Kedua orang itu nampak terkejut. Mama Jani menutup mulutnya dengan telapak tangan. Ayah Mas Dipta memandangnya dengan nanar, sedangkan Mamanya membuang wajah. Semua terpaku, termasuk Mama dan Papaku, mereka saling berpandangan.Pak Ryan memandangi mamanya dengan tatapan heran, Mas Dipta yang kini menggendong Prilly juga nampak keheranan. Ayah Mas Dipta beralih memandangi Pak Ryan yang berdiri di sampingku. "Apa kabar?" tanya pria paruh baya yang masih nampak gagah itu, pada Mama Jani.Mama Jani masih menutup mulutnya dengan tangan, terlihat tubuh itu terguncang, dia menangis."Mama, ada apa?" tanya Pak Ryan mendekat ke Mamanya, kemudian memegang bahu orang yang paling dikasihinya itu.Mama Jani menggeleng kemudian mengajak untuk segera pergi. Wanita itu membenamkan kepalanya di dada anak semata wayangnya. Ayah Herman menahan langkah Ibu dan anak itu. Ada apa sebenarnya."Rinjani tunggu!""Mama, ada apa ini?, Mama juga mengenal mereka?" tanya Pak Ryan pada Mamanya.Tak ada jawaban. Ha
Aku tau tak mudah bagi Pak Ryan untuk menerima kenyataan bahwa dia adalah adik dari Mas Dipta, yang juga mantan suamiku. Dia memilih mengabaikan fakta yang ada meski Ayah Herman berulang kali meminta maaf. Kenyataan ini mengorek luka banyak hati, Mama Jani, Mama Sari, Mas Dipta dan Dana, serta Pak Ryan pastinya.Sudah dua hari sejak kejadian itu, Ayah Herman meminta bantuan Papa untuk dapat bertemu dengan Pak Ryan dan Mama Jani. Kami semua sepakat, tak akan memberitahu sebelum Pak Ryan dan Mama Jani sendiri yang mengijinkan.Demikian juga malam ini, pria setengah baya itu baru saja pergi setelah mendapatkan penolakan untuk kesekian kalinya. "Siapa menduga, Ryan dan Dipta bersaudara," ucap Mama malam itu, selepas Ayah Herman pergi."Semua tersakiti dalam masalah ini." Mama melanjutkan kalimatnya."Iya, dan kita sama sekali tidak mengetahuinya. Aku tak mengira Rinjani nekat karena setahuku, keluarga mereka bermusuhan entah karena apa." Papa ikut menimpali."Kasihan Mbak Jani sama Ryan.
Suasana tegang menyelimutiku, demikian halnya semua yang ada disini. Prilly menyusul, duduk di pangkuanku.Aku memejamkan mataku, saat akad nikah itu terucap dalam satu tarikan nafas. Pria di sampingku mengucapkan dengan jelas dan lugas. Suara "Sah." Terdengar memenuhi ruangan, berlanjut doa yang terlantun dari penghulu pernikahan yang di aminkan oleh semua yang ada di ruangan ini. Bulir bening meluncur tak dapat aku tahan, bukan sebuah tangis sedih. Tapi, sebuah tangis bahagia, yang tak dapat aku urai dengan kata-kata. Sesaat setelahnya kami saling bertatap dalam bias cahaya dibalik mata basahku, dapat aku lihat wajah tampan itu tersenyum. Dua buah buku, berwarna coklat dan hijau dan juga beberapa berkas telah kami tanda tangani. Sebagai penegasan pernikahan kami sudah sah di mata Negara. Bahu yang semula tegak tegang mulai turun, pertanda memudarnya ketegangan. Cincin disematkan di jari manisku, demikian juga dengannya. Aku mencium punggung tangan pria yang kini sah menjadi pemili
