Malam itu, ketika Zayn mendapatkan sinyal dari seseorang. Dia menyempatkan menghubungi Axelle, dengan penuh pertimbangan akhirnya Axelle menemui Zayn seorang diri mengingat keberadaan ayahnya juga butuh pengawasan. Mereka bersua di atas gedung Zayn Grub, lalu berangkat ke sebuah pulau terpencil menggunakan helikopter. Axelle ikut menyelinap ke dalam bangunan beserta Zayn dan anak buahnya, mereka berpencar. Mengendap masuk lewat sebuah jendela dengan beberapa anak buah Zayn.
Malam sunyi berubah mencekam, teriakan, suara tembak bersaut-sautan dengan erang kesakitan yang sambung menyambung dari tempat satu ke ruang lain. Pertarungan sengit adu tembak, membuat beberapa nyawa melayang. Suasana malam nan remang, dimana sorot lampu dalam gedung sangat tidak memadai. Sebagian lagi mulai berpencar, dari kejauhan lelaki itu melihat segerombolan orang berja
Jangan lupa komentarnya agar author semangat up date ya ☺🙏 Baca juga karya saya yang lain, Godaan Memikat
Lampu hanya terpasang di area fasilitas umum seperti, rumah sakit dan juga pos keamanan. Selebihnya jika waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, suasana akan terlihat gelap, lampu-lampu di rumah penduduk desa akan dimatikan. Kedatangan rombongan orang-orang yang mengendarai mobil mewah membuat warga sekitar berkerumun. Ada rasa asing mengingat perkampungan nelayan berada di garis kemiskinan. Mereka hidup dari hasil melaut. Malam gelap-gulita seperti itu kemudian beralih dengan kelap-kelip lampu mobil yang berseliweran memasuki kawasan rumah sakit. Axelle berdiri di hadapan pintu masuk bersama seorang nelayan baik hati yang menolong dia dan sang istri. Zayn keluar dari mobil berjalan mendekat, tatapan tajam membuat beberapa wanita yang berseragam dokter menelan saliva. Berbeda dengan kaum hawa, sebagian dari mereka melongo menatap lekat wajah gagah tersebut. Zayn saling berhadapan dengan Axelle, tatapan dingin Axelle sangat cocok dengan pa
Malam itu, suasana hening di resort Marvel, lelaki tua tersebut tengah duduk di sudut ranjang. Mia berjongkok di lantai, memberikan service terbaik dirinya kepada lelaki itu usai pergumulan panas mereka. Mulut tua itu meracau menikmati akhir dari pelepasan, tanpa rasa jijik Mia menelan habis cairan kental itu. Ketukan pintu membuat Marvel bangkit membenahi mantel tidurnya, Mia juga langsung mengambil pakaian yang berserakan di lantai. Gadis itu bergelayut dalam pangkuan Marvel tua, ketika seorang lelaki berpakaian setelan jas hitam masuk ke dalam kamar. “Saya membawa mereka, Tuan,” kata lelaki berkulit sawo matang dengan rambut keriting itu. “Seret mereka masuk!” perintah Marvel sembari mengusap pistol miliknya. Tatapan mata lelaki tua tersebut tajam menusuk. Dia mengatupkan giginya melihat Rachel dan juga R didorong. Tubuh kedua orang itu tersungkur, di lantai tepat di bawah kaki Marve
