Matahari bersembunyi di balik gumpalan awan besar berwarna putih mirip kapas. Siang menjelang sore ini masih sama seperti kemarin. Deretan kendaraan mengular di perempatan. Ratusan knalpot berlomba memuntahkan asap hitam yang menyesakkan. Dalam hitungan detik asap itu berbaur bersama oksigen yang kemudian dihirup ratusan manusia. Menyesakkan memang, tapi tidak ada yang benar-benar bisa mengubah busuknya udara ini. Di dalam mobil Pajero putih yang melaju di jalan, berlomba bersama dengan mobil dan motor lainnya, tidak kalah menyesakkan. Dua manusia di dalamnya nyaris tidak berkomunikasi. Tidak ada suara musik, hanya teriakan mesin dan klakson di luar yang menghalau keheningan. Sesekali cewek di bangku penumpang berusaha mencoba membuka obrolan. Tapi, selalu berakhir dengan pengabaian yang menyebalkan. 'Pria tua ini nggak mendadak jadi tuli, kan? Suara gue nggak ngilang dicolong setan, kan? Udah cukup hati gue aja yang dibawa pergi cowok nggak bertanggung jawab. Suara gue jangan.' Gia
Intuisi seorang ibu memang tidak layak diragukan. Bunda menyadari ada masalah di antara anak gadisnya dengan duda yang tinggal di depan rumahnya itu. Sebelumnya, Restu selalu mengajaknya berbincang, walau hanya sebentar. Menanyakan bagaimana dia melewati hari ini menjadi pembahasan yang paling sering ditanyakan Restu. Pria itu selalu memperhatikan calon mertua barunya dengan baik. Berbeda dengan hari ini. Restu langsung pamit begitu Bunda keluar menyambut kedatangan Gia. Senyum yang dipaksakan Restu juga terlihat jelas di mata Bunda yang sudah harus memakai kaca mata saat membaca. Bunda mulai memahami bahwa Restu termasuk orang yang tidak berbakat menyembunyikan perasaannya. Semua isi hatinya tercermin jelas di raut wajah. "Kenapa senyum-senyum sendiri, Gi? Kesambet setan mana kamu?" tanya Bunda membuyarkan lamunan Gia. "Apaan, sih, Bunda? Anak sendiri malah didoain kesambet setan," protes Gia. Gia khawatir Restu yang belum terlalu jauh melangkah bisa mendengar perkataan Bunda barus
Gia memandang pantulan dirinya di cermin, memastikan penampilannya kali ini tidak akan diprotes lagi oleh Restu. Celana jins hitam yang sobek di bagian paha kirinya menutupi kaki jenjangnya. Kemeja hitam oversize yang lengan panjangnya dilipat asal sampai sebatas siku, kancing paling atas sengaja dibuka memamerkan tulang selangkanya yang indah. Kali ini Gia menggunakan kaus putih sebagai dalaman, menjaga dua aset berharga miliknya tidak menyembul, walaupun itu sebuah kemustahilan yang hakiki. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai begitu saja. Kemarin sore Gia baru saja keramas, sekarang rambutnya masih cantik kalau terurai dan yang jelas wanginya masih tercium jelas. Gia yakin Restu tidak akan komplain dengan penampilannya. "Lah? Ini gue ngapain mikirin pendapat Om Restu soal penampilan gue, sih?" omel Gia pada dirinya sendiri. Dia merasa apa yang dilakukannya salah. Tidak seharusnya dia menuruti pria tua itu. "Ah, bodo amatlah! Udah terlanjur pakai baju. Bisa telat kalau ganti baju s
