Marvel terpaku di tempat, dalam ruangan remang. Ia mendapati mantan kekasihnya menangis meraung-raung. Ingin ia meraih tubuh tak berdaya itu namun, segera ia tepis. Meski dalam hati masih ada cinta untuknya. Akan tetapi wanita tersebut tidak mencintainya lagi. Remuk redam, semua penyesalan bertumpuk bak bongkahan batu besar yang harus ia pikul. Marvel menyadari kesalahannya, dia yang melempar wanita tersebut untuk menjauh. Wanita yang telah bersedia hamil dan melahirkan anaknya. Bayangan kebencian Mirza semakin membentuk dalam ingatan. Pemuda yang ingin ia raih dalam dekap pelukkan. Putra kandung yang hanya dapat ia pandang tanpa boleh menyentuh. Tidak ada satu hal yang berakhir baik dari sebuah kebohongan. Hanya akan menimbulkan penghiantan untuk menutupi. Serta berujung pada kegagalan dan penyesalan. Freya bangkit dari duduk dan berjalan gontai. Marvel menatap sendu, ingin iamembantunya berjalan tapi, niatan itu hanya tinggal niatan. Dirinya tidak cuk
Freya memasuki rumah dengan perasaan hampa. Bayangan kebahagiaan dari awal pernikahan berkelebat dalam ingtan. Dulu mereka bahagia, meski bahagia Freya hanya sebuah topeng menutupi kebusukannya. Wanita itu terduduk lemas tidak berdaya. Rasanya terlihat bodoh seperti kerbau, dungu. Buliran bening berulang kali meleleh membasahi pipi. Ia mengelus perutnya yang membuncit. Ibu hamil yang malang, tangisnya kembali pecah. Kala itu Stela yang baru saja keluar dari ruang kerja menuruni tangga. Dia berencana menyegarkan pikiran mencari inspirasi hendak menyepi di taman belakang rumah. Dia terkejut, segera berlari mendengar teriakan di ruang tamu. Langakh cepatnya berhenti tepat di hadapan Freya, ternganga dengan mata melebar. Menatap madunya terkulai di lantai, menangis meraung-raung, sangat miris. "Tante," ujarnya. Freya seolah tid
Stela menoleh ke belakang, dia menampilkan senyum tercantiknya untuk sang suami. Axelle membalas senyum itu dengan bangga. Wajah yang selalu ingin membuatnya cepat-cepat pulang ke rumah. Damai, ia mendapatinya kala bersama perempuan muda tersebut. Lelaki itu menelengkan kepala, melihat tangan kanan Stela yang masih memegang ponsel di telinganya. Ia mengwrutkan kening, merasa sedikit cemburu. Axelle merasa dia begitu cantik, meski tubuhnya tidak sebohay Freya. Buah dadanya tidak sebesar Freya. Namun, Stela memiliki daya pikat tersendiri. Dengan senyuman ramah, bergaya ceria. Perempuan itu nampak imut dan menggemaskan. Suaranya yang keluar ketika ia menyatukan tubuh keduanya, membuat Axelle merasa sangat bergairah. Pekikan merdunya menggema, seolah lelaki berkepala empat tersebut terhipnotis dalam pesona unik yang ditampilkan Stela, membuatnya takhluk. Terkadang Axelle sangsi pada perasaan sendiri. Entah cinta atau hanya pelampiasan semata.
