Setelah memastikan sekali lagi apa yang dilihatnya, Leon bangkit berdiri dan mengangkat pedangnya. Dengan penuh amarah, Leon menghunuskan pedangnya ke arah Claire. Di saat yang sama Claire membuka matanya dan dengan ekspresi kosong ia bangkit berdiri.
“Di mana kamu sembunyikan Claire? Katakan!” seru Leon sambil terus menghunuskan pedangnya.
“Sejak kapan kamu mengetahuinya?” tanya wanita di hadapannya itu tanpa ekspresi. Wanita itu jelas-jelas menyerupai Claire, tapi Leon bisa merasakan kalau wanita itu bukan dia.
“Kamu berbaring tanpa bernapas. Selain itu, Claire tidak pernah berbaring serapi tadi. Ia selalu mengangkat kedua tangannya ke atas. Aku selalu memperhatikan itu darinya. Siapa kamu? Di mana Claire?” tanya Leon lagi.
“Sangat jeli, Leon. Itu sangat jeli. Sayang sekali, kamu tidak menyadarinya lebih awal,” jawabnya lagi.
“Kamu... Kamu mendengar semua yang kukatakan tadi?” tanya Leon
“Apa yang terjadi barusan? Apakah kamu berhasil melakukan sesuatu?” tanya Claire lagi.“Tadinya... Ada celah dalam game ini, Claire. Kita punya harapan,” jawab Leon. Jawaban dari seorang pria yang sudah kehilangan nyawa keduanya dengan sia-sia. Semua rencananya dengan Claire pun ia katakan di hadapan George. Namun Leon tidak ingin Claire menjadi khawatir. Ia ingin Claire tetap punya harapan hidup.“Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?” tanya Claire lagi.“Kita istirahat dulu, lalu kita bunuh Medusa,” jawab Leon sambil membelai lembut rambut Claire.“Kita masih punya waktu? Baiklah. Aku sangat lelah, tidur adalah ide yang bagus.”“Tidurlah,” jawab Leon sambil tersenyum.Mereka berbaring di bawah pohon rindang tadi sambil menatap langit cerah penuh bintang. Beberapa menit kemudian, saat Leon menatap Claire, gadis itu sudah memejamkan matanya. Leon tersenyum melihat C
“Kita pikirkan itu nanti, Claire. Kita tidak bisa lebih lama di sini. Sebaiknya kita segera habisi Medusa agar kita bisa ke level selanjutnya,” jawab Leon.Leon yakin, mereka tidak mungkin dapat menemukan celah lain yang mungkin berguna di tempat ini. Setidaknya di level berikutnya, mungkin mereka bisa menemukan sesuatu.“Baiklah. Kita pergi sekarang,” jawab Claire.Perjalanan menuju kuil tempat Medusa berjalan lancar, dan di luar dugaan mereka sampai lebih cepat dari perkiraan. Entah apa yang sedang direncanakan orang-orang di luar sana, tapi Leon dan Claire tidak punya pilihan lain selain terus bermain. Mereka sudah sampai di depan kuil saat matahari masih tinggi. Desisan dari ular-ular di kepala Medusa sudah terdengar bahkan dari luar kuil.“Apakah kita langsung menantangnya begitu saja, Leon?” tanya Claire.“Kurasa Medusa tidak akan muncul dengan cara seperti itu,” jawab Leon.“Lalu b
Leon dan Claire terbang bersama pegasus di langit. Meskipun semuanya palsu, tapi rasanya tetap saja menyenangkan terbang di udara seperti ini. Pegasus itu akan membawa mereka ke level selanjutnya, tanpa tahu di mana itu. Mereka hanya perlu diam dan menikmati perjalanan.“Leon, apakah menurutmu mungkin ada orang lain di sini? Maksudku mungkinkah ada pemain lain yang terjebak selain kita?” tanya Claire.“Kurasa tidak. Tidak mudah membuat orang masuk ke dalam game ini. Tidak semua orang bisa masuk,” jawab Leon.Lagi-lagi pikiran yang sama membuat Claire berpikir, ia bukan tidak sengaja masuk ke dalam game, tapi dijebak. Namun, bagaimana mereka tahu Claire akan masuk ke rumah tua itu pada malam tersebut? Claire tidak tahu jawabannya. Tapi Leon sangat yakin bahwa dirinya benar. Ia sudah mencobanya sendiri. Tidak semua makhluk hidup dapat masuk ke dalam game. Tikus A bisa masuk, sedangkan tikus B tidak. Ia yakin, Claire masuk karena kebetulan s
