Share

Luka 4

Author: LinDaVin
last update Last Updated: 2021-10-22 18:03:46

Cepat atau lambat, Friska pasti akan tau juga, dan akan lebin baik kalau dia tau bukan dari orang lain. Secepatnya aku harus mencari waktu yang tepat untuk bisa bicara dari hati ke hati, agar dia tak salah paham padaku.

Sejenak kusingkirkan masalah Friska, berkas di mejaku sudah menunggu untuk segera aku eksekusi. Semua report yang diminta oleh pusat harus selesai hari ini. Mulai kusibak satu persatu tumpukan berkas itu.

Tak terasa sudah siang, pantas saja perutku keroncongan. Telepon di mejaku berdering. Suara Friska terdengar saat aku mengangkatnya. Dia akan makan siang di luar, menanyakan apa aku akan menitip sesuatu. Aku jawab tidak, seperti biasa dia keluar dengan Mas Dipta.

"Saiy, besok malam pulang ngantor kita ngopi di tempat biasa ya, lama nggak ke sana," ucapku sebelum Friska mengakhiri panggilannya.

"Hayuklah, oke aja aku. Ya udah Mas Dipta sudah nunggu di depan. Eh dia nanyain kamu mau ikut nggak, dia mau nraktir ini."

"Nggak ah, aku udah pesen Mas Amir tadi," jawabku.

"Ya udah kalau gitu, aku keluar dulu, bye," pamit Friska. Aku meletakkan gagang telepon setelah Friska menutupnya.

Sisa sedikit lagi laporan selesai, aku memilih melanjutkannya. Laporan lain sudah menunggu giliran juga. Fokusku teralihkan saat Amir datang dengan makan siang yang kupesan.

"Makasih ya Mir," ucapku. Sebungkus gado-gado sudah dia letakkan di atas piring.

"Sama-sama Bu, mari," jawabnya, sedikit membungkuk dan kemudian berlalu.

Kutarik laci dan mengambil sendok dari dalamnya, sebotol air sudah kusiapkan menemani makan siangku di depan layar monitor. Segera kutuang sambal yang sengaja dipisahkan.

Ketukan di pintu, mengusik acara makan siangku. Dengan mulut yang masih mengunyah, aku mempersilahkan pengetuk pintu untuk masuk.

Aku terkesiap melihat siapa yang muncul dari balik pintu, segera kutarik tissu dan mengelap mulutku, kemudian bangun dari dudukku.

"Iya Pak," ucapku kemudian.

Pria itu berjalan menuju mejaku dengan dua map berwarna merah di tangannya.

"Tolong kamu buatkan saya proposal untuk ini, saya tunggu ya," ucapnya meletakkan map itu di mejaku.

"Maaf Pak, ini kan tugasnya Indah," ucapku.

"Indah bawahan kamu juga kan? Saya minta ini dahulukan dulu," balasnya dingin.

"Baik pak, saya mengerti. Segera saya buatkan proposalnya," jawabku. Pak Ryan hanya mengangguk samar, kemudian keluar.

Aku kembali duduk dan menarik dua map berwarna merah itu. Harusnya tugasku hanya mengetahui, Indah yang punya tugas mengurus hal ini. Kulanjutkan laporan yang tinggal sedikit lagi, sebelum beralih perkerjaan lainnya.

Segera ku email kepada Pak Ryan, setelah kedua proposal itu selesai kubuat. Tak berapa lama telponku berdering. Pak Ryan meminta hard copy proposalnya juga, dan memintaku mengantar ke ruangannya.

Gegas kubawa lembaran proposal beserta berkas dalam map yang tadi diberikan padaku ke ruangan Pak Ryan. Melewati beberapa karyawan yang juga memilih tidak makan siang di luar.

"Siang Bu," sapa Indah bagian dari tim-ku

"Pak Ryan tadi yang minta, sudah mau saya buatkan proposalnya, tapi katanya nggak usah," lanjutnya lagi.

"Nggak papa, reportmu minggu kedua dan ketiga saja segera selesaikan," jawabku padanya.

"Iya Bu, segera saya selesaikan, untuk laporan mingguannya," jawab Indah, aku hanya mengangguk.

