Share

LUKA 3

Penulis: LinDaVin
last update Terakhir Diperbarui: 2021-10-22 18:02:32

Mataku sulit sekali terpejam, pikiranku kacau. Aku bangun beranjak ke meja kerjaku menyalakan laptop, mengalihkan ke pekerjaan mungkin bisa membantu. Tapi, ternyata kepalaku semakin pusing. Bayangan pria itu kembali hadir mengusik pikiranku. Mengingatkan aku kembali pada luka itu.

Kenapa harus Friska, kenapa harus sahabatku. Tapi dia berhak tau tentang masa lalu antara aku dan Mas Dipta, masalah dia tetap melanjutkan hubungan atau tidak itu urusan nanti. Mas Dipta sendiri juga sepertinya menutupi semuanya.

Bagaimana rasanya melihat pria yang pernah di cintai, kemudian pergi dengan meninggalkan luka, sekarang kembali datang dengan status calon suami orang terdekat kita, rasanya ... sungguh luar biasa sakitnya. Susah payah aku mengeringkan lukaku, mengubur masa lalu dan segala kenangan tentangnya. Dan juga kenyataan bahwa hanya dia pria yang pernah aku cintai, sampai detik ini.

Aku memang trauma mencinta, tapi aku tak bisa membohongi rasa dan diriku sendiri bahwa masih ada cinta itu dihatiku, sebesar apa pun luka yang dia tinggalkan di hatiku, tapi tetap tak bisa menanggalkan rasa cinta di hatiku untuknya. Sekeras apapun usahaku menepikan rasa itu atau pun mematikannya, tetap rasa itu masih ada, dia cinta pertamaku, cinta butaku.

Masih memiliki rasa bukan berarti aku masih menginginkannya. Sungguh aku tak ingin lagi bersamanya, memulai kembali kisah atau berurusan lagi dengannya dalam segala hal. Lebih baik seperti itu adanya, saat aku telah menganggapnya mati, dan hanya menyimpan cinta ini di dalam hati.

Bohonglah kalau aku mengatakan aku tak kembali sakit hati, atau tak perduli lagi. Siapa yang akan kutipu dengan rasaku, mungkin dia, Friska atau bahkan keluargaku. Tapi tidak dengan hatiku sendiri. Aku kembali terluka saat Friska bergelayut manja padanya. Aku sakit saat melihat binar indah di mata sahabatku, saat bercerita tentang mantan suamiku itu.

Cemburu? Bukan cemburu. Hanya sakit yang tak bisa aku definisikan kenapa dan mengapa. Aku tak menginginkan hadirnya kembali untuk saat ini. Akan lebih baik bila selamanya dia menghilang dari hidupku.

Kubuka laciku, mengambil beberapa foto yang baru kuambil dari gudang setelah bertahun-tahun kusimpan di sana. Aku kembali tersenyum masam , memoriku mengajak sejenak berkelana kembali ke masa itu. Masa indah yang ternyata kelam, begitu naifnya aku saat itu. Tak memakai pesta mewah hanya resepsi sederhana, kebaya berwarna putih, dan Mas Dipta memakai jas berwarna hitam.

Wajah itu tak berubah sampai sekarang, bahkan harus kuakui dia semakin terlihat tampan dengan tubuh yang lebih berisi. Sesuatu mengusik ingatanku, di mana Disa?, bukankan Mas Dipta meninggalkanku karena ingin bersama Disa kekasihnya.

Pria itu menyimpan banyak hal pada Friska, kasihan gadis itu. Tak rela rasanya melihat gadis itu terluka. Ada banyak hal yang perlu aku tau tentang Mas Dipta, setelah pergi dariku. Paling tidak akan banyak informasi yang bisa aku sampaikan pada Friska. Kumasukkan foto itu dalam buku agendaku, entah kapan Friska harus tau kebenarannya.

Sejenak kembali berputar otakku, lalu bagaimana kalau Mas Dipta tau tentang Prilly, aku tak ingin dia tau tentang anakku. Sikapnya tadi juga aneh, apa yang dia sesali, dan untuk apa menyesal. Perhatiannya padaku malah akan membuat kesalahpahaman antara aku dan Friska.

