"Jangankan sebentar, semua waktuku kalau kamu yang minta pasti aku berikan," jawabnya.
"Ih, gombal banget ternyata ini orang," ucapku. Pria itu tertawa."Hanya denganmu, aku bisa bicara seperti ini, anehkan? Emm ada apa?""Prilly, ingin bicara denganmu, dia merajuk tadi," jelasku padanya."Apa dia merindukanku?"Aku mengangkat bahuku. Aku sendiri juga tak tau, tak pernah dia seperti itu. Ponsel kuambil dari saku blazer, dan menghubungi mama kemudian."Mam, Prilly mana?" tanyaku setelah mengucapkan salam. Tak berapa lama terdengar suara gadis kecilku itu. Ponsel kuserahkan ke Pak Ryan. Bibir itu terlihat tersenyum, dia berbicara sedikit menjauh dariku. Ada apa antara anak dan kekasihku itu."Ada apa sih?" tanyaku, saat Pak Ryan mengembalikan pinselku."Rahasia," jawabnya tersenyum mengodaku."Ih, nggak banget pakai rahasia,rahasian segala," ucapku manyun. Pria itu malah tertawa.Seperti hari sebelumnya, agenda kegiatan hari ini juga tak kalah padat."Maaf," ucapnya.Aku tertunduk dengan wajah menghangat, kepalaku mengangguk pelan. Untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan dan situasi seperti ini. "Kamu istirahat, besok agenda kita masih padat," ucapnya lagi."Kamu juga," ucapku, sambil kembali menatapnya, senyum menghias bibir manis itu. Untuk sesaat kami masih saling bertatap, kenapa rasanya enggan sekali untuk berpisah. Apakah aku benar-benar mulai jatuh cinta ..."Sudah malam, nanti aku bisa khilaf, aku balik kamar dulu," ucapnya kemudian."Iya," jawabku.Pria itu hanya bergeming dengan senyum berbeda. Tak beranjak juga dari depanku."Katanya mau balik kamar?" tanyaku kemudian."Bagaimana aku bisa pergi, tangan ini terus menahanku," ucapnya sambil memegang kedua tanganku yang melingkari pinggangnya, sontak aku ingin menariknya tapi dia malah menahannya.Wajahku semakin menghangat, bisa-bisanya aku tak sadar sedang memeluknya. Senyum jail, terulas di bibir itu, kembali aku menunduk menyembunyika
"Aku akan selalu ada untukmu, menjagamu dan juga Prilly, aku akan menjadi seseorang yang bisa kalian andalkan. Jangan pernah takut melangkah kedepan, ada aku yang akan selalu mendukungmu. Jadikan aku sandaran, saat kau mulai lelah. Pegang tanganku saat kau takut melangkah."Pak Ryan mengecup kedua tanganku, kemudian mendekapnya di dada."Jaga rasaku, ini kali pertama aku merasakan jatuh cinta, mungkin aku akan terlihat begitu posesif terhadapmu, tapi itu semata-mata karena aku takut kehilanganganmu." Lanjut pria itu."Justru aku yang takut, kamu terlalu sempurna bagiku. Harusnya kamu bisa mendapatkan yang jauh le --- ." Jemari itu menyentuh bibirku, membuat aku tak meneruskan ucapanku."Tak ada manusia yang sempurna, aku juga tak sebaik yang kamu pikirkan, tapi aku akan berusaha sebaik mungkin menjadi pria yang bisa kamu andalkan dan tak akan membuatmu kecewa, apalagi terluka."Pria ini seminggu yang lalu masih sangat menyebelkan. Lihatlah hari ini, hati wanita mana y
"Saya mohon ijin, untuk menjalin hubungan yang lebih jauh dengan Kayana, mungkin ini terdengar terlalu cepat, tapi saya serius dengan Kayana," ucap Pak Ryan. Aku sedikit tertegun, aku pikir tak akan secepat ini.Mama dan Papa saling berpandangan, bersamaan mereka melihat ke arahku yang masih sedikit tertegun. Jemari Pak Ryan saling bertaut, terlihat sekali kalau dia juga tegang."Nak Ryan, sudah tau status Kayana sebenarnya?" tanya Papa pada Pria itu. "Iya, Om, saya sudah tau tentang Kayana.""Apakah itu bukan masalah?""Saya menerima segala kelebihan dan kekurangan Kayana, demikian juga saya berharap Kayana bisa menerima dengan segala kelebihan dan kekurangan yang saya miliki," jawab Pak Ryan."Bagaimana dengan orang tua Nak Ryan?" Cecar Papa lagi."Mama saya selalu mendukung keputusan saya," jawab Pak Ryan lagi.Papa terlihat manggut-manggut, mama tersenyum ke arahku. Aku sendiri? entahlah apa yang kurasakan sekarang. Jujur aku tak mengira pria itu akan se
