"Dua puluh sembilan ... Dua puluh delapan ... Dua puluh tujuh ..."
Hitungan mundur dimulai dengan suara robot wanita yang terdengar dingin. Bunyi bip dan detak jam terdengar membuat mereka semakin panik. Tidak ada lagi waktu untuk berenang mencari napas. Mereka harus membuka kuncinya sekarang.
John memutar kunci dengan keras, tetapi masih macet. Tangannya mulai tergores karena berusaha terlalu keras. Dia melepaskan dan menatap Leon dan Claire seolah meminta nasihat. Claire melangkah maju untuk melihat kuncinya, sekilas tidak terlihat ada yang salah.
"Sepuluh...Sembilan...Delapan..."
Akhirnya, Claire menemukan sesuatu. Gembok itu bukan semacam gembok biasa, di bagian bawahnya ada tombol yang harus mereka tekan terlebih dahulu.
“Jika memang begitu, kita tidak punya pilihan lain selain masuk bukan?” tanya John. Ia membaringkan dirinya di atas rumput, lalu menyesal sebab matahari sangat silau menusuk-nusuk bola matanya.“John ada benarnya, Leon,” kata Claire.“Tapi aku yakin begitu masuk ke sana kita akan mendapatkan kesulitan yang sangat besar,” jawab Leon.“Tapi di luar sini kita juga mati, Leon!” seru John sedikit emosi.“Hey! Pelankan nada suaramu!” seru Leon tersinggung.“Siapa yang memilihmu sebagai pemimpin di sini, Leon? Aku bukan bawahanmu yang bisa kamu perintah-perintah!” seru John sambil berdiri.Leon juga berdiri bersiap menantang John.“Hey, chill guys! Jangan seperti ini!” seru Claire berusaha menengahi.“Tidak ada pemimpin di sini, John! Hanya ada orang yang berakal dengan yang tidak!” seru Leon.“Oh, jadi menurutmu aku tidak bera
“Hai orang asing. Apakah kalian mencari penginapan dan makanan?” tanya gadis bertudung merah itu lagi.“Gadis ini terlihat seperti orang yang baik,” kata Claire.“Tunggu... tunggu... Rasanya aku tidak percaya padanya,” jawab Leon. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya.“Apa yang kamu bicarakan, Leon?”“Benar... Apa yang kubicarakan?” tanya Leon sambil tertawa.“Kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan!” seru Claire sambil meledak dalam tawanya. Leon ikut tertawa.“Iya, aku tidak tahu apa yang aku bicarakan!”“Ikutlah denganku, semuanya gratis,” kata gadis itu lagi dengan senyuman lebar.“Ayo, Leon. Aku lapar,” ajak Claire pada Leon.Leon tersenyum lalu berjalan mengikuti Claire. Mereka mengikuti gadis itu menuju penginapan yang ia bicarakan. Penginapan itu lebih luas dibandingkan yang Claire bayangkan. Bagian dalamnya n
“Leon! Sadarlah! Kita sedang ditipu! Ini seperti sihir atau entahlah!” seru Claire. Namun Leon hanya tertawa lepas, seolah Claire mengatakan sesuatu yang sangat lucu.“Kamu sangat menggemaskan,” jawab Leon sambil tertawa lalu berbaring santai di atas kasurnya.“Astaga! Kamu benar, Leon. Tempat ini sangat berbahaya!” seru Claire baru menyadari segalanya.Dengan nyawa barunya, Claire belum terkontaminasi dengan minuman atau makanan apapun. Claire membuka layar digitalnya dan sesuai dugaannya, ia telah memberikan setengah nyawanya untuk Leon barusan melalui hubungan intim. Kini ia hanya punya satu nyawa yang masih penuh. Dengan paksa, Claire mengambil tangan Leon dan merentangkannya melihat layar digital milik Leon. Nyawa terakhir Leon yang tadi tinggal sedikit kini terisi sekitar lebih dari setengah.“Leon! Ayo kita keluar dari sini!” seru Claire. Ia segera membantu Leon berpakaian. Pria itu hanya tertawa dan
