"Saya berangkat," pamitnya.
Laki-laki itu berdiri di hadapanku yang sedang duduk di sisi tempat tidur, memperhatikannya yang sejak tadi merapikan PDL yang ia kenakan.
Sambil mengulurkan tangan, ia mendekat, memintaku menciumnya takzim.
Setelah pulang dari korem kemarin, keesokan harinya dia kembali ke batalyon, menghadap perwira seksi lidik untuk melaporkan berkas yang telah kami urus. Kemudian pada malam harinya kami menghadap komandan dan wakil. Kebetulan, komandan menginginkan setiap pasang pengantin baru menghadap ke rumah, tidak ke kantor. Salah satu alasan yang beliau sampaikan adalah agar lebih terjalin rasa kekeluargaan.
Usai tahapan laporan ke batalyon, hari ini dia mulai menjalani sanksi tahanan 14 hari.
Aku mengabaikan tangan itu, justru mendekap pinggangnya erat. Hatiku sedih ia pergi, menjalani hukuman untuk sebuah kesalahan yang tidak ia perbuat.
<“Dipanggil diam saja. Apalagi menyambut suami pulang.” Suaranya terdengar mengeluh. Aku memicingkan mata, kembali menoleh padanya.“Mas?” Aku memanggilnya ragu. Dia masih berdiri di depan pintu dengan melipat tangan.“Ya,” sahutnya sambil masuk dan merapatkan pintu, kemudian berjalan kearahku.“Apa kamu tidak tahu kalau saya rindu. Berharap ketika pulang disambut istri. Dipanggil saja tidak acuh,” ucapnya sambil melepas drahrimnya. kemudian menyerahkannya padaku.“Mas?” Kembali aku memanggilnya ketika drahrim itu nyata ada di tanganku.“Hmm,” sahutnya. Kali ini sambil melepas seragam lorengnya.“Ini benaran kamu, Mas?” tanyaku tidak percaya.“Ya benar. Memang siapa lagi? Kamu pikir hantu?” ucapnya sinis menatapku. Sepertinya dia marah, tapi aku
Senyumku terkembang ketika melihat bayangan diri di cermin. Hari ini fitting baju pengantin. Ada empat baju yang akan kami kenakan di hari bahagia nanti. Satu baju untuk akad, dan tiga baju untuk resepsi.Pada saat akad, baju yang kugunakan berupa kebaya panjang berwarna putih. Sedangkan Mas Kusuma akan mengenakan Jas hitam. Saat resepsi, baju yang dipilih berupa pakaian khas melayu, jawa, dan kebaya panjang hijau untuk dipadankan dengan PDU 1 Mas Kusuma.“Cantik,” komentarnya ketika kucoba setiap baju.“Kamu suka? Kalau gak suka, kita coba yang lain,” lanjutnya.“Aku suka, Mas,” jawabku cepat, “terima kasih, ya, Mas,” lanjutku. Aku benar-benar merasa diperlakukan bagai ratu olehnya.“Sama-sama. Yang penting kamu bahagia,” balasnya. Aku memang bahagia, meskipun ada satu lubang yang tak terisi. Entah bagaima
Saung ini tidaklah luas. Kursi pelaminan terletak pada sisi kanan dari jalan masuk. Berdampingan dengan pelaminan itu terdapat organ tunggal sebagai hiburan acara ini. Seorang laki-laki berpakaian semiformal stand by duduk di sana. Tempat akad dilangsungkan terletak tepat di depan kursi pelaminan itu.Suasana saung terasa khidmat dengan music religi yang diputar pelan. Seorang MC membawakan acara dengan kesan formal. Prosesi sacral itu diawali dengan lantunan ayat suci, Surah An-Nisa ayat 1.Akhirnya, akad nikahku berwalikan orang yang memang berhak secara utuh. Orang yang memang kuharapkan untuk itu. Orang yang menjadi perantara aku ada di dunia, yang selama ini memegang tanggung jawab atasku. Hari ini tanggung jawab itu akan beliau serahkan secara langsung kepada laki-laki lain melalui ijab qabul.Bayu berembus tidak terlalu kencang. Hanya lembut membelai setiap raga yang hadir. Cuaca sepertinya demikian
PoV KusumaTidak mengapa jika nanti kita tidak punya waktu untuk selalu bersama, yang penting kita selalu punya banyak waktu untuk mengenang indahnya kebersamaan kita saat ini.==============Malam.Aku menatap wajahnya yang terlelap sambil tersenyum bahagia. Tak henti hati dan bibir ini mengucap syukur, akhirnya dia menjadi milikku utuh. Secara agama, kantor, dan negara.Jari tanganku mengusap lembut pipi squishy-nya. Dengkurannya terdengar halus menyapu telinga. Aku menyukai suaranya. Bagiku seperti irama yang mendamaikan. Dengkurannya seolah menyampaikan bahwa tidurnya benar-benar lelap dan aku merasa senang mengetahui hal itu.Dia terlihat benar-benar lelah setelah seharian melewati rangkaian pesta pernikahan kami. Meskipun tampak begitu lelah, rona bahagia jelas terpancar di wajahnya.Dia memang sangat bahagia, setidaknya begitu menurut pengakuann