Aku bergegas berjalan ke pintu, hanya mengintipnya saja. Mama muncul di baliknya, ada senyum berbeda saat melihatku. Pastilah beliau sudah paham akan apa yang terjadi."Iya, Ma, ada apa?" Tanyaku kemudian pada mama."Ada Mas Herman di depan, mau ketemu Ryan," jawa Mama kemudian.Aku sedikit menoleh ke arah ranjang, tempat Mas Ryan duduk. Sampai saat ini dia belum mau menemui ayahnya. Entahlah aku akan mencoba nya sekali lagi, mungkin hatinya akan terketuk. Tapi, bisa jadi mood nya malah akan rusak."Kay, nggak janji Mas Ryannya mau. Tapi, Kay coba, Ma," ucapku ke Mama, ia mengangguk.Aku segera kembali menutup pintu, berjalan kembali ke arah ranjang."Ada apa?" tanyanya kemudian."Ada Ayah Herman," jawabku. "Dia pengen ketemu sama kamu.""Aku tak mau, biarlah, aku lebih baik tak mengenalnya. Aku sudah cukup bahagia hanya punya Mama, dan sekarang sudah sempurna ditambah dirimu dan Prilly. Juga keluarga ini. Jadi aku tak butuh hadirnya lagi." Pria di depanku menggelengkan kepalanya."Su
Sebuah pelukan hangat Mas Ryan berikan saat aku mematut diri di depan cermin. Sebentar lagi acara pengajian di mulai,dia terlihat tampan dalam balutan baju koko ber warna krem dan juga sarung berwarna dasar hitam."Sudah cantik," ucapnya sambil mengecup pipiku. "Mas juga terlihat sangat tampan," balasku padanya."Selepas acara, langsung pulang ya.""Terserah Mas, aku ikut saja." Aku membalikkan badan hingga kami berdiri berhadapan."Selesai jam berapa?" "Mulai aja belum, tanya selesai," ucapku, Mas Ryan terkekeh."Sayang," panggilku padanya. Pria itu mengangkat alisnya. "I love you."Senyum lebar nampak di wajah tampan itu."I love you too." Kecupan hangat menyapa keningku."Keluar?""Belum apa-apa sudah keluar, mana enak," ucap Pria itu, sesaat aku mencerna maksudnya. Seketika cubitanku mengarah ke perutnya, Mas Ryan terkekeh."Ih, geli. Apaan sih," ucapku manyun. Tak mengira dia bisa bercanda seperti itu."Katanya yang geli itu yang enak sayang," tambahnya lagi, yang membuatku tam
"Aduh sakit, sayang." Aku mengaduh ketika Mas Ryan menarik bibirku, dengan bibirnya gemas."Salah siapa kamu cantik, ngegemesin lagi," ucapnya."Ihh, apaan sih." Aku tersipu, wajahku menghangat."Makasih ya, boleh nambah kan?" tanyanya, alis itu bergerak naik."Apanya?" Aku mengerutkan kening.Alis pria itu bergerak naik turun, dengan senyum jail. Seketika aku paham yang dimaksudnya. Kami masih di atas ranjang, dibawah selimut yang sama. Lengan pria itu aku jadikan alas kepala, dan posisi tubuhku miring menghadapnya."Sayang, aku suka anak kecil," ucap Mas Ryan tiba-tiba."Sama," jawabku kemudian."Lebih suka lagi, kalau bikin anak kecil." Mas Ryan terkekeh saat aku menyembik setelah mendengar candaanya."Heem, emang maunya Mas itu.""Kamu juga kan?"Aku menggigit bibir bawah, dan memainkannya. Wajahku kembali menghangat. Setelah satu babak terlewati sepertinya akan berlanjut ke babak selanjutnya. Mas Ryan memiringkan badan hingga kami saling berhadapan. Dengan cepat Ia memangkas ja
"Pria mana yang bisa menolak dia? pria itu ada disampingmu. Bukan aku munafik, atau apalah. Aku sungguh tak tertarik padanya. Karena itu dia seperti terobsesi padaku." Mas Meletakkan kembali gelas yang masih dipegangnya di meja."Dia kan seksi." Aku mengangkat kedua alis dan menatapnya tajam. Sepertinya sudah kodratnya seorang perempuan memiliki rasa ingin tau yang besar. Atau lebih tepatnya suka memancing persoalan."Seksi menurut siapa dulu, kalau kamu tanya padaku, seksi itu ya kamu. Mata, hidung, bibir, dan ini." Senyum lebar terlihat di bibir itu, tangannya menunjuk setiap bagian yang disebutnya."Ish, gombal. Modus aja kan?" Bibirku, mengerucut, jauhlah milikku dibanding punya wanita itu."Biasa aja liatnya," ucapku saat mata itu tak melepas pandangannya dariku."Sakit sayang, Ih." Aku memukul pelan lengan itu, saat lagi-lagi dia menarik bibir bawahku dengan bibirnya . Mas Ryan hanya tertawa, melihatku mengusap pelan bibir bawah."Biar tambah seksi," ucapnya."Mana ada, jontor iy
