"Mas, itu sudah tidak mungkin, Kay sudah memiliki pria lain. Mas juga sudah memiliki Friska yang sangat mencintai Mas Dipta," ucapku padanya.
"Tapi aku mencintaimu, ahh ... kepalaku sakit.""Sudahlah, jangan terlalu banyak bicara," ucapku padanya."Mas istirahat, Kay juga harus pulang, nanti Kay kesini lagi," pamitku padanya."Janji.""Iyah," jawabku.Aku memanggil dengan mengangkat tanganku ke arah perawat di balik kaca. Segera perawat berkaca mata itu menghampirimu, dan membantuku keluar."Bagaimana Dipta?" Mama Mas Dipta langsung mencegatku."Sudah membaik Ma, Kay pamit dulu, nanti Kayana kesini lagi," pamitku."Iya, sayang. Banyak hal yang ingin mama ceritakan juga," ucap wanita itu. Aku hanya mengangguk dan tersenyum.Pak Ryan langsung berjalan kearahku, saat perawat kembali ke dalam. Aku berpamitan pada Friska, sahabatku itu hanya sedikit mengangguk tanpa bicara.*"Ke apotik dulu ya, membeli obat untuk lukamu, dan untuk kakimu," ucap Pak RKedekatannya dengan Ayah Mas Dipta yang pastinya membuat Papa dengan cepat memaafkan mantan menantunya itu. Berbeda dengan Mama, yang bersikukuh tak akan kembali menerima Mas Dipta. Sebagai seorang Ibu aku cukup mengerti apa yang mama rasakan, selain harga diri yang terinjak hatinya sebagai seorang Ibu pastilah sangat terluka, menerima perlakuan Mas Dipta yang dengan mudahnya mengembalikan diriku pada mereka saat itu.Mama cukup mengerti betapa hancurnya aku saat itu, merekapun ikut hancur. Apalagi saat mengetahui aku hamil, dan melihat aku menjalani kehamilan tanpa suami, membesarkan Prilly tanpa sentuhan dan kasih sayang seorang suami.Hatiku masih sakit mengingatnya, luka ini teramatlah dalam dan perih, sebesar apapun rasa cintaku pada Mas Dipta, tak akan mampu menghapus rasa sakit itu begitu saja. "Kay mau istirahat dulu Ma, Pa," pamitku."Istirahatlah, kamu pasti lelah semalaman di rumah sakit," ucap Papa. Aku hanya mengangguk. Mama membantuku berjalan ke d
Sebenarnya aku terlanjur janji pada Mas Dipta, akan menjenguknya sore ini, tapi entahlah, aku tak mampu melihat kesedihan dan amarah Friska padaku. Rasanya sakit sekali, dia satu-satunya sahabatku dan sekarang dia menangis karena aku."Ponselmu dari tadi berbunyi," ucap mama sembari memberikan ponsel padaku yang sedang duduk di ruang tengah menemani Prilly yang sedang melihat film kartun di laptop.Ada pangilan dari Pak Ryan, dan juga Mas Dipta. Beberapa pesan juga terlihat di notif.Pak Ryan menanyakan apa aku jadi kerumah sakit, dia menyarankan aku untuk istirahat dulu. Sebentar lagi dia akan datang kerumah.Pesan dari Mas Dipta, hanya berisi kalimat singkat, 'Sayang, aku rindu'Kenapa ponselnya tak ikut rusak sewaktu kecelakaan kemarin, atau mungkin hilang. Akan lebih baik, setidaknya tidak akan menambah masalah baru. Apa yang aku pikirkan, sepertinya aku terlalu lelah menghadapi pria itu.Ponsel masih kutimang, saat kembali bergetar. Mas Dipta lagi yang terpamp
"Oh, ya. Ini terlalu lambat untukku, kalau bisa besok, besok aku akan membawamu ke penghulu. Lama atau sebentar, tak bisa menjadi sebuah ukuran, yang terpenting adalah ketulusan dan kesanggupan kita dalam berkomitmen, untuk hidup bersama. Bukan hanya aku dan kamu, tapi keluargaku dan keluargamu juga.""Aku serius dalam hubungan ini, bukan karena aku lelah mencari, Namun semua yang aku inginkan ada dalam dirimu, lalu apa lagi yang aku tunggu," lanjut pria itu."Diriku tak sesempurna itu, banyak juga kekuranganmu, tapi aku akan belajar menjadi sempurna untukmu, Prilly dan anak kita nanti," ucapnya lagi."Anak?" tanyaku."Iya, dan aku harap kita tak menundanya nanti, aku suka anak kecil, dan Mama juga berharap segera memiliki cucu."Jauh sekali pikiran pria ini, aku bahkan belum berfikir sampai di situ. Aku menatapi wajahnya yang terlihat ceria menceritakan mimpi dan harapannya, dia begitu detail mempersiapkan semuanya, mempersiapkan sebuah masa depan."Mama dan Papa
