“Bisakah kita keluar sekarang?” tanya Claire sekali lagi.
Ia sudah hendak mengangkat helm permainan yang dipakainya untuk segera keluar dari game, tapi Leon mencegahnya.
“Jangan!” seru Leon.
“Kenapa?” tanya Claire.
“Tidak bisa keluar sekarang. Jika kita keluar sekarang, segalanya kembali dari awal seolah tidak terjadi apa-apa. Selain itu, kita bisa kehilangan kesadaran kita, sebab kita sedang mengacaukan algoritma, termasuk algoritma yang sedang mengatur kepala kita sekarang,” jawab Leon.
“Jadi kita harus melawan singa-singa ini dengan tangan kosong?” tanya Claire.
“Sepertinya begitu,” jawab Leon.
Tiba-tiba singa-singa itu menyerang ke arah mereka. Kotak-kotak hitam yang membentuk tubuh mereka itu kini seluruhnya berpendar kemerahan. Leon membawa Claire melompat cepat ke atas, menghindari terjangan delapan singa tersebut.
“Aku pikir aku tahu apa yang
Claire terbang menuju naga laut yang masih melayang-layang itu. Naga itu melihat Claire dengan marah. Ia terbang mendekat ke arah Claire sambil hendak membuka mulutnya. Claire sudah bersiap-siap hendak masuk ke dalam mulut yang menyemburkan api itu. Namun tiba-tiba, tubuh naga itu berkedip-kedip tak karuan. Mata Claire melebar. Mungkinkah algorithma yang mengatur naga ini juga terganggu?“Hey! Naga jelek!” seru Claire berusaha membuat naga itu marah dan menyemburkan api.Namun alih-alih marah, naga itu malah mengatupkan mulutnya lalu terbang berputar-putar tidak karuan. Ia terbang dengan panik sambil menggeram-geram tak karuan. Naga itu kemudian terbang semakin rendah.“Tidak! Kembali!” seru Claire saat menyadari bahwa naga itu hendak kembali ke dalam air.Claire terbang cepat mengikuti naga laut itu, sebelum ia kembali ke dalam air. Dengan segenap kekuatannya Claire meninju rahang naga itu hingga ia terpental kembali ke udara. Cla
“Pergi! Firewall sialan!” seru Claire sambil melemparkan gambar-gambar yang tersisa. Kini ia mulai menendang dan memukul firewall itu hingga terpelanting, tapi jumlah mereka terlalu banyak. Claire tidak mungkin mengalahkan semuanya. Leon mulai panik. Titik hitam celah itu tidak juga membuka.“Leon...” ujar Claire, berharap Leon sudah bisa mendapatkan ide bagaimana caranya agar bisa keluar dari sini.“Shit!” seru Leon saat melihat mereka sudah benar-benar terdesak.Kaki Claire yang menendang-nendang kini mulai terkena efek serangan firewall itu. Sebagai virus yang menyelusup masuk, serangan firewall untuk menghapus virus sudah mulai terjadi pada mereka. Kini kaki Claire mulai hilang hingga bagian pergelangannya. Leon tidak tahu apa yang harus dia lakukan, jadi ia mengambil sembarang program lalu memukulkannya ke titik hitam yang tertutup itu, berharap bisa membuka celahnya dengan paksa.Ruang algorithma itu tiba-tiba ber
“Okay, do your thing. Setelah itu beristirahatlah dulu. Aku tidur duluan ya,” kata Claire sambil menguap. Setelah semua yang terjadi, tubuh Claire terasa sangat lelah. Leon tidak menjawab, ia membiarkan Claire tidur duluan. Sementara mata dan tangannya yang lelah itu ia paksa untuk memeriksa semuanya.Rasanya baru saja Claire memejamkan mata, ia sudah merasakan Leon berbaring di sampingnya. Claire terlalu lelah untuk membuka mata, ia membiarkan Leon berbaring di sampingnya.“Claire...” bisik Leon.“Hmmm?” tanya Claire tanpa membuka matanya.“Kita akan menang,” ujar Leon.“Hmmm...” jawab Claire lagi. Pikiran Claire melayang, tapi saking lelahnya pikirannya tercampur dengan mimpi.***Saat Leon membuka matanya, hari sudah pagi dan punggungnya terasa amat sakit. Claire sudah tidak ada di sampingnya, tapi aroma masakan sudah tercium. Sepertinya wanita itu sudah mema