“Jangan mendekat!” seru Claire.Laki-laki itu malah tertawa. Ia mendekat dengan langkahnya yang terhuyung-huyung karena mabuk.“Sekarang tidak ada ibumu yang akan mengganggu kita,” ujarnya di sela-sela tawanya.“No!” seru Claire.Ia kemudian berusaha berlari, namun sialnya tanah di bawahnya seolah-olah menghisap kakinya. Ia tidak bisa pergi. Claire berteriak panik berusaha melepaskan diri, tapi tanah di bawahnya menghisap kakinya terlalu kuat.“Lepaskan!!” seru Claire.Pria bernama Boris itu berjalan terhuyung mendekat sambil tersenyum. Claire bahkan bisa mendengar pria itu bersenandung.“Pergi!! Pergi!” teriak Claire, tapi sia-sia saja. Claire merasa napasnya tercekat sekarang, ia hampir tidak bisa bernapas. Apa yang selalu ia takutkan adalah, jika Boris berhasil mendekatinya saat tidak ada ibunya.“Kemarilah gadis kecil,” kata Boris. Ia sudah berada beber
“Ahhh!! Pergi!” seru John ketakutan.“John! Sadarlah itu ilusi! Kamu yang bilang semua itu tidak nyata!” teriak Claire sambil mengguncang tubuhbnya.“C-Claire?” tanyanya akhirnya.Tubuh John penuh dengan keringat, napasnya masih tersengal. Wajahnya sangat pucat. Siapapun bisa menjadi gila jika berada di sini terlalu lama.“John, kamu tidak apa-apa?” tanya Claire.“Kurasa begitu,” jawabnya pelan. Ia terbatuk-batuk setelahnya.“Kita harus cari jalan keluar dari sini, Claire. Semakin lama, kurasa kita tidak akan waras lagi. Aku bahkan sudah meragukan kewarasanku,” ujarnya lagi.“Sudah berapa lama kamu di sini? Apakah kamu sudah mengitari taman?” tanya Claire.“Aku tidak tahu sudah berapa lama. Aku juga tidak tahu apakah aku sudah mengitari taman ini. Semuanya membingungkan!” serunya.“Tenanglah. Coba pikirkan hal terakhir a
“Menurutmu, apakah kita bisa menghancurkan dinding ini dan memaksa untuk pindah ke sebelah sana?” tanya Claire.“Aku sudah mencobanya. Tapi di taman ini, kita tidak punya kekuatan apapun,” jawab John.“Ayo kita coba menyusuri dinding ini hingga ke ujungnya. Taman ini tidak mungkin begitu luas. Kita pasti bisa mencapai ke ujungnya,” usul Claire. Ia tidak memiliki usul yang lebih baik daripada itu.“Baiklah. Ayo kita coba,” jawab John.Mereka berdua berlari-lari kecil mencoba menyusuri dinding tanah yang keras itu. Sesekali, Claire mengetuk-ngetuk dinding itu, berharap siapa tahu menemukan celah atau bagian dinding yang rapuh. Tapi sudah beberapa lama mereka berlari, tetap saja, dinding itu kokoh dan tidak tergoyahkan. Claire dan John sudah berlari cukup lama hingga kelelahan.Claire menjatuhkan diri begitu saja di atas tanah saking lelahnya. John juga melakukan hal yang sama. Rasa sakit pada lengan Cla
“Maksudmu, kita menyentuh sesuatu yang tidak nyata?” tanya John.Claire mengerti maksud John. Jika semua ini ilusi, mengapa semua yang mereka sentuh terasa nyata?“John... Teknologi yang mereka ciptakan membuat kita merasakan semuanya seperti asli. Kamu mungkin tidak merasakannya sebab pertama kali masuk ke dalam game ini kamu masuk ke taman ini. Aku dan Leon sudah melewati beberapa level, dan kami mengalami hal-hal tidak terduga yang terlihat seperti nyata,” jawab Claire.“Seharusnya aku tidak main-main dengan game yang aku tidak tahu,” kata John.“Apa maksudmu, John?” tanya Claire.“Aku menemukan game itu di tempat kerjaku. Aku seorang bartender, Claire. Malam itu, sehabis shiftku, aku membereskan barang-barangku di loker. Lalu aku melihat sesuatu menyala kehijauan di dalam gudang. Aku bisa melihat cahayanya dari celah di bawah pintu gudang. Rasa penasaranku membuatku memeriksa apa yang ada di