Mobil Pak Ryan mulai memasuki area kantor, dan berhenti di depan pintu masuk. Jam setengah delapan, kantor belum terlalu ramai. Tampak Rahmat langsung keluar dari dalam kantor. Pak Ryan membukakan pintu mobilnya, dan membantuku turun.Rahmat sedikit kaget melihatku turun dari mobil Pak Ryan, apaalagi melihat kondisiku."Di bagasi ada dua kantong besar, sudah aku beri nama di dalamnya. Minta Amir dan Arlan untuk membaginya," ucapku pada Rahmad saat kami berhadapan."Baik, Bu," jawab Rahmat mencuri pandang ke arah luka di tangku."Makasih ya," ucapku sebelum beranjak."Sama-sama, Bu."Beberapa karyawan yang sudah datang tak melepas pandangannya dariku, yang sedang di bantu berjalan oleh Pak Ryan.Susah payah aku naik kelantai dua, tempat ruanganku berada. Pak Ryan membantuku sampai aku duduk di kursi kerjaku."Obatnya nggak lupa kan?" tanyanya setelah membantuku duduk."Ada dalam tas, pada liatin semua tadi.""Kan mereka punya mata, biarin aja liat," jawa
Aku memandanginya sesaat, kalimat apa lagi yang harus aku gunakan untuk memberi penjelasan agar pria ini mengerti.Sepertinya diri ini telah kehabisan kata-kata."Mas mencintaiku? Sungguh mencintaiku?" tanyaku padanya, kutatap lekat wajah pria itu."Kau meragukanku? aku mencintaimu," jawab Mas Dipta."Mas, ingin Kay bahagia?""Aku berjanji akan membahagiakanmu.""Kalau begitu, lepaskan Kay. Biarkan Kay dengan pilihan hidup Kay sendiri.Mas Dipta hanya menatapku, tak berkata apapun. Pandanganya beralih menatap ke arah pintu, namun kosong."Aku tak bisa," jawab Mas Dipta tanpa melihatku. Aku menghela nafas panjang, aku benar-bebar telah habis akal."Sudahlah, percuma juga bicara," ucapku, kemudian hendak beranjak, Mas Dipta meraih tanganku."Tunggu, Papamu ada sesuatu yang perlu aku ketahui darimu, apa itu?"Perasaanku mulai tak nyaman, apa papa ingin aku bercerita tentang keadaan Prilly pada Mas Dipta. Huft, aku sungguh heran, apa yang ada dalam pikir
"Dari tadi senyum terus?" tanya Pak Pak Ryan yang sedari tadi memperhatikanku."Aku senang, melihat kedekatanmu dengan Prilly," jawabku, kemudian menyandarkan kepalaku di lengannya.Sesaat kami hanya diam."Ada masalah?" tanyanya, jemarinya menelusup di antara sela jemariku, kemudian menggenggamnya."Biasa, masalah yang kemarin. Friska menjauhiku, dia tak mau bicara lagi denganku. Sekarang persoalan bertambah, Papa sudah bertemu Mas Dipta."Pak Ryan terlihat kaget mendengar ceritaku, aku kembali menceritakan semuanya. Termasuk desakan papa agar aku memaafkan Mas Dipta dan kembali rujuk."Sepertinya akan ada kendala, tapi aku percaya kita bisa melewatinya," ucapku kemudian."Aku akan berjuang untukmu, untuk Prilly, aku akan buktikan aku pantas untuk kalian," balas Pak Ryan."Lebih dari pantas, kamu terlalu sempurna," ucapku."Aku tak sebaik itu, tapi aku akan menjadi lebih baik untuk kalian dan untuk keluargamu.""Aku percaya," ucapku."Aku besok pula