Otakku sudah tak bisa diajak untuk berfikir jernih, semua jalan serasa buntu. Dalam arti tak ada satupun pilihan yang akan berakibat baik untuk sekarang. Tapi setidaknya ini tidak menjadi bola salju, bila dibiarkan menggelinding terus menerus akan semakin besar, efeknya juga pasti lebih besar.

~

"Begadang lagi?" tanya Mama selepas aku mandi dan membantunya di dapur membuat sarapan.

"Kamu habis nangis?" lanjut mama lagi, memindai wajahku detail.

"Capekkan aja ma, kurang tidur. Kerjaan dari kantor numpuk," alasannku ke mama.

Terlihat mama tak puas dengan jawabanku.

"Mama Dion dari kemarin telpon mama. Dion tanya, kapan kamu senggang, mau ajak kamu jalan katanya," ucap mama.

"Kok nggak bilang ke Kay sendiri pakai minta Tante Rosa segala."

"Dia telpon, jarang kamu angkat. Pesan juga nggak pernah kamu jawab. Dion serius sama kamu Kay, mama berharap kamu mau kasih dia kesempatan. Sekali-kali terima ajakannya untuk keluar."

Iya, kenapa aku jahat sekali pada pria itu, jadi merasa bersalah.

"Kalau sudah nggak banyak kerjaan, nanti Kay kasih tau Dion sendiri ma," jawabku.

Aku bergeming, melihat mama. Ragu ingin kuceritakan tentang Mas Dipta. Tapi bibir ini serasa kelu, ini bukan kabar yang baik. Mama sedang tidak terlalu sehat, aku tak ingin menambah beban pikirannya. Sepertinya sekarang bukan waktu yang tepat.

"Kamu kenapa?" tanya mama terlihat heran.

"Emm, nggak mah, nggak apa-apa. Kay ganti baju dulu," jawabku. Gegas kukekamar agar tak ditanya hal lainnya lagi.

Selesai bersiap aku kembali ke ruang makan. Prily sudah duduk manis dengan segelas susu dan roti selai coklat kesukaannya. Senyumnya selalu menjadi booster setiap pagiku.

"Are you ready?" tanyaku pada gadis kecilku itu, aku memang selalu mengantarnya ke sekolah. Pulang sekolah oma dan opanya yang jemput.

"Asyiap bos Mommy," jawabnya dengan riang.

Kotak bekal sudah mama siapkan untuk cucu kesayangannya tersebut. Sebuah kecupan manis dari sang oma mengiringi langkah kecil Prilly masuk ke dalam mobil.

Selepas mencium punggung tangan mama dan juga pipi kanan kirinya aku bergegas mengikuti Prilly yang sudah menungguku. Kulajukan pelan Yaris merahku, keluar dari halaman rumah. Kembali kutanyakan apa ada yang ketinggalan, gadis kecilku menggeleng.

"Mom, Ly mimpi ketemu papa, papa ngajak Ly main, seneng deh mom," cerita Prilly tiba-tiba.

"Ly kangen papa, kalau sudah di surga papa nggak bisa pulang ya, mom," ucapnya lagi.

Ada yang menyentak rasa sakitku, di sini ngilu rasanya di dalam dadaku. Aku tak tau gambaran sosok papa seperti apa yang ada dalam benak anakku. Bagaimana nanti kalau dia tau papanya masih hidup dan tak tau atas keberadaanya.

Aku mengusap pelan kepala gadis kecilku itu, ngilu sekali rasanya hatiku. Bisa kulihat di matanya betapa dia juga ingin seperti teman-temannya. Ada senyum kecil yang sulit kuartikan saat dia melihat temannya diantar oleh ayahnya. Rasanya ada sembilu yang mengiris hati ini. Perih sekali ...

Dan kini, papanya benar-benar telah kembali. Tanpa tau ada gadis kecil yang begitu merindukan sosoknya. Gadis kecil yang selalu berharap bisa bertemu papanya, berharap pelukan hangat walau hanya dalam mimpi. Kutahan tangisku sampai Prilly lenyap dari pandanganku, berbaur dengan murid lainnya.

Prillyku tak kekurangan kasih sayang, tapi dia tetaplah seorang gadis kecil biasa. Dia juga ingin sama seperti teman-temannya. Memiliki orang tua lengkap mama dan papa. Betapa hancurnya nanti hati anakku saat tau papanya masih ada dan akan memiliki keluarga lain.