"I ... itu kesalahan," jawabku."Maksudnya?""Mas Dipta, sedang dalam kondisi tak sadar sewaktu melakukannya, dia saat itu sedang mabuk. Aku juga tak bisa melawannya, semua terjadi begitu saja," jelasku ke Friska."Tapi, sudah ada Prilly, kenapa kalian tetap berpisah?""Aku tak tau kalau sedang hamil, Mas Dipta juga tidak mengetahuinya," jelasku lagi."Maksudmu, Mas Dipta tak tau tentang Prilly?" Aku mengangguk, Friska memejamkan matanya, "Sampai sekarang?""Iya, aku belum memberitahu Mas Dipta tentang Prilly, tapi dia punya hak tau, aku pasti akan memberi tahunya suatu saat. Karena Prilly juga berhak tau tentang ayahnya." Aku menarik nafas dalam, mengatur gejolak hatiku, dan berdoa semoga Friska tak marah padaku."Aku tak tau, mau berkata apa lagi. Ini semua, sangat buruk. Aku tak menyukainya, rasanya sakit, semua rasa tercampur menjadi satu." Air mata Friska kembali luruh. "Kamu berbohong kalau kamu bilang Mas Dipta tak mencintaimu, dia terdengar senang sekali
"Kami belum tau." Mas Bian yang akhirnya menjawab pertanyaanku. Tangan Pak Ryan mengusap pelan punggungku, seolah sedang menguatkanku. Dia membawaku, kesebuah kursi kosong tak jauh dari tempat Friska dan Mas Bian duduk."Percaya, semua akan baik-baik saja. Ingatlah ada aku di sini, tak akan aku biarkan kamu menangis sendiri," bisik Pak Ryan padaku. Jemarinya menautku erat. Aku mengangguk pelan."Terima kasih," ucapku lirih.Kami semua terdiam, situasi ini sungguh tak nyaman. Sesekali kumelihat kearah Friska, yang menatap kosong dengan mata sembabnya. Perih sekali rasanya, aku ingin memeluknya. Andai dia tau dia lebih dari segalanya, bagiku. Aku menyayanginya seperti adikku sendiri, dia satu-satunya sahabatku. Lihat, apa yang sudah kuperbuat padanya sekarang.Aku tak sanggup melihat kemarahanya, airmatanya dan juga kediamannya. Aku tak ingin kehilangan dia. Sejak pertama kami bertemu kami merasa seperti punya ikatan satu dengan lainnya. Dan sekarang dia marah padaku karen
"Ini benar kamu, Nak," ucapnya lagi, kemudian menghambur memeluk dan menciumku."Au," rintihku pelan saat tanpa sengaja wanita itu menyenggol tanganku yang terluka."Ka ... kamu juga terluka?" Wanita itu memindaiku."Cuma lecet sedikit," jawabku.Mendengarku bicara dengan orang lain, tampak Pak Ryan bangun dan kemudian berdiri."Ini, siapa?" tanya wanita itu lagi."Saya, calon suaminya Kayana," ucap Pak Ryan, tangannya terulur. Wanita itu menyambut ragu. Ayah Mas Dipta ikut menghampiri, aku mencium pungung tangannya."Bagaimana kondisi Dipta?" tanya wanita itu padaku, aku mengelengkan kepala."Friska yang lebih tau, Ma," jawabku."Kamu mengenal Friska?" tanya wanita itu lagi.Aku mengangguk, "Friska sahabay Kay, Ma. Sudah seperti adik Kayana sendiri," jawabku. Karena aku menahan sakit pada kakiku, yang kemungkian keseleo, aku limbung dan hampir jatuh. Pak Ryan langsung menangkapmu."Maaf tante, kaki Kayana masih sakit, saya bawa duduk dulu," ucap