Saat suara langkah-langkah kaki tak diundang terdengar malam itu. Claire dan Leon sudah tahu siapa yang datang. Mereka bisa melewati sekuriti ketat di gerbang utama villa milik Leon tersebut. Leon dan Claire sudah berada di dalam kamar, tertidur. Leon dengan posisi telungkup dan Claire di sebelahnya berbaring miring.Orang-orang berbaju hitam itu tidak berbicara sama sekali. Dengan cepat dan efisien, mereka membius Claire dan Leon, kemudian mengikat tangan, kaki dan mulut mereka hingga ke belakang kepala. Kepala mereka kemdian dikarungi dan dimasukkan ke dalam bagian belakang mobil van hitam dengan kasar.Saat terbangun, Claire dan Leon sudah berada di sebuah ruangan dengan posisi terikat di kursi. Mata mereka menyipit karena silaunya cahaya lampu yang disorotkan ke arah mereka, sementara sekeliling mereka amat gelap. Leon mengaduh kesakitan, sebab punggungnya yang masih terluka bakar itu berdarah lagi dan kini menempel erat ke sandaran kursi. Tangan mereka terikat ke
Leon bekerja tanpa suara. Hanya jari jemarinya saja yang membuat bunyi-bunyian saat menyentuh keyboard komputer. Fox dan tiga orang lainnya duduk di belakang Leon untuk mengawasi apa yang ia kerjakan. Para bodyguard datang dan pergi, ikut memperhatikan meskipun tidak mengerti apa yang sedang dilakukan Leon.Sekilas, Leon memang terlihat seperti sedang memperbaiki The Myth. Tapi tidak, ia tidak sedang melakukan itu. Leon memasukkan sesuatu ke dalam program The Myth, langsung pada server inti dari game itu. Tidak ada yang tahu kecuali Fox. Mata jeniusnya bisa menangkap sesuatu yang tidak biasa pada algorithma yang dimasukkan Leon ke dalam The Myth. Meskipun paling muda, Fox tidak bisa Leon tipu begitu saja.“Apakah masih lama?” tanya salah seorang hacker sambil menopang dagu di atas salah satu meja kaca.“Biarkan dia bekerja, Tom. Main kartu saja bersama kami,” kata dua yang lain.Leon hanya melirik dan melihat kini hanya Fox yang ma
“Bawa aku keluar dari sini, Leon. Aku berjanji akan membantumu,” kata Fox lagi sambil kembali ke tempat duduknya. Leon hanya memandanginya dari tempat duduknya, masih berusaha mencerna kata-kata Fox barusan. Leon sama sekali tidak menyangka Fox akan berkata begitu. Sementara itu, Fox sudah berpura-pura bermain game di handphonenya.“Aku harus beristirahat dulu,” kata Leon sambil berdiri dari kursinya. Para bodyguard hanya bisa memandangi Leon, sebab mereka ditugaskan untuk membuat Leon merasa nyaman selama bekerja. Leon dengan acuh berjalan menuju kamar tempat Claire dan ibunya ditempatkan.“Apa yang gadis itu katakan, Leon?” tanya Claire dengan tatapan penasaran begitu Leon masuk ke dalam kamar.“Hanya bertanya soal algorithma yang kumasukkan,” jawab Leon sambil duduk di hadapan Claire. Ia menatap Claire sambil mengambil secarik kertas di atas meja. Leon kemudian menuliskan sesuatu di atasnya sambil menutupinya de
“Jangan dilepas dulu,” kata Fox yang masih berada di samping Leon. Masih ada hal yang ingin ditunjukkan Fox pada Leon.Ingatan Fox yang dilihat Leon pun berganti, kini Leon melihat Fox berada di dalam sebuah ruangan terang di depan layar monitor besar dan keyboard. Fox kelihatannya sudah lebih besar dibandingkan sebelumnya. Tangannya yang mungil kini terlihat lebih panjang dan kurus. Jari jemarinya menari-nari di atas keyboard.Boston Hopkins masuk dari pintu di belakangnya, Fox bisa melihatnya dari bayangan di monitor komputernya yang besar itu.“Sudah selesai, Lana?” tanya Boston.“Belum,” jawab Fox.“Apa yang membuatnya begitu lama?” tanya Boston dengan nada meninggi.“Aku sedang berusaha. Dan jangan panggil aku Lana, aku Fox,” jawab Fox.“Terserah padamulah! Tidak ada makan siang jika belum selesai. Aku memerlukan alat itu untuk siang ini!” seru Boston.
