Tuan besar Marvel berkunjung ke kediaman Zeroun pada malam hari, usai menghadiri pesta di tempat Fabian. Dia yang melihat beberapa pengawal Zeroun berlarian di gedung baru milik pengusaha luar kota tersebut, memutuskan untuk mampir sejenak. Dengan rencana bertukar informasi. Zeroun dan Axelle masih serius berdiskusi dengan beberapa keluarga lainnya, di ruang kerja Zeroun ketika Tuan Marvel masuk.
"Selamat datang Tuan Marvel," sapa Axelle.
"Selamat malam semua," sapa Marvel tua.
Tuan Marvel tersenyum ramah, dia melepas mantel bulu juga topi koboi yang dikenakan, yang langsung diraih oleh seorang maid. Wanita yang mengenakan pakaian maid, dress warna navy bernama Lily itu terlihat membungkuk, lalu
Suasana beberapa titik di kediaman Zayn nampak sepi, hanya ada beberapa bodyguard berlalu lalang. Itu terekam jelas di mini kamera yang terhubung langsung dengan laptop milik Joy. Masih di ruangan yang sama ketika Tuan Marvel tua baru berkunjung. Zeroun dan yang lain tetap berada di tempat. Mereka duduk di sofa dengan tatapan mengarah pada layar laptop. Axelle berulang kali menggeleng kepala lalu mengumpat. Ada sedikit rasa sesak mengingat dia membiarkan begitu saja sang istri di kediaman musuh bebuyutannya. Tangannya mengepal, dia bangkit dari duduk. "Sial!" pekik Axelle, dadanya kembang kempis menahan marah, giginya mengatup hingga terdengar bergemeletuk. Kaki panjang itu hendak melangkah pergi namun, dicegah oleh Joy yang duduk di sampingnya. "Tenanglah Kak, aku yakin Kakak Ipar
Pagi hari dingin yang Axelle lalui tanpa Stela di sisi. Hampir tidak tidur dia semalam, memandangi layar monitor, dimana dalam layar tersebut memperlihatkan bagian kediaman Zayn. Baru subuh tadi dia lelaki tersebut kembali ke dalam kamar. Tubuh terasa penat, mata sayu, tanpa melepas sepatu juga kemeja, Axelle langsung rebah. Terlelap dengan perasaan kacau balau, dan kini terbangun dalam keadaan tidak nyaman. Tangan berototnya meraba kasur yang terasa dingin. 'Stela,' bisik Axelle. Lelaki itu melebarkan mata lalu bangkit. Mengingat dia harus segera menuju kediaman Zayn. Axelle bergegas ke kamar mandi, membasuh tubuh secepat mungkin. Yah, hanya untuk mandi tanpa mencukur kumis juga jambang yang baru tumbuh di antara pipi bagian bawah. Lelaki yang biasa terlihat ganteng maksimal kini nampak abai. Pikiran Axelle terfokus pada sang istri. Lelaki itu tengah mengancingkan jas ketika terdengar suara ketukan pintu. Axelle
Axelle menaiki tangga diantarkan anak buah Zay. Jantungnya berdebar kencang begitu khawatir kepada sang istri. Lelaki berpakaian jas hitam tersebut membukakan pintu sebuah kamar. Mempersilahkan Axelle masuk ke dalam. Beberapa saat lalu, sebelum Axelle berada di ambang pintu. Axelle sempat bersitegang dengan Zayn. Hampir lepas kendali dan memukul wajah pesaingnya itu. Jika saja tidak ingat ada banyak anak buah Zayn di sekeliling. Axelle mengepalkan kedua tangan. Zayn berada di hadapannya bersedekap. "Bawa tamu kita menemui sang istri," ujar Zayn. Axelle tercengang mendengar penuturan Zayn. "Anda tidak sedang berseloroh?" tanya Axelle. "Aku beri kalian waktu hingga makan siang, setelahnya temui aku di gazebo belakang," ucap Zayn melenggang pergi. Axelle mengangkat kedua tangan ke udara. "Apa yang sebenarnya orang itu pikirkan?" keluh Axelle
