dasar anak itu memang pelupa.”Devina masuk ke dalam rumahnya dan mengambil ponsel yang ia geletakkan di sudut ranjang.[Ir, tadi Mas Herdy dibawa pergi sama Bang Santos? Apa dia ke rumahmu?] Devina mengirimkan pesan wa pada Irdiana. Lima menit menunggu tak ada respon. Ia pun menghubungi temannya itu, tapi tak kunjung dian
Part 24"Mbak Mut, gawat, Mbak. Suamimu babak belur dihajar preman. Lukanya parah katanya sampai sekarang gak sadarkan diri. Sekarang dirawat di puskesmas."Kuhentikan aktivitasku dan menoleh ke arah Mang Damin, lelaki berumur 40 tahunan itu tetangga Mbak Tantri. “Tadi kakak iparmu yang bilang, Mbak Mut, saya hanya menyampaikan saja,” ujarnya lagi, kemudian permisi pergi.“Kau boleh izin pulang,” ujar Pak Arya. Aku menoleh ke arahnya. “Dia masih suamimu, lebih baik temui dia.” Usai mengatakan hal itu bosku itu pun pergi.“Baik, Pak,” sahutku entah didengar ataupun tidak.Aku menghela nafas panjang, melepas celemek serta seragam yang kukenakan dan berganti baju sendiri. “Kamu mau pulang, Mut?” tanya Santi.Aku mengangguk. “Mas Herdi katanya dirawat dan belum sadarkan diri.”“Halah suami gitu aja, kamu masih punya rasa kasihan. Biar aja mati sekalian, Mut! Dia kan sudah menyakitimu!” tukas Santi geram. Desas-desus kabar Mas Herdi yang kritis akibat dikeroyok preman terdengar santer d
"Bercerailah dengan Herdy dan pergi sejauh mungkin dari desa ini!" Aku mendongak menatap wajah Pak Kades. Jadi seperti inikah wajah asli kepala desa ini?"Saya tidak ingin berbasa-basi. Tinggalkan Herdy sebelum sesuatu yang buruk menimpamu!" tegasnya lagi."Bapak mengancam saya? Apakah pantas ini yang dikatakan oleh kepala desa?""Saya seorang ayah yang tak ingin putrinya hanya jadi istri kedua."Setelah mengatakan hal itu, ia justru meninggalkanku penuh pertanyaan. Aku tersenyum masam, mentang-mentang aku hanya rakyat biasa dan dia seorang kepala desa seenaknya sendiri bilang seperti itu. Benar, mereka semua disini tak lagi menginginkanku. Untuk apa aku terus menerus bertahan di sini. Kenapa sih aku masih bodoh. Ya, aku memang perempuan yang plinplan, entah kenapa masih belum ada ketegasan dalam diri ini.Kulangkahkan kaki menjauh dan pulang tanpa berpamitan lagi dengan mereka. Sesampainya di rumah ... Kulihat rumah ibu tampak sepi bahkan tergembok dari luar. Kemana mereka?Aku me
Part 35"Jadi Irdiana gak izin sama ibu?" tanya Herdi usai pulang kerja dan mendapati rumah kosong dan hanya ada ibundanya.Ia merasa heran karena sang ibunda mengomel tak jelas juntrungannya. Bu Imas menggeleng. "Tidak, Herdi. Ibu gak tau, saat ibu pulang, rumah udah kosong, dia tinggalin gitu aja dalam keadaan begini. Untung aja uang simpanan ibu masih ada gak digondol maling.""Benar-benar ya. Istrimu ceroboh sekali, rumah gak dikunci! Kamu punya istri kok gak ada yang bener sih! Stress ibu lama-lama dibuatnya!"Herdi memijat pelipisnya, penat begitu terasa. Padahal ia merasa senang akan melihat istrinya itu dan memberikan uang yang didapat hari ini. meksi belum banyak, tapi hari ini lebih baik dari kemarin. Ada peningkatan.Herdi mendesah panjang, menghela napasnya yang begitu gusar. "Jadi kau pergi kemana, Irdiana? Arrghh ..."Lelaki itu menoleh ke arah ibunya. "Bener kan ibu gak marahin istriku? Atau jangan-jangan ibu marahin dia, seperti ibu marahin Mutiara? Jadi Irdiana perg
Part 34"Irdiana, cinta boleh, tapi jangan bodoh. suamimu mungkin baik tapi dia kurang bertanggung jawab. Terlebih dia tak membelamu di hadapan ibunya. Kalau aku tangkap dari ceritamu ini, keluarga suamimu itu toxic. Tak perlu dipertahankan lagi. tapi kalau kamu masih mau dengannya, menghabiskan waktu sia-sia ya terserah saja, yang pennting kau harus sabar dan menerima apapun keadaannya. termasuk sikap ibu mertuamu. Itu aja saranku, Ir. Dan ingat ini, kamu itu masih muda, jalanmu masih panjang. kau pun berhak bahagia."Irdiana merenung cukup lama mendengar ucapan sahabatnya itu. "Ir, jangan melamun terus nanti kamu kesambet lho! Ayo sekarang kita makan dulu nih. Makanannya sudah siap."Irdiana mengangguk. Mereka pun menikmati makan bersama. Setelahnya, Risa kembali bertanya pada Irdiana."Kamu mau pulang kemana?""Entahlah. Aku aja sekarang bingung, Ris. Aku gak ingin pulang dulu, rasanya muak sama ibu mertuaku.""Ke rumah orang tua kamu bagaimana?""Pintunya digembok.""Ya sudah pul