Teriakan memekik di ruangan yang lebih mirip gudang tersebut. Berdebu, dan terletak di ujung pojok belakang resort. Para lelaki itu mulai menarik hingga koyak kemeja yang Rachel kenakan. Bagian kancing baju sebagian terlepas saking kuatnya ditarik. Beberapa tangan berotot mulai menjamah tubuh mulus tersebut. Kali ini salah seorang melepas kasar bra yang menggantung hingga terasa nyeri di bagian punggung. Wajah-wajah bringas haus akan nafsu menatap tajam, seperti menguliti Rachel. Tatapan yang membuat Rachel semakin merinding ketakutan. Kedua tangan wanita itu di tarik paksa, telentang. Tubuhnya bak tumbal persembahan bagi para bajingan tersebut. Bagian dada yang telah polos itu menjadi sasaran remasan juga mulut para lelaki. "Tidak, lepaskan!" pekik Rachel. Rungu mereka seakan tuli, mereka terbakar nafsu birahi hingga kewarasan dan belas kasih tidak lagi tergugah. Hati mereka layaknya iblis, nyawa orang bagi
Seorang lelaki terikat kaki dan tangannya, tubuhnya tengkurap di lantai yang gelap dan pengap. Hari masih pagi kala itu tetapi ruangan cukup gelap. Hanya bagian atas, bagian celah ventilasi yang tembus sinar mentari. Lelaki itu terlihat lemas, bibirnya terasa kecut, kehausan. Kepala lelaki itu mendongak, menengok kanan kiri. Napasnya terasa berat. Krek! Suara pintu terbuka, menyembul lima orang yang mengenakan jas warna hitam, berjajar di sudut ruangan. Beberapa detik kemudian masuklah dua orang lelaki bersama seorang wanita, mereka melangkah berjalan mendekati ke arah depan. Seorang lelaki berusia matang dengan rambut klimis yang mengenakan setelan jas warna putih, duduk di sebuah kursi sofa yang ada di hadapan lelaki yang terkapar di lantai. Tatapannya masih terlihat tajam dalam samar gelap. Lelaki yang tengkurap di lantai itu mendongak, melihat ke bagian depan. Wajahnya nampak pias seketika menatap, wajah dingin orang-orang
"Pulangkan mayat lelaki tua itu ke rumahnya!" perintah Zayn. Lelaki itu kemudian bergegas masuk ke dalam mobil miliknya. Sang sopir melajukan mobil tersebut perlahan tapi pasti meninggalkan gedung terpencil di sudut kota B. Tatapan beringas itu sedikit melunak, menatap layar ponsel yang dia ambil dari saku jasnya. Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas, lelaki itu memperhatikan pesan yang masuk di aplikasi FastApp. Pesan Stela: [Papa, belikan Stela es cappucino cincau ketika pulang sore nanti] "Kita akan kemana, Tuan?" tanya sang sopir. "Rumah sakit," jawab Zayn tanpa menoleh. "Baik, Tuan," jawabnya. Cakrawala bersinar menerangi sebagian belahan dunia. Zayn merasa hidupnya terlihat sempurna, saking sempurna damainya, Zayn merasa khawatir. Putrinya sangat cantik, Arsen juga putra yang baik. Juga dia memiliki seor
Rambut ikal sebahunya tersapu angin, gadis yang mengenakan pakaian hitam itu masih terisak. Dia berhenti menoleh kembali ke arah pusara dengan kembang bertaburan di atasnya. Wanita itu kembali menangis, rindu masih terasa, seperti baru kemarin lelaki yang selalu menemani setiap langkahnya, mendukungnya ketika dia terpuruk, merasa terhina dengan perilaku tidak bermoral yang Marvel tua lakukan. Tangannya masih gemetaran, dada berdegup kencang, bahkan dia tidak nafsu makan sama sekali mengingat kejadian kemarin. Dia menjadi seorang pembunuh, dendam merasuk sukma, menjelma menjadi kebencian yang bertumpuk. Joy menatap wajah wanita di hadapannya. Di bawah pohon beringin, di pemakaman umum, keduanya saling terdiam, hanya isak tangis Rachel yang terdengar. Joy mendekat, jarak keduanya tinggal beberapa inci saja, lelaki itu dengan halus membelai rambut Rachel untuk kemudian menghapus lelehan air mata yang menetes di pipi.