Air bening itu meleleh membasahi pipi. Pandangan matanya buram, Stela mulai sesegukan di dalam kamarnya. Tidak berapa lama, Axelle menghampiri, lelaki bertubuh tegap itu ikut duduk di pojok ranjang, berdekatan dengan sang istri. Lengan berototnya meraih pundak ringan tersebut. Tatapan hangat terpancar di mata bening Axelle. Lelaki itu tersenyum, seraya mengelus rambut istri kecilnya dengan tangan kanan."Sayang, aku tidak akan pergi kemana-mana, tenanglah," ujar Axelle mengingatkan. Dia meraih tubuh mungil tersebut ke dalam pelukan.Stela menggeleng, "Pergilah Om, saya tidak apa-apa. Anda jangan sungkan, walau baga
Setengah jam kemudian, mobil yang Axelle kendarai masuk ke dalam sebuah pelataran rumah sederhana. Resepsi dilakukan pada malam hari, sedang pagi tadi adalah waktu ijab, begitu yang dituturkan Freya sebelum Axelle turun dari mobil. Lelaki tersebut memutari mobil, ia membukakan pintu untuk sang istri siri. Untuk kemudian melihat sekeliling. Rumah-rumah penduduk tertata rapi berjajar, di dekat pelataran rumah kerabat Freya. Ada sebuah rumah berlantai dua. Rumah tersebut adalah rumah orang tua Freya. Sudah pasti rumah tersebut berdiri berkat Axelle. Lelaki itu tidak pernah merasa kecewa akan uang yang ia keluarkan. Yang membuatnya kecewa adalah penghianatan Freya."Terima kasih," ucap Freya mengulas senyum.Axelle tidak menjawab, dia dengan dinginnya mendongakkan kepala. Freya meraih tangan sang suami dan
Freya menangis di dalam kamar kediaman orang tuanya. Rasa sakit itu teramat dalam untuk ia tanggung sendiri. Beban yang berat terasa. Ketukan pintu membuatnya bangkit berdiri dari ranjang sederhana. Kamar dengan ukuran sempit tersebut membuatnya sedikit begah. Penampilannya terlihat kacau, matanya bengkak, hidungnya memerah. Tisu berserakan dimana-mana bersama bantal yang tidak berada di ranjang lagi.Freya membuka pintu, sang ibu masuk ke dalam rumah dengan pelan. "Ibu," sapa Freya. Dia menyingkir ke samping? membiarkan sang ibu masuk."Nak, Ibu ingin bicara," kata wanita tua tersebut kemudian berjalan ke arah ranjang dan duduk di tepiannya. Wajah wanita tersebut tidak jauh berbeda dengan Fre
Axelle mengharapkan kebahagiaan sang istri. Namun, Stela terlalu dermawan untuk berbagi kebahagiaan dengan yang lain. Stela masih terdiam membisu tanpa kata. Jika Axelle berpikir tentang kebaikannya. Namun, Stela berpikir lain, keputusan terburu-buru yang sang suami ambil takutnya akan berdampak buruk. Stela hanya berharap Axelle mau mengajaknya berunding untuk memecahkan masalah yang ada. Stela masih saja dianggap anak kecil oleh sang suami. Stela ingin semuanya terbuka tanpa ada yang harus disembunyikan atau ditutupi. Stela masih kekeh pada pendiriannya. Perempuan muda itu bahkan tidak membalas pelukan sang suami. Axelle mendengkus kesal, tidak dapat memahami apa yang ia perbuat adalah demi kebahagiaan yang sama. Dia melepas pelukannya menatap tajam Stela. Akan tetapi, emosinya luluh kala ia mendapati wajah mania di depannya itu menggoda. Terlihat imut men
Terlihat kegusaran di wajah Stela, Axelle yang menangkap gelagatnya, lelaki itu langsung menegakkan tubuh mungil sang istri. Keduanya kini berhadapan, netra keduanya saling menatap. Axelle mengelus poni sang istri penuh kasih sayang. Stela nampak sendu, Axelle membelai pipinya mesra. "Hey, kenapa sayang?" tanya Axelle. Stela menggeleng, Axelle mengecup kening sang istri. "Katakanlah, Sayang," imbuh Axelle. "Mengapa, kau masih merasa bersalah pada Freya atau karena hal lain?" telisik Axelle. "Saya." Stela menjeda ucapannya. "Saya merindukan almarhum kedua orang tua saya Om," jawab Stela. Bening air mata menggenang di pelupuk siap meleleh. Senyum hangat Axelle mengembang, menghangatkan. Stela menghambur ke pelukan sang suami. Dapat ia rasa degupan jantung Axelle yang semakin tidak ber