Masakan Mama Jani memang enak, tak salah bila suamiku itu sering memuji mamanya dalam hal mengolah makanan."Kay, Dipta mau bicara denganmu," ucap Papa yang menyusulku ke belakang"Tentang apa ya, Pa?" tanyaku sambil membereskan piring kotor bekas makan."Hanya minta disampaikan seperti itu," jawab Papa kemudian. Aku menoleh ke arah Mas Ryan. Dia hanya melihatku tak bereaksi apa-apa, padahal mengerti alasanku menoleh padanya."Boleh?" tanyaku akhirnya, baru pria itu mengangguk tanpa melihatku.Selepas mendapat izin, aku bergegas ke depan menemui Masa Dipta, yang nampak duduk sendiri. Prilly dan Papa di ruang tengah tadi."Iya mas?" tanyaku kemudian sambil duduk di sofa."Mas, ingin bicara tentang Prilly." Mas Dipta menjawab."Maksudnya?""Mama dan Ayah, semua pindah ke sini. Mas ingin Prilly juga bisa tinggal bersama mas," ucap Mas Dipta kemudian."Nggak bisa, Mas. Kita sudah pernah membicarakan hal ini." Tolakku."Kalau begitu, kita bagi waktunya," ucap Mas Dipta lagi."Mas, ayolah.
Waktu terasa begitu lambat berjalan dan pandanganku mengarah ke pintu serta lampu yang berada di atas pintu ruang operasi. Kenapa terasa sangat lama sekali mereka berada di ruangan itu, rasa cemas membuat pikiranku semakin kacau.“Kita berdoa untuk mama dan adik ya,” bisikku pada Prilly, gadis kecilku itu mengangguk.Tanpa dikomando semua langsung berdiri saat pintu ruang operasi terbuka, terlihat beberapa orang keluar dari ruangan dan salah satunya dokter yang aku biasa panggil dokter Maria.“Puji Syukur Ibu dan anak selamat hanya masih memerlukan perawatan intensif jadi belum bisa ditemui.” Perkataan dokter Maria sedikit membuat perasaan lega dan tenang, Alhamdulillah istri dan anakku selamat meski aku belum bisa melihatnya.“Seorang jagoan, anaknya laki-laki dengan berat dua koma tujuh dan panjang lima puluh tiga centimeter.” Dokter Maria kembali menambahkan.“Alhamdulillah terima kasih Ya Allah, terima kasih dokter,” ucapku yang sekarang diatara perasaan senang dan juga cemas.“S
Meeting selesai menjelang jam tiga sore, selama itu pula aku mengabaikan panggilan serta pesan yang masuk di ponselku dan meng silentnya. Aku baruakan membuka pesan setelah aku benar-benar selesai dan sudah kembali berada di mobil. Sepertinya banyak sekali pesan dan panggilan masuk sedari tadi, baru saja aku akan melihat panggilan serta pesan yang masuk ponselku bergetar dan nama mama terlihat di layar ponsel.Buru-buru aku mengangkat panggilan dari mama yang sepertinya merupakan panggilan untuk kesekian kalinya, aku sempat melihat di panggilan tidak terjawab mama melakukan banyak panggilan. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak.“Hallo assalamualaikum, Ma.” Aku membuka percakapan dengan sebuah salam seperti biasanya.“Waalaikumsalam, Ryan kamu dimana?” Suara mama terdengar bergetar dan tidak terdengar baik.“Ini aku baru selesai meeting, Ma. Mama kayak lagi nangis, ada apa?” tanyaku kemudian.“Kayana … Kayana.” Mama kemudian benar-benar menangis dan menyebutkan nama Kay, istriku.”