Mas Kusuma berdiri di depan pintu kamar dengan wajah sedikit heran saat melihatku masih duduk malas di tepi tempat tidur setelah berpakaian rapi."Lho, kok, malah duduk lagi. Ayo berangkat," ucapnya.Hari dia mengajak untuk mengurus kartu penunjukkan istri prajurit. Sebenarnya ini bisa kuurus sendiri. Namun, Mas Kusuma tidak ingin aku repot bolak balik sendiri. Sebab, rumah kami cukup jauh dari batalyon. Kami tinggal di rumah pribadi, bukan di perumahan prajurit yang terletak di lingkungan batalyon.Kami hanya mengambil blanko. Perlu waktu beberapa lama untuk proses pengajuan. Kartu penunjukkan istri sangat penting. Terutama untuk penyelesaian urusan administrasi keprajuritan, serta klaim hak-hak sebagai istri prajurit."Malas," sahutku asal.Bagaimana tidak malas? Jika dia memaksa untuk segera mengurus semua berkas itu dengan alasan dia akan berangkat tugas.
Tidak perlu banyak kata lagi tentang cinta dan setia. Ketika semua sudah pada tempatnya, maka tidak ada yang bisa menukarnya lagi. Seperti matahari untuk siang, dan rembulan untuk malam. Semua setia pada posisi masing-masing. Maka aku untukmu, juga akan setia pada tempatku.======="Mas cemburu, ya?" Aku bertanya menggoda. Entah mengapa, kali ini aku suka melihat ekspresi cemburunya.Laki-laki itu mendelik, membuatku terkekeh geli. Kutarik tangan agar lepas dari genggamannya, bukan benar-benar ingin lepas, melainkan hanya untuk menggodanya."Diam, kenapa?" Dia berdecak kesal sambil mengeratkan genggaman. Aku semakin cekikikan."Jangan khawatir, Mas. Dia gak akan berani mengambil aku dari Mas."Ia menoleh, menatap dengan dahi mengernyit. Sorot matanya seolah bertanya, "Oh, ya? Benarkah?""Iya. Mana berani dia sama Mas. Garang, gitu!" teran
Malam ini kami berkumpul dalam keluarga besar. Sehabis sholat magrib kami menikmati makan malam bersama.“Mau disuapi, Mama,” pinta Nadin sambil menyodorkan piringnya padaku. Padahal beberapa suap pertama telah masuk secara mandiri.“Sama ayah saja, ya,” tawar Mas Kusuma sambil mengambil alih piring yang mengarah padaku.“Gak mau, maunya sama Mama,” lagi-lagi anak itu menolak membuat laki-laki disampingku melengos dan semua yang hadir tertawa.“Ayah sekarang kalah saing,” imbuh ibu mertua di sela tawanya.“Iya, tapi tidak apa. Saya bahagia Anin mau menerima Nadin dengan baik. Terima kasih, Sayang,” ucap laki-laki itu tulus padaku.Aku hanya mengangguk sembari menyuapi gadis lima tahun yang duduk di antara aku dan Mas Kusuma. Sambil aku pun menyuap makanan sendiri.“Besok ba
Aku menatapnya nanar. Tanyanya membuatkumerasakan kembali perihnya luka yang sudah terendap empat tahun silam. Saat ini, kurasakan luka itu ternyata masih terbuka.“Bolehkah saya mengetahuinya, Anin? Maaf, saya ingkar. Saya telah berjanji untuk tidak akan mengungkit cerita ini lagi, tapi mengetahui keluargamu mengenal Ilham, rasa ingin tahu saya hadir kembali," pintanya sambil menatapku sendu, "Saya hanya ingin tahu, agar tidak ada lagi tanya yang mengganjal di kemudian hari."Aku menghela napas dalam berulang kali. Aku pun sebenarnya ingin menceritakan semua ini secara tuntas. Akan tetapi, untuk mengingat kejadian itu saja rasanya aku tidak mampu, apalagi harus menceritakan detail peristiwanya. Seluruh sendiku terasa luruh. Aku tidak mampu.“Jika memang dia orangnya apa yang akan Mas lakukan? Apa Mas akan menyesal dan meninggalkanku?” tanyaku pelan.“Ceritakan,
