Leon bekerja tanpa suara. Hanya jari jemarinya saja yang membuat bunyi-bunyian saat menyentuh keyboard komputer. Fox dan tiga orang lainnya duduk di belakang Leon untuk mengawasi apa yang ia kerjakan. Para bodyguard datang dan pergi, ikut memperhatikan meskipun tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Leon.
Sekilas, Leon memang terlihat seperti sedang memperbaiki The Myth. Tapi tidak, ia tidak sedang melakukan itu. Leon memasukkan sesuatu ke dalam program The Myth, langsung pada server inti dari game itu. Tidak ada yang tahu kecuali Fox. Mata jeniusnya bisa menangkap sesuatu yang tidak biasa pada algorithma yang dimasukkan Leon ke dalam The Myth. Meskipun paling muda, Fox tidak bisa Leon tipu begitu saja.
“Apakah masih lama?” tanya salah seorang hacker sambil menopang dagu di atas salah satu meja kaca.
“Biarkan dia bekerja, Tom. Main kartu saja bersama kami,” kata dua yang lain.
Leon hanya melirik dan melihat kini hanya Fox yang ma
“Bawa aku keluar dari sini, Leon. Aku berjanji akan membantumu,” kata Fox lagi sambil kembali ke tempat duduknya. Leon hanya memandanginya dari tempat duduknya, masih berusaha mencerna kata-kata Fox barusan. Leon sama sekali tidak menyangka Fox akan berkata begitu. Sementara itu, Fox sudah berpura-pura bermain game di handphonenya.“Aku harus beristirahat dulu,” kata Leon sambil berdiri dari kursinya. Para bodyguard hanya bisa memandangi Leon, sebab mereka ditugaskan untuk membuat Leon merasa nyaman selama bekerja. Leon dengan acuh berjalan menuju kamar tempat Claire dan ibunya ditempatkan.“Apa yang gadis itu katakan, Leon?” tanya Claire dengan tatapan penasaran begitu Leon masuk ke dalam kamar.“Hanya bertanya soal algorithma yang kumasukkan,” jawab Leon sambil duduk di hadapan Claire. Ia menatap Claire sambil mengambil secarik kertas di atas meja. Leon kemudian menuliskan sesuatu di atasnya sambil menutupinya de
“Jangan dilepas dulu,” kata Fox yang masih berada di samping Leon. Masih ada hal yang ingin ditunjukkan Fox pada Leon.Ingatan Fox yang dilihat Leon pun berganti, kini Leon melihat Fox berada di dalam sebuah ruangan terang di depan layar monitor besar dan keyboard. Fox kelihatannya sudah lebih besar dibandingkan sebelumnya. Tangannya yang mungil kini terlihat lebih panjang dan kurus. Jari jemarinya menari-nari di atas keyboard.Boston Hopkins masuk dari pintu di belakangnya, Fox bisa melihatnya dari bayangan di monitor komputernya yang besar itu.“Sudah selesai, Lana?” tanya Boston.“Belum,” jawab Fox.“Apa yang membuatnya begitu lama?” tanya Boston dengan nada meninggi.“Aku sedang berusaha. Dan jangan panggil aku Lana, aku Fox,” jawab Fox.“Terserah padamulah! Tidak ada makan siang jika belum selesai. Aku memerlukan alat itu untuk siang ini!” seru Boston.