Axelle duduk di sebuah kursi sofa warna putih bersih di sebuah gazebo modern, berhadapan dengan Zayn. Tatapan keduanya sama-sama tajam. Seperti mengisyaratkan perang dingin. Terlihat seperti seekor singa berhadapan dengan macan, sama-sama pemangsa. Arsen yang melihat kedua orang tersebut okut membeku dalam aura menakutkan yang terselubung. Bulu kuduk meremang, dia merasa gugup sendiri. Dia berjalan mendekat, lalu duduk di sofa tunggal. Kedua lelaki tersebut masih terdiam, hanya suara kunyahan Arsen yang terdengar, sengaja pemuda itu mengunyah kacang atom dengan sangat keras. Axelle menoleh ke arah Arsen, menatap pemuda itu dengan tatapan tidak dapat diartikan. "Kenapa, Om?" tanya Arsen mengangkat-angkat kedua alisnya. "Kalian lanjut saja sesi saling menatap, silahkan. Saya berjanji tidak akan mengganggu, anggap saya tidak ada, ok," kelakar Arsen.
Siang itu Zeroun tengah berada di rumah menanti kedatangan Axelle dengan was-was. Lelaki tua itu mondar-mandir di ruang kerja, perasaannya benar-benar tidak enak, cemas bercampur khawatir. Sesekali dia duduk di sofa kebesaran miliknya lalu kembali lagi duduk dengan tenang. Joy bersama Olivia masih berada di kantor membereskan segala kendala sejak pagi, ketika Axelle tidak berada di tempat. Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Zeroun. Lelaki tersebut menoleh ke arah pintu lalu tersenyum. "Kau datang?" tanya Zeroun mengulas senyum, menatap tubuh tinggi lelaki yang berdiri di ambang pintu. "Anda terlihat khawatir, Tuan Zeroun," ucap lelaki tersebut. Zeroun mengangguk, "Iya, Axelle masih berada di kediaman Zayn, menyusul sang istri," ucapnya kemudian. "Semoga Stela cepat dibawa Axelle pulang," kata lelaki itu tersenyum smirk, senyum yang tidak mampu diartikan.
Pistol itu terlihat tepat di pelipis Zeroun, lelaki tua itu menelan saliva dengan susah payah. Kedua tangannya terangkat ke belakang kepala, dia lebih berhati-hati bergerak tidak mungkin bertindak gegabah mengingat bahaya yang mengancam. Sudah sangat lama Zeroun tidak merasakan perasaan mendebarkan ketika muda dahulu. Sangat menegangkan, keringat dingin menetes di pelipis. Sang lawan yang mengarahkan senjata api mulai menarik pelatuk. Kesabaran lelaki tersebut mulai habis ketika mendapati Zeroun diam seribu bahasa tidak mau berucap. Dia menendang tubuh tua Zeroun hingga tersungkur ke lantai. Lelaki tua tersebut menopang tubuh, hendak bangkit. Pistol diarahkan tepat ke arah kening Zeroun. Saat bersamaan, Marvel Junior menerobos masuk ke dalam ruang kerja Zeroun yang tidak terkunci. Dor! Tembakan lelaki tersebut melesak ke plafon. Marvel Junior sigap menarik tangan lelaki tersebut ke arah atas. Sedikit pertarungan sengit memperebu