Claire berteriak sekeras mungkin sambil berlari sekencang-kencangnya untuk mencegah Leon. Pria itu mengangkat batu itu tinggi-tinggi di atas kepalanya. Jelas sekali ia ingin menghantam kepalanya sendiri dengan batu.“Jangan, Leon! Hentikan!” teriak Claire sekuat tenaga.Leon berteriak sambil melepaskan batu yang sudah ia taruh di atas kepalanya.“Diamlah! Diam!” serunya dengan wajah memerah.“Tidak!!!” seru Claire.Tiba-tiba John muncul dari lorong di sebelah kiri Leon. Dengan cepat ia menarik tubuh Leon ke samping sehingga batu besar itu meleset, hanya mengenai kaki Leon.“Ahh!” seru Leon saat batu itu melukai kakinya.“Leon! Leon!! Ini aku Claire! Sadarlah! Semua ini ilusi!” seru Claire sambil mengguncangkan bahu Leon dengan kencang.John berjongkok di samping Leon sambil memperhatikan.“C-Claire?” tanyanya.“Iya, Leon. Ini aku Claire!
“Lepaskan aku! Aku ini calon presiden kalian! Lepaskan aku sekarang juga!” seru Boston Hopkins pada para polisi yang memborgol tangannya.“Anda berhak untuk diam. Semuanya bisa Anda jelaskan di pengadilan. Anda juga bisa menyewa pengacara untuk membela Anda,” jawab polisi itu.“Pengawal! Pengawal!” teriak Boston Hopkins dengan panik. Tetapi tidak ada satupun pengawal yang mendekat. Sebab Leon sudah menyuruh mereka pergi sejauh mungkin.Boston Hopkins terpaksa menyerah kepada para polisi. Ia masuk ke dalam mobil polisi dan dibawa pergi. Sepanjang perjalanan, orang-orang melemparinya dengan telur busuk. Polisi harus menertibkan masyarakat agar tidak melempari Boston dengan telur dan benda-benda lainnya. Boston tidak percaya ini benar-benar menimpa dirinya. Padahal selangkah lagi saj
Fox kembali berbaring di sofa meluruskan kakinya yang sakit. Claire membantu Fox dengan mengganjal kakinya dengan bantal agar bengkaknya tidak semakin parah.“Aku bisa membantu Leon,” katanya.“Kamu tidak akan bisa membantu kalau kamu belum sehat. Istirahatlah dulu, kamu membutuhkannya,” jawab Claire.Claire pergi ke dapur dan ia pun memanaskan air untuk membuatkan teh hangat untuk Leon. Masih ada teh yang belum basi di apartemen itu. Ia pun membawakannya untuk Leon. Pria itu bahkan belum beristirahat sejak tadi. Tubuhnya masih basah kuyup.“Terima kasih,” kata Leon sambil tersenyum. Senyuman yang selalu membuat jantung Claire berdegup dua kali lebih cepat.“Apakah kamu tidak bisa ber
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
Claire berlari menuju ke arah jendela yang mulai terbakar itu, sementara Fox merangkak mengikuti Claire. Ia tidak mungkin diam saja, meskipun kini ia benar-benar tidak bisa melakukan apapun.“Leon!” seru Fox dengan suaranya yang parau. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi, sedikit lagi, ia tidak ingin pingsan sekarang. Ia harus membantu Claire dan Leon! Fox berusaha tetap sadar lebih lama, tetapi percuma saja. Sekejap kemudian segalanya menjadi gelap dan telinganya mulai berdenging. Fox jatuh dan tidak bisa mendengar atau melihat apapun lagi.“Leon!!” seru Claire.Ia hampir saja masuk ke dalam ketika tiba-tiba tangan Leon menggapai jendela. Saking terkejutnya, Claire hampir saja terjatuh.“Leon!” serunya lagi ketika ia sadar bahwa L
“Hey bro, kamu sudah lihat berita di televisi?” tanya salah seorang bodyguard yang sedang berjaga di markas tempat Fox menjalani hukumannya.“Sudah. Aku berpikir kita sebaiknya pergi sebelum polisi menangkap kita juga,” jawab bodyguard yang satunya.“Ssst!! Pelankan suaramu. Jika yang lain mendengar kita bisa dibunuh,” jawabnya.“Hey... let me go, please...” kata Fox mengiba pada kedua orang yang sedang berbisik-bisik itu.Dua orang itu berpandang-pandangan lalu melihat ke arah Fox.“Sorry, kid. Kalau kami melepaskanmu, kami pasti akan mati. Sekarang kecilkan suaramu atau kita akan dapat masalah!” seru orang itu dengan suara berbisik.
