Senyumku terkembang ketika melihat bayangan diri di cermin. Hari ini fitting baju pengantin. Ada empat baju yang akan kami kenakan di hari bahagia nanti. Satu baju untuk akad, dan tiga baju untuk resepsi.
Pada saat akad, baju yang kugunakan berupa kebaya panjang berwarna putih. Sedangkan Mas Kusuma akan mengenakan Jas hitam. Saat resepsi, baju yang dipilih berupa pakaian khas melayu, jawa, dan kebaya panjang hijau untuk dipadankan dengan PDU 1 Mas Kusuma.
“Cantik,” komentarnya ketika kucoba setiap baju.
“Kamu suka? Kalau gak suka, kita coba yang lain,” lanjutnya.
“Aku suka, Mas,” jawabku cepat, “terima kasih, ya, Mas,” lanjutku. Aku benar-benar merasa diperlakukan bagai ratu olehnya.
“Sama-sama. Yang penting kamu bahagia,” balasnya. Aku memang bahagia, meskipun ada satu lubang yang tak terisi. Entah bagaima
Saung ini tidaklah luas. Kursi pelaminan terletak pada sisi kanan dari jalan masuk. Berdampingan dengan pelaminan itu terdapat organ tunggal sebagai hiburan acara ini. Seorang laki-laki berpakaian semiformal stand by duduk di sana. Tempat akad dilangsungkan terletak tepat di depan kursi pelaminan itu.Suasana saung terasa khidmat dengan music religi yang diputar pelan. Seorang MC membawakan acara dengan kesan formal. Prosesi sacral itu diawali dengan lantunan ayat suci, Surah An-Nisa ayat 1.Akhirnya, akad nikahku berwalikan orang yang memang berhak secara utuh. Orang yang memang kuharapkan untuk itu. Orang yang menjadi perantara aku ada di dunia, yang selama ini memegang tanggung jawab atasku. Hari ini tanggung jawab itu akan beliau serahkan secara langsung kepada laki-laki lain melalui ijab qabul.Bayu berembus tidak terlalu kencang. Hanya lembut membelai setiap raga yang hadir. Cuaca sepertinya demikian
PoV KusumaTidak mengapa jika nanti kita tidak punya waktu untuk selalu bersama, yang penting kita selalu punya banyak waktu untuk mengenang indahnya kebersamaan kita saat ini.==============Malam.Aku menatap wajahnya yang terlelap sambil tersenyum bahagia. Tak henti hati dan bibir ini mengucap syukur, akhirnya dia menjadi milikku utuh. Secara agama, kantor, dan negara.Jari tanganku mengusap lembut pipi squishy-nya. Dengkurannya terdengar halus menyapu telinga. Aku menyukai suaranya. Bagiku seperti irama yang mendamaikan. Dengkurannya seolah menyampaikan bahwa tidurnya benar-benar lelap dan aku merasa senang mengetahui hal itu.Dia terlihat benar-benar lelah setelah seharian melewati rangkaian pesta pernikahan kami. Meskipun tampak begitu lelah, rona bahagia jelas terpancar di wajahnya.Dia memang sangat bahagia, setidaknya begitu menurut pengakuann
Mas Kusuma berdiri di depan pintu kamar dengan wajah sedikit heran saat melihatku masih duduk malas di tepi tempat tidur setelah berpakaian rapi."Lho, kok, malah duduk lagi. Ayo berangkat," ucapnya.Hari dia mengajak untuk mengurus kartu penunjukkan istri prajurit. Sebenarnya ini bisa kuurus sendiri. Namun, Mas Kusuma tidak ingin aku repot bolak balik sendiri. Sebab, rumah kami cukup jauh dari batalyon. Kami tinggal di rumah pribadi, bukan di perumahan prajurit yang terletak di lingkungan batalyon.Kami hanya mengambil blanko. Perlu waktu beberapa lama untuk proses pengajuan. Kartu penunjukkan istri sangat penting. Terutama untuk penyelesaian urusan administrasi keprajuritan, serta klaim hak-hak sebagai istri prajurit."Malas," sahutku asal.Bagaimana tidak malas? Jika dia memaksa untuk segera mengurus semua berkas itu dengan alasan dia akan berangkat tugas.