Kulanjutkan lagi langkahku menaiki anak tangga, menuju ruangan Pak Ryan. Lantai ini memang hanya berisi dua ruangan untuk debuti manager, satu ruangan branch manager dan sebuah ruang rapat yang cukup luas. Terdengar ada suara Pak Azhar dari dalam. Kuketuk daun pintu itu pelan, terdengar suara pemilik ruangan mempersilahkan masuk.

"Siang Pak," sapaku pada kedua atasanku itu. Senyum tersungging di bibirku.

"Kay," sapa Pak Azhar tersenyum membalasku. Aku cukup akrab dengannya.

Aku berjalan mendekat. Memberikan proposal yang Pak Ryan minta.

"Mohon di koreksi dulu Pak," ucapku kemudian. Pak Ryan membuka lembaran proposal yang tadi kusodorkan, kemudian membacanya. Kepalanya memanggut pelan.

"Sudah," ucapnya kemudian. Dia menanda tangani bagiannya. Kemudian menunjuk bagianku, dan aku menanda tanganinya juga

"Scan, email ke Zainal area, kamu follow up terus sampai di pusat,"

"Baik pak?" jawabku lagi. "Kalau sudah tidak ada lagi, saya permisi," pamitku.

"Buru-buru amat to," ucap Pak Azhar.

"Banyak yang perlu di kerjakan Pak," jawabku, dan kembali pamit.

Menjelang akhir bulan pasti selalu begini, yah, dari dulu ritmenya selalu sama. Akhir dan awal bulan pasti lebih sibuk.

~đŸŒș~

Lepas magrib, aku melanjutkan sebentar pekerjaanku. Hampir isya, aku berkemas. Tak perlu membawa pekerjaan pulang hari ini. Aku menuju ke ruangan Friska, dia terlihat masih sibuk dengan monitor dan banyak odner di mejanya.

"Nggak pulang?" tanyaku padanya.

"Laporan Fani baru masuk, Pak Ryan sudah minta, lembur deh," jawab Friska.

"Ketatin lah, anak-anak itu. Jangan terlalu longgar, laporan kan juga ada deadline nya," ucapku.

"Iya, nggak kayak anak-anakmu."

Aku hanya mengulas senyum, mendengar Friska.

"Aku duluan ya, jangan malam-malam, ok," lanjutku, kemudian mencium pipi kiri dan kanannya. Aku segera berlalu, jam segini kantor masih saja ramai, di bagian lapangan apa lagi.

"Lembur Pak Bos," sapaku ke Radit, salah satu marketing head.

"Target masih jauh, Bu Bos," balasnya, sambil memegang kepalanya. Aku tertawa kecil.

"Semangatlah, tim operation selalu siap mendukung," ucapku. "Aku cabut duluan, persiapan lusa Hahahaha," pamitku.

"Hati-hati, Kay."

Aku mengganguk kemudian kembali berjalan ke arah lobby. Menyapa dengan manis setiap karyawan yang kutemui. Rudi security, memberikan kunci mobilku. Setelah mengucapkan terima kasih, aku gegas ke tempat parkir.

"Kay."

Baru aku akan membuka pintu mobilku, Mas Dipta memanggilku, dia berjalan mendekat saat kubalikkan badan.

"Kamu ada waktu? mas perlu bicara."

Ku lihat jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Jam tujuh lewat sepuluh. Aku mengangguk, ada yang perlu dibicarakan juga dengannya. Tak mungkin bicara di sekitar kantor, aku memilih sebuah kafe tak jauh dari sini.

Dalam lima belas menit, kami sudah duduk berhadapan di salah satu sudut kafe.

"Aku atau Mas dulu bicara?"

"Kay duluan aja," jawabnya. Aku mengangguk.

"Ini tentang Friska, Mas tau kan? betapa kami begitu dekat." Mas Dipta mengangguk pelan, "Aku ingin mengatakan semua tentang kita."

Mas Dipta terlihat terkejut mendengarku.

"Tenang saja, aku tak akan menjatuhkan mas kok. Aku akan bilang kita berpisah karena tidak ada kecocokan. Karena memang kita dijodohkan dengan paksa," ucapku mencoba tenang.