Tidak butuh waktu lama, Claire dan Leon sudah sampai ke apartemen lama Leon. Mereka berlari menuju ke elevator setelah memarkirkan mobil di garasi pribadi Leon. Elevator pribadi itu langsung mengantarkan mereka ke apartemen Leon yang ditinggal dalam keadaan berantakan. Bekas-bekas peluru masih ada di tembok, kaca jendela yang pecah, bahkan bantal sofa yang berlubang.Leon tidak menunggu waktu lama, ia langsung berlari ke ruang kerja lamanya lalu mengeluarkan laptop milik Claire dan segala peralatan yang ia bawa di dalam tas. Claire langsung menyalakan TV untuk mendengarkan ada berita apa di televisi. Begitu dinyalakan, berita di televisi langsung menayangkan hal yang sudah Claire dan Leon duga sebelumnya.“Sejumlah pejabat negara mendatangi kantor polisi secara tiba-tiba hari ini. Belum ada konfirmasi resmi dari pihak kepolisian tetapi informasi yang bere
Api yang keluar dari mulut Chimera itu kini sudah disemburkan ke arah Claire dan Leon. Air mata Claire meleleh turun ke pipinya. Dengan perlahan dan lembut, ia menyentuhkan bibirnya ke bibir Leon. Mungkin ini ciuman mereka yang terakhir. Tidak ada cukup kata-kata bagi Claire untuk mengungkapkan perasaannya pada Leon, ia memilih untuk mengungkapkannya melalui ciuman terakhir ini.Namun sesaat sebelum api itu membakar tubuh mereka, tiba-tiba Claire dan Leon merasa diri mereka tersedot ke dimensi yang berbeda. Saat mereka membuka mata, mereka kembali ke tempat mereka semula. Ini di apartemen Claire, di depan laptop mereka.“Apakah kita sudah mati sekarang?” tanya Claire.“Kurasa tidak,” jawab Leon.“Apakah ini ilusi?” tanya Claire lagi.
“Kamu akan menyusul mereka secepatnya. Jangan khawatir,” kata Boston sambil melihat ke mana arah pandang Fox.Fox tetap tidak menjawab. Ia tetap menatap Boston tanpa ekspresi. Wajahnya memerah, senada dengan warna rambutnya. Setiap melihat wajah Boston, ia teringat bagaimana Mrs. Andrew meninggal. Kepalanya mengeluarkan darah, bahkan kini masih meninggalkan noda di pakaian Fox. Dalam hati, Fox bersumpah bahwa ia akan menuntut balas. Boston harus mati di tangannya.“Terserah jika kamu ingin tetap membisu seperti itu. Tapi sekarang kamu harus mengirimkan hipnotis pada semua orang di Amerika. Akses ke satelitnya sudah kuberikan padamu,” kata Boston Hopkins lagi.Fox hanya diam saja, menatap Boston tanpa berkata apapun. Boston mulai jengah dengan sikap Fox, ia memberikan kode pada orang yang meno
“Ayo kita lakukan sekarang. Lebih cepat, lebih baik. Kita tidak ingin kehilangan momen ini,” kata Leon lagi. Ia sudah duduk di depan laptopnya bersiap untuk kembali masuk ke dalam The Myth. Matanya menatap ke arah Claire menunggu gadis itu duduk di sebelahnya dan segera memulai misi kali ini.Claire menghela napas panjang, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri. Ia kemudian melangkahkan kakinya dan duduk di sebelah Leon. Jantungnya berdebar, perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Namun, ia harus melakukan ini. Seperti kata Leon, ini mungkin kesempatan mereka untuk menghancurkan Boston Hopkins untuk selamanya.“Kamu sudah siap?” tanya Leon.“Iya,” jawab Claire singkat.Ia menatap wajah Leon lalu sesaat kemudian, tanpa