Perjalanan menuju kampus Gia kali ini cukup mencekam. Di samping Gia duduk seorang pria tua yang hatinya sedang resah. Tanpa perlu Gia tanyakan lagi, dia tahu kalau Restu masih menyimpan amarah setelah pertemuannya dengan Hugo. Duda beranak satu itu berulang kali meminta Gia mengambil jarak dengan senior spesialnya, tapi Gia belum bisa menurut. Belajar di tempat yang sama mempersulit Gia untuk menjaga jarak dari Hugo. Sekarang, Gia merasa nyawanya berada dalam bahaya. 'Pria tua ini emosinya lagi labil kayak kucing oren barusan ngelahirin, disenggol dikit langsung mau nyakar. Ini kalau gue salah ngomong, Om Restu bisa nabrakin mobil ke tiang listrik. Ya Allah, gue belum mau mati muda. Gue belum nikah ini. Yang ngajakin nikah baru duda beranak satu, yang bawelnya ngalahin emak-emak di akhir bulan. Masa gue nggak ada harapan punya suami tampan, kaya, dan romantis kayak di novel-novel, sih?' gerutu Gia dalam hati. Jemarinya sibuk memainkan ujung kuku, mencoba menghalau semua pikiran buruk
Cahaya matahari bersinar sangat cerah. Bulatan oranye itu sudah terlalu berada jauh di atas kepala, menyebarkan sengatan yang menusuk dan membakar kulit. Suasana jalanan masih terus dipenuhi kendaraan yang berlomba membuang gas beracunnya. Bisingnya jalanan tidak mengusik suasana kafe di salah satu komplek pertokoan, tidak jauh dari gerbang kampus Merva. Bangunan dua lantai itu disulap menjadi kafe kecil yang nyaman. Dengan ukuran sempit, pemiliknya berhasil membuat Le Blanc menjadi tempat ngopi yang instagramable. Setiap sudut dihiasi dengan berbagai ornamen menarik. Rooftop kafe menjadi tempat paling favorit, asal tidak turun hujan.Gia duduk di sebuah sofa paling ujung, di samping lorong menuju kamar mandi. Dia meringkuk di sudut kafe sendirian. Dia memeluk kedua kaki yang sengaja dinaikkan ke sofa. Wajahnya dibenamkan ke sela-sela kedua pahanya. Gia tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Suara musik yang disetel kencang mengalunkan lagu-lagu riang tidak memengaruhinya. Suasana hat
Sebelum matahari terbenam, Restu sudah kembali menjalankan mobilnya menjauhi area pantai. Suasana mulai sepi. Lampu-lampu mulai memancarkan cahayanya, menggantikan tugas matahari yang mulai menjauh. Mobil Restu meninggalkan tumpahan air asin jauh di belakang. Di sampingnya, Gia terus bernyanyi bersama Gavin yang sekarang menyembulkan kepalanya di sela-sela Restu dan Gia. Kepala Gavin bergerak mengikuti irama tepukan tangan Gia. Restu tidak mau kalah dengan ikut menyumbangkan suaranya yang tidak terlalu merdu. Mobil Restu dipenuhi paduan suara yang sumbang. Tidak ada satu pun, dari tiga manusia yang berada di dalam mobil, mempunyai suara bagus. Sungguh sebuah pemandangan yang mengharukan bagi Restu, jelas bukan karena suara-suara menyedihkan yang terus bernyanyi dengan riangnya. Gavin sudah lama tidak sebahagia ini. Ini semua karena Gia. Sebuah alasan sederhana kenapa Restu bisa mencintai perawan muda yang tinggal di depan rumahnya itu. Gia berhasil memberikan nyawa pada keluarga keciln
Pagi ini Gia bersiap lebih pagi dari biasanya. Dia bahkan mau repot-repot menyetel alarm di jam lima pagi. Padahal, biasanya Gia baru bisa bangun karena teriakan Bunda. Semua ini dilakukan Gia demi janji yang terlanjur diucapkannya kepada Gavin. Dia tidak mau membuat kecewa Gavin. Gia memandang pantulan dirinya di cermin. Rambut panjangnya disisir supaya rapi dan dibiarkan terurai begitu saja. Segera Gia meraih tas ransel cokelat yang tergeletak di atas tempat tidurnya, lalu keluar kamar. Bunda sedang masak di dapur saat anak gadisnya muncul. Gia segera menghampiri Bunda dan mencium pipi kanannya sekilas. "Gia ke rumah Om Restu dulu, ya. Sekalian langsung berangkat," pamit Gia. "Iya. Ati-ati, ya, Gi. Di rumah orang jangan bikin malu." Bunda mengingatkan. Pandangannya tetap fokus pada tumis brokoli yang dimasaknya. "Bunda apaan, sih? Masa Gia bikin malu. Gia ini wanita terhormat yang selalu menjaga sopan santun layaknya bangsawan Eropa. Ratu Elisabeth aja berguru sama Gia," protes G