"Kami meminta maaf, atas semua yang telah terjadi, semua murni kesalahan Dipta. Beberapa bulan setelah kejadian itu, Dipta baru menyadari kesalahannya, kami berusaha mencari kalian, tapi kami tak pernah menemukan. Kami juga tidak tahu kalau Kay hamil waktu itu, sekali lagi maafkan kami," ucap Ayah Mas Dipta dengan suara serak."Kay, maafkan mas," ucap Mas Dipta di sela isaknya.Entah berapa ratus kali permintaan maaf terlontar dari mas Dipta dan keluarganya. Aku hanya bergeming, mama yang dari tadi terus bicara, papa hanya diam setelah mama beberapa kali mementahkan ucapannya."Paling tidak ijinkan kami menemui cucu kami, bagaimanapun Prilly adalah darah daging Dipta," ucap mama mas Dipta."Prilly, memang darah daging Mas Dipta, tapi dia hadir bukan karena cinta, mas Ingat, setelah kejadian itu, mas memakiku dan menghinaku hanya karena aku tak bisa melawan Mas yang sedang mabuk, mas menyesal karena merasa jijik, bukan menyesal karena telah menyakitiku." Mataku memanas, r
"Siapa dia?" tanya perempuan yang oleh Pak Ryan di panggil Bu Rahma itu."Kayana, calon istri saya," jawab Pak Ryan. Wajah perempuan itu berubah."Operation head?" Bu Rahma mendelik melihatku. Aku mengangguk pelan saat dia menyebut posisiku. Dia mengenalku, entahlah aku baru kali ini melihatnya."Oh, ini yang sering membuat Pak Restu berkunjung ke sini," ucapnya kemudian. Aku semakin tidak mengerti dengan apa yang dibicarakannya.Perasaanku merasa tak enak dengan kehadiran perempuan ini. Dia beranjak pergi saat ada seorang perempuan lain memanggil nya."Siapa dia?" tanyaku."Bu Rahma, atasanku di perusahaan lama," jawab Pak Ryan."Dia sepertinya suka padamu?" "Iya.""Terus?""Apanya yang terus?""Kamu?""Sepertinya aku saja yang harus mencari pekerjaan di perusahaan lain.""Maksudnya,""Aku jelaskan nanti, pesanku apapun yang dia katakan nanti jangan kamu telan mentah-mentah," jelasnya."Aku sedang tak ingin membahas orang
Waktu terasa begitu lambat berjalan dan pandanganku mengarah ke pintu serta lampu yang berada di atas pintu ruang operasi. Kenapa terasa sangat lama sekali mereka berada di ruangan itu, rasa cemas membuat pikiranku semakin kacau.“Kita berdoa untuk mama dan adik ya,” bisikku pada Prilly, gadis kecilku itu mengangguk.Tanpa dikomando semua langsung berdiri saat pintu ruang operasi terbuka, terlihat beberapa orang keluar dari ruangan dan salah satunya dokter yang aku biasa panggil dokter Maria.“Puji Syukur Ibu dan anak selamat hanya masih memerlukan perawatan intensif jadi belum bisa ditemui.” Perkataan dokter Maria sedikit membuat perasaan lega dan tenang, Alhamdulillah istri dan anakku selamat meski aku belum bisa melihatnya.“Seorang jagoan, anaknya laki-laki dengan berat dua koma tujuh dan panjang lima puluh tiga centimeter.” Dokter Maria kembali menambahkan.“Alhamdulillah terima kasih Ya Allah, terima kasih dokter,” ucapku yang sekarang diatara perasaan senang dan juga cemas.“S
Meeting selesai menjelang jam tiga sore, selama itu pula aku mengabaikan panggilan serta pesan yang masuk di ponselku dan meng silentnya. Aku baruakan membuka pesan setelah aku benar-benar selesai dan sudah kembali berada di mobil. Sepertinya banyak sekali pesan dan panggilan masuk sedari tadi, baru saja aku akan melihat panggilan serta pesan yang masuk ponselku bergetar dan nama mama terlihat di layar ponsel.Buru-buru aku mengangkat panggilan dari mama yang sepertinya merupakan panggilan untuk kesekian kalinya, aku sempat melihat di panggilan tidak terjawab mama melakukan banyak panggilan. Perasaanku tiba-tiba terasa tidak enak.“Hallo assalamualaikum, Ma.” Aku membuka percakapan dengan sebuah salam seperti biasanya.“Waalaikumsalam, Ryan kamu dimana?” Suara mama terdengar bergetar dan tidak terdengar baik.“Ini aku baru selesai meeting, Ma. Mama kayak lagi nangis, ada apa?” tanyaku kemudian.“Kayana … Kayana.” Mama kemudian benar-benar menangis dan menyebutkan nama Kay, istriku.”