Mataku masih terlihat sembab, saat sampai di kantor. Sedikit kuperbaiki riasanku, tak lucu rasanya terlihat oleh orang lain dalam kondisi seperti ini. Harus profesional, walau tak mudah. Tapi harus bisa memisahkan masalah hati dan pekerjaan. Perusahaan membayarku bukan untuk bergalau ria. Cukup kusadari tanggung jawabku.

Waktu menunjukkan jam delapan kurang seperempat. Karyawan yang lain sudah cukup banyak terlihat. Seperti biasa saling menyapa dan mengucapkan salam. Sebuah senyum tersungging di setiap bibir.

Friska belum ada di ruangannya, aku langsung menuju ruanganku. Di meja sudah banyak berkas menungguku, seakan mengatakan santap aku. Menjelang akhir bulan memang semakin banyak laporan yang harus kukerjakan.

Baru saja kuletakkan tasku diatas meja, terdengar dering telpon dimejaku.

"Selamat pagi, dengan Kayana di sini, ada yang bisa saya bantu?" ucapku, sebagai greeting wajib di kantor ini.

"Kay, keruangan saya sebentar," ucap seseorang di ujung telepon. Dia Pak Ryan, atasanku.

"Baik, pak," jawabku.

Ruangan Pak Ryan ada di lantai atas, aku harus menaiki tangga untuk sampai di sana. Kuketuk pelan pintu yang sudah setengah terbuka itu. Terdengar suara memintaku masuk.

"Pagi, Pak," sapaku. Pria itu melihatku dan menyuruhku duduk dengan isyarat tangannya.

"Tanggal lima ada gathering di Bali selama satu minggu, kamu temani saya," ucap Pak Ryan.

"Minggu depan ya Pak?"

"Iya, sudah saya email undangannya, kamu buat sekalian SPD nya, sekalian urus tiket pesawat pulang perginya juga. Untuk Hotel sudah di siapkan oleh kantor pusat," jelas Pak Ryan kemudian. Aku menganggukan kepalaku.

"Baik, Pak. Ada lagi mungkin?"

"Laporan kamu yang diminta pusat sudah selesai?"

"Hari ini Pak, sebagian besar sudah saya email. Sudah saya cc kan ke Pak Ryan juga."

Pria itu memanggutkan kepala.

"Ya sudah, itu saja," ucapnya kemudian.

Aku bergegas keluar setelah permisi padanya. Ini menjadi Gathering pertamaku dengan Bos baru itu, dia memang belum lama pindah ke kantor ini. Baru tiga bulan yang lalu. Sosok yang dingin di mata karyawan disini.

Aku memerlukan datanya untuk pemesanan tiket. Kucari tau saja di HRD, tapi tak ada salahnya kumeminta ke orangnya langsung. Kuputar badanku dan kembali keruangannya.

"Maaf Pak, saya butuh identitas Bapak untuk pemesanan tiketnya," pintaku padanya.

"Nanti saya email," jawabnya singkat.

"Baik, pak," ucapku. Kemudian kembali permisi.

Segera kunyalakan komputer dan mengecek email masuk. Kutemukan email darinya di antara puluhan email yang belum kubuka. Nanda Ryan Pamungkas, tiga tahun di atasku. Tanggal tujuh, sebentar lagi dia ulang tahun. Status belum kawin, kupikir sudah berkeluarga. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, antusias sekali diriku.

"Kay, darimana aja, aku barusan ke sini kamu nggak ada," ucap Friska mendekatiku.

"Dari ruangan Pak Ryan," jawabku.

"Dia manggil kamu?" tanya Friska, aku mengangguk.

"Nggak lewat Pak Azhar?"

"Nggak, emang kenapa?"

"Nggak apa-apa, eh titipan dari bunda, lasagna sama macaroni schotel."

Friska menyodorkan bungkusan yang sedari tadi dipegangnya. Aku tersenyum, lasagna buatan bunda memang tiada duanya.

"Bunda tanya, kapan kamu siap jadi mantunya, Mas Byan keburu jadi bujang lapuk nungguin kamu," ucap Friska dengan tawa kecilnya.