"Mas, itu sudah tidak mungkin, Kay sudah memiliki pria lain. Mas juga sudah memiliki Friska yang sangat mencintai Mas Dipta," ucapku padanya."Tapi aku mencintaimu, ahh ... kepalaku sakit.""Sudahlah, jangan terlalu banyak bicara," ucapku padanya."Mas istirahat, Kay juga harus pulang, nanti Kay kesini lagi," pamitku padanya."Janji.""Iyah," jawabku.Aku memanggil dengan mengangkat tanganku ke arah perawat di balik kaca. Segera perawat berkaca mata itu menghampirimu, dan membantuku keluar."Bagaimana Dipta?" Mama Mas Dipta langsung mencegatku."Sudah membaik Ma, Kay pamit dulu, nanti Kayana kesini lagi," pamitku."Iya, sayang. Banyak hal yang ingin mama ceritakan juga," ucap wanita itu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Pak Ryan langsung berjalan kearahku, saat perawat kembali ke dalam. Aku berpamitan pada Friska, sahabatku itu hanya sedikit mengangguk tanpa bicara.*"Ke apotik dulu ya, membeli obat untuk lukamu, dan untuk kakimu," ucap Pak R
Kedekatannya dengan Ayah Mas Dipta yang pastinya membuat Papa dengan cepat memaafkan mantan menantunya itu. Berbeda dengan Mama, yang bersikukuh tak akan kembali menerima Mas Dipta. Sebagai seorang Ibu aku cukup mengerti apa yang mama rasakan, selain harga diri yang terinjak hatinya sebagai seorang Ibu pastilah sangat terluka, menerima perlakuan Mas Dipta yang dengan mudahnya mengembalikan diriku pada mereka saat itu.Mama cukup mengerti betapa hancurnya aku saat itu, merekapun ikut hancur. Apalagi saat mengetahui aku hamil, dan melihat aku menjalani kehamilan tanpa suami, membesarkan Prilly tanpa sentuhan dan kasih sayang seorang suami.Hatiku masih sakit mengingatnya, luka ini teramatlah dalam dan perih, sebesar apapun rasa cintaku pada Mas Dipta, tak akan mampu menghapus rasa sakit itu begitu saja. "Kay mau istirahat dulu Ma, Pa," pamitku."Istirahatlah, kamu pasti lelah semalaman di rumah sakit," ucap Papa. Aku hanya mengangguk. Mama membantuku berjalan ke d
Waktu terasa begitu lambat berjalan dan pandanganku mengarah ke pintu serta lampu yang berada di atas pintu ruang operasi. Kenapa terasa sangat lama sekali mereka berada di ruangan itu, rasa cemas membuat pikiranku semakin kacau.“Kita berdoa untuk mama dan adik ya,” bisikku pada Prilly, gadis kecilku itu mengangguk.Tanpa dikomando semua langsung berdiri saat pintu ruang operasi terbuka, terlihat beberapa orang keluar dari ruangan dan salah satunya dokter yang aku biasa panggil dokter Maria.“Puji Syukur Ibu dan anak selamat hanya masih memerlukan perawatan intensif jadi belum bisa ditemui.” Perkataan dokter Maria sedikit membuat perasaan lega dan tenang, Alhamdulillah istri dan anakku selamat meski aku belum bisa melihatnya.“Seorang jagoan, anaknya laki-laki dengan berat dua koma tujuh dan panjang lima puluh tiga centimeter.” Dokter Maria kembali menambahkan.“Alhamdulillah terima kasih Ya Allah, terima kasih dokter,” ucapku yang sekarang diatara perasaan senang dan juga cemas.“S
Meeting selesai menjelang jam tiga sore, selama itu pula aku mengabaikan panggilan serta pesan yang masuk di ponselku dan meng silentnya. Aku baruakan membuka pesan setelah aku benar-benar selesai dan sudah kembali berada di mobil. Sepertinya banyak sekali pesan dan panggilan masuk sedari tadi, baru saja aku akan melihat panggilan serta pesan yang masuk ponselku bergetar dan nama mama terlihat di layar ponsel.Buru-buru aku mengangkat panggilan dari mama yang sepertinya merupakan panggilan untuk kesekian kalinya, aku sempat melihat di panggilan tidak terjawab mama melakukan banyak panggilan. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak.“Hallo assalamualaikum, Ma.” Aku membuka percakapan dengan sebuah salam seperti biasanya.“Waalaikumsalam, Ryan kamu dimana?” Suara mama terdengar bergetar dan tidak terdengar baik.“Ini aku baru selesai meeting, Ma. Mama kayak lagi nangis, ada apa?” tanyaku kemudian.“Kayana … Kayana.” Mama kemudian benar-benar menangis dan menyebutkan nama Kay, istriku.”