Novel Baru Judul : Jaran Goyang Ratu Rengganis "Berikan aku ragamu, maka akan aku kabulkan segala keinginanmu, Rengganis.” Suara melantun itu membuat wanita berparas rupawan yang dipanggil Rengganis, menengadah dari posisi bersimpuh, menatap sosok wanita setengah tembus pandang yang melayang di hadapannya dengan kabut tebal menyelimuti tubuh wanita itu. Manik hitam segelap malam milik Rengganis terlihat basah, memancarkan kesedihan yang begitu dalam. Debu dan kotoran tebal menghiasi wajahnya, menunjukkan betapa tersiksa dan terabaikan dirinya untuk waktu yang cukup lama. Melihat keterpurukan Rengganis, wanita itu menyeringai, kakinya turun menapak tanah. “Aku bisa membantumu membalaskan dendam, entah kepada jalang bernama Madhavi … ataupun bajingan yang kau panggil Kakang Prabu Abra itu.” Rengganis mengepalkan tangan, membayangkan wajah kedua orang yang membuat hidupnya terasa bak neraka. Namun, melihat kabut hitam yang menyelimuti wanita di hada
Axelle menoleh ke arah sumber suara, ada Mirza dan juga Marvel. Keduanya berjalan mendekat, Axelle sedikit terkejut, baru saja dia memikirkan anak malang itu kini telah berada di hadapannya beserta sang ayah. Axelle menyalami keduanya, saling bercanda dan juga bertukar kabar. Axelle lalu mengajak mereka menyusuri balkon dan kemudian turun melewati anak tangga menuju taman di samping kediaman megah tersebut. harum bunga mawar menguar tercium ketika mereka berjalan menapaki tanah basah yang baru saja disiram oleh para maid. Bunga-bunga indah tumbuh subur berkat perawatan yang baik pula. Mereka berjalan melewati pohon mangga kenangan. Axelle menoleh ke arah Mirza lalu tersenyum, Mirza yang tidak tahu apa-apa membalas senyuman Axelle seadanya. Mereka kemudian duduk di saung menikmati matahari sore. Warna jingga itu terlihat menenangkan, yah, tenang. Setelah kekacauan yang terjadi selama ini. Ketiga orang yang tengah mengalami hal tidak mengenakkan. Mereka paham
Sampai di rumah Axelle segera memeluk sang istri, dia mengangkat lalu memutar tubuh Stela bersama dengan dirinya. Kebahagiaan tiada tara yang tercurah. Layaknya selongsong kosong kini menumpuk bernas kebahagiaan yang semakin bertambah. Ada benih di dalam rahim sang istri yang harus dijaga kini. Sungguh sesuatu yang sangat tidak terkira. Kembali pada masa lalu pertemuan keduanya yang tidak pernah terduga. Auristela gadis mungil teman anaknya, yah, gadis yang selalu bersama Mirza. Lebih tepatnya, Mirza yang selalu menyeret gadis tersebut ke mana pun dia pergi. Axelle yang awalnya mengira Freya adalah cinta sejatinya, siapa yang menyangka wanita tersebut mengkhianati dan mempermainkan perasaan dirinya juga Marvel Junior, ayah biologis dari Mirza. Hidup layaknya bianglala yang berputar, begitu pula dengan takdir yang semestinya memang harus terjadi. Kehidupan ibarat topeng yang menyembunyikan jati diri. Dunia bawah penuh kekejaman, mem
Rafael tersenyum dengan kebahagiaan yang dirasakan Stela, hasil pemeriksaan menyatakan Stela sehat. Rafael mengernyitkan kening melihat senyum Stela itu berubah sedikit menyeramkan, dia seolah melihat aura Zayn dari dalam diri wanita muda yang duduk manis di hadapannya. Dingin AC tidak membuatnya dingin, Rafa kesulitan bernapas juga mendadak, aura ruangan menyeramkan, keringat dingin mengucur di pelipis. “Ini pasti akan menjadi kejutan bagi Mas Axelle dan juga Papa,” kelakar Stela. “Mereka, mereka pasti akan bahagia,” ujar Rafael terbata. ‘Astaga, kenapa aku jadi segugup ini dengan seorang wanita muda, sangat menyeramkan, apakah semua keturunan darah biru memang memiliki aura mematikan,’ keluh Rafa dalam benaknya sendiri. “Lebih tepatnya mungkin mereka akan terkejut,” ujar Stela. “Apa!” pekik Rafael. “Dokter