"Sogokkan kah ini?" tanyaku sambil mengangkat bungkusan itu. Friska tertawa.

"Ya udah aku balik dulu, Bye."

Byan, Friska memang sering menjodohkanku dengan kakak lelakinya itu. Bukan pekerja kantoran, dia punya usaha toko spare part dan bengkel mobil. Meneruskan usaha keluarga. Friska hanya dua bersaudara. Pikiranku kembali ke Mas Dipta, bagaimana mengawali membuka kisahnya pada Friska.

Bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
edmapa Michael
cerita bagusssssss........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka 4

    Cepat atau lambat, Friska pasti akan tau juga, dan akan lebin baik kalau dia tau bukan dari orang lain. Secepatnya aku harus mencari waktu yang tepat untuk bisa bicara dari hati ke hati, agar dia tak salah paham padaku. Sejenak kusingkirkan masalah Friska, berkas di mejaku sudah menunggu untuk segera aku eksekusi. Semua report yang diminta oleh pusat harus selesai hari ini. Mulai kusibak satu persatu tumpukan berkas itu. Tak terasa sudah siang, pantas saja perutku keroncongan. Telepon di mejaku berdering. Suara Friska terdengar saat aku mengangkatnya. Dia akan makan siang di luar, menanyakan apa aku akan menitip sesuatu. Aku jawab tidak, seperti biasa dia keluar dengan Mas Dipta. "Saiy, besok malam pulang ngantor kita ngopi di tempat biasa ya, lama nggak ke sana," ucapku sebelum Friska mengakhiri panggilannya. "Hayuklah, oke aja aku. Ya udah Mas Dipta sudah nunggu di depan. Eh dia nanyain kamu mau ikut nggak, dia mau nraktir ini." "Nggak ah, aku udah pesen Ma

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-22
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   LUKA 5

    "Maksud kamu?""Kami dulu dijodohkan, kami menikah tanpa cinta. Dan pernikahan kami hanya seumur jagung. Kami memilih berpisah karena tak ada kecocokan," jelasku kemudia pada Mas Byan. Pria itu masih bergeming menatapiku. Sejenak melihat ke arah Mas Dipta yang masih duduk di tempat yang sama. "Friska tau?"Aku mengelengkan kepala. Mas Byan memanggutkan kepalanya pelan."Wah, aku sampai bingung mau berkata apa," ucap Mas Byan. Pria berkumis tipis itu sesekali memegangi tengkuknya."Tapi Friska harus tau," ucapku kemudian. Mas Byan mengangguk setuju."Friska sedang jatuh cinta, dia tak pernah seperti ini sebelumnya. Jelas ini bukan hal yang baik untuknya, dan pasti akan menyakitinya," ucap Mas Byan kemudian."Tapi akan lebih sakit, kalau dia tau dari orang lain kan mas?" "Kamu baik-baik saja?" tanya Mas Byan. Sejenak dia memindai wajahku."Walaupun kamu bilang tak saling cinta, tetap terasa ti

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   LUKA 6

    "Ini materi training program baru yang akan segera di luncurkan, kamu pelajari dulu. Awal bulan kita meeting, kamu yang sampaikan materinya pada karyawan lain," ucap Pak Ryan, memberikan beberapa bandel buku pedoman."Baik, Pak," jawabku"Tiketnya sudah dipesankan?""Sudah Pak, saya emailkan sebentar lagi," jawabku."Kamu kirim ke nomor WA saya saja," perintahnya."Baik Pak, ada lagi?" tanyaku kemudian."Temani saya makan siang nanti, ada Pak Restu dari kantor pusat bersama beberapa manager datang ke cabang," ucapnya."Friska dan Hani juga pak?" "Kamu saja," jawabnya kemudian. Aku kembali mengangguk. Biasanya kami bertiga yang ikut menemani, saat ada tamu dari pusat. Banyak yang berbeda sekarang, meski baru tiga bulan mengantikan BM yang lama, banyak perbaikan di semua lini. Mungkin karena masih muda ambisi dan semangatnya masih besar.Setelah memastikan tak ada hal lainnya aku pamit dan berajak k