Stela tengah duduk manis di kursi meja rias, Axelle membantunya mengeringkan rambut, wanita tersebut baru saja selesai mandi. Dengan penuh perhatian Axelle mengelus rambut sang istri. Dirinya sendiri sudah nampak rapi dalam balutan jas warna hitam. Setelah dirasa kering. Axelle berpamitan sebentar untuk ke ruang kerjanya. Mengingat baru pagi ini mereka baru kembali dari kediaman Zayn. Mertuanya itu selalu saja menjadi penghalang bagi Axelle, yah, musuh terberat bagi dirinya untuk meraih kembali sang istri. Melihat sang suami melenggang pergi, wanita mulai memoles wajah dengan make up tipis. Dia mengambil dress sabrina setinggi lutut dengan bagian dada terbuka. Melihat sudah cocok dan pas dia pun keluar. Mengulas senyum semanis madu, menghampiri Axelle yang sibuk menumpuk dokumen di ruang kerjanya. "Mas Sayang, mari kita berangkat," ajak Stela. "Sebentar," jawab Axelle tanpa menoleh. Lelaki tersebut masih menundu
Pintu apartemen terbuka, seorang lelaki yang mengenakan setelan jas warna hitam, menyembul masuk tanpa permisi seperti rumah sendiri. Dia berjalan menelusuri ruangan, tanpa dipersilahkan menuju dapur, seorang wanita yang berdiri sendiri tengah membuat teh hangat terkejut. Wanita cantik dengan rambut sebahu itu masih mengenakan mantel tidur. Dia menghentikan aktivitas mengaduk gula, keningnya mengernyit. Keduanya saling menatap dengan ekspresi wajah yang sama-sama canggung. "Hai, kau belum tidur?" tanya lelaki tersebut. "Anda, untuk apa malam-malam datang kemari Tuan Roland?" tanya wanita tersebut. Yah, lelaki itu adalah Roland, saat ini dia sedang berada di apartemen milik Joy. "Ah, panggil aku Roland saja Nona Rachel," ucap Roland tersenyum, dia berjalan mendekat ke arah meja. Meletakkan beberapa berkas lalu meraih gelas dan menuangkan air putih. "Ada beberapa berkas yang harus
Novel Baru Judul : Jaran Goyang Ratu Rengganis "Berikan aku ragamu, maka akan aku kabulkan segala keinginanmu, Rengganis.” Suara melantun itu membuat wanita berparas rupawan yang dipanggil Rengganis, menengadah dari posisi bersimpuh, menatap sosok wanita setengah tembus pandang yang melayang di hadapannya dengan kabut tebal menyelimuti tubuh wanita itu. Manik hitam segelap malam milik Rengganis terlihat basah, memancarkan kesedihan yang begitu dalam. Debu dan kotoran tebal menghiasi wajahnya, menunjukkan betapa tersiksa dan terabaikan dirinya untuk waktu yang cukup lama. Melihat keterpurukan Rengganis, wanita itu menyeringai, kakinya turun menapak tanah. “Aku bisa membantumu membalaskan dendam, entah kepada jalang bernama Madhavi … ataupun bajingan yang kau panggil Kakang Prabu Abra itu.” Rengganis mengepalkan tangan, membayangkan wajah kedua orang yang membuat hidupnya terasa bak neraka. Namun, melihat kabut hitam yang menyelimuti wanita di hada
Axelle menoleh ke arah sumber suara, ada Mirza dan juga Marvel. Keduanya berjalan mendekat, Axelle sedikit terkejut, baru saja dia memikirkan anak malang itu kini telah berada di hadapannya beserta sang ayah. Axelle menyalami keduanya, saling bercanda dan juga bertukar kabar. Axelle lalu mengajak mereka menyusuri balkon dan kemudian turun melewati anak tangga menuju taman di samping kediaman megah tersebut. harum bunga mawar menguar tercium ketika mereka berjalan menapaki tanah basah yang baru saja disiram oleh para maid. Bunga-bunga indah tumbuh subur berkat perawatan yang baik pula. Mereka berjalan melewati pohon mangga kenangan. Axelle menoleh ke arah Mirza lalu tersenyum, Mirza yang tidak tahu apa-apa membalas senyuman Axelle seadanya. Mereka kemudian duduk di saung menikmati matahari sore. Warna jingga itu terlihat menenangkan, yah, tenang. Setelah kekacauan yang terjadi selama ini. Ketiga orang yang tengah mengalami hal tidak mengenakkan. Mereka paham
