“Leon! Sadarlah! Kita sedang ditipu! Ini seperti sihir atau entahlah!” seru Claire. Namun Leon hanya tertawa lepas, seolah Claire mengatakan sesuatu yang sangat lucu.
“Kamu sangat menggemaskan,” jawab Leon sambil tertawa lalu berbaring santai di atas kasurnya.
“Astaga! Kamu benar, Leon. Tempat ini sangat berbahaya!” seru Claire baru menyadari segalanya.
Dengan nyawa barunya, Claire belum terkontaminasi dengan minuman atau makanan apapun. Claire membuka layar digitalnya dan sesuai dugaannya, ia telah memberikan setengah nyawanya untuk Leon barusan melalui hubungan intim. Kini ia hanya punya satu nyawa yang masih penuh. Dengan paksa, Claire mengambil tangan Leon dan merentangkannya melihat layar digital milik Leon. Nyawa terakhir Leon yang tadi tinggal sedikit kini terisi sekitar lebih dari setengah.
“Leon! Ayo kita keluar dari sini!” seru Claire. Ia segera membantu Leon berpakaian. Pria itu hanya tertawa dan
Claire berpura-pura tertawa sepanjang menuruni tangga, namun ia merasa, semua orang mulai memperhatikan mereka.“Silakan kuenya!” seru salah seorang laki-laki bertubuh tambun yang membawa nampan penuh kue-kue yang terlihat sangat menggiurkan. Entah apa yang terjadi di sini, semua hal terlihat jauh lebih menarik. Claire menahan diri sambil tertawa-tawa. Leon hampir saja mengambil salah satu kue sambil mengikuti Claire berjalan, untung saja Claire berhasil melihat dan menjatuhkan kue yang sudah Leon ambil. Semua orang tiba-tiba menatap ke arah mereka. Claire cepat-cepat memutar otaknya.“Peluk aku, sayang,” kata Claire sambil menempatkan tangan Leon ke pinggangnya. Leon tersenyum sambil memeluk tubuh Claire, lalu mencium dahinya. Di saat yang sama, Claire melihat orang-orang mulai mendekati mereka dengan membawa nampan-nampan makanan. Mereka tersenyum tapi senyum mereka terlihat menyeramkan sekarang.“Ayo, Leon!” bisik Claire sa
“Leon!!” seru Claire lagi. Air matanya mulai jatuh membasahi pipi hingga menetes ke dada Leon.“Claire... I love you,” bisik Leon.“No! Leon!!” seru Claire.“Claire, cek level energinya!” seru John.Dengan segera, Claire membantu Leon merentangkan tangannya untuk membuka layar digitalnya. Hanya tinggal sepuluh persen saja level energi Leon. Bar merah tua itu berkedip-kedip tanda sudah hampir habis.“Shit! Man... I'm so sorry!” seru John.“Pasti ada cara! Pasti ada cara! Bertahanlah, Leon,” kata Claire.Leon sudah tidak dapat bicara, wajahnya pucat. Namun, sesuatu menarik perhatian Claire.“John, bar energinya tidak berkurang. Dia tetap di sepuluh persen,” kata Claire.“Lalu?”“Aku tahu bagaimana cara memberikan setengah energiku padanya,” kata Claire.“Claire, ini nyawa terakhirmu juga, kan?&rdq
“Rumit,” kata Claire. Berpikir keras di bawah sinar matahari yang sangat terik ternyata sangat sulit untuk dilakukan. John hampir menyerah, ia bersandar di batang pohon dengan keringat bercucuran.“Menurutku, kita bakar saja dulu kota ini, baru kita pikirkan langkah selanjutnya,” kata John.“Kurasa John benar. Semakin lama kita berpikir, semakin panas matahari ini rasanya,” jawab Leon.“Bagaimana cara kita naik ke atas sana?” tanya Claire sambil menunjuk benteng kota yang tinggi menjulang di hadapan mereka.“Damn!” seru John.Leon menghela napas, mereka sudah lemas karena dehidrasi. Beberapa jam lagi mereka mungkin akan pingsan.“Aku tahu!” seru Claire tiba-tiba.“Bagaimana?” tanya Leon.“Kita tidak perlu naik ke atas! Kita bisa melakukannya dari pintu gerbang. Benar kan?” tanya Claire.“Pria pendek gemuk itu selalu bera
Leon ingin memaki dan menyuruh John menutup mulutnya itu, tapi ia sudah tidak sanggup melakukannya. Kerongkongannya sangat kering hingga bibirnya pun mulai terasa kering dan berdarah. Keringat membanjiri seluruh tubuhnya, rasanya sangat sulit bahkan hanya untuk bernapas. Kepalanya terasa pening, rasanya ia bisa terjatuh kapan saja. Api yang berkobar di belakang mereka membuat suasana tambah panas.“Leon!! Leon!” suara John terdengar samar-samar di telinganya yang mulai berdengung.“Sadarlah, bro!” suara John kini terdengar jelas, membuat Leon memusatkan pikirannya untuk tetap sadar. Pria berbadan besar itu berjalan ke arah mereka. Dentuman kakinya seolah-olah membuat tanah bergetar, padahal mungkin itu karena kepala Leon yang terasa amat pening. Dengan kedua tangannya yang besar, pria itu merengkuh bagian depan pakaian John dan Leon lalu mengangkat kedua laki-laki itu ke atas sambil tertawa.Dalam pikiran Leon, yang terlintas hanyalah waj