“Prilly yang bilang demikian, untuk apa aku membuat buat atau mengarang cerita.” Mas Dipta masih bersikeras dan terus menyanggah. “Beneran Prilly yang bilang,” lanjutnya lagi.“Sudahlah, Mas. Sekarang tolong bawa Prilly ke mobil, atau aku sendiri yang akan bangunkan Prilly.” Aku sudah semakin malas berbasa basi. Dan juga malas mendengar ocehan yang tidak jelas dari Mas Dipta.“Pulanglah, biarkan Prilly di sini.” Ekspresi wajah Mas Dipta mulai berubah tidak enak. Umur memang tidak menjamin kedewasaan seseorang, aku bisa merasakan Mas Dipta mulai kesal karena aku sedari tadi bersikap dingin kepadanya.“Prilly ikut aku pulang,” paksaku lagi. “Nggak bisa.” Mas Dipta bersikeras menahan Prilly.“Aku nggak ingin ribut, apalagi di depan Prilly. Ayolah Mas, bersikaplah sedikit bijak dan dewasa jangan seperti ini. Hal kayak gini nggak baik buat perkembangan psikis Prilly, harusnya Mas Dipta paham itu.” Sebisa mungkin aku menahan diri karena kalau aku sampai emosi pastinya tidak akan baik un
“Iya, Oma. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” ucapku kemudian dengan senyum dan sedikit menurunkan kepala.“Ya sudah, mau belanja lagi, borong buat cucu saya.” Aku mengangguk dan masih tersenyum lebih tepatnya menahan tawa senang.“Nis … temanin kalau mau ambil ganti,” ucapku pada Ninis. “Pak, kalau masih ribut, bawa keluar toko saja, sudah menganggu kenyamanan belanja yang lain,” perintahku pada Pak Puji.Aku tidak memperdulikan ocehan perempuan itu dan beranjak meninggalkan toko untuk kembali keruanganku. Sesampainya di ruangan aku meminta maaf pada Bu Rahayu yang telah menunggu sedari tadi dan kemudian menyelesaikan pertemuan hari ini.*Tetap saja perutku terasa kaku akibat kejadian tadi, meski aku bilang masa bodoh sedari tadi otakku terus berputar akan masalah tadi. Bukan sebuah kebetulan pastinya akan kejadian tadi, seperti sebuah hal yang memang disengaja dan direncanakan. Kalau mendengar ucapan perempuan itu, sepertinya tujuannya untuk menjatuhkan usahaku.Aku merasa
“Siapa?” tanyaku kemudian.“Maaf kurang tau,” jawab Titin sambil menggeleng.“Bu Rahayu, maaf permisi sebentar.” Aku membalikkan badan dan bicara pada rekananku itu karena akan ke depan untuk melihat ada keributan apa.“Oh iya, Jeng … silahkan.” Bu Rahayu mengangguk mempersilahkan.Aku segera beranjak menuju ke ruang toko tempat keributan terjadi. Terlihat seorang perempuan dengan balutan dress merah dan rambut pirang tengah berbicara dengan nada tinggi. Di tangannya terlihat beberapa pakaian bayi yang diacung- acungkan ke salah satu karyawanku.“Apa apaan ini, baju kayak gini di jual. Belum juga dipakai jahitan pada lepas. Produk sampah kok dijual." Perempuan itu melempar baju baju tersebut ke arah Ninis, karyawanku dan mendorongnya.“Maaf, Bu. Tolong jangan kasar … kalau ada yang ingin disampaikan bisa dibicarakan baik- baik, saya pemilik toko ini.” Aku berdiri di depan perempuan berambut pirang tersebut.“Bu? A … apa panggil aku tadi? Bu, kamu kira aku setua itu.” Nada suara peremp
“Selamat tidur anak papa.”Sebuah kecupan Mas Ryan layangkan di kening Prilly, pria itu baru saja mengangkat tubuh mungil Prilly yang tengah tertidur masuk ke dalam kamar. Seperti yang sudah pria itu janjikan tadi kepada Prilly, mala mini kami membuat tenda di taman dan juga membakar jagung serta daging. Mungkin karena kecapaian dan mengantuk Prilly tertidur lebih dahulu.“Aku lepas dulu tendanya,” ucap Mas Ryan beringsut dari atas tempat tidur.“Besok aja, Mas. Dah malem juga kan, istirahat aja.” Aku mendekati Prilly dan mengecup kening putri kecilku itu kemudian kembali berdiri.“Ya udah … lumayan capek, ngantuk juga.” Mas Ryan terlihat menggeliat kemudian berjalan ke arahku yang lebih dekat dengan pintu. “Tidur,” ucapnya sambil merangkul pundakku.“Huum, ngantuk juga,” timpalku sembari menguap, kantuk mulai mendekapku.“Sayang, kalau bayi gini ikut bobo nggak ya kalau kita tidur?” tanya Mas Ryan saat kami berjalan ke kamar sambil mengusap perut buncitku.Sebuah pertanyaan yang aku