"Daripada aku terus menutupinya dan dia tau dari orang lain, akan buruk akibatnya untuk persahabatan kami," jelasku pada Mas Dipta.

"Jujur masih lebih baik, apa pun akibatnya," lanjutku lagi.

Mas Dipta bergeming, entah apa yang pria ini pikirkan. Sesaat pandangan kami beradu, ada yang kembali mendesir dalam dadaku. Sedalam apapun aku mengubur rasa itu, saat menatap mata elang itu, semua seolah muncul kembali ke permukaan.

"Maafkan mas atas semua yang sudah mas lakukan padamu, mas masih sangat labil waktu itu. Tanpa mas sadari mas sudah sangat menyakitimu," ucapnya pelan.

"Mas sudah merenggut kesucianmu, dan mas meninggalkanmu begitu saja, maafkan mas. Mas kembali mencarimu saat sadar mas sudah berbuat zalim padamu. Namun, mas tak menemukanmu, tak ada yang tau kamu di mana," ucap Mas Dipta.

Aku kembali menatap wajah pria yang dulu pernah sangat ku gilai itu.

"Mas mencarimu, beberapa tahun ini. Tapi kamu menghilang bak ditelan bumi, mama sampai jatuh sakit memikirkanmu, orang tuaku merasa sangat bersalah padamu. Dan sekarang, saat aku mulai membuka hati dan mencoba bangkit, kita kembali di pertemukan."

Aku menyimak semua yang Mas Dipta ceritakan, menahan sesak di dadaku yang kembali membekapku.

"Aku mencintaimu, sadarku hadir setelah beberapa bulan kita berpisah, namun sepertinya waktu itu semua sudah terlambat. Dirimu telah menghilang tanpa bisa kutemui."

Sungguh bukan hal ini yang ingin kudengar, hal ini justru akan sangat mengacaukan hidupku.

"Sudahlah mas, mungkin jodoh kita hanya sampai di situ, kita mulai hidup baru. Friska gadis baik, dia seperti adikku sendiri. Dia sangat mencintai Mas Dipta, tolong jangan pernah menyakitinya," ucapku.

"Tapi Kay, aku ingin kita kembali, belum terlambat kan?, Friska pasti akan mengerti. Aku tak yakin bisa dengannya setelah menemukanmu kembali."

"Mas, kita sudah berakhir. Kay sudah tak memiliki perasaan apa-apa lagi. Jadi jangan pernah berpikir untuk merujukku kembali, itu tak aku inginkan."

"Kay kira cukup, mas siapkan sendiri penjelasan untuk Friska, yang jelas aku akan cerita tentang status kita dulu,"ucapku.

Aku bangun dari dudukku, dan akan beranjak, Mas Dipta menahanku. Dia memegang tanganku.

"Kay, mas mohon. Mas tau kamu masih mencintai mas. Kenapa kita harus menyembunyikan dan membohongi perasaan kita sendiri," ucap Mas Dipta.

Tanganku perlahan aku tarik, namun tak dilepasnya, dia masih seperti dulu, egois.

"Kay." Panggilan itu membuatku terkejut, itu suara milik Mas Byan.

Aku menoleh keasal suara, Mas Byan memandangiku kemudian melihat kearah tanganku, Mas Dipta yang juga kaget melepas pegangannya.

"Kalian?"

"Mas Byan," sapaku padanya.

"Friska mana?" tanyanya. Aku menggeleng.

Mas Byan melihatku setengan heran, entah apa yang dia pikirkan, tapi bukan pertanda yang baik sepertinya. Kepalaku mendadak sakit sekali, semua serba kebetulan. Dan ini bukanlah kebetulan yang menyenangkan tapi akan menjadi masalah.

Sudah kepalang basah, mandi sekalian. Mungkin itu istilahnya, aku menarik tangan Mas Byan dan membawanya ke salah satu meja, mejauh dari Mas Dipta yang masih bergeming.

"Akan Kay jelaskan semua," ucapku saat kami sudah duduk di sebuah meja. Mas Byan menatapku, tak bicara apapun, seolah menunggu untuk penjelasanku.

"Kay dan Mas Dipta, dulu pernah menikah," ucapku.