“Prilly yang bilang demikian, untuk apa aku membuat buat atau mengarang cerita.” Mas Dipta masih bersikeras dan terus menyanggah. “Beneran Prilly yang bilang,” lanjutnya lagi.“Sudahlah, Mas. Sekarang tolong bawa Prilly ke mobil, atau aku sendiri yang akan bangunkan Prilly.” Aku sudah semakin malas berbasa basi. Dan juga malas mendengar ocehan yang tidak jelas dari Mas Dipta.“Pulanglah, biarkan Prilly di sini.” Ekspresi wajah Mas Dipta mulai berubah tidak enak. Umur memang tidak menjamin kedewasaan seseorang, aku bisa merasakan Mas Dipta mulai kesal karena aku sedari tadi bersikap dingin kepadanya.“Prilly ikut aku pulang,” paksaku lagi. “Nggak bisa.” Mas Dipta bersikeras menahan Prilly.“Aku nggak ingin ribut, apalagi di depan Prilly. Ayolah Mas, bersikaplah sedikit bijak dan dewasa jangan seperti ini. Hal kayak gini nggak baik buat perkembangan psikis Prilly, harusnya Mas Dipta paham itu.” Sebisa mungkin aku menahan diri karena kalau aku sampai emosi pastinya tidak akan baik un
“Iya, Oma. Terima kasih banyak atas kepercayaannya,” ucapku kemudian dengan senyum dan sedikit menurunkan kepala.“Ya sudah, mau belanja lagi, borong buat cucu saya.” Aku mengangguk dan masih tersenyum lebih tepatnya menahan tawa senang.“Nis … temanin kalau mau ambil ganti,” ucapku pada Ninis. “Pak, kalau masih ribut, bawa keluar toko saja, sudah menganggu kenyamanan belanja yang lain,” perintahku pada Pak Puji.Aku tidak memperdulikan ocehan perempuan itu dan beranjak meninggalkan toko untuk kembali keruanganku. Sesampainya di ruangan aku meminta maaf pada Bu Rahayu yang telah menunggu sedari tadi dan kemudian menyelesaikan pertemuan hari ini.*Tetap saja perutku terasa kaku akibat kejadian tadi, meski aku bilang masa bodoh sedari tadi otakku terus berputar akan masalah tadi. Bukan sebuah kebetulan pastinya akan kejadian tadi, seperti sebuah hal yang memang disengaja dan direncanakan. Kalau mendengar ucapan perempuan itu, sepertinya tujuannya untuk menjatuhkan usahaku.Aku merasa
“Siapa?” tanyaku kemudian.“Maaf kurang tau,” jawab Titin sambil menggeleng.“Bu Rahayu, maaf permisi sebentar.” Aku membalikkan badan dan bicara pada rekananku itu karena akan ke depan untuk melihat ada keributan apa.“Oh iya, Jeng … silahkan.” Bu Rahayu mengangguk mempersilahkan.Aku segera beranjak menuju ke ruang toko tempat keributan terjadi. Terlihat seorang perempuan dengan balutan dress merah dan rambut pirang tengah berbicara dengan nada tinggi. Di tangannya terlihat beberapa pakaian bayi yang diacung- acungkan ke salah satu karyawanku.“Apa apaan ini, baju kayak gini di jual. Belum juga dipakai jahitan pada lepas. Produk sampah kok dijual." Perempuan itu melempar baju baju tersebut ke arah Ninis, karyawanku dan mendorongnya.“Maaf, Bu. Tolong jangan kasar … kalau ada yang ingin disampaikan bisa dibicarakan baik- baik, saya pemilik toko ini.” Aku berdiri di depan perempuan berambut pirang tersebut.“Bu? A … apa panggil aku tadi? Bu, kamu kira aku setua itu.” Nada suara peremp