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   LUKA 7

    Friska memberondongku dengan berbagai pertanyaan. Aku sengaja mengatur mode senyap di ponselku tadi. Mendengar penjelasanku dia malah tertawa ngikik."Rejeki kamu yank, hahaha," ucap Friska. Aku hanya memanyunkan bibirku."Eh, ngerasa nggak kalau Pak Bos agak beda sama kamu?""Beda apanya, yang ada pekerjaanku nambah banyak.""Siapa tau, cuma alasan dia aja mau deket sama kamu," ucap Friska lagi."Wah, Mas Byan ada saingan sekarang.""Apaan."Friska kembali tertawa. "Ya udah, sana! aku banyak kerjaan," ucapku ke Friska, daripada dia terus mengodaku. "Aku tunggu di bawah nanti sepulang kantor," lanjutku."Siap, sayang," ucap Friska, masih sempat menguyel pipiku sebelum keluar ruanganku. Kupandangi sahabatku itu sampai menghilang dibalik pintu, ada ketakutan menderaku, takut tak ada lagi kebersamaan seperti ini untuk esok hari, takut senyum dan tawa ceria itu memudar, dan ak

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   LUKA 8

    Rencanaku untuk mengaku pada Friska sudah gagal, dan aku belum menemukan waktu yang tepat. Awal bulan seperti sekarang, kami harus berjibaku dengan banyak laporan. Jangankan nongki, makan siang saja kami di meja masing-masing. Seperti sekarang, ini hari minggu dan aku harus rela berada di kantor mulai pagi. Sore nanti aku dan Pak Ryan harus sudah berangkat ke Bali. Laporan yang paling urgent aku dahulukan, dan beberapa laporan sementara aku delegasikan.Tengah asyik bergulat dengan pekerjaanku, suara ketukan pintu mengalihkan fokusku. "Masuk!" ucapku setengah berteriak.Sosok Pak Ryan muncul dari balik pintu, dengan gaya yang berbeda. Rambutnya yang biasa klimis berpomade terlihat di terurai, kaos sedikit press body berwarna hitam berpadu denga riped jeans berwarna hitam juga."Lembur?" tanyanya."I ... iya," jawabku sedikit gugup, entah kenapa.Dia berjalan ke mejaku, dan menarik kursi kemudian duduk depanku. Tanpa sa

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   LUKA 9

    Motor matic kuparkir di belakang mobil, karena tak bisa masuk. Tidak di kantor, tidak di rumahku sendiri kelakuannya sama, mengganggu jalan."Assalamualaikum, " teriak Prilly saat masuk rumah, disambut jawaban dari ayahku dan pria itu. Prilly yang semula setengah berlari, melambatkan langkahnya."Salim dulu, sama temannya mama," pinta ayah ke Prilly, gadis kecilku itu langsung mendekat dan mencium punggung tangan pria itu. Pria itu mengusap lembut kepala Prilly. Pandangannya beralih ke arahku yang masih mematung di ambang pintu. Dia terlihat tak kaget saat Prilly disebut sebagai anakku."Kamu, tidak bersiap?" tanyanya padaku sopan."Iya," jawabku singkat.Aku tak ingin mempertanyakan maksud kedatangannya, atau mengutarakan kekesalanku padanya. Tak lucu juga kan? Kalau kami ribut di hadapan keluargaku. Aku beranjak ke kamar, bersiap dan mengecek bawaan sekali lagi."Itu ... kepala cabang yang baru?" tanya mama yang datang dengan botol

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-22
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka 10

    "Ayo!" ucapnya setelah menerima kartu pintu kamarnya. Aku berjalan mengekorinya. Kamar kami bersebelahan sama-sama di lantai dasar, menghadap ke kolam renang. Ini lebih seperti resort, dengan taman yang sangat luas."Kamu tidak lapar?" tanyanya padaku, saat aku akan masuk ke kamarku. "Kita cari makan selepas ini," lanjutnya."Iya," jawabku singkat.Kamar yang nyaman, melihat tempat tidur bersprei putih itu ingin rasanya segera menghempaskan badanku. Aku meletakan semua bawaanku dan menuju kamar mandi. Kamar mandinya juga tak kalah keren, ah kampungan sekali diriku. Tapi ini benar-benar nyaman sekali.Selepas membersihkan diri dan sholat aku mengecek ponselku yang bergetar dari tadi. Pak Ryan terlihat menelponku beberapa kali. Ih, tak sabaran sekali orang ini. Pesan masuk darinya, dia menunggu di dekat kolam renang."Apa selalu begitu perempuan, ribet," ucapnya saat melihatku datang. Aku menarik kursi dan duduk di