"Apa?"

Mas Byan terlihat kaget mendengar kalimat yang baru terlontar dari mulutku.

Bersambung

Related chapters

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   LUKA 5

    "Maksud kamu?""Kami dulu dijodohkan, kami menikah tanpa cinta. Dan pernikahan kami hanya seumur jagung. Kami memilih berpisah karena tak ada kecocokan," jelasku kemudia pada Mas Byan. Pria itu masih bergeming menatapiku. Sejenak melihat ke arah Mas Dipta yang masih duduk di tempat yang sama. "Friska tau?"Aku mengelengkan kepala. Mas Byan memanggutkan kepalanya pelan."Wah, aku sampai bingung mau berkata apa," ucap Mas Byan. Pria berkumis tipis itu sesekali memegangi tengkuknya."Tapi Friska harus tau," ucapku kemudian. Mas Byan mengangguk setuju."Friska sedang jatuh cinta, dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Jelas ini bukan hal yang baik untuknya, dan pasti akan menyakitinya," ucap Mas Byan kemudian."Tapi akan lebih sakit, kalau dia tau dari orang lain kan mas?" "Kamu baik-baik saja?" tanya Mas Byan. Sejenak dia memindai wajahku."Walaupun kamu bilang tak saling cinta, tetap terasa ti

    Last Updated : 2022-03-22
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   LUKA 6

    "Ini materi training program baru yang akan segera di luncurkan, kamu pelajari dulu. Awal bulan kita meeting, kamu yang sampaikan materinya pada karyawan lain," ucap Pak Ryan, memberikan beberapa bandel buku pedoman."Baik, Pak," jawabku"Tiketnya sudah dipesankan?""Sudah Pak, saya emailkan sebentar lagi," jawabku."Kamu kirim ke nomor WA saya saja," perintahnya."Baik Pak, ada lagi?" tanyaku kemudian."Temani saya makan siang nanti, ada Pak Restu dari kantor pusat bersama beberapa manager datang ke cabang," ucapnya."Friska dan Hani juga pak?" "Kamu saja," jawabnya kemudian. Aku kembali mengangguk. Biasanya kami bertiga yang ikut menemani, saat ada tamu dari pusat. Banyak yang berbeda sekarang, meski baru tiga bulan mengantikan BM yang lama, banyak perbaikan di semua lini. Mungkin karena masih muda ambisi dan semangatnya masih besar.Setelah memastikan tak ada hal lainnya aku pamit dan berajak k

    Last Updated : 2022-03-22
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   LUKA 7

    Friska memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Aku sengaja mengatur mode senyap di ponselku tadi. Mendengar penjelasanku dia malah tertawa ngikik."Rejeki kamu yank, hahaha," ucap Friska. Aku hanya memanyunkan bibirku."Eh, ngerasa nggak kalau Pak Bos agak beda sama kamu?""Beda apanya, yang ada pekerjaanku nambah banyak.""Siapa tau, cuma alasan dia aja mau deket sama kamu," ucap Friska lagi."Wah, Mas Byan ada saingan sekarang.""Apaan."Friska kembali tertawa. "Ya udah, sana! aku banyak kerjaan," ucapku ke Friska, daripada dia terus mengodaku. "Aku tunggu di bawah nanti sepulang kantor," lanjutku."Siap, sayang," ucap Friska, masih sempat menguyel pipiku sebelum keluar ruanganku. Kupandangi sahabatku itu sampai menghilang dibalik pintu, ada ketakutan menderaku, takut tak ada lagi kebersamaan seperti ini untuk esok hari, takut senyum dan tawa ceria itu memudar, dan ak

    Last Updated : 2022-03-22
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   LUKA 8