“Selamat tidur anak papa.”Sebuah kecupan Mas Ryan layangkan di kening Prilly, pria itu baru saja mengangkat tubuh mungil Prilly yang tengah tertidur masuk ke dalam kamar. Seperti yang sudah pria itu janjikan tadi kepada Prilly, mala mini kami membuat tenda di taman dan juga membakar jagung serta daging. Mungkin karena kecapaian dan mengantuk Prilly tertidur lebih dahulu.“Aku lepas dulu tendanya,” ucap Mas Ryan beringsut dari atas tempat tidur.“Besok aja, Mas. Dah malem juga kan, istirahat aja.” Aku mendekati Prilly dan mengecup kening putri kecilku itu kemudian kembali berdiri.“Ya udah … lumayan capek, ngantuk juga.” Mas Ryan terlihat menggeliat kemudian berjalan ke arahku yang lebih dekat dengan pintu. “Tidur,” ucapnya sambil merangkul pundakku.“Huum, ngantuk juga,” timpalku sembari menguap, kantuk mulai mendekapku.“Sayang, kalau bayi gini ikut bobo nggak ya kalau kita tidur?” tanya Mas Ryan saat kami berjalan ke kamar sambil mengusap perut buncitku.Sebuah pertanyaan yang aku
“Ada apa ?” tanya mama yang ternyata sedari tadi memperhatikanku.“Mas Dipta,” jawabku tanpa bisa menyembunyikan ekspresi kesalku.“Kenapa lagi anak itu?” Kembali mama bertanya sambil mengangkat dagunya.“Dia ingin mengambil Prilly.”“Apa? Nggak waras itu anak.” Suara mama terdengar sedikit emosi. “Kalau itu masalahnya mama nggak bisa tinggal diam, enak saja mau main ambil. Atas dasar apa juga dia mau ambil Prilly, selama ini Prilly baik-baik dan aman-aman saja bersama kita. Bukan berarti karena dia ayah kandungnya bisa seenaknya main ambil.”Sudah bisa aku tebak kalau respon mama akan seperti ini. Papa menepuk pelan lengan mama, sepertinya agar mama lebih tenang dan tidak terbawa emosi.“Biar papa nanti bicara sama Mas Herman, tidak perlu ada keributan atau sampai rebutan hakatas Prilly. Kita bisa bersama-sama dalam menjaga dan mengasuh Prilly,” ucap Papa yang sedari tadi hanya diam. “Nanti papa yang urus dan bicara pada mereka.”“Suka heran mama sama Dipta, kenapa sepertinya tid
“Semoga tidak menurun ke Prilly,” harapku kemudian. Semoga hanya wajah rupawannya yang menurun di Prilly, tapi, tidak untuk sifat dan kelakuannya,“Mama Papa Dipta mana?” tanya Prilly yang baru turun dari tangga sambil melihat kea rah ruang tamu depan.“Pergi sama Papa aja, tadi Papa Dipta ada urusan.” Mas Ryan yang sedari tadi diam langsung angkat bicara.“Yah … kan sudah sering sama papa, kalau sama Papa Dipta kan jarang-jarang.” Raut wajah kecewa nampak sekali di wajah Prilly.Aku memahami yang dia rasakan, bagaimanapun ikatan darah memang lebih kental. Masih sebuah hal yang wajar dan tidak berlebihan karena bagaimanapun Mas Dipta adalah papa kandung Prilly. Apalagi saat bersama Mas Dipta apa yang Prilly mau selalu dipenuhi oleh papa kandungnya itu. Sangat berbeda saat bersamaku yang selalu memiliki aturan untuk setiap hal yang dilakukannya.Sebenarnya tidak ada yang kurang dari kehidupan Prilly semua hal juga telah aku dan Mas Ryan penuhi. Hanya saja untuk hal-hal tertentu kami m
Mendengar aku dan Mas Dipta yang mulai saling berargumen Mama dan Papa juga Mama Jani beranjak meninggalkan kami bertiga. Aku, Prilly dan juga Mas Dipta masih berdiri di teras, bila menjemput Prilly, Mas Dipta memang jarang mau masuk ke dalam rumah. Keras kepala dan keegoisan pria itu tidak berkurang-kurang juga.“Iya aku tahu, tapi, ini juga demi kebaikan Prilly juga nantinya. Karena semua hal yang dia ingginkan nggak semunya bisa dia dapatkan.” Aku kembali menyuarakan apa yang ada dalam pikiranku.“Kalau kamu nggak bisa atau nggak mau, biar aku saja yang mengurus Prilly, memberikan apa yang anakku mau.”“Bukan begitu Mas, ah … haarus seperti apa aku menjelaskan.” Aku mulai merasa kesal. “Kita nggak boleh memanjakan anak, menuruti semua kemauannya. Sedari kecil kita harus mendidiknya dengan baik agar tidak menjadi pribadi yang manja dan semaunya sendiri.”Entah apa yang ada dalam kepala pria di depanku itu, selama ini aku sudah mendidik Prilly dengan cara yang aku anggap benar dan b