"Benarkan?" tanyanya meminta penegasan."Hmm," sahutku seadanya. Aku memilih fokus menikmati sarapan yang ada di piringku. Laki-laki itu terkekeh. Tampak sekali dia begitu bahagia dan bersemangat."Mas seolah enggak bisa berhenti memikirkan itu," ucapku sambil mengerling padanya."Ciri-ciri laki-laki normal, ya, seperti itu, Sayang.""Normal apa doyan?""Ya, normal. Ya, doyan. Dua-duanya. Ditanya doyan, ya, doyan banget," sahutnya sekenanya. "Ish! Dasar suami omes!" Aku kembali mengerling dengan greget. Laki-laki itu terkekeh geli."Omes sama istri sendiri itu wajar. Bahkan harus. Itu 'kan sesuatu yang mutlak untuk mendukung kebahagiaan kita," alibinya. "Heh!" Aku mencebik tidak acuh."Kamu tahu enggak, Sayang?" "Apa?""Mandinya seorang istri karena melakukan ibadah bersama suaminya itu lebih baik dari pada dia melakukan mengorbankan seribu ekor kambing untuk fakir miskin.""Heh!" Lagi-lagi aku mencebik."Laki-laki selalu paham ilmunya kalau untuk masalah beginian." Laki-laki itu
"Mirip mama, ya, Yah? Iya 'kan, mirip mama?" "Mana ada mirip kamu. Ini mirip Ayah.""Enggak mungkin mirip Ayah. Ini perempuan, lho, Yah. Kalau anak Maysa, iya, memang mirip Ayah. Dia laki-laki.""Apa kalau perempuan jadi enggak boleh mirip ayah? Ini coba perhatikan baik-baik, mirip ayah 'kan? Matanya, hidungnya, bibirnya, dan yang paling kelihatan itu warna kulitnya. Enggak ada beda dengan anak Maysa."Aku tersenyum geli memerhatikan tingkah Mama Anin dan Ayah Kusuma yang saling berebut mengakui kemiripan putriku dan Mas Farel dengan mereka. Mama Anin bahkan sampai menunjukkan ekspresi kecewa, walaupun aku tahu itu hanya sekadar kelakar. Kekesalan beliau terpancing saat Ayah Kusuma seolah begitu membanggakan diri di depannya, bahwa cucu-cucu mereka mirip dengan dirinya."Fatih, kalian nanti kalau punya anak mirip mama, ya. Kamu harapan mama satu-satunya," ucap Mama Anin pada Fatih. Putra keduanya itu sedang duduk di sofa bed yang tersedia di ruang rawat bersama seorang gadis yang ia
"Jadi bagaimana?" Aku bertanya pasrah, "Mas penjual baksonya sudah menunggu di depan.""Ya, suruh pulang saja. Enggak jadi," sahutnya enteng."Enggak enak, Sayang. Kasihan dia sudah menunggu." Aku mencoba bernegosiasi. Mana tahu buah cinta kami di dalam sana yang 'katanya' pengen bakso itu mau merubah kriterianya dari hitam menjadi putih."Jadi, Mas, lebih kasihan sama penjual baksonya? Enggak lebih kasihan sama aku dan anak, Mas, sendiri?" Matanya kembali berkaca-kaca.Allahu Akbar ....Aku menyandar pasrah di dinding, menyadari bahwa jika ingin hidupmu aman, jangan pernah mencoba untuk nekad melawan ibu hamil yang hormonnya sedang tidak stabil.Oke! Aku memutuskan untuk berhenti bernegosiasi, tidak ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah rumit masalah yang ada."Kalau begitu sana, Mas, tidur sama tukang baksonya saja."Nah, kan? Hancur Mina!"Jangan begitu, dong, Sayang. Masa saya disuruh tidur sama tukang bakso. Mana enak. Pentol semua. Ya, sudah. Tak suruh pulang lagi dia. Semoga
PoV Farel (Ngidam)Sebenarnya sangat malu untuk menanyakan hal itu. Apalagi dokternya perempuan. Akan tetapi, pepatah mengatakan malu bertanya sesat di jalan. Aku tidak mau sesat dalam berbuat. Jujur saja aku takut jika hubungan suami istri dapat membahayakan janin yang ada di dalam kandungan Hanum. Banyak sekali aku mendengar selentingan seperti itu. Akan tetapi, di sisi lain aku tidak akan sanggup menepis pesona wanita tercintaku itu. Dia bagaikan candu. Cintaku yang begitu besar padanya membuatku tidak tahan untuk tidak berbuat apa-apa padanya. Setelah berbuat, rasanya ingin selalu lagi dan lagi."Oh ...." Dokter itu mengangguk ringan sambil tertawa renyah. Jujur saja aku merasa malu sampai ke ubun-ubun. Apalagi perempuan di sampingku. Ekor mataku dapat menangkap wajahnya yang tampak memerah. Sepertinya dia pun merasa malu atas pertanyaan yang aku ajukan pada dokter Herlina. Pasti nanti di rumah dia akan marah dan protes. Masa bodohlah. Semakin dia marah, semakin kelihatan seksi.