    Rencanaku untuk mengaku pada Friska sudah gagal, dan aku belum menemukan waktu yang tepat. Awal bulan seperti sekarang, kami harus berjibaku dengan banyak laporan. Jangankan nongki, makan siang saja kami di meja masing-masing. Seperti sekarang, ini hari minggu dan aku harus rela berada di kantor mulai pagi. Sore nanti aku dan Pak Ryan harus sudah berangkat ke Bali. Laporan yang paling urgent aku dahulukan, dan beberapa laporan sementara aku delegasikan.Tengah asyik bergulat dengan pekerjaanku, suara ketukan pintu mengalihkan fokusku. "Masuk!" ucapku setengah berteriak.Sosok Pak Ryan muncul dari balik pintu, dengan gaya yang berbeda. Rambutnya yang biasa klimis berpomade terlihat di terurai, kaos sedikit press body berwarna hitam berpadu denga riped jeans berwarna hitam juga."Lembur?" tanyanya."I ... iya," jawabku sedikit gugup, entah kenapa.Dia berjalan ke mejaku, dan menarik kursi kemudian duduk depanku. Tanpa sa

    Last Updated : 2022-03-22
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   LUKA 9

    Motor matic kuparkir di belakang mobil, karena tak bisa masuk. Tidak di kantor, tidak di rumahku sendiri kelakuannya sama, mengganggu jalan."Assalamualaikum, " teriak Prilly saat masuk rumah, disambut jawaban dari ayahku dan pria itu. Prilly yang semula setengah berlari, melambatkan langkahnya."Salim dulu, sama temannya mama," pinta ayah ke Prilly, gadis kecilku itu langsung mendekat dan mencium punggung tangan pria itu. Pria itu mengusap lembut kepala Prilly. Pandangannya beralih ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. Dia terlihat tak kaget saat Prilly disebut sebagai anakku."Kamu, tidak bersiap?" tanyanya padaku sopan."Iya," jawabku singkat.Aku tak ingin mempertanyakan maksud kedatangannya, atau mengutarakan kekesalanku padanya. Tak lucu juga kan? Kalau kami ribut di hadapan keluargaku. Aku beranjak ke kamar, bersiap dan mengecek bawaan sekali lagi."Itu ... kepala cabang yang baru?" tanya mama yang datang dengan botol

    Last Updated : 2022-03-22
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka 10

    "Ayo!" ucapnya setelah menerima kartu pintu kamarnya. Aku berjalan mengekorinya. Kamar kami bersebelahan sama-sama di lantai dasar, menghadap ke kolam renang. Ini lebih seperti resort, dengan taman yang sangat luas."Kamu tidak lapar?" tanyanya padaku, saat aku akan masuk ke kamarku. "Kita cari makan selepas ini," lanjutnya."Iya," jawabku singkat.Kamar yang nyaman, melihat tempat tidur bersprei putih itu ingin rasanya segera menghempaskan badanku. Aku meletakan semua bawaanku dan menuju kamar mandi. Kamar mandinya juga tak kalah keren, ah kampungan sekali diriku. Tapi ini benar-benar nyaman sekali.Selepas membersihkan diri dan sholat aku mengecek ponselku yang bergetar dari tadi. Pak Ryan terlihat menelponku beberapa kali. Ih, tak sabaran sekali orang ini. Pesan masuk darinya, dia menunggu di dekat kolam renang."Apa selalu begitu perempuan, ribet," ucapnya saat melihatku datang. Aku menarik kursi dan duduk di

    Last Updated : 2022-03-23
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka 11

    Bertemu dengannya kembali, bukanlah hal yang aku inginkan, apalagi dalam situasi seperti ini. Kenapa pria itu selalu membawa masalah untukku, dan fakta terburuknya adalah, aku masih mencintainya. Tapi bukan berarti aku ingin kembali bersamanya. Luka ini terlalu dalam, dan sulit bagiku melupakan semua yang pernah terjadi.Pesan masuk di ponselku, baru aku akan membalasnya, panggilan Video Call masuk, senyum sahabatku nampak begitu manis. Aku membalasnya dengan senyum yang sama.Friska memberitahu, kalau Mas Dipta juga akan ke Bali, karena itu dia memberi nomor ponselku padanya. "Aku ada pesan beberapa barang, mau nggak temenin Mas Dipta belanja? Dia bilangnya malas, baru mau pas aku mau minta tolong kamu buat temenenin dia," ucap Friska dengan gaya manjanya."Kenapa kamu nggak pesen ke aku aja langsung, kan aku bisa pergi sendiri. Malas tau jalan sama cowok, pa lagi cowok orang," jawabku, Friska tertawa."Dah, kam