“Ada apa ?” tanya mama yang ternyata sedari tadi memperhatikanku.“Mas Dipta,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kesalku.“Kenapa lagi anak itu?” Kembali mama bertanya sambil mengangkat dagunya.“Dia ingin mengambil Prilly.”“Apa? Nggak waras itu anak.” Suara mama terdengar sedikit emosi. “Kalau itu masalahnya mama nggak bisa tinggal diam, enak saja mau main ambil. Atas dasar apa juga dia mau ambil Prilly, selama ini Prilly baik-baik dan aman-aman saja bersama kita. Bukan berarti karena dia ayah kandungnya bisa seenaknya main ambil.”Sudah bisa aku tebak kalau respon mama akan seperti ini. Papa menepuk pelan lengan mama, sepertinya agar mama lebih tenang dan tidak terbawa emosi.“Biar papa nanti bicara sama Mas Herman, tidak perlu ada keributan atau sampai rebutan hakatas Prilly. Kita bisa bersama-sama dalam menjaga dan mengasuh Prilly,” ucap Papa yang sedari tadi hanya diam. “Nanti papa yang urus dan bicara pada mereka.”“Suka heran mama sama Dipta, kenapa sepertinya tid
“Semoga tidak menurun ke Prilly,” harapku kemudian. Semoga hanya wajah rupawannya yang menurun di Prilly, tapi, tidak untuk sifat dan kelakuannya,“Mama Papa Dipta mana?” tanya Prilly yang baru turun dari tangga sambil melihat kea rah ruang tamu depan.“Pergi sama Papa aja, tadi Papa Dipta ada urusan.” Mas Ryan yang sedari tadi diam langsung angkat bicara.“Yah … kan sudah sering sama papa, kalau sama Papa Dipta kan jarang-jarang.” Raut wajah kecewa nampak sekali di wajah Prilly.Aku memahami yang dia rasakan, bagaimanapun ikatan darah memang lebih kental. Masih sebuah hal yang wajar dan tidak berlebihan karena bagaimanapun Mas Dipta adalah papa kandung Prilly. Apalagi saat bersama Mas Dipta apa yang Prilly mau selalu dipenuhi oleh papa kandungnya itu. Sangat berbeda saat bersamaku yang selalu memiliki aturan untuk setiap hal yang dilakukannya.Sebenarnya tidak ada yang kurang dari kehidupan Prilly semua hal juga telah aku dan Mas Ryan penuhi. Hanya saja untuk hal-hal tertentu kami m
Mendengar aku dan Mas Dipta yang mulai saling berargumen Mama dan Papa juga Mama Jani beranjak meninggalkan kami bertiga. Aku, Prilly dan juga Mas Dipta masih berdiri di teras, bila menjemput Prilly, Mas Dipta memang jarang mau masuk ke dalam rumah. Keras kepala dan keegoisan pria itu tidak berkurang-kurang juga.“Iya aku tahu, tapi, ini juga demi kebaikan Prilly juga nantinya. Karena semua hal yang dia ingginkan nggak semunya bisa dia dapatkan.” Aku kembali menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku.“Kalau kamu nggak bisa atau nggak mau, biar aku saja yang mengurus Prilly, memberikan apa yang anakku mau.”“Bukan begitu Mas, ah … haarus seperti apa aku menjelaskan.” Aku mulai merasa kesal. “Kita nggak boleh memanjakan anak, menuruti semua kemauannya. Sedari kecil kita harus mendidiknya dengan baik agar tidak menjadi pribadi yang manja dan semaunya sendiri.”Entah apa yang ada dalam kepala pria di depanku itu, selama ini aku sudah mendidik Prilly dengan cara yang aku anggap benar dan b