Tidak perlu banyak kata lagi tentang cinta dan setia. Ketika semua sudah pada tempatnya, maka tidak ada yang bisa menukarnya lagi. Seperti matahari untuk siang, dan rembulan untuk malam. Semua setia pada posisi masing-masing. Maka aku untukmu, juga akan setia pada tempatku.======="Mas cemburu, ya?" Aku bertanya menggoda. Entah mengapa, kali ini aku suka melihat ekspresi cemburunya.Laki-laki itu mendelik, membuatku terkekeh geli. Kutarik tangan agar lepas dari genggamannya, bukan benar-benar ingin lepas, melainkan hanya untuk menggodanya."Diam, kenapa?" Dia berdecak kesal sambil mengeratkan genggaman. Aku semakin cekikikan."Jangan khawatir, Mas. Dia gak akan berani mengambil aku dari Mas."Ia menoleh, menatap dengan dahi mengernyit. Sorot matanya seolah bertanya, "Oh, ya? Benarkah?""Iya. Mana berani dia sama Mas. Garang, gitu!" teran
Malam ini kami berkumpul dalam keluarga besar. Sehabis sholat magrib kami menikmati makan malam bersama.“Mau disuapi, Mama,” pinta Nadin sambil menyodorkan piringnya padaku. Padahal beberapa suap pertama telah masuk secara mandiri.“Sama ayah saja, ya,” tawar Mas Kusuma sambil mengambil alih piring yang mengarah padaku.“Gak mau, maunya sama Mama,” lagi-lagi anak itu menolak membuat laki-laki disampingku melengos dan semua yang hadir tertawa.“Ayah sekarang kalah saing,” imbuh ibu mertua di sela tawanya.“Iya, tapi tidak apa. Saya bahagia Anin mau menerima Nadin dengan baik. Terima kasih, Sayang,” ucap laki-laki itu tulus padaku.Aku hanya mengangguk sembari menyuapi gadis lima tahun yang duduk di antara aku dan Mas Kusuma. Sambil aku pun menyuap makanan sendiri.“Besok ba
Aku menatapnya nanar. Tanyanya membuatkumerasakan kembali perihnya luka yang sudah terendap empat tahun silam. Saat ini, kurasakan luka itu ternyata masih terbuka.“Bolehkah saya mengetahuinya, Anin? Maaf, saya ingkar. Saya telah berjanji untuk tidak akan mengungkit cerita ini lagi, tapi mengetahui keluargamu mengenal Ilham, rasa ingin tahu saya hadir kembali," pintanya sambil menatapku sendu, "Saya hanya ingin tahu, agar tidak ada lagi tanya yang mengganjal di kemudian hari."Aku menghela napas dalam berulang kali. Aku pun sebenarnya ingin menceritakan semua ini secara tuntas. Akan tetapi, untuk mengingat kejadian itu saja rasanya aku tidak mampu, apalagi harus menceritakan detail peristiwanya. Seluruh sendiku terasa luruh. Aku tidak mampu.“Jika memang dia orangnya apa yang akan Mas lakukan? Apa Mas akan menyesal dan meninggalkanku?” tanyaku pelan.“Ceritakan,
Malam ini, selepas shalat magrib aku menemaninya menyiapkan perbekalan untuk pra tugas.Selama empat belas hari, dia akan menerima materi dan latihan di Kompi Markas sebagai persiapan sebelum berangkat ke medan tugas yang sebenarnya.“Apa harus begini isi tasnya, Mas?” tanyaku ketika membantunya menyiapkan protap.Protap adalah perlengkapan di dalam tas yang selalu tersandang di punggung prajurit ketika dalam tugas.Isinya pakaian PDL dengan sepatunya, perlengkapan mandi, perlengkapan shalat, mie instan, sarden, sandal jepit, tempat minum, rantang makanan, juga perlengkapan-perlengkapan militer yang aku tidak paham apa nama dan fungsinya.Ada satu yang menarik perhatianku, yaitu sebuah benda yang menyerupai kotak kosmetik. Saat kubuka, isinya ternyata memang benar-benar seperti kosmetik.Bentuknya persegi panjang yang i
Aku duduk sambil memeluk Nadin di salah satu sudut pelabuhan. Setelah dua minggu menjalani pra tugas, ditambah dua minggu masa senggang untuk persiapan, hari ini satuan tugas itu berangkat untuk memenuhi panggilan ibu pertiwi.Para prajurit itu berangkat dengan mengemban suatu misi di daerah konflik yang ada di tanah air. Menjaga keamanan dan keperkasaan sang merah putih untuk tetap berkibar.Tujuan utama mereka bukanlah berperang. Satuan tugas itu justru menebar misi perdamaian, menanamkan cinta tanah air, sehingga harapannya tidak hanya membasmi anggota gerakan pengacau keamanan melainkan membunuh akar-akar itu dari hati masyarakat.Suasana pelabuhan cukup ramai. Dari berbagai sudut, terlihat banyak istri para prajurit lain yang datang untuk mengantar bersama anak-anak mereka. Kami sedang menunggu suami masing-masing yang sedang menerima pengarahan dari Kasdam di atas kapal.