“Aku akan mencoba mempercepat prosesnya!” seru Fox sambil mulai mengetikkan sesuatu di atas keyboard.“Hati-hati, jangan sampai kamu mengacaukan semuanya!” seru Leon.“Apa sebenarnya yang kalian lakukan?” tanya salah seorang bodyguard. Baik Claire maupun Leon tidak menjawab pertanyaannya. Leon melirik lagi ke layar monitor, persentasenya maju dengan sangat lambat. Ini suatu program yang sangat berat, tentu saja tidak akan secepat itu. Masih delapan puluh lima persen dan loading.“Hentikan apapun yang kalian kerjakan!” seru bodyguard itu sambil mengarahkan pistolnya ke arah Leon. Semua bodyguard yang lain melakukan hal yang sama.“Atau apa? Kalian tidak bisa membunuhku, bukan? Itu tidak mungkin terjadi,” jawab Leon.Para bodyguard itu terdiam, tahu bahwa apa yang dikatakan Leon itu benar adanya.“Tapi kami bisa membunuh dia,” jawab bodyguard itu sambil mengarahkan pistol
“Leon Hopkins! Apa yang kamu lakukan?” seru Boston Hopkins ketika melihat Leon, Claire bahkan Fox sedang berjalan ke arah luar. Para bodyguard melindungi mereka dengan memagari mereka. Mata Boston mengarah pada Fox, membuat hati gadis itu sedikit bergetar.“Lana!” seru Boston dengan suara yang dalam.“Ayo kita pergi, Leon, Claire...” kata Fox.Leon hanya terdiam mengingat orang-orang yang mengikuti Boston juga jumlahnya banyak dan mereka membawa senjata api. Para bodyguard yang sudah dalam pengaruh juga membawa senjata. Tidak ada yang dapat mereka lakukan sekarang selain benar-benar berperang.“Jangan harap bisa keluar dari tempat ini hidup-hidup. Aku beri kesempatan sekarang juga, lanjutkan memperbaiki The Myth dan batalkan apapun yang kalian lakukan ini!” seru Boston.“Kalau begitu, cobalah menangkap kami,” jawab Leon. Meskipun ia sendiri tidak yakin bodyguard-bodyguard ini akan menang m
“Fox! Shit!” seru Leon.Fox mengaduh kesakitan dan terjatuh ke lantai sebab kakinya tertembak peluru. Leon menyeretnya ke balik sebuah pilar besar agar mereka semua terlindungi“Ayo!” seru Claire sambil mengambil tangan Fox dan melingkarkannya ke bahunya.“Kalian siap?” tanya salah seorang bodyguard.“Iya,” jawab Leon.“Kamu bisa melakukannya, Fox,” kata Claire menyemangati.“Saat kubilang lari, larilah ke pintu keluar tanpa berhenti,” kata salah satu bodyguard itu. Ia kemudian mengintip keluar pilar dan tembakan langsung tertuju ke arahnya. Leon mulai memperhatikan sekitar, Boston Hopkins tidak terlihat di sini. Ia mungkin bersembunyi di ruangan lain, sebab Leon menyuruh para bodyguard yang ada dalam pengaruhnya untuk membunuh Boston Hopkins jika menemukannya. Namun, pengaruh program yang dilancarkan Leon pada otak para bodyguard tidak mungkin berlangsung lama. Perkiraa
Setelah satu jam perjalanan, seharusnya mereka sampai di panti asuhan Welbury, tempat di mana Fox dibesarkan sebelum diadopsi oleh Boston. Jelas sekali ada sebuah papan nama dari kayu yang bertuliskan Welbury Orphanage, tapi sudah dalam keadaan miring dan berdebu. Leon mengemudikan mobilnya masuk ke dalam pelatarannya dengan perlahan. Fox memperhatikan melalui kaca jendela, rumput-rumput tinggi sudah tumbuh tidak beraturan. Ia tidak sanggup mengatakan apapun, tapi sepertinya panti asuhan ini sudah lama ditinggalkan.Mereka memarkirkan mobilnya di pelataran belakang panti asuhan, hanya untuk berjaga-jaga. Mereka tahu konsekuensi memakai mobil milik Boston Hopkins, tapi mereka tidak punya pilihan lain. Leon mematikan mesin kemudian menoleh pada Fox.“Kita tidak bisa terlalu lama di sini. Lagipula sepertinya tempat ini sudah kosong,” katanya.“Aku harus melihat ke dalam,” jawab Fox sambil membuka pintu mobil.Claire mengejarnya sebab