“Aku akan mencoba mempercepat prosesnya!” seru Fox sambil mulai mengetikkan sesuatu di atas keyboard.“Hati-hati, jangan sampai kamu mengacaukan semuanya!” seru Leon.“Apa sebenarnya yang kalian lakukan?” tanya salah seorang bodyguard. Baik Claire maupun Leon tidak menjawab pertanyaannya. Leon melirik lagi ke layar monitor, persentasenya maju dengan sangat lambat. Ini suatu program yang sangat berat, tentu saja tidak akan secepat itu. Masih delapan puluh lima persen dan loading.“Hentikan apapun yang kalian kerjakan!” seru bodyguard itu sambil mengarahkan pistolnya ke arah Leon. Semua bodyguard yang lain melakukan hal yang sama.“Atau apa? Kalian tidak bisa membunuhku, bukan? Itu tidak mungkin terjadi,” jawab Leon.Para bodyguard itu terdiam, tahu bahwa apa yang dikatakan Leon itu benar adanya.“Tapi kami bisa membunuh dia,” jawab bodyguard itu sambil mengarahkan pistol
“Lepaskan aku! Aku ini calon presiden kalian! Lepaskan aku sekarang juga!” seru Boston Hopkins pada para polisi yang memborgol tangannya.“Anda berhak untuk diam. Semuanya bisa Anda jelaskan di pengadilan. Anda juga bisa menyewa pengacara untuk membela Anda,” jawab polisi itu.“Pengawal! Pengawal!” teriak Boston Hopkins dengan panik. Tetapi tidak ada satupun pengawal yang mendekat. Sebab Leon sudah menyuruh mereka pergi sejauh mungkin.Boston Hopkins terpaksa menyerah kepada para polisi. Ia masuk ke dalam mobil polisi dan dibawa pergi. Sepanjang perjalanan, orang-orang melemparinya dengan telur busuk. Polisi harus menertibkan masyarakat agar tidak melempari Boston dengan telur dan benda-benda lainnya. Boston tidak percaya ini benar-benar menimpa dirinya. Padahal selangkah lagi saj
Fox kembali berbaring di sofa meluruskan kakinya yang sakit. Claire membantu Fox dengan mengganjal kakinya dengan bantal agar bengkaknya tidak semakin parah.“Aku bisa membantu Leon,” katanya.“Kamu tidak akan bisa membantu kalau kamu belum sehat. Istirahatlah dulu, kamu membutuhkannya,” jawab Claire.Claire pergi ke dapur dan ia pun memanaskan air untuk membuatkan teh hangat untuk Leon. Masih ada teh yang belum basi di apartemen itu. Ia pun membawakannya untuk Leon. Pria itu bahkan belum beristirahat sejak tadi. Tubuhnya masih basah kuyup.“Terima kasih,” kata Leon sambil tersenyum. Senyuman yang selalu membuat jantung Claire berdegup dua kali lebih cepat.“Apakah kamu tidak bisa ber
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
“Hey bro, kamu sudah lihat berita di televisi?” tanya salah seorang bodyguard yang sedang berjaga di markas tempat Fox menjalani hukumannya.“Sudah. Aku berpikir kita sebaiknya pergi sebelum polisi menangkap kita juga,” jawab bodyguard yang satunya.“Ssst!! Pelankan suaramu. Jika yang lain mendengar kita bisa dibunuh,” jawabnya.“Hey... let me go, please...” kata Fox mengiba pada kedua orang yang sedang berbisik-bisik itu.Dua orang itu berpandang-pandangan lalu melihat ke arah Fox.“Sorry, kid. Kalau kami melepaskanmu, kami pasti akan mati. Sekarang kecilkan suaramu atau kita akan dapat masalah!” seru orang itu dengan suara berbisik.