    Last Updated : 2022-03-28
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka 12

    "Mamaku bilang apa?""Aku tak paham, beliau minta aku sabar ngadepin kamu," jawabku."Oh, ya udah.""Maksudnya?""Tak ada maksud apa-apa," jawabnya."Terus?" "Iya, iya, tempo hari mamaku tanya, apa aku sudah dekat dengan seorang wanita, daripada ditanyain terus, aku jawab sudah. Aku juga nggak tau, kenapa kamu yang terlintas dalam benakku," jawabnya"Hah ...." aku melongo mendengar jawabannya. "Ya, nggak tau, spontan saja aku nyebut nama kamu," ucapnya lagi."Terus, darimana tau soal Prilly?" tanyaku, aku cukup penasaran dengan hal ini."Pak Ashar, aku sengaja bertanya padanya. Darinya aku tau tentangmu."Pembicaraan kami terhenti saat pelayan datang membawa pesanan kami. Setelah menyajikan di meja dan mengucapkan selamat menikmati, mereka kembali pergi."Bukan hanya kamu, semua supervisor aku tau semua, bukankah ak

    Last Updated : 2022-03-28

Latest chapter

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Pov Ryan Ending

    Waktu terasa begitu lambat berjalan dan pandanganku mengarah ke pintu serta lampu yang berada di atas pintu ruang operasi. Kenapa terasa sangat lama sekali mereka berada di ruangan itu, rasa cemas membuat pikiranku semakin kacau.“Kita berdoa untuk mama dan adik ya,” bisikku pada Prilly, gadis kecilku itu mengangguk.Tanpa dikomando semua langsung berdiri saat pintu ruang operasi terbuka, terlihat beberapa orang keluar dari ruangan dan salah satunya dokter yang aku biasa panggil dokter Maria.“Puji Syukur Ibu dan anak selamat hanya masih memerlukan perawatan intensif jadi belum bisa ditemui.” Perkataan dokter Maria sedikit membuat perasaan lega dan tenang, Alhamdulillah istri dan anakku selamat meski aku belum bisa melihatnya.“Seorang jagoan, anaknya laki-laki dengan berat dua koma tujuh dan panjang lima puluh tiga centimeter.” Dokter Maria kembali menambahkan.“Alhamdulillah terima kasih Ya Allah, terima kasih dokter,” ucapku yang sekarang diatara perasaan senang dan juga cemas.“S

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Pov Ryan

    Meeting selesai menjelang jam tiga sore, selama itu pula aku mengabaikan panggilan serta pesan yang masuk di ponselku dan meng silentnya. Aku baruakan membuka pesan setelah aku benar-benar selesai dan sudah kembali berada di mobil. Sepertinya banyak sekali pesan dan panggilan masuk sedari tadi, baru saja aku akan melihat panggilan serta pesan yang masuk ponselku bergetar dan nama mama terlihat di layar ponsel.Buru-buru aku mengangkat panggilan dari mama yang sepertinya merupakan panggilan untuk kesekian kalinya, aku sempat melihat di panggilan tidak terjawab mama melakukan banyak panggilan. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak.“Hallo assalamualaikum, Ma.” Aku membuka percakapan dengan sebuah salam seperti biasanya.“Waalaikumsalam, Ryan kamu dimana?” Suara mama terdengar bergetar dan tidak terdengar baik.“Ini aku baru selesai meeting, Ma. Mama kayak lagi nangis, ada apa?” tanyaku kemudian.“Kayana 
 Kayana.” Mama kemudian benar-benar menangis dan menyebutkan nama Kay, istriku.”