“Prilly yang bilang demikian, untuk apa aku membuat buat atau mengarang cerita.” Mas Dipta masih bersikeras dan terus menyanggah. “Beneran Prilly yang bilang,” lanjutnya lagi.“Sudahlah, Mas. Sekarang tolong bawa Prilly ke mobil, atau aku sendiri yang akan bangunkan Prilly.” Aku sudah semakin malas berbasa basi. Dan juga malas mendengar ocehan yang tidak jelas dari Mas Dipta.“Pulanglah, biarkan Prilly di sini.” Ekspresi wajah Mas Dipta mulai berubah tidak enak. Umur memang tidak menjamin kedewasaan seseorang, aku bisa merasakan Mas Dipta mulai kesal karena aku sedari tadi bersikap dingin kepadanya.“Prilly ikut aku pulang,” paksaku lagi. “Nggak bisa.” Mas Dipta bersikeras menahan Prilly.“Aku nggak ingin ribut, apalagi di depan Prilly. Ayolah Mas, bersikaplah sedikit bijak dan dewasa jangan seperti ini. Hal kayak gini nggak baik buat perkembangan psikis Prilly, harusnya Mas Dipta paham itu.” Sebisa mungkin aku menahan diri karena kalau aku sampai emosi pastinya tidak akan baik un
“Iya, Oma. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” ucapku kemudian dengan senyum dan sedikit menurunkan kepala.“Ya sudah, mau belanja lagi, borong buat cucu saya.” Aku mengangguk dan masih tersenyum lebih tepatnya menahan tawa senang.“Nis … temanin kalau mau ambil ganti,” ucapku pada Ninis. “Pak, kalau masih ribut, bawa keluar toko saja, sudah menganggu kenyamanan belanja yang lain,” perintahku pada Pak Puji.Aku tidak memperdulikan ocehan perempuan itu dan beranjak meninggalkan toko untuk kembali keruanganku. Sesampainya di ruangan aku meminta maaf pada Bu Rahayu yang telah menunggu sedari tadi dan kemudian menyelesaikan pertemuan hari ini.*Tetap saja perutku terasa kaku akibat kejadian tadi, meski aku bilang masa bodoh sedari tadi otakku terus berputar akan masalah tadi. Bukan sebuah kebetulan pastinya akan kejadian tadi, seperti sebuah hal yang memang disengaja dan direncanakan. Kalau mendengar ucapan perempuan itu, sepertinya tujuannya untuk menjatuhkan usahaku.Aku merasa
“Siapa?” tanyaku kemudian.“Maaf kurang tau,” jawab Titin sambil menggeleng.“Bu Rahayu, maaf permisi sebentar.” Aku membalikkan badan dan bicara pada rekananku itu karena akan ke depan untuk melihat ada keributan apa.“Oh iya, Jeng … silahkan.” Bu Rahayu mengangguk mempersilahkan.Aku segera beranjak menuju ke ruang toko tempat keributan terjadi. Terlihat seorang perempuan dengan balutan dress merah dan rambut pirang tengah berbicara dengan nada tinggi. Di tangannya terlihat beberapa pakaian bayi yang diacung- acungkan ke salah satu karyawanku.“Apa apaan ini, baju kayak gini di jual. Belum juga dipakai jahitan pada lepas. Produk sampah kok dijual." Perempuan itu melempar baju baju tersebut ke arah Ninis, karyawanku dan mendorongnya.“Maaf, Bu. Tolong jangan kasar … kalau ada yang ingin disampaikan bisa dibicarakan baik- baik, saya pemilik toko ini.” Aku berdiri di depan perempuan berambut pirang tersebut.“Bu? A … apa panggil aku tadi? Bu, kamu kira aku setua itu.” Nada suara peremp
“Selamat tidur anak papa.”Sebuah kecupan Mas Ryan layangkan di kening Prilly, pria itu baru saja mengangkat tubuh mungil Prilly yang tengah tertidur masuk ke dalam kamar. Seperti yang sudah pria itu janjikan tadi kepada Prilly, mala mini kami membuat tenda di taman dan juga membakar jagung serta daging. Mungkin karena kecapaian dan mengantuk Prilly tertidur lebih dahulu.“Aku lepas dulu tendanya,” ucap Mas Ryan beringsut dari atas tempat tidur.“Besok aja, Mas. Dah malem juga kan, istirahat aja.” Aku mendekati Prilly dan mengecup kening putri kecilku itu kemudian kembali berdiri.“Ya udah … lumayan capek, ngantuk juga.” Mas Ryan terlihat menggeliat kemudian berjalan ke arahku yang lebih dekat dengan pintu. “Tidur,” ucapnya sambil merangkul pundakku.“Huum, ngantuk juga,” timpalku sembari menguap, kantuk mulai mendekapku.“Sayang, kalau bayi gini ikut bobo nggak ya kalau kita tidur?” tanya Mas Ryan saat kami berjalan ke kamar sambil mengusap perut buncitku.Sebuah pertanyaan yang aku