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-23
  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka 11

    Bertemu dengannya kembali, bukanlah hal yang aku inginkan, apalagi dalam situasi seperti ini. Kenapa pria itu selalu membawa masalah untukku, dan fakta terburuknya adalah, aku masih mencintainya. Tapi bukan berarti aku ingin kembali bersamanya. Luka ini terlalu dalam, dan sulit bagiku melupakan semua yang pernah terjadi.Pesan masuk di ponselku, baru aku akan membalasnya, panggilan Video Call masuk, senyum sahabatku nampak begitu manis. Aku membalasnya dengan senyum yang sama.Friska memberitahu, kalau Mas Dipta juga akan ke Bali, karena itu dia memberi nomor ponselku padanya. "Aku ada pesan beberapa barang, mau nggak temenin Mas Dipta belanja? Dia bilangnya malas, baru mau pas aku mau minta tolong kamu buat temenenin dia," ucap Friska dengan gaya manjanya."Kenapa kamu nggak pesen ke aku aja langsung, kan aku bisa pergi sendiri. Malas tau jalan sama cowok, pa lagi cowok orang," jawabku, Friska tertawa."Dah, kam

    Terakhir Diperbarui : 2022-03-28

Bab terbaru

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Pov Ryan Ending

    Waktu terasa begitu lambat berjalan dan pandanganku mengarah ke pintu serta lampu yang berada di atas pintu ruang operasi. Kenapa terasa sangat lama sekali mereka berada di ruangan itu, rasa cemas membuat pikiranku semakin kacau.“Kita berdoa untuk mama dan adik ya,” bisikku pada Prilly, gadis kecilku itu mengangguk.Tanpa dikomando semua langsung berdiri saat pintu ruang operasi terbuka, terlihat beberapa orang keluar dari ruangan dan salah satunya dokter yang aku biasa panggil dokter Maria.“Puji Syukur Ibu dan anak selamat hanya masih memerlukan perawatan intensif jadi belum bisa ditemui.” Perkataan dokter Maria sedikit membuat perasaan lega dan tenang, Alhamdulillah istri dan anakku selamat meski aku belum bisa melihatnya.“Seorang jagoan, anaknya laki-laki dengan berat dua koma tujuh dan panjang lima puluh tiga centimeter.” Dokter Maria kembali menambahkan.“Alhamdulillah terima kasih Ya Allah, terima kasih dokter,” ucapku yang sekarang diatara perasaan senang dan juga cemas.“S

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Pov Ryan

    Meeting selesai menjelang jam tiga sore, selama itu pula aku mengabaikan panggilan serta pesan yang masuk di ponselku dan meng silentnya. Aku baruakan membuka pesan setelah aku benar-benar selesai dan sudah kembali berada di mobil. Sepertinya banyak sekali pesan dan panggilan masuk sedari tadi, baru saja aku akan melihat panggilan serta pesan yang masuk ponselku bergetar dan nama mama terlihat di layar ponsel.Buru-buru aku mengangkat panggilan dari mama yang sepertinya merupakan panggilan untuk kesekian kalinya, aku sempat melihat di panggilan tidak terjawab mama melakukan banyak panggilan. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak.“Hallo assalamualaikum, Ma.” Aku membuka percakapan dengan sebuah salam seperti biasanya.“Waalaikumsalam, Ryan kamu dimana?” Suara mama terdengar bergetar dan tidak terdengar baik.“Ini aku baru selesai meeting, Ma. Mama kayak lagi nangis, ada apa?” tanyaku kemudian.“Kayana 
 Kayana.” Mama kemudian benar-benar menangis dan menyebutkan nama Kay, istriku.”