Dering ponsel menambah gaduh Zayn yang tengah menyaksikan perdebatan tidak penting antara putranya juga sang menantu. Dia memijit pelipis lalu meraih ponsel. Tertera nama "pengawal" di layar ponsel Zayn. Dia menghela napas lalu mengangkat panggilan. "Ada apa?" tanya Zayn tidak pakai lama. Mata tajam itu menatap ke arah Axelle. Dia mengangkat tangan ke udara lalu mengepal. Semua yang mengerti kode tersebut diam. Menunggu dengan cemas apa yang akan dikatakan Zayn. "Kau panggil anak buahmu yang lain, urus semua. Kami akan berangkat kesana sekarang," imbuh Zayn. Dia meletakkan ponsel di saku untuk kemudian menatap nyalang ke arah depan. "Kita ke tempatmu Axelle!" tutah Zayn. Degh! Jantung Axelle mendadak seperti berhenti. Ada rasa cemas bercampur rasa sakit menyesakkan. Dadanya bergemuruh seketika, padahal Zayn tidak mengatakan hal apapun, akan tetapi dia merasakan hal berbeda. Mereka berencana untuk pergi. Begitu juga deng
Rumah sebesar itu nampak sepi, semua maid sibuk untuk melakukan pekerjaan masing-masing. Yah, itu yang Stela lihat sejak dahulu, tidak ada yang berubah. Melakukan pekerjaan dengan diam karena Zayn tidak suka keributan. Kediaman mewah milik Zayn belum tidak ubahnya kastil terpencil yang cocok untuk menyendiri. Maid dan juga beberapa bodyguard silih berganti sesuai jadwal. Berpatroli tiap menit tiap detik, Stela memperhatikan jam di dinding kamar, dia kinintengah berada di meja dengan setumpuk kertas menyelesaikan proyek komik terbaru miliknya 'Godaan Memikat' judul itu terpampang jelas di lembar kertas hvs, dimana ada beberapa karakter tergambar di komik tersebut. Stela tersenyum dia bangkir dari duduk membuat kursi berderik. Wanita muda tersebut membalikkan badan ke arah ranjang, dia terkekeh melihat ranjangnya porak poranda. Stela lupa menyuruh orang merapikan tempat tersebut, bukti dari persetubuhan yang tadi pagi dia lakukan dengan sang s
Novel Baru Judul : Jaran Goyang Ratu Rengganis "Berikan aku ragamu, maka akan aku kabulkan segala keinginanmu, Rengganis.” Suara melantun itu membuat wanita berparas rupawan yang dipanggil Rengganis, menengadah dari posisi bersimpuh, menatap sosok wanita setengah tembus pandang yang melayang di hadapannya dengan kabut tebal menyelimuti tubuh wanita itu. Manik hitam segelap malam milik Rengganis terlihat basah, memancarkan kesedihan yang begitu dalam. Debu dan kotoran tebal menghiasi wajahnya, menunjukkan betapa tersiksa dan terabaikan dirinya untuk waktu yang cukup lama. Melihat keterpurukan Rengganis, wanita itu menyeringai, kakinya turun menapak tanah. “Aku bisa membantumu membalaskan dendam, entah kepada jalang bernama Madhavi … ataupun bajingan yang kau panggil Kakang Prabu Abra itu.” Rengganis mengepalkan tangan, membayangkan wajah kedua orang yang membuat hidupnya terasa bak neraka. Namun, melihat kabut hitam yang menyelimuti wanita di hada
Axelle menoleh ke arah sumber suara, ada Mirza dan juga Marvel. Keduanya berjalan mendekat, Axelle sedikit terkejut, baru saja dia memikirkan anak malang itu kini telah berada di hadapannya beserta sang ayah. Axelle menyalami keduanya, saling bercanda dan juga bertukar kabar. Axelle lalu mengajak mereka menyusuri balkon dan kemudian turun melewati anak tangga menuju taman di samping kediaman megah tersebut. harum bunga mawar menguar tercium ketika mereka berjalan menapaki tanah basah yang baru saja disiram oleh para maid. Bunga-bunga indah tumbuh subur berkat perawatan yang baik pula. Mereka berjalan melewati pohon mangga kenangan. Axelle menoleh ke arah Mirza lalu tersenyum, Mirza yang tidak tahu apa-apa membalas senyuman Axelle seadanya. Mereka kemudian duduk di saung menikmati matahari sore. Warna jingga itu terlihat menenangkan, yah, tenang. Setelah kekacauan yang terjadi selama ini. Ketiga orang yang tengah mengalami hal tidak mengenakkan. Mereka paham