Di saat yang sama Leon bisa membuka pintu yang tergembok itu dan mereka pun segera berlari keluar dari pintu.“Hey!” seru orang yang pertama kali menemukan mereka.Orang itu berlari mendekat, tetapi Claire dengan cepat menggunakan gembok yang terjatuh untuk melempar kepala orang itu. Gembok besi itu telak mengenai kepala bodyguard itu hingga ia terjatuh ke lantai. Para bodyguard lain baru sampai ke ruang belakang setelah Leon, Claire, dan Fox masuk ke dalam mobil.Leon mengemudikan mobilnya secepat kilat, hingga jarak mereka cukup jauh dengan para pengejar mereka. Tentu saja, anak buah Boston Hopkins mengejar mereka dengan beberapa mobil hitam. Jeep yang dikemudikan Leon terlihat hampir sama dengan mobil-mobil pengejarnya.“Pasti ada alat pelacak di mobil ini,” kata Claire.“Aku tahu. Entah di mana,” jawab Leon.“Kurasa aku bisa mematikannya,” sahut Fox tiba-tiba.Wajahnya masih pucat da
“Aku harus pergi sebentar,” kata Fox tiba-tiba sambil berdiri dan membawa ranselnya.“Mau kemana, Fox? Kakimu belum sembuh betul,” tanya Claire.“Aku menemukan informasi yang mungkin valid. Aku harus mencari dia,” jawabnya sambil berjalan keluar dari pintu apartemen.“Hati-hati, jangan sampai mereka menemukanmu,” kata Claire. Tapi pintu sudah ditutup dan Fox sudah tidak terlihat lagi.“Kemana dia?” tanya Leon.“Mencari Mrs. Andrew lagi,” jawab Claire.Leon hanya menghela napas pendek, lalu kembali bekerja di komputernya.***Fox melangkahkan kakinya yang masih terpincang ke sebuah daerah yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Ia membayar taksi dengan uang tunai lalu turun di sebuah trotoar yang sepi. Daerah ini terlihat amat sepi meskipun di siang hari. Nampaknya tidak banyak orang di sekitar sini. Sepasang kakek nenek berjalan berdampingan sambil berpeg
“Lepaskan aku! Aku ini calon presiden kalian! Lepaskan aku sekarang juga!” seru Boston Hopkins pada para polisi yang memborgol tangannya.“Anda berhak untuk diam. Semuanya bisa Anda jelaskan di pengadilan. Anda juga bisa menyewa pengacara untuk membela Anda,” jawab polisi itu.“Pengawal! Pengawal!” teriak Boston Hopkins dengan panik. Tetapi tidak ada satupun pengawal yang mendekat. Sebab Leon sudah menyuruh mereka pergi sejauh mungkin.Boston Hopkins terpaksa menyerah kepada para polisi. Ia masuk ke dalam mobil polisi dan dibawa pergi. Sepanjang perjalanan, orang-orang melemparinya dengan telur busuk. Polisi harus menertibkan masyarakat agar tidak melempari Boston dengan telur dan benda-benda lainnya. Boston tidak percaya ini benar-benar menimpa dirinya. Padahal selangkah lagi saj
Fox kembali berbaring di sofa meluruskan kakinya yang sakit. Claire membantu Fox dengan mengganjal kakinya dengan bantal agar bengkaknya tidak semakin parah.“Aku bisa membantu Leon,” katanya.“Kamu tidak akan bisa membantu kalau kamu belum sehat. Istirahatlah dulu, kamu membutuhkannya,” jawab Claire.Claire pergi ke dapur dan ia pun memanaskan air untuk membuatkan teh hangat untuk Leon. Masih ada teh yang belum basi di apartemen itu. Ia pun membawakannya untuk Leon. Pria itu bahkan belum beristirahat sejak tadi. Tubuhnya masih basah kuyup.“Terima kasih,” kata Leon sambil tersenyum. Senyuman yang selalu membuat jantung Claire berdegup dua kali lebih cepat.“Apakah kamu tidak bisa ber
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
“Hey bro, kamu sudah lihat berita di televisi?” tanya salah seorang bodyguard yang sedang berjaga di markas tempat Fox menjalani hukumannya.“Sudah. Aku berpikir kita sebaiknya pergi sebelum polisi menangkap kita juga,” jawab bodyguard yang satunya.“Ssst!! Pelankan suaramu. Jika yang lain mendengar kita bisa dibunuh,” jawabnya.“Hey... let me go, please...” kata Fox mengiba pada kedua orang yang sedang berbisik-bisik itu.Dua orang itu berpandang-pandangan lalu melihat ke arah Fox.“Sorry, kid. Kalau kami melepaskanmu, kami pasti akan mati. Sekarang kecilkan suaramu atau kita akan dapat masalah!” seru orang itu dengan suara berbisik.