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 92

    “Prilly yang bilang demikian, untuk apa aku membuat buat atau mengarang cerita.” Mas Dipta masih bersikeras dan terus menyanggah. “Beneran Prilly yang bilang,” lanjutnya lagi.“Sudahlah, Mas. Sekarang tolong bawa Prilly ke mobil, atau aku sendiri yang akan bangunkan Prilly.” Aku sudah semakin malas berbasa basi. Dan juga malas mendengar ocehan yang tidak jelas dari Mas Dipta.“Pulanglah, biarkan Prilly di sini.” Ekspresi wajah Mas Dipta mulai berubah tidak enak. Umur memang tidak menjamin kedewasaan seseorang, aku bisa merasakan Mas Dipta mulai kesal karena aku sedari tadi bersikap dingin kepadanya.“Prilly ikut aku pulang,” paksaku lagi. “Nggak bisa.” Mas Dipta bersikeras menahan Prilly.“Aku nggak ingin ribut, apalagi di depan Prilly. Ayolah Mas, bersikaplah sedikit bijak dan dewasa jangan seperti ini. Hal kayak gini nggak baik buat perkembangan psikis Prilly, harusnya Mas Dipta paham itu.” Sebisa mungkin aku menahan diri karena kalau aku sampai emosi pastinya tidak akan baik un

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 91

    “Iya, Oma. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” ucapku kemudian dengan senyum dan sedikit menurunkan kepala.“Ya sudah, mau belanja lagi, borong buat cucu saya.” Aku mengangguk dan masih tersenyum lebih tepatnya menahan tawa senang.“Nis 
 temanin kalau mau ambil ganti,” ucapku pada Ninis. “Pak, kalau masih ribut, bawa keluar toko saja, sudah menganggu kenyamanan belanja yang lain,” perintahku pada Pak Puji.Aku tidak memperdulikan ocehan perempuan itu dan beranjak meninggalkan toko untuk kembali keruanganku. Sesampainya di ruangan aku meminta maaf pada Bu Rahayu yang telah menunggu sedari tadi dan kemudian menyelesaikan pertemuan hari ini.*Tetap saja perutku terasa kaku akibat kejadian tadi, meski aku bilang masa bodoh sedari tadi otakku terus berputar akan masalah tadi. Bukan sebuah kebetulan pastinya akan kejadian tadi, seperti sebuah hal yang memang disengaja dan direncanakan. Kalau mendengar ucapan perempuan itu, sepertinya tujuannya untuk menjatuhkan usahaku.Aku merasa

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 90

    “Siapa?” tanyaku kemudian.“Maaf kurang tau,” jawab Titin sambil menggeleng.“Bu Rahayu, maaf permisi sebentar.” Aku membalikkan badan dan bicara pada rekananku itu karena akan ke depan untuk melihat ada keributan apa.“Oh iya, Jeng 
 silahkan.” Bu Rahayu mengangguk mempersilahkan.Aku segera beranjak menuju ke ruang toko tempat keributan terjadi. Terlihat seorang perempuan dengan balutan dress merah dan rambut pirang tengah berbicara dengan nada tinggi. Di tangannya terlihat beberapa pakaian bayi yang diacung- acungkan ke salah satu karyawanku.“Apa apaan ini, baju kayak gini di jual. Belum juga dipakai jahitan pada lepas. Produk sampah kok dijual." Perempuan itu melempar baju baju tersebut ke arah Ninis, karyawanku dan mendorongnya.“Maaf, Bu. Tolong jangan kasar 
 kalau ada yang ingin disampaikan bisa dibicarakan baik- baik, saya pemilik toko ini.” Aku berdiri di depan perempuan berambut pirang tersebut.“Bu? A 
 apa panggil aku tadi? Bu, kamu kira aku setua itu.” Nada suara peremp

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 89

    “Selamat tidur anak papa.”Sebuah kecupan Mas Ryan layangkan di kening Prilly, pria itu baru saja mengangkat tubuh mungil Prilly yang tengah tertidur masuk ke dalam kamar. Seperti yang sudah pria itu janjikan tadi kepada Prilly, mala mini kami membuat tenda di taman dan juga membakar jagung serta daging. Mungkin karena kecapaian dan mengantuk Prilly tertidur lebih dahulu.“Aku lepas dulu tendanya,” ucap Mas Ryan beringsut dari atas tempat tidur.“Besok aja, Mas. Dah malem juga kan, istirahat aja.” Aku mendekati Prilly dan mengecup kening putri kecilku itu kemudian kembali berdiri.“Ya udah 
 lumayan capek, ngantuk juga.” Mas Ryan terlihat menggeliat kemudian berjalan ke arahku yang lebih dekat dengan pintu. “Tidur,” ucapnya sambil merangkul pundakku.“Huum, ngantuk juga,” timpalku sembari menguap, kantuk mulai mendekapku.“Sayang, kalau bayi gini ikut bobo nggak ya kalau kita tidur?” tanya Mas Ryan saat kami berjalan ke kamar sambil mengusap perut buncitku.Sebuah pertanyaan yang aku