Tidak butuh waktu lama, Claire dan Leon sudah sampai ke apartemen lama Leon. Mereka berlari menuju ke elevator setelah memarkirkan mobil di garasi pribadi Leon. Elevator pribadi itu langsung mengantarkan mereka ke apartemen Leon yang ditinggal dalam keadaan berantakan. Bekas-bekas peluru masih ada di tembok, kaca jendela yang pecah, bahkan bantal sofa yang berlubang.Leon tidak menunggu waktu lama, ia langsung berlari ke ruang kerja lamanya lalu mengeluarkan laptop milik Claire dan segala peralatan yang ia bawa di dalam tas. Claire langsung menyalakan TV untuk mendengarkan ada berita apa di televisi. Begitu dinyalakan, berita di televisi langsung menayangkan hal yang sudah Claire dan Leon duga sebelumnya.“Sejumlah pejabat negara mendatangi kantor polisi secara tiba-tiba hari ini. Belum ada konfirmasi resmi dari pihak kepolisian tetapi informasi yang bere
Api yang keluar dari mulut Chimera itu kini sudah disemburkan ke arah Claire dan Leon. Air mata Claire meleleh turun ke pipinya. Dengan perlahan dan lembut, ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Leon. Mungkin ini ciuman mereka yang terakhir. Tidak ada cukup kata-kata bagi Claire untuk mengungkapkan perasaannya pada Leon, ia memilih untuk mengungkapkannya melalui ciuman terakhir ini.Namun sesaat sebelum api itu membakar tubuh mereka, tiba-tiba Claire dan Leon merasa diri mereka tersedot ke dimensi yang berbeda. Saat mereka membuka mata, mereka kembali ke tempat mereka semula. Ini di apartemen Claire, di depan laptop mereka.“Apakah kita sudah mati sekarang?” tanya Claire.“Kurasa tidak,” jawab Leon.“Apakah ini ilusi?” tanya Claire lagi.
“Kamu akan menyusul mereka secepatnya. Jangan khawatir,” kata Boston sambil melihat ke mana arah pandang Fox.Fox tetap tidak menjawab. Ia tetap menatap Boston tanpa ekspresi. Wajahnya memerah, senada dengan warna rambutnya. Setiap melihat wajah Boston, ia teringat bagaimana Mrs. Andrew meninggal. Kepalanya mengeluarkan darah, bahkan kini masih meninggalkan noda di pakaian Fox. Dalam hati, Fox bersumpah bahwa ia akan menuntut balas. Boston harus mati di tangannya.“Terserah jika kamu ingin tetap membisu seperti itu. Tapi sekarang kamu harus mengirimkan hipnotis pada semua orang di Amerika. Akses ke satelitnya sudah kuberikan padamu,” kata Boston Hopkins lagi.Fox hanya diam saja, menatap Boston tanpa berkata apapun. Boston mulai jengah dengan sikap Fox, ia memberikan kode pada orang yang meno
“Ayo kita lakukan sekarang. Lebih cepat, lebih baik. Kita tidak ingin kehilangan momen ini,” kata Leon lagi. Ia sudah duduk di depan laptopnya bersiap untuk kembali masuk ke dalam The Myth. Matanya menatap ke arah Claire menunggu gadis itu duduk di sebelahnya dan segera memulai misi kali ini.Claire menghela napas panjang, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia kemudian melangkahkan kakinya dan duduk di sebelah Leon. Jantungnya berdebar, perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Namun, ia harus melakukan ini. Seperti kata Leon, ini mungkin kesempatan mereka untuk menghancurkan Boston Hopkins untuk selamanya.“Kamu sudah siap?” tanya Leon.“Iya,” jawab Claire singkat.Ia menatap wajah Leon lalu sesaat kemudian, tanpa