Sebuah tepukan di pundak mengagetkan Gia. "Cieh, dianterin Om Restu. Cieh, senyum-senyum najis," ejek Jessica yang tiba-tiba ada di belakang Gia.Gia terlonjak. Refleks, dicubitnya hidung Jessica pelan. "Ngagetin aja lo! Mau bikin jantung gue keluar dari mulut?" protes Gia gemas."Aduh aduh, sakit, ih," keluh Jessica sambil mengusap-usap hidungnya yang mungil. "Mukanya cerah bener, Neng? Lagi jatuh cinta, ya?" Jessica masih terus menggoda Gia.Gia melotot. "Jatuh cinta apaan?" bantahnya, lalu berjalan memasuki gedung A, mengabaikan Jessica."Keliatan kali orang jatuh cinta, mah. Pipi merah. Mata berbinar. Senyum terkembang. Jantung berdetak lebih cepat. Rahim anget abis dibakar api cinta. Itu yang terjadi sama lo saat liat Om Restu tadi, kan?" Jessica menjelaskan. Dia berjalan cepat sampai berhasil berada di sisi kanan Gia."Ngaco aja lo, Je!" bantah Gia. Padahal, Gia benar merasakan apa yang disebutkan Jessica tadi.Jessica mengamati wajah Gia. "Cieh, malu-malu, tuh. Biasa aja hidungn
Calon mertua itu menyeramkan. Ibu mertua itu musuh paling nyata bagi istri dari anaknya lelakinya. Bapak mertua adalah pria galak yang tidak akan bisa berbicara santai dengan menantunya. Saudara ipar jelas tidak akan pernah membiarkan hidup istri kakaknya hidup tenang. Isi kepala Gia dipenuhi pikiran buruk tentang orang tua Restu. Tangannya dingin, sedangkan kepala dan hatinya panas karena terus membayangkan suasana mencekam yang menantinya. Bibir bawah Gia bahkan sudah berdarah. Tanpa disadari, Gia terus menggigit bibir bawahnya untuk meredakan gugup. "Kamu tidak perlu cemas, Gi. Orang tua saya bukan drakula yang gemar menghisap darah perawan." Berulang kali Restu mencoba menenangkan, tapi tidak berhasil. Gia justru semakin banyak mengomel. "Om ini nggak tahu gimana rasanya jadi Gia. Ya, gila aja Gia harus ketemu calon mertua. Calon mertua lho ini, Om. Ini menyangkut hidup Gia. Gimana kalau ternyata orang tua Om Restu nggak suka sama Gia? Gimana kalau Gia diusir terus harus pulang
Matahari semakin condong ke barat, menyisakan berkas oranye. Daun-daun bergoyang pelan tanpa ada iringan musik. Tukang siomai berhenti di ujung jalan, berharap ada yang mau membeli dagangannya. Gavin memukul samsak dengan sekuat tenaga berkali-kali. Baju yang digunakannya sudah basah dengan keringat. Dia sudah mulai kehabisan napas. Sudah satu jam dia berlatih boxing hari ini. Restu sedang sangat bersemangat sore ini. Sejak menjemput Gavin di sekolah, dia sudah memintanya langsung tidur siang, agar sorenya memiliki cukup tenaga untuk berlatih. Seperti biasa, Gavin selalu menuruti permintaan sang Papa. "Pukul yang keras, Gav! Perhatikan sasarannya," perintah Restu yang berdiri di belakang Gavin. Gavin lalu memukul samsak lebih kencang lagi. Samsak di depannya bergoyang pelan. "Gavin, sudah dulu latihannya, sudah hampir Magrib. Nggak baik di luar rumah mau Magrib gini, bisa diculik wewe gombel. Iya, kalau itu Wewe Gombel bisa jadi ibu yang baik buat Gavin, sih, nggak masalah. Kalau te