Sampai di rumah Axelle segera memeluk sang istri, dia mengangkat lalu memutar tubuh Stela bersama dengan dirinya. Kebahagiaan tiada tara yang tercurah. Layaknya selongsong kosong kini menumpuk bernas kebahagiaan yang semakin bertambah. Ada benih di dalam rahim sang istri yang harus dijaga kini. Sungguh sesuatu yang sangat tidak terkira. Kembali pada masa lalu pertemuan keduanya yang tidak pernah terduga. Auristela gadis mungil teman anaknya, yah, gadis yang selalu bersama Mirza. Lebih tepatnya, Mirza yang selalu menyeret gadis tersebut ke mana pun dia pergi. Axelle yang awalnya mengira Freya adalah cinta sejatinya, siapa yang menyangka wanita tersebut mengkhianati dan mempermainkan perasaan dirinya juga Marvel Junior, ayah biologis dari Mirza. Hidup layaknya bianglala yang berputar, begitu pula dengan takdir yang semestinya memang harus terjadi. Kehidupan ibarat topeng yang menyembunyikan jati diri. Dunia bawah penuh kekejaman, mem
Rafael tersenyum dengan kebahagiaan yang dirasakan Stela, hasil pemeriksaan menyatakan Stela sehat. Rafael mengernyitkan kening melihat senyum Stela itu berubah sedikit menyeramkan, dia seolah melihat aura Zayn dari dalam diri wanita muda yang duduk manis di hadapannya. Dingin AC tidak membuatnya dingin, Rafa kesulitan bernapas juga mendadak, aura ruangan menyeramkan, keringat dingin mengucur di pelipis. “Ini pasti akan menjadi kejutan bagi Mas Axelle dan juga Papa,” kelakar Stela. “Mereka, mereka pasti akan bahagia,” ujar Rafael terbata. ‘Astaga, kenapa aku jadi segugup ini dengan seorang wanita muda, sangat menyeramkan, apakah semua keturunan darah biru memang memiliki aura mematikan,’ keluh Rafa dalam benaknya sendiri. “Lebih tepatnya mungkin mereka akan terkejut,” ujar Stela. “Apa!” pekik Rafael. “Dokter
Pagi hari ketika bangun tidur, Stela merasa enggan sekali bangkit. Tubuh terasa benar-benar nyeri dan remuk, dia mengamati sekeliling. Sang suami tidak ada di sampingnya, terdengar suara bunyi air di kamar mandi. Wanita muda itu tersenyum lalu meraup wajahnya dengan kedua tangan. Axelle keluar dari kamar mandi dengan keadaan basah dan hanya mengenakan handuk seukuran pinggang. Lelaki tersebut tersenyum sumringah melihat Stela melambaikan tangan. “Selamat pagi, istriku,” sapa Axelle berjalan mendekati ranjang. Lelaki tersebut duduk di samping lalu mengecup kening sang istri dengan sayang. Wajah sang istri nampak lesu dan kelelahan. “Tidurlah lagi jika masih mengantuk!” perintah Axelle mengumbar senyum. Stela menggeleng, dia berusaha beringsut bangkit namun, perutnya terasa nyeri. “Aw!” pekiknya, membuat dirinya meringis, Axelle yang melihat gelagat aneh langsung membantu sang istri duduk. &nb