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 92

    “Prilly yang bilang demikian, untuk apa aku membuat buat atau mengarang cerita.” Mas Dipta masih bersikeras dan terus menyanggah. “Beneran Prilly yang bilang,” lanjutnya lagi.“Sudahlah, Mas. Sekarang tolong bawa Prilly ke mobil, atau aku sendiri yang akan bangunkan Prilly.” Aku sudah semakin malas berbasa basi. Dan juga malas mendengar ocehan yang tidak jelas dari Mas Dipta.“Pulanglah, biarkan Prilly di sini.” Ekspresi wajah Mas Dipta mulai berubah tidak enak. Umur memang tidak menjamin kedewasaan seseorang, aku bisa merasakan Mas Dipta mulai kesal karena aku sedari tadi bersikap dingin kepadanya.“Prilly ikut aku pulang,” paksaku lagi. “Nggak bisa.” Mas Dipta bersikeras menahan Prilly.“Aku nggak ingin ribut, apalagi di depan Prilly. Ayolah Mas, bersikaplah sedikit bijak dan dewasa jangan seperti ini. Hal kayak gini nggak baik buat perkembangan psikis Prilly, harusnya Mas Dipta paham itu.” Sebisa mungkin aku menahan diri karena kalau aku sampai emosi pastinya tidak akan baik un

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 91

    “Iya, Oma. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” ucapku kemudian dengan senyum dan sedikit menurunkan kepala.“Ya sudah, mau belanja lagi, borong buat cucu saya.” Aku mengangguk dan masih tersenyum lebih tepatnya menahan tawa senang.“Nis 
 temanin kalau mau ambil ganti,” ucapku pada Ninis. “Pak, kalau masih ribut, bawa keluar toko saja, sudah menganggu kenyamanan belanja yang lain,” perintahku pada Pak Puji.Aku tidak memperdulikan ocehan perempuan itu dan beranjak meninggalkan toko untuk kembali keruanganku. Sesampainya di ruangan aku meminta maaf pada Bu Rahayu yang telah menunggu sedari tadi dan kemudian menyelesaikan pertemuan hari ini.*Tetap saja perutku terasa kaku akibat kejadian tadi, meski aku bilang masa bodoh sedari tadi otakku terus berputar akan masalah tadi. Bukan sebuah kebetulan pastinya akan kejadian tadi, seperti sebuah hal yang memang disengaja dan direncanakan. Kalau mendengar ucapan perempuan itu, sepertinya tujuannya untuk menjatuhkan usahaku.Aku merasa

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 90

    “Siapa?” tanyaku kemudian.“Maaf kurang tau,” jawab Titin sambil menggeleng.“Bu Rahayu, maaf permisi sebentar.” Aku membalikkan badan dan bicara pada rekananku itu karena akan ke depan untuk melihat ada keributan apa.“Oh iya, Jeng 
 silahkan.” Bu Rahayu mengangguk mempersilahkan.Aku segera beranjak menuju ke ruang toko tempat keributan terjadi. Terlihat seorang perempuan dengan balutan dress merah dan rambut pirang tengah berbicara dengan nada tinggi. Di tangannya terlihat beberapa pakaian bayi yang diacung- acungkan ke salah satu karyawanku.“Apa apaan ini, baju kayak gini di jual. Belum juga dipakai jahitan pada lepas. Produk sampah kok dijual." Perempuan itu melempar baju baju tersebut ke arah Ninis, karyawanku dan mendorongnya.“Maaf, Bu. Tolong jangan kasar 
 kalau ada yang ingin disampaikan bisa dibicarakan baik- baik, saya pemilik toko ini.” Aku berdiri di depan perempuan berambut pirang tersebut.“Bu? A 
 apa panggil aku tadi? Bu, kamu kira aku setua itu.” Nada suara peremp

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 89

    “Selamat tidur anak papa.”Sebuah kecupan Mas Ryan layangkan di kening Prilly, pria itu baru saja mengangkat tubuh mungil Prilly yang tengah tertidur masuk ke dalam kamar. Seperti yang sudah pria itu janjikan tadi kepada Prilly, mala mini kami membuat tenda di taman dan juga membakar jagung serta daging. Mungkin karena kecapaian dan mengantuk Prilly tertidur lebih dahulu.“Aku lepas dulu tendanya,” ucap Mas Ryan beringsut dari atas tempat tidur.“Besok aja, Mas. Dah malem juga kan, istirahat aja.” Aku mendekati Prilly dan mengecup kening putri kecilku itu kemudian kembali berdiri.“Ya udah 
 lumayan capek, ngantuk juga.” Mas Ryan terlihat menggeliat kemudian berjalan ke arahku yang lebih dekat dengan pintu. “Tidur,” ucapnya sambil merangkul pundakku.“Huum, ngantuk juga,” timpalku sembari menguap, kantuk mulai mendekapku.“Sayang, kalau bayi gini ikut bobo nggak ya kalau kita tidur?” tanya Mas Ryan saat kami berjalan ke kamar sambil mengusap perut buncitku.Sebuah pertanyaan yang aku