Gia berlari menjauh dari rumah Restu. Matanya seperti pipa PDAM yang bocor, air matanya mengucur deras. Dadanya seperti disengat puluhan lebah, pedih dan bengkak. Bayangan Restu yang nyaris sempurna hancur sekarang. Gia kecewa kepada Restu. Gia marah, marah pada Restu yang ternyata jahat sekaligus marah pada dirinya sendiri yang bodoh sudah memilih Restu. Ternyata seorang Restu yang dikiranya berpikiran dewasa, tidak jauh berbeda dengan Hugo. Lelaki di mana pun sama, selalu lemah lihat wanita seksi. Belum sempat Gia masuk ke dalam rumah, ada yang menarik tangannya. Gia terpaksa berhenti kalau tidak mau tangannya lepas. Dia masih belum siap tangannya diganti dengan tangan robotik. Selain harganya mahal, berburu upil dengan tangan robotik pasti tidak semenyenangkan dengan tangan asli. Restu berdiri di belakang Gia masih bertelanjang dada. Dia terlihat cemas sampai tidak peduli deretan tahu di perutnya terekspos jelas. "Lepasin!" bentak Gia sambil mencoba melepaskan genggaman tangan R
Kuliah ternyata tidak selalu menyenangkan. Ini sudah hampir di akhir semester pertama Gia. Tumpukan tugas yang harus segera diselesaikan semakin menggunung. Materi pelajaran yang harus dipahami semakin menumpuk. Kepala Gia selalu panas setiap hari. Penjelasan dosen bukannya membuatnya paham, malah semakin membuatnya bertambah pusing. Beruntung, Gia punya Jessica yang dengan sabar, dan bonus sedikit makian, masih mau membagi ilmunya. Walau tidak sempurna, Jessica berhasil membuat Gia sedikit lebih paham dengan pelajaran. Iya, cuma sedikit. Gia terlalu malas belajar, jadi tidak ada perkembangan signifikan dalam nilainya. Hari ini Gia pulang kuliah lebih cepat dari biasanya. Harusnya, dia ada dua mata kuliah lagi. Tapi, dosen pengampu dua mata kuliah itu berhalangan hadir dengan alasan ada tugas ke luar kota. Setelah mendapat kepastian kelas kosong, Gia segera menghubungi Restu. Dia meminta Restu untuk menjemputnya. Siapa tahu hari ini bisa jalan-jalan sebentar, nongkrong di mall atau d
Cowok di depan Gia masih berhasil membuatnya salah tingkah. Ada gelitik aneh di dadanya. Rasanya beda dengan debaran yang dulu dia rasakan, waktu masih berharap Hugo bisa membalas cintanya. Rasa ini membuat perasaannya membaik."Ngagetin aja, Bang! Gia kira setan. Kalau jantung Gia copot, gimana? Bang Hugo mau tanggung jawab?" omel Gia mencoba bersikap biasa saja, padahal perasaannya berantakan. Dia sadar sudah salah. Kalau dia terus bersama Hugo, pasti rasa bersalah pada Restu ini akan semakin meningkat."Sebenernya, kalau disuruh tanggungjawab, gue mau aja. Tapi, gue nggak mau ngerebut calon istri orang," sahut Hugo. Dia berkata seperti itu dengan serius. Sengaja dia memberi jeda supaya Gia semakin salah tingkah, lalu tertawa, seakan ini memang hanya ocehan tanpa makna. Nyatanya, Hugo memang berharap menggantikan posisi Restu sebagai calon suami Gia."Bang," panggil Gia pelan, nyaris tidak terdengar Hugo.Hugo memandang Gia sambil tersenyum. "Lo manggil gue?""Ajakin gue ke KUA sekar
Matahari sudah tenggelam, saat Gia memasukkan mobil ke dalam garasi rumah. Hari ini tidak seburuk yang Gia bayangkan. Bertemu dengan Hugo setelah beberapa minggu ini dia menghindari Gia, ternyata tidak terlalu buruk. Tadinya, Gia mengira pertemuannya ini akan berakhir dengan kondisi aneh atau bahkan terjadi pertengkaran. Tapi, sebaliknya, Hugo masih tetap Hugo, senior menyebalkan yang berhasil membuat hati Gia berbunga-bunga. Sekarang, Gia sadar bahwa perasaan itu belum sepenuhnya hilang. Hugo masih punya tempat spesial di hati Gia.Baru saja Gia mematikan mesin mobil, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk. Gia mengurungkan niatnya keluar mobil. Dia meraih ponsel yang disimpannya di dalam tas. Sebuah pesan dari Hugo membuat jantungnya malas berdetak dalam beberapa detik.Senior Galak KesayanganMakasih buat hari ini, Gi. Gue seneng ketemu lo.Gia tersenyum lebar membaca pesan dari Hugo. Apa yang dirasakannya ternyata dirasakan juga oleh Hugo. Mereka dua orang yang saling menikmati pertem