“Ada apa ?” tanya mama yang ternyata sedari tadi memperhatikanku.“Mas Dipta,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kesalku.“Kenapa lagi anak itu?” Kembali mama bertanya sambil mengangkat dagunya.“Dia ingin mengambil Prilly.”“Apa? Nggak waras itu anak.” Suara mama terdengar sedikit emosi. “Kalau itu masalahnya mama nggak bisa tinggal diam, enak saja mau main ambil. Atas dasar apa juga dia mau ambil Prilly, selama ini Prilly baik-baik dan aman-aman saja bersama kita. Bukan berarti karena dia ayah kandungnya bisa seenaknya main ambil.”Sudah bisa aku tebak kalau respon mama akan seperti ini. Papa menepuk pelan lengan mama, sepertinya agar mama lebih tenang dan tidak terbawa emosi.“Biar papa nanti bicara sama Mas Herman, tidak perlu ada keributan atau sampai rebutan hakatas Prilly. Kita bisa bersama-sama dalam menjaga dan mengasuh Prilly,” ucap Papa yang sedari tadi hanya diam. “Nanti papa yang urus dan bicara pada mereka.”“Suka heran mama sama Dipta, kenapa sepertinya tid
“Semoga tidak menurun ke Prilly,” harapku kemudian. Semoga hanya wajah rupawannya yang menurun di Prilly, tapi, tidak untuk sifat dan kelakuannya,“Mama Papa Dipta mana?” tanya Prilly yang baru turun dari tangga sambil melihat kea rah ruang tamu depan.“Pergi sama Papa aja, tadi Papa Dipta ada urusan.” Mas Ryan yang sedari tadi diam langsung angkat bicara.“Yah … kan sudah sering sama papa, kalau sama Papa Dipta kan jarang-jarang.” Raut wajah kecewa nampak sekali di wajah Prilly.Aku memahami yang dia rasakan, bagaimanapun ikatan darah memang lebih kental. Masih sebuah hal yang wajar dan tidak berlebihan karena bagaimanapun Mas Dipta adalah papa kandung Prilly. Apalagi saat bersama Mas Dipta apa yang Prilly mau selalu dipenuhi oleh papa kandungnya itu. Sangat berbeda saat bersamaku yang selalu memiliki aturan untuk setiap hal yang dilakukannya.Sebenarnya tidak ada yang kurang dari kehidupan Prilly semua hal juga telah aku dan Mas Ryan penuhi. Hanya saja untuk hal-hal tertentu kami m
Mendengar aku dan Mas Dipta yang mulai saling berargumen Mama dan Papa juga Mama Jani beranjak meninggalkan kami bertiga. Aku, Prilly dan juga Mas Dipta masih berdiri di teras, bila menjemput Prilly, Mas Dipta memang jarang mau masuk ke dalam rumah. Keras kepala dan keegoisan pria itu tidak berkurang-kurang juga.“Iya aku tahu, tapi, ini juga demi kebaikan Prilly juga nantinya. Karena semua hal yang dia ingginkan nggak semunya bisa dia dapatkan.” Aku kembali menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku.“Kalau kamu nggak bisa atau nggak mau, biar aku saja yang mengurus Prilly, memberikan apa yang anakku mau.”“Bukan begitu Mas, ah … haarus seperti apa aku menjelaskan.” Aku mulai merasa kesal. “Kita nggak boleh memanjakan anak, menuruti semua kemauannya. Sedari kecil kita harus mendidiknya dengan baik agar tidak menjadi pribadi yang manja dan semaunya sendiri.”Entah apa yang ada dalam kepala pria di depanku itu, selama ini aku sudah mendidik Prilly dengan cara yang aku anggap benar dan b