Sampai di rumah Axelle segera memeluk sang istri, dia mengangkat lalu memutar tubuh Stela bersama dengan dirinya. Kebahagiaan tiada tara yang tercurah. Layaknya selongsong kosong kini menumpuk bernas kebahagiaan yang semakin bertambah. Ada benih di dalam rahim sang istri yang harus dijaga kini. Sungguh sesuatu yang sangat tidak terkira. Kembali pada masa lalu pertemuan keduanya yang tidak pernah terduga. Auristela gadis mungil teman anaknya, yah, gadis yang selalu bersama Mirza. Lebih tepatnya, Mirza yang selalu menyeret gadis tersebut ke mana pun dia pergi. Axelle yang awalnya mengira Freya adalah cinta sejatinya, siapa yang menyangka wanita tersebut mengkhianati dan mempermainkan perasaan dirinya juga Marvel Junior, ayah biologis dari Mirza. Hidup layaknya bianglala yang berputar, begitu pula dengan takdir yang semestinya memang harus terjadi. Kehidupan ibarat topeng yang menyembunyikan jati diri. Dunia bawah penuh kekejaman, mem
Rafael tersenyum dengan kebahagiaan yang dirasakan Stela, hasil pemeriksaan menyatakan Stela sehat. Rafael mengernyitkan kening melihat senyum Stela itu berubah sedikit menyeramkan, dia seolah melihat aura Zayn dari dalam diri wanita muda yang duduk manis di hadapannya. Dingin AC tidak membuatnya dingin, Rafa kesulitan bernapas juga mendadak, aura ruangan menyeramkan, keringat dingin mengucur di pelipis. “Ini pasti akan menjadi kejutan bagi Mas Axelle dan juga Papa,” kelakar Stela. “Mereka, mereka pasti akan bahagia,” ujar Rafael terbata. ‘Astaga, kenapa aku jadi segugup ini dengan seorang wanita muda, sangat menyeramkan, apakah semua keturunan darah biru memang memiliki aura mematikan,’ keluh Rafa dalam benaknya sendiri. “Lebih tepatnya mungkin mereka akan terkejut,” ujar Stela. “Apa!” pekik Rafael. “Dokter
Pagi hari ketika bangun tidur, Stela merasa enggan sekali bangkit. Tubuh terasa benar-benar nyeri dan remuk, dia mengamati sekeliling. Sang suami tidak ada di sampingnya, terdengar suara bunyi air di kamar mandi. Wanita muda itu tersenyum lalu meraup wajahnya dengan kedua tangan. Axelle keluar dari kamar mandi dengan keadaan basah dan hanya mengenakan handuk seukuran pinggang. Lelaki tersebut tersenyum sumringah melihat Stela melambaikan tangan. “Selamat pagi, istriku,” sapa Axelle berjalan mendekati ranjang. Lelaki tersebut duduk di samping lalu mengecup kening sang istri dengan sayang. Wajah sang istri nampak lesu dan kelelahan. “Tidurlah lagi jika masih mengantuk!” perintah Axelle mengumbar senyum. Stela menggeleng, dia berusaha beringsut bangkit namun, perutnya terasa nyeri. “Aw!” pekiknya, membuat dirinya meringis, Axelle yang melihat gelagat aneh langsung membantu sang istri duduk. &nb