Semenjak Restu nekat memperkenalkan diri sebagai calon suami Gia, Hugo memang terlihat tidak terawat. Rambutnya dibiarkan semakin panjang, bahkan seringkali terlihat acak-acakan. Bajunya beberapa kali nampak kusut. Dari laporan Jessica, Hugo seperti kehilangan semangat. Dia sering mangkir dari jadwal rapat BEM. Hugo bahkan lebih mudah emosi hanya karena hal kecil. Gia pun merasa bersalah. Sayangnya, Hugo tidak pernah memberinya kesempatan untuk berbicara. Dia selalu menghindar. Hugo menolak berada terlalu dekat dengan Gia. "Bang Hugo ngapain di sini?" tanya Gia basa-basi. Gia mencoba tersenyum. Sayang, senyumnya kaku dan malah membuatnya terlihat seperti meremehkan Hugo. "Mau beli buku. Gue kehabisan bahan bacaan," jawab Hugo. "Lo sendirian?" tanya Hugo perlahan. Ada ribuan jarum jahit yang bergerak acak menikam jantungnya. Gia tersenyum lebih tulus. "Iya. Udah mirip anak hilang, ya? Bentar lagi ada yang mau nyulik Gia, nih. Kalau Gia nggak ada kabar besok, laporin polisi, ya, Ban
Minggu pagi menjadi waktu yang pas untuk bermalas-malasan. Bangun siang, makan, pipis, eek, dan tidur lagi seharian. Itu yang dilakukan Gia dulu. Gia yang hanya berfikir tentang enaknya sendiri, tidak peduli Bunda sudah mengomel panjang melihat anak gadisnya sudah mirip kain pel bekas—lecek, kucel, kusut, dan bau—tinggal dibuang aja. Gia yang sekarang berbeda. Setelah Restu menunjukkan keikhlasannya melepas Bianca, Gia semakin yakin untuk memperbaiki dirinya. Gia tidak mau Restu menyesal karena dirinya masih sama, tanpa perubahan yang lebih baik. Gia mau Restu juga melihat usahanya. Terlebih lagi, nantinya Gia akan menjadi seorang ibu bagi Gavin. Sebuah tanggungjawab yang jauh lebih besar. Jantungnya selalu berdebar kencang kalau mengingat statusnya akan berubah menjadi istri dan ibu sekaligus, peran baru yang lebih menuntut kedewasaannya. Cahaya matahari mulai masuk dari sela-sela jendela kamar Gia yang masih tertutup gorden. Gia menyibakkan gorden berwarna hijau tua itu. Di seberan
Jalanan lenggang, tanpa kemacetan yang berarti. Lampu merah memaksa mobil Restu berhenti sejenak. Perjalanan mereka masih butuh beberapa menit lagi sampai tujuan. Tujuan yang sama sekali tidak pernah dibayangkan oleh Gia. Restu terus diam selama perjalanan, sama sekali tidak mencoba mengajak Gia berbicara. Suasana hening di dalam mobil. Tidak ada suara musik yang biasa diputar oleh Gia. Suara deru kendaraan dan sesekali klakson yang saling bersautan di luar cukup membuat Gia merasa semakin resah. Baru pertama kali Gia melihat Restu dalam mode galak begini. Ini bukan Restu yang membuat Gia jatuh hati. Sekarang, Restu terlihat menakutkan. Bukan menakutkan selayaknya genderuwo yang mencari perawan di siang hari. Ya, walaupun antara genderuwo dan Restu sama-sama doyan perawan. Gia merasa yang duduk di sampingnya adalah pria tua yang senang menculik perawan, lalu menjualnya ke pria hidung belang yang berani membayar mahal. Pria-pria seperti ini biasanya sering nekat melakukan kekerasan de