Claire berpura-pura tertawa sepanjang menuruni tangga, namun ia merasa, semua orang mulai memperhatikan mereka.“Silakan kuenya!” seru salah seorang laki-laki bertubuh tambun yang membawa nampan penuh kue-kue yang terlihat sangat menggiurkan. Entah apa yang terjadi di sini, semua hal terlihat jauh lebih menarik. Claire menahan diri sambil tertawa-tawa. Leon hampir saja mengambil salah satu kue sambil mengikuti Claire berjalan, untung saja Claire berhasil melihat dan menjatuhkan kue yang sudah Leon ambil. Semua orang tiba-tiba menatap ke arah mereka. Claire cepat-cepat memutar otaknya.“Peluk aku, sayang,” kata Claire sambil menempatkan tangan Leon ke pinggangnya. Leon tersenyum sambil memeluk tubuh Claire, lalu mencium dahinya. Di saat yang sama, Claire melihat orang-orang mulai mendekati mereka dengan membawa nampan-nampan makanan. Mereka tersenyum tapi senyum mereka terlihat menyeramkan sekarang.“Ayo, Leon!” bisik Claire sa
“Leon!!” seru Claire lagi. Air matanya mulai jatuh membasahi pipi hingga menetes ke dada Leon.“Claire... I love you,” bisik Leon.“No! Leon!!” seru Claire.“Claire, cek level energinya!” seru John.Dengan segera, Claire membantu Leon merentangkan tangannya untuk membuka layar digitalnya. Hanya tinggal sepuluh persen saja level energi Leon. Bar merah tua itu berkedip-kedip tanda sudah hampir habis.“Shit! Man... I'm so sorry!” seru John.“Pasti ada cara! Pasti ada cara! Bertahanlah, Leon,” kata Claire.Leon sudah tidak dapat bicara, wajahnya pucat. Namun, sesuatu menarik perhatian Claire.“John, bar energinya tidak berkurang. Dia tetap di sepuluh persen,” kata Claire.“Lalu?”“Aku tahu bagaimana cara memberikan setengah energiku padanya,” kata Claire.“Claire, ini nyawa terakhirmu juga, kan?&rdq
“Rumit,” kata Claire. Berpikir keras di bawah sinar matahari yang sangat terik ternyata sangat sulit untuk dilakukan. John hampir menyerah, ia bersandar di batang pohon dengan keringat bercucuran.“Menurutku, kita bakar saja dulu kota ini, baru kita pikirkan langkah selanjutnya,” kata John.“Kurasa John benar. Semakin lama kita berpikir, semakin panas matahari ini rasanya,” jawab Leon.“Bagaimana cara kita naik ke atas sana?” tanya Claire sambil menunjuk benteng kota yang tinggi menjulang di hadapan mereka.“Damn!” seru John.Leon menghela napas, mereka sudah lemas karena dehidrasi. Beberapa jam lagi mereka mungkin akan pingsan.“Aku tahu!” seru Claire tiba-tiba.“Bagaimana?” tanya Leon.“Kita tidak perlu naik ke atas! Kita bisa melakukannya dari pintu gerbang. Benar kan?” tanya Claire.“Pria pendek gemuk itu selalu bera
Leon ingin memaki dan menyuruh John menutup mulutnya itu, tapi ia sudah tidak sanggup melakukannya. Kerongkongannya sangat kering hingga bibirnya pun mulai terasa kering dan berdarah. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya, rasanya sangat sulit bahkan hanya untuk bernapas. Kepalanya terasa pening, rasanya ia bisa terjatuh kapan saja. Api yang berkobar di belakang mereka membuat suasana tambah panas.“Leon!! Leon!” suara John terdengar samar-samar di telinganya yang mulai berdengung.“Sadarlah, bro!” suara John kini terdengar jelas, membuat Leon memusatkan pikirannya untuk tetap sadar. Pria berbadan besar itu berjalan ke arah mereka. Dentuman kakinya seolah-olah membuat tanah bergetar, padahal mungkin itu karena kepala Leon yang terasa amat pening. Dengan kedua tangannya yang besar, pria itu merengkuh bagian depan pakaian John dan Leon lalu mengangkat kedua laki-laki itu ke atas sambil tertawa.Dalam pikiran Leon, yang terlintas hanyalah waj