part 33Irdiana termangu mendengar penuturan suaminya itu."Mau jual rumah ini, Mas?" tanya Irdiana meyakinkan dirinya sendiriHerdi mengangguk cepat."Emangnya bisa laku kalau surat-suratnya gak ada? Bukannya surat-suratnya ada di koperasi?""Bisa. aku akan cari orang yang ahli dalam hal ini.""Terus kita akan tinggal dimana, Mas?""Emmh, tinggal di rumah ibu atau orang tua kamu.""No, no, itu tidak mungkin.""Kenapa?""Aku ingin kita mandiri, Mas.""Untuk sementara waktu saja, Dek. Sampai ekonomi kita membaik.""Tapi kapan?""Ya bertahap, mungkin butuh waktu agak lama, tapi mas akan berusaha, Dek, demi kita dan bayi yang ada dalam kandunganmu," ujar Herdi lagi, ia berusaha menenangkan sang istri seraya mengelus perutnya yang mulai membuncit itu.Irdiana menghela napas dalam-dalam. Sungguh berat. "Hhh, sekarang aja kau kerjanya serabutan, gimana mau---" Irdiana tak meneruskan ucapannya."Aku tahu ini tahun yang berat bagi kita. tapi kau cukup dukung saja keputusan ini ya. Aku butuh p
Part 32Mutiara terbungkam, pikirannya berkecamuk, semua berputar di kepala. Ia bingung apa yang harus dilakukan, meski perkataan Arya benar, suatu saat, Herdi pasti akan kembali menemuinya karena ia tak puas dengan hari ini."Pindah, tapi kemana? Saya--""Kau tenang saja, aku akan siapkan rumah sewa yang lebih besar untukmu. agar kau tinggal lebih nyaman dan tanpa gangguan. Aku juga akan menjamin keamananmu.""Maaf Pak, tapi saya terlalu banyak merepotkan Anda.""Sama sekali tidak, saya senang melakukannya, atas nama kemanusiaan, bukankah kita seharusnya saling tolong menolong?""Iya, tapi apakah ini tidak berlebihan? anda selalu membantu saya bahkan di saat orang lain meninggalkan saya.""Percayalah, meski ada orang jahat di dunia ini, pasti akan ada orang yang peduli padamu. Kau tidak perlu khawatirkan hal itu. Sebaiknya kau berkemas dulu, aku akan mengantarmu pindah malam ini.""Baiklah, tunggu sebentar ya, Pak. Saya akan siap-siap. Maafkan saya selalu merepotkan bapak.""Ya, itu
Part 31Herdi segera berlalu meninggalkan rumah Santi. "Tak ada gunanya aku datang ke sini. aku harus usaha sendiri mencari Mutiara," gerutunya kesal.Herdi mengenal beberapa tetangganya yang juga bekerja di pabrik pengolahan pisang itu. Hingga akhirya ia mendapatkan jawaban kalau Mutiara tinggal di dekat ruko yang tengah dibangun untuk mini market oleh-oleh, yang juga milik Arya."Rupanya selama ini kau tinggal di situ, apa itu bersama bosmu?"Herdi menggeleng perlahan. 'Padahal belum resmi cerai, tapi kau selingkuh juga! harusya impas 'kan? Kaupun sama sepertiku!' gumamnya lagi penuh kesal. Herdi terus berjalan, jadi cukup lama untuk sampai di lokasi apalagi tempatnya berada di pinggir jalan raya utama alias jalan lintas provinsi.Dari kejauhan ia melihat ada sebuah mobil yang terparkir manis di sebuah bangunan minimarket yang cukup besar, proyek pembangunan sudah 90%, tinggal finishingnya saja. Herdi bersembunyi di balik pohon dan memperhatikan sekitar. seorang lelaki turun dar
Part 30"Kamu ini dasar pembohong ya, Mas! Kamu bilang cuma hutang buat resepsi aja! tapi nyatanya ini ada lagi? Uangnya buat apaan, Mas?!""Tapi, Dek, ini aku benar-benar gak tau. Pasti ini kerjaan si Mutiara.""Terus saja Mbak Muti yang jadi kambing hitam!""Tapi aku ngomong yang sebenarnya, Dek. Aku gak ambil utang apa-apa lagi. Kenapa bisa ada tagihan begini? Aku yakin dia yang melakukannya."Irdiana menggeleng perlahan. "Aku gak nyangka ternyata kamu tukang utang! Terus gimana ini mau nyetorinnya, Mas? Kamu aja kerja gak jelas! Dapat upah gak pasti!"Herdi terbungkam. Kepalanya serasa mau pecah. Kenapa ini bisa terjadi? "Ini pasti kerjaan si Muti, soalnya ktpku juga hilang, Dek! Aku harus cari Mutia untuk memastikan ini semua!""Kamu gak usah beralasan lagi deh, Mas! pusing kepalaku! di sini hutang, di sana hutang, di situ hutang. Semuanya dari hasil berhutang! Capek aku, Mas!"Irdiana berlalu ke belakang, lalu mengambil tasnya dan pergi meninggalkan rumah. Rasanys muak sekali.