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 88

    “Ada apa ?” tanya mama yang ternyata sedari tadi memperhatikanku.“Mas Dipta,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kesalku.“Kenapa lagi anak itu?” Kembali mama bertanya sambil mengangkat dagunya.“Dia ingin mengambil Prilly.”“Apa? Nggak waras itu anak.” Suara mama terdengar sedikit emosi. “Kalau itu masalahnya mama nggak bisa tinggal diam, enak saja mau main ambil. Atas dasar apa juga dia mau ambil Prilly, selama ini Prilly baik-baik dan aman-aman saja bersama kita. Bukan berarti karena dia ayah kandungnya bisa seenaknya main ambil.”Sudah bisa aku tebak kalau respon mama akan seperti ini. Papa menepuk pelan lengan mama, sepertinya agar mama lebih tenang dan tidak terbawa emosi.“Biar papa nanti bicara sama Mas Herman, tidak perlu ada keributan atau sampai rebutan hakatas Prilly. Kita bisa bersama-sama dalam menjaga dan mengasuh Prilly,” ucap Papa yang sedari tadi hanya diam. “Nanti papa yang urus dan bicara pada mereka.”“Suka heran mama sama Dipta, kenapa sepertinya tid

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 87

    “Semoga tidak menurun ke Prilly,” harapku kemudian. Semoga hanya wajah rupawannya yang menurun di Prilly, tapi, tidak untuk sifat dan kelakuannya,“Mama Papa Dipta mana?” tanya Prilly yang baru turun dari tangga sambil melihat kea rah ruang tamu depan.“Pergi sama Papa aja, tadi Papa Dipta ada urusan.” Mas Ryan yang sedari tadi diam langsung angkat bicara.“Yah 
 kan sudah sering sama papa, kalau sama Papa Dipta kan jarang-jarang.” Raut wajah kecewa nampak sekali di wajah Prilly.Aku memahami yang dia rasakan, bagaimanapun ikatan darah memang lebih kental. Masih sebuah hal yang wajar dan tidak berlebihan karena bagaimanapun Mas Dipta adalah papa kandung Prilly. Apalagi saat bersama Mas Dipta apa yang Prilly mau selalu dipenuhi oleh papa kandungnya itu. Sangat berbeda saat bersamaku yang selalu memiliki aturan untuk setiap hal yang dilakukannya.Sebenarnya tidak ada yang kurang dari kehidupan Prilly semua hal juga telah aku dan Mas Ryan penuhi. Hanya saja untuk hal-hal tertentu kami m

  • Luka Hati Istri Yang Ditinggalkan   Luka Bab 86

    Mendengar aku dan Mas Dipta yang mulai saling berargumen Mama dan Papa juga Mama Jani beranjak meninggalkan kami bertiga. Aku, Prilly dan juga Mas Dipta masih berdiri di teras, bila menjemput Prilly, Mas Dipta memang jarang mau masuk ke dalam rumah. Keras kepala dan keegoisan pria itu tidak berkurang-kurang juga.“Iya aku tahu, tapi, ini juga demi kebaikan Prilly juga nantinya. Karena semua hal yang dia ingginkan nggak semunya bisa dia dapatkan.” Aku kembali menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku.“Kalau kamu nggak bisa atau nggak mau, biar aku saja yang mengurus Prilly, memberikan apa yang anakku mau.”“Bukan begitu Mas, ah 
 haarus seperti apa aku menjelaskan.” Aku mulai merasa kesal. “Kita nggak boleh memanjakan anak, menuruti semua kemauannya. Sedari kecil kita harus mendidiknya dengan baik agar tidak menjadi pribadi yang manja dan semaunya sendiri.”Entah apa yang ada dalam kepala pria di depanku itu, selama ini aku sudah mendidik Prilly dengan cara yang aku anggap benar dan b

DMCA.com Protection Status