Pagi hari ketika bangun tidur, Stela merasa enggan sekali bangkit. Tubuh terasa benar-benar nyeri dan remuk, dia mengamati sekeliling. Sang suami tidak ada di sampingnya, terdengar suara bunyi air di kamar mandi. Wanita muda itu tersenyum lalu meraup wajahnya dengan kedua tangan. Axelle keluar dari kamar mandi dengan keadaan basah dan hanya mengenakan handuk seukuran pinggang. Lelaki tersebut tersenyum sumringah melihat Stela melambaikan tangan. “Selamat pagi, istriku,” sapa Axelle berjalan mendekati ranjang. Lelaki tersebut duduk di samping lalu mengecup kening sang istri dengan sayang. Wajah sang istri nampak lesu dan kelelahan. “Tidurlah lagi jika masih mengantuk!” perintah Axelle mengumbar senyum. Stela menggeleng, dia berusaha beringsut bangkit namun, perutnya terasa nyeri. “Aw!” pekiknya, membuat dirinya meringis, Axelle yang melihat gelagat aneh langsung membantu sang istri duduk. &nb
Assalamu'alaikum Halo, saya author KarRa. Dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf tidak bisa up date untuk beberapa hari ke depan. Baik Love Sugar Daddy mau pun Godaan Memikat. Saat ini author sedang sakit, mohon do'anya agar cepat pulih untuk bisa melanjutkan up date seperti biasanya 🙏 Untuk giveaway menuju akhir Love Sugar Daddy masih berjalan dengan semestinya ya, dan pemenang yang mendapat souvenir akan diumumkan ketika novel tersebut Tamat. Tetap ikuti selalu ya guys, untuk informasi lebih lanjut bisa lihat di akun sosial media author. Add: KarRa atau Follow: @karra_lovely. Sekian dan terima kasih, sekali lagi mohon maaf yang sebesar-besarnya 🙏
Joy mengganti pakaian di kamar mandi. Dia mengingat beberapa serpihan masa lalu, ketika sang ibu menyuruh untuk mencari kebenaran tentang kematian Nyonya Zeroun. Semua bukti tertutup rapat, lebih gila lagi, saat semua ditemukan segalanya mengarah kepada Zayn. Joy yang notabene putra kedua berbeda ibu tersebut, menjelajahi tempat-tempat kumuh, lontang-lantung mirip gelandangan. Hingga takdir mempertemukan dengan Roland, sang sahabat karib, perbedaan kasta tidak membuat mereka saling mendominasi. kerja sama yang baik mampu menumbuhkan terasa kekeluargaan bagi dirinya dan juga Roland. Begitu keras Olivia mendidik putranya agar mampu menjadi pelindung dan calon pemimpin dari dunia bawah yang Olivia geluti. Maut menjadi lawan seimbang bagi Joy yang pernah beberapa kali hampir mati. Bagi orang yang diinginkan, Joy menampakkan sosok lembut, konyol dan baik hati. Namun, bagi lawan, Joy seperti sosok iblis yang siap mencincang habis mangsanya. Lelaki t
Gadis itu meringis kesakitan, hal wajar itu pengalaman pertama baginya. Saat hendak melangkah, jalannya seperti tidak lagi sama, kakinya terbuka cukup lebar, mengangkang. Joy menoleh ke belakang, menatap gadis yang menundukkan kepala dengan kedua tangan bersedekap di perut. Langkah gadis itu seakan rapuh, yah dia yang menggagahi hingga membuatnya kesulitan berjalan. Lelaki tersebut masih memperhatikan langkah wanita muda tadi, merasa sangat lamban. Joy melebarkan mata bergegas meraih tubuh gadis yang hampir tersungkur ke bawah tersebut. “Hati-hati,” ujar Joy. “Terima kasih,” jawab Violet. Joy tersenyum, lelaki tersebut kemudian memapah Violet memasuki sebuah butik. Beberapa pengunjung menatap dengan Joy dengan perasaan terpukau, kagum, dia lelaki tampan mempesona, meski kemeja yang dikenakan terlihat lusuh, berpeluh, dia belum sempat mandi. Beberapa orang wanita saling berbisik, Joy t
Membantai para bawahan Arsen juga membakar ruang yang terhubung ke penjara bawah tanah, menghilangkan jejak. Menutup mulut para maid yang berada di sana dengan mengantongi identitas mereka, mengawasi keluarga masing-masing mereka tanpa terkecuali. Agar semua mulut bungkam, kejam yah satu kata itu yang dapat dikatakan kejam. Bahkan untuk seorang gadis berlesung pipit dengan rambut bergelombang. Iris mata terlihat hitam pekat, kulitnya kuning langsat khas orang pribumi dari kota tersebut. Menatap ke arah Joy dan Roland dengan senyum manis. Joy memandang ke arah Roland mencari jawaban, Roland mengedikkan bahu pertanda tidak tahu menahu. Manis, satu kata yang terlontar dalam pikiran Joy melihatnya. “Ah, maaf, Tuan, bisa saya meminta ijin pulang?” tanya gadis tersebut menundukkan kepala. “Hei, aku sudah katakan dari awal, selama seminggu ke depan kalian masih dalam pantauan kami!” ujar Rolan