Tidak butuh waktu lama, Claire dan Leon sudah sampai ke apartemen lama Leon. Mereka berlari menuju ke elevator setelah memarkirkan mobil di garasi pribadi Leon. Elevator pribadi itu langsung mengantarkan mereka ke apartemen Leon yang ditinggal dalam keadaan berantakan. Bekas-bekas peluru masih ada di tembok, kaca jendela yang pecah, bahkan bantal sofa yang berlubang.Leon tidak menunggu waktu lama, ia langsung berlari ke ruang kerja lamanya lalu mengeluarkan laptop milik Claire dan segala peralatan yang ia bawa di dalam tas. Claire langsung menyalakan TV untuk mendengarkan ada berita apa di televisi. Begitu dinyalakan, berita di televisi langsung menayangkan hal yang sudah Claire dan Leon duga sebelumnya.“Sejumlah pejabat negara mendatangi kantor polisi secara tiba-tiba hari ini. Belum ada konfirmasi resmi dari pihak kepolisian tetapi informasi yang bere
Api yang keluar dari mulut Chimera itu kini sudah disemburkan ke arah Claire dan Leon. Air mata Claire meleleh turun ke pipinya. Dengan perlahan dan lembut, ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Leon. Mungkin ini ciuman mereka yang terakhir. Tidak ada cukup kata-kata bagi Claire untuk mengungkapkan perasaannya pada Leon, ia memilih untuk mengungkapkannya melalui ciuman terakhir ini.Namun sesaat sebelum api itu membakar tubuh mereka, tiba-tiba Claire dan Leon merasa diri mereka tersedot ke dimensi yang berbeda. Saat mereka membuka mata, mereka kembali ke tempat mereka semula. Ini di apartemen Claire, di depan laptop mereka.“Apakah kita sudah mati sekarang?” tanya Claire.“Kurasa tidak,” jawab Leon.“Apakah ini ilusi?” tanya Claire lagi.
“Kamu akan menyusul mereka secepatnya. Jangan khawatir,” kata Boston sambil melihat ke mana arah pandang Fox.Fox tetap tidak menjawab. Ia tetap menatap Boston tanpa ekspresi. Wajahnya memerah, senada dengan warna rambutnya. Setiap melihat wajah Boston, ia teringat bagaimana Mrs. Andrew meninggal. Kepalanya mengeluarkan darah, bahkan kini masih meninggalkan noda di pakaian Fox. Dalam hati, Fox bersumpah bahwa ia akan menuntut balas. Boston harus mati di tangannya.“Terserah jika kamu ingin tetap membisu seperti itu. Tapi sekarang kamu harus mengirimkan hipnotis pada semua orang di Amerika. Akses ke satelitnya sudah kuberikan padamu,” kata Boston Hopkins lagi.Fox hanya diam saja, menatap Boston tanpa berkata apapun. Boston mulai jengah dengan sikap Fox, ia memberikan kode pada orang yang meno
“Ayo kita lakukan sekarang. Lebih cepat, lebih baik. Kita tidak ingin kehilangan momen ini,” kata Leon lagi. Ia sudah duduk di depan laptopnya bersiap untuk kembali masuk ke dalam The Myth. Matanya menatap ke arah Claire menunggu gadis itu duduk di sebelahnya dan segera memulai misi kali ini.Claire menghela napas panjang, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia kemudian melangkahkan kakinya dan duduk di sebelah Leon. Jantungnya berdebar, perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Namun, ia harus melakukan ini. Seperti kata Leon, ini mungkin kesempatan mereka untuk menghancurkan Boston Hopkins untuk selamanya.“Kamu sudah siap?” tanya Leon.“Iya,” jawab Claire singkat.Ia menatap wajah Leon lalu sesaat kemudian, tanpa