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 88

    “Ada apa ?” tanya mama yang ternyata sedari tadi memperhatikanku.“Mas Dipta,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kesalku.“Kenapa lagi anak itu?” Kembali mama bertanya sambil mengangkat dagunya.“Dia ingin mengambil Prilly.”“Apa? Nggak waras itu anak.” Suara mama terdengar sedikit emosi. “Kalau itu masalahnya mama nggak bisa tinggal diam, enak saja mau main ambil. Atas dasar apa juga dia mau ambil Prilly, selama ini Prilly baik-baik dan aman-aman saja bersama kita. Bukan berarti karena dia ayah kandungnya bisa seenaknya main ambil.”Sudah bisa aku tebak kalau respon mama akan seperti ini. Papa menepuk pelan lengan mama, sepertinya agar mama lebih tenang dan tidak terbawa emosi.“Biar papa nanti bicara sama Mas Herman, tidak perlu ada keributan atau sampai rebutan hakatas Prilly. Kita bisa bersama-sama dalam menjaga dan mengasuh Prilly,” ucap Papa yang sedari tadi hanya diam. “Nanti papa yang urus dan bicara pada mereka.”“Suka heran mama sama Dipta, kenapa sepertinya tid

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 87

    “Semoga tidak menurun ke Prilly,” harapku kemudian. Semoga hanya wajah rupawannya yang menurun di Prilly, tapi, tidak untuk sifat dan kelakuannya,“Mama Papa Dipta mana?” tanya Prilly yang baru turun dari tangga sambil melihat kea rah ruang tamu depan.“Pergi sama Papa aja, tadi Papa Dipta ada urusan.” Mas Ryan yang sedari tadi diam langsung angkat bicara.“Yah 
 kan sudah sering sama papa, kalau sama Papa Dipta kan jarang-jarang.” Raut wajah kecewa nampak sekali di wajah Prilly.Aku memahami yang dia rasakan, bagaimanapun ikatan darah memang lebih kental. Masih sebuah hal yang wajar dan tidak berlebihan karena bagaimanapun Mas Dipta adalah papa kandung Prilly. Apalagi saat bersama Mas Dipta apa yang Prilly mau selalu dipenuhi oleh papa kandungnya itu. Sangat berbeda saat bersamaku yang selalu memiliki aturan untuk setiap hal yang dilakukannya.Sebenarnya tidak ada yang kurang dari kehidupan Prilly semua hal juga telah aku dan Mas Ryan penuhi. Hanya saja untuk hal-hal tertentu kami m

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 86

    Mendengar aku dan Mas Dipta yang mulai saling berargumen Mama dan Papa juga Mama Jani beranjak meninggalkan kami bertiga. Aku, Prilly dan juga Mas Dipta masih berdiri di teras, bila menjemput Prilly, Mas Dipta memang jarang mau masuk ke dalam rumah. Keras kepala dan keegoisan pria itu tidak berkurang-kurang juga.“Iya aku tahu, tapi, ini juga demi kebaikan Prilly juga nantinya. Karena semua hal yang dia ingginkan nggak semunya bisa dia dapatkan.” Aku kembali menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku.“Kalau kamu nggak bisa atau nggak mau, biar aku saja yang mengurus Prilly, memberikan apa yang anakku mau.”“Bukan begitu Mas, ah 
 haarus seperti apa aku menjelaskan.” Aku mulai merasa kesal. “Kita nggak boleh memanjakan anak, menuruti semua kemauannya. Sedari kecil kita harus mendidiknya dengan baik agar tidak menjadi pribadi yang manja dan semaunya sendiri.”Entah apa yang ada dalam kepala pria di depanku itu, selama ini aku sudah mendidik Prilly dengan cara yang aku anggap benar dan b

DMCA.com Protection Status