Part 29"Lho kok belum ada? Kamu kerja tiap hati, pasti dapat uang 'kan? terus gimana ini? Kamu harus tanggung jawab dong!" pungkas Bu Imas kesal."iya Bu, tapi cuma cukup buat makan, Bu. aku gak bisa nyisihin uang lagi.""Ah dasar, itu mah istrimu aja yang boros! Dikasih uang tiap hari masa gak bisa nyisihin uang sedikitpun!""Bu, kok nyalahin aku, Bu! Yang hutang kan ibu sama Mas Herdi, kenapa malah nyalahin aku?!""Ya iyalah nyalahin kamu, karena semua ini bersumber dari kamu! Kalau saja ayahmu itu gak bersikeras adain pesta mewah, pasti kami gak kelimpungan begini. Udah ngadain pesta, tapi tamu yang dateng gak ada!""Bu, jangan nyalahin aku dong Bu! Itu kan karena cuacanya yang buruk! Mereka gak datang ya wajar!""Ya iya, ini semua karena kamu dan keluargamu yang minta cepat-cepat nikah, asal aja pake tanggal! Harusnya dipikiiirr dulu!""HALAH, BU, BU, KAYAK NGASIH UANG KE KAMI RATUSAN JUTA AJA! CUMA LIMA PULUH DOANG JUGA KURANG BUAT SANA SINI! UDAH BANYAK PROTES!"Kali ini Irdian
Part 28"Huh, segini doang sih kurang, Mas! Buat makan doang, rokok kamu juga. Trs beli skincare aku gimana? Cari yang banyak dong, Mas! Jangan malas!"Mendengar keluhan Irdiana, Herdi hanya mampu menghela napas kesal. "Kurang rajin bagaimana lagi aku, Dek? aku sudah kerja semaksimal mungkin.""Ya kurang rajinlah, buktinya hasil gak memuaskan gini! Huh!""Iya, maaf hasilnya hanya bisa segitu. Kau tahu sendiri cari kerjaan susah, aku bukan orang kuliahan seperti kamu, Dek. Jadi hanya bisa jalani kerja serabutan.""Harusnya kamu kerja di pabrik dong, Mas! Kan mayan tuh bisa dapat gaji setara UMK!""Kamu mau tiap hari aku ketemu Mutiara?""Ck!" Irdiana berdecak kesal. Ia langsung berlalu dari hadapan suaminya. Ucapan Herdi memang benar kalau dia kerja di pabrik, bisa-bisa setiap hari bertemu dengan istri pertamanya itu lalu mereka kembali menjalin cinta. 'Ah, ini gak bisa dibiarkan! Aku gak terima kalau Mas Herdi dan Mbak Muti bersatu lagi!' seru Irdiana dalam hatinya seraya menggeleng
Part 27"Ya udah gak apa-apa, Mas, jangan khawatirin masalah biaya. Aku cuma mau menikah hari ini!" seru Irdiana."Iya, iya, kamu sabar dulu, Irdiana. Kita pasti akan menikah hari ini."Irdiana merajuk dan memohon kepada sang ayah, agar mencarikan penghulu yang lain.Pak Renaldi yang juga pusing akibat omongan orang-orang di belakang, segera bergegas menyuruh anak buahnya mencari penghulu yang lain. Serta mencari tahu apa yang terjadi pada pak penghulu yang akan menikahkan anaknya hari ini."Rombongan pak penghulu mengalami kecelakaan, Pak Bos, tergelincir saat perjalanan mau ke sini. Terus di jalan kecamatan sana ada pohon tumbang menghalangi jalan. Makanya semua juga terhambat," tutur salah satu anak buah Pak Renaldi dengan baju basah kuyup terkena air hujan."Jadi sudah dipastikan kalau mereka tidak bisa datang ya?""Iya, Pak Bos. Tidak bisa datang.""Ya sudah cari penghulu lainnya!""Nah, ini masalahnya Pak Bos, kan beberapa pohon tumbang menghalangi jalan. Meski panggil yang lain