“Seperti yang kubilang, Claire. Aku selalu memperhatikan kamu. Tentu saja, aku kan pamanmu,” katanya sambil tersenyum miring. Claire menatapnya tajam.“Kakakku meninggal karena kamu dan ibumu. Sejak awal seharusnya dia tidak memilih ibumu itu. Jika dia tidak menikah dengan ibumu, dia akan menjadi politisi sukses bukan hidup miskin dalam kubangan dan mati di kubangan pula!” serunya dengan suara yang tiba-tiba meninggi.“Ayahku meninggal karena sakit!” seru Claire.“Dia tidak akan sakit dan miskin jika tidak menikah dengan ibumu! Kami keluarga terpandang yang seharusnya menguasai dunia! Kami tidak pernah mengijinkan dia menikah dengan ibumu apalagi memiliki anak seperti kamu!” serunya lagi. Air mata Claire mulai mengintip di sudut matanya. Ia tidak akan membiarkan siapapun menghina ibunya.“Sialan kamu!” seru Claire dengan suara mulai pecah.“Kamu ingin tahu bagaimana caraku menjebakmu
“Leon! Hentikan dulu apapun yang kamu lakukan! Tenangkan dirimu!” seru Claire panik melihat Leon terlihat sangat kesakitan.“Claire! Tubuh kita ada di luar sana! Sedang dalam keadaan koma... Arghh!” seru Leon sambil menundukkan kepalanya yang terasa sakit, seperti hendak meledak.“Leon, aku tahu! Tenangkan dirimu dulu!” seru Claire lagi. Ia takut Leon akan meninggal saat itu juga sebab wajahnya sudah sangat merah padam, dan urat-uratnya membiru di seluruh wajah dan lehernya.“Ahhh...” teriak Leon lagi dengan air mata mengintip di sudut matanya. Air mata yang timbul karena kesakitan.“Tarik napas, Leon. Tarik napas dalam-dalam, hembuskan... Kumohon, Leon!” seru Claire ketakutan. Leon mencoba menenangkan dirinya, ia menarik napas dalam-dalam sebisanya meskipun dadanya terasa sesak. Ia menghela napas sekali lagi, dan terasa lebih baik. Cairan hangat terasa mengalir keluar dari hidungnya setelah itu,
Claire memejamkan matanya mencoba mengingat-ingat. Kepalanya terasa sangat pening, tapi ia tidak peduli. Ia mulai mengingat kejadian hari itu. Tiba-tiba Claire merasa dirinya tersedot lalu hal berikutnya yang ia ingat adalah ia seperti berada di dalam bola plastik yang buram. Ia bisa melihat sebuah ruangan penuh komputer dan banyak orang di dalamnya. Ia melihat di hadapannya seorang lelaki pendek gemuk sedang berdiri dengan banyak peralatan ditempelkan ke tubuhnya.Claire merasa ada yang janggal. Sebuah ingatan kini seolah memaksa untuk muncul ke permukaan. Kepalanya mulai terasa berputar lebih hebat. Claire bukan berada di sebuah bola saat itu, tapi ia merasa terbangun di sebuah tempat tidur. Ia membuka matanya perlahan-lahan, namun matanya sangat sulit dibuka. Di saat itulah, samar-samar ia melihat apa yang dilihatnya.“Itu... sebuah ranjang. Aku terbangun di atas sebuah ranjang!” seru Claire.“Apakah kamu melihat hal lain lagi saat itu?&rdqu
Claire menyeret kakinya dengan susah payah ke arah satu-satunya pintu yang ada di ruangan itu. Namun, ia terjatuh lagi ke lantai. Ia mendapati tangannya terhubung dengan selang infus. Claire mencabut selang infus itu hingga darahnya terpuncrat. Dengan susah payah, Claire mencoba merangkak menuju ke arah pintu. Ia kemudian menggapai pegangan pintu itu dan membukanya. Ruangan di luar sangat gelap. Namun mata Claire melihat sesuatu yang sepertinya tidak beres. Ia kemudian berdiri dengan berpegangan pada pegangan pintu. Saklar lampu mungkin ada di sekitar situ.Tangan Claire menggapai ke tembok di sebelah pintu. Berbekal cahaya yang keluar dari ruangan tempatnya dibaringkan, ia akhirnya menemukan saklar lampu dan seketika ruangan menjadi sangat terang. Claire menyipitkan matanya karena silaunya. Setelah matanya bisa menyesuaikan dengan cahaya silau itu, Claire hampir tidak bisa bernapas melihat pemandangan yang ada di hadapannya. Tubuh-tubuh tanpa nyawa bergelimpangan di ruangan