Assalamu'alaikum Halo, saya author KarRa. Dengan segala kerendahan hati, saya mohon maaf tidak bisa up date untuk beberapa hari ke depan. Baik Love Sugar Daddy mau pun Godaan Memikat. Saat ini author sedang sakit, mohon do'anya agar cepat pulih untuk bisa melanjutkan up date seperti biasanya 🙏 Untuk giveaway menuju akhir Love Sugar Daddy masih berjalan dengan semestinya ya, dan pemenang yang mendapat souvenir akan diumumkan ketika novel tersebut Tamat. Tetap ikuti selalu ya guys, untuk informasi lebih lanjut bisa lihat di akun sosial media author. Add: KarRa atau Follow: @karra_lovely. Sekian dan terima kasih, sekali lagi mohon maaf yang sebesar-besarnya 🙏
Joy mengganti pakaian di kamar mandi. Dia mengingat beberapa serpihan masa lalu, ketika sang ibu menyuruh untuk mencari kebenaran tentang kematian Nyonya Zeroun. Semua bukti tertutup rapat, lebih gila lagi, saat semua ditemukan segalanya mengarah kepada Zayn. Joy yang notabene putra kedua berbeda ibu tersebut, menjelajahi tempat-tempat kumuh, lontang-lantung mirip gelandangan. Hingga takdir mempertemukan dengan Roland, sang sahabat karib, perbedaan kasta tidak membuat mereka saling mendominasi. kerja sama yang baik mampu menumbuhkan terasa kekeluargaan bagi dirinya dan juga Roland. Begitu keras Olivia mendidik putranya agar mampu menjadi pelindung dan calon pemimpin dari dunia bawah yang Olivia geluti. Maut menjadi lawan seimbang bagi Joy yang pernah beberapa kali hampir mati. Bagi orang yang diinginkan, Joy menampakkan sosok lembut, konyol dan baik hati. Namun, bagi lawan, Joy seperti sosok iblis yang siap mencincang habis mangsanya. Lelaki t
Gadis itu meringis kesakitan, hal wajar itu pengalaman pertama baginya. Saat hendak melangkah, jalannya seperti tidak lagi sama, kakinya terbuka cukup lebar, mengangkang. Joy menoleh ke belakang, menatap gadis yang menundukkan kepala dengan kedua tangan bersedekap di perut. Langkah gadis itu seakan rapuh, yah dia yang menggagahi hingga membuatnya kesulitan berjalan. Lelaki tersebut masih memperhatikan langkah wanita muda tadi, merasa sangat lamban. Joy melebarkan mata bergegas meraih tubuh gadis yang hampir tersungkur ke bawah tersebut. “Hati-hati,” ujar Joy. “Terima kasih,” jawab Violet. Joy tersenyum, lelaki tersebut kemudian memapah Violet memasuki sebuah butik. Beberapa pengunjung menatap dengan Joy dengan perasaan terpukau, kagum, dia lelaki tampan mempesona, meski kemeja yang dikenakan terlihat lusuh, berpeluh, dia belum sempat mandi. Beberapa orang wanita saling berbisik, Joy t
Membantai para bawahan Arsen juga membakar ruang yang terhubung ke penjara bawah tanah, menghilangkan jejak. Menutup mulut para maid yang berada di sana dengan mengantongi identitas mereka, mengawasi keluarga masing-masing mereka tanpa terkecuali. Agar semua mulut bungkam, kejam yah satu kata itu yang dapat dikatakan kejam. Bahkan untuk seorang gadis berlesung pipit dengan rambut bergelombang. Iris mata terlihat hitam pekat, kulitnya kuning langsat khas orang pribumi dari kota tersebut. Menatap ke arah Joy dan Roland dengan senyum manis. Joy memandang ke arah Roland mencari jawaban, Roland mengedikkan bahu pertanda tidak tahu menahu. Manis, satu kata yang terlontar dalam pikiran Joy melihatnya. “Ah, maaf, Tuan, bisa saya meminta ijin pulang?” tanya gadis tersebut menundukkan kepala. “Hei, aku sudah katakan dari awal, selama seminggu ke depan kalian masih dalam pantauan kami!” ujar Rolan