“Seperti yang kubilang, Claire. Aku selalu memperhatikan kamu. Tentu saja, aku kan pamanmu,” katanya sambil tersenyum miring. Claire menatapnya tajam.“Kakakku meninggal karena kamu dan ibumu. Sejak awal seharusnya dia tidak memilih ibumu itu. Jika dia tidak menikah dengan ibumu, dia akan menjadi politisi sukses bukan hidup miskin dalam kubangan dan mati di kubangan pula!” serunya dengan suara yang tiba-tiba meninggi.“Ayahku meninggal karena sakit!” seru Claire.“Dia tidak akan sakit dan miskin jika tidak menikah dengan ibumu! Kami keluarga terpandang yang seharusnya menguasai dunia! Kami tidak pernah mengijinkan dia menikah dengan ibumu apalagi memiliki anak seperti kamu!” serunya lagi. Air mata Claire mulai mengintip di sudut matanya. Ia tidak akan membiarkan siapapun menghina ibunya.“Sialan kamu!” seru Claire dengan suara mulai pecah.“Kamu ingin tahu bagaimana caraku menjebakmu
“Lepaskan aku! Aku ini calon presiden kalian! Lepaskan aku sekarang juga!” seru Boston Hopkins pada para polisi yang memborgol tangannya.“Anda berhak untuk diam. Semuanya bisa Anda jelaskan di pengadilan. Anda juga bisa menyewa pengacara untuk membela Anda,” jawab polisi itu.“Pengawal! Pengawal!” teriak Boston Hopkins dengan panik. Tetapi tidak ada satupun pengawal yang mendekat. Sebab Leon sudah menyuruh mereka pergi sejauh mungkin.Boston Hopkins terpaksa menyerah kepada para polisi. Ia masuk ke dalam mobil polisi dan dibawa pergi. Sepanjang perjalanan, orang-orang melemparinya dengan telur busuk. Polisi harus menertibkan masyarakat agar tidak melempari Boston dengan telur dan benda-benda lainnya. Boston tidak percaya ini benar-benar menimpa dirinya. Padahal selangkah lagi saj
Fox kembali berbaring di sofa meluruskan kakinya yang sakit. Claire membantu Fox dengan mengganjal kakinya dengan bantal agar bengkaknya tidak semakin parah.“Aku bisa membantu Leon,” katanya.“Kamu tidak akan bisa membantu kalau kamu belum sehat. Istirahatlah dulu, kamu membutuhkannya,” jawab Claire.Claire pergi ke dapur dan ia pun memanaskan air untuk membuatkan teh hangat untuk Leon. Masih ada teh yang belum basi di apartemen itu. Ia pun membawakannya untuk Leon. Pria itu bahkan belum beristirahat sejak tadi. Tubuhnya masih basah kuyup.“Terima kasih,” kata Leon sambil tersenyum. Senyuman yang selalu membuat jantung Claire berdegup dua kali lebih cepat.“Apakah kamu tidak bisa ber
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
“Hey bro, kamu sudah lihat berita di televisi?” tanya salah seorang bodyguard yang sedang berjaga di markas tempat Fox menjalani hukumannya.“Sudah. Aku berpikir kita sebaiknya pergi sebelum polisi menangkap kita juga,” jawab bodyguard yang satunya.“Ssst!! Pelankan suaramu. Jika yang lain mendengar kita bisa dibunuh,” jawabnya.“Hey... let me go, please...” kata Fox mengiba pada kedua orang yang sedang berbisik-bisik itu.Dua orang itu berpandang-pandangan lalu melihat ke arah Fox.“Sorry, kid. Kalau kami melepaskanmu, kami pasti akan mati. Sekarang kecilkan suaramu atau kita akan dapat masalah!” seru orang itu dengan suara berbisik.