Assalamu'alaikum Halo, saya author KarRa. Dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf tidak bisa up date untuk beberapa hari ke depan. Baik Love Sugar Daddy mau pun Godaan Memikat. Saat ini author sedang sakit, mohon do'anya agar cepat pulih untuk bisa melanjutkan up date seperti biasanya 🙏 Untuk giveaway menuju akhir Love Sugar Daddy masih berjalan dengan semestinya ya, dan pemenang yang mendapat souvenir akan diumumkan ketika novel tersebut Tamat. Tetap ikuti selalu ya guys, untuk informasi lebih lanjut bisa lihat di akun sosial media author. Add: KarRa atau Follow: @karra_lovely. Sekian dan terima kasih, sekali lagi mohon maaf yang sebesar-besarnya 🙏
Joy mengganti pakaian di kamar mandi. Dia mengingat beberapa serpihan masa lalu, ketika sang ibu menyuruh untuk mencari kebenaran tentang kematian Nyonya Zeroun. Semua bukti tertutup rapat, lebih gila lagi, saat semua ditemukan segalanya mengarah kepada Zayn. Joy yang notabene putra kedua berbeda ibu tersebut, menjelajahi tempat-tempat kumuh, lontang-lantung mirip gelandangan. Hingga takdir mempertemukan dengan Roland, sang sahabat karib, perbedaan kasta tidak membuat mereka saling mendominasi. kerja sama yang baik mampu menumbuhkan terasa kekeluargaan bagi dirinya dan juga Roland. Begitu keras Olivia mendidik putranya agar mampu menjadi pelindung dan calon pemimpin dari dunia bawah yang Olivia geluti. Maut menjadi lawan seimbang bagi Joy yang pernah beberapa kali hampir mati. Bagi orang yang diinginkan, Joy menampakkan sosok lembut, konyol dan baik hati. Namun, bagi lawan, Joy seperti sosok iblis yang siap mencincang habis mangsanya. Lelaki t
Gadis itu meringis kesakitan, hal wajar itu pengalaman pertama baginya. Saat hendak melangkah, jalannya seperti tidak lagi sama, kakinya terbuka cukup lebar, mengangkang. Joy menoleh ke belakang, menatap gadis yang menundukkan kepala dengan kedua tangan bersedekap di perut. Langkah gadis itu seakan rapuh, yah dia yang menggagahi hingga membuatnya kesulitan berjalan. Lelaki tersebut masih memperhatikan langkah wanita muda tadi, merasa sangat lamban. Joy melebarkan mata bergegas meraih tubuh gadis yang hampir tersungkur ke bawah tersebut. “Hati-hati,” ujar Joy. “Terima kasih,” jawab Violet. Joy tersenyum, lelaki tersebut kemudian memapah Violet memasuki sebuah butik. Beberapa pengunjung menatap dengan Joy dengan perasaan terpukau, kagum, dia lelaki tampan mempesona, meski kemeja yang dikenakan terlihat lusuh, berpeluh, dia belum sempat mandi. Beberapa orang wanita saling berbisik, Joy t
Membantai para bawahan Arsen juga membakar ruang yang terhubung ke penjara bawah tanah, menghilangkan jejak. Menutup mulut para maid yang berada di sana dengan mengantongi identitas mereka, mengawasi keluarga masing-masing mereka tanpa terkecuali. Agar semua mulut bungkam, kejam yah satu kata itu yang dapat dikatakan kejam. Bahkan untuk seorang gadis berlesung pipit dengan rambut bergelombang. Iris mata terlihat hitam pekat, kulitnya kuning langsat khas orang pribumi dari kota tersebut. Menatap ke arah Joy dan Roland dengan senyum manis. Joy memandang ke arah Roland mencari jawaban, Roland mengedikkan bahu pertanda tidak tahu menahu. Manis, satu kata yang terlontar dalam pikiran Joy melihatnya. “Ah, maaf, Tuan, bisa saya meminta ijin pulang?” tanya gadis tersebut menundukkan kepala. “Hei, aku sudah katakan dari awal, selama seminggu ke depan kalian masih dalam pantauan kami!” ujar Rolan