Tidak butuh waktu lama, Claire dan Leon sudah sampai ke apartemen lama Leon. Mereka berlari menuju ke elevator setelah memarkirkan mobil di garasi pribadi Leon. Elevator pribadi itu langsung mengantarkan mereka ke apartemen Leon yang ditinggal dalam keadaan berantakan. Bekas-bekas peluru masih ada di tembok, kaca jendela yang pecah, bahkan bantal sofa yang berlubang.Leon tidak menunggu waktu lama, ia langsung berlari ke ruang kerja lamanya lalu mengeluarkan laptop milik Claire dan segala peralatan yang ia bawa di dalam tas. Claire langsung menyalakan TV untuk mendengarkan ada berita apa di televisi. Begitu dinyalakan, berita di televisi langsung menayangkan hal yang sudah Claire dan Leon duga sebelumnya.“Sejumlah pejabat negara mendatangi kantor polisi secara tiba-tiba hari ini. Belum ada konfirmasi resmi dari pihak kepolisian tetapi informasi yang bere
Api yang keluar dari mulut Chimera itu kini sudah disemburkan ke arah Claire dan Leon. Air mata Claire meleleh turun ke pipinya. Dengan perlahan dan lembut, ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Leon. Mungkin ini ciuman mereka yang terakhir. Tidak ada cukup kata-kata bagi Claire untuk mengungkapkan perasaannya pada Leon, ia memilih untuk mengungkapkannya melalui ciuman terakhir ini.Namun sesaat sebelum api itu membakar tubuh mereka, tiba-tiba Claire dan Leon merasa diri mereka tersedot ke dimensi yang berbeda. Saat mereka membuka mata, mereka kembali ke tempat mereka semula. Ini di apartemen Claire, di depan laptop mereka.“Apakah kita sudah mati sekarang?” tanya Claire.“Kurasa tidak,” jawab Leon.“Apakah ini ilusi?” tanya Claire lagi.
“Kamu akan menyusul mereka secepatnya. Jangan khawatir,” kata Boston sambil melihat ke mana arah pandang Fox.Fox tetap tidak menjawab. Ia tetap menatap Boston tanpa ekspresi. Wajahnya memerah, senada dengan warna rambutnya. Setiap melihat wajah Boston, ia teringat bagaimana Mrs. Andrew meninggal. Kepalanya mengeluarkan darah, bahkan kini masih meninggalkan noda di pakaian Fox. Dalam hati, Fox bersumpah bahwa ia akan menuntut balas. Boston harus mati di tangannya.“Terserah jika kamu ingin tetap membisu seperti itu. Tapi sekarang kamu harus mengirimkan hipnotis pada semua orang di Amerika. Akses ke satelitnya sudah kuberikan padamu,” kata Boston Hopkins lagi.Fox hanya diam saja, menatap Boston tanpa berkata apapun. Boston mulai jengah dengan sikap Fox, ia memberikan kode pada orang yang meno
“Ayo kita lakukan sekarang. Lebih cepat, lebih baik. Kita tidak ingin kehilangan momen ini,” kata Leon lagi. Ia sudah duduk di depan laptopnya bersiap untuk kembali masuk ke dalam The Myth. Matanya menatap ke arah Claire menunggu gadis itu duduk di sebelahnya dan segera memulai misi kali ini.Claire menghela napas panjang, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia kemudian melangkahkan kakinya dan duduk di sebelah Leon. Jantungnya berdebar, perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Namun, ia harus melakukan ini. Seperti kata Leon, ini mungkin kesempatan mereka untuk menghancurkan Boston Hopkins untuk selamanya.“Kamu sudah siap?” tanya Leon.“Iya,” jawab Claire singkat.Ia menatap wajah Leon lalu sesaat kemudian, tanpa