"Masya Allah." Laki-laki itu langsung memelukku erat. Sementara bibirnya menguntai sebait doa."Rabbi habli min ladunka dzurriyatan thayyiban innaka sami'ud du'a.""Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa."Usai melafazkan doa itu, dia melabuhkan kecupan bertubi-tubi di ubun-ubunku. "Alhamdulilah, Ya Allah," ucapnya penuh syukur. Dia kemudian menangkupkan kedua telapak tangannya ke wajahku. Lalu kecupan bertubi-tubi yang tadi mendarat di ubun-ubunku, beralih ke setiap inchi bagian wajahku. "Terima kasih, Sayang. Kamu telah menjadikan hidup saya begitu sempurna. Saya akan menjadi ayah dari anak yang akan lahir dari rahim kamu. Saya benar-benar bahagia." Ungkapan kebahagiaan seolah tidak berhenti dari bibirnya. Matanya menatapku penuh diselimuti oleh binar bahagia. "Aku juga sangat bahagia, Mas. Allah telah memberiku kepercayaan untuk mengandung benih dari laki-laki yang sangat aku cintai secepat ini." Aku membalas tat
Aku tercenung mendengar penuturannya. Apa yang dia katakan memang benar. Semuanya tidak menyambung alias salah sasaran. Mengapa aku jadi aneh begini? Terbawa emosi tidak jelas.Laki-laki itu lantas meraihku ke dalam pelukannya. Ia mengusap punggungku penuh sayang."Semua masalah yang terjadi akan ada solusinya, Sayang. Tapi kita harus melewati setiap prosesnya untuk mencapai solusi itu. Tolong bersabarlah membersamai saya. Kamu adalah penyemangat ketika saya lemah, penyejuk ketika saya gerah. Kamu permata hati saya, belahan jiwa saya. Kamu adalah rumah untuk saya pulang ketika saya lelah. Tolong jangan katakan kamu menyesal telah menikah dengan saya," ucapnya lembut."Enggak!" Aku menggeleng tegas, "Bukan seperti itu. Aku sangat mencintai Mas Farel. Enggak mungkin aku menyesal telah menikah dengan Mas."Laki-laki itu tersenyum,. Dia menjauhkan wajahku dari dadanya."Terima kasih, Sayang." Jemarinya kembali menghapus air mataku. "Sudah, jangan menangis lagi. Nanti Umak lihat, bisa iku
Sekolah memberiku cuti menikah selama satu Minggu. Dua hari digunakan untuk persiapan, satu hari untuk pelaksanaan, tiga hari kami manfaatkan untuk masa berdua menikmati pasca resepsi, dan satu hari masa untuk beristirahat sebelum melaksanakan tugas negara kembali.Setelah satu Minggu melalui hari-hari awal penuh bahagia, hari ini aku dan Mas Farel merapat ke tempat tugas.Pukul enam pagi aku sudah rapi dengan seragam dan polesan make up tipis. Kami akan bersiap untuk sarapan ketika notifikasi pesan singkat dari aplikasi pepesanan warna hijau di ponselku berbunyi.Sebuah pesan dari Mbak Rissa masuk. "Hanum, hari ini Mbak enggak masuk. Tadi sudah ijin sama kepala sekolah. Mbak ada giat upacara pelepasan pindah Mas Cahyo. Nanti tolong sampaikan tugas-tugas Mbak ke siswa, ya," tulisnya. Om Cahyo pindah? Dahiku mengernyit. Bukankah Om Cahyo leting Mas Farel. Apakah Mas Farel juga ikut pindah? Tapi mengapa dia tidak memberitahuku?"Om Cahyo pindah, Mbak?" tanyaku meminta penegasan. Selam
Aku titipkan diaLanjutkan perjuanganku 'tuknyaBahagiakan dia, kau sayangi diaSeperti ku menyayanginya'Kan kuikhlaskan diaTak pantas ku bersanding dengannya'Kan kuterima dengan lapang dadaAku bukan jodohnyaDahiku mengernyit. Mataku sontak mencari sumber suara pada iringan musik organ tunggal yang menjadi hiburan di resepsi pernikahan kami. Aku seperti mengenal suara yang membawakan lagu Aku Bukan Jodohnya dari Tri Suaka yang sedang mengalun itu. "Mantan kamu."Mas Farel menaikkan kedua alisnya. Matanya melirik pada satu arah, memberi kode agar aku melihat ke sudut yang di maksud. "Apa, sih?" Aku merengut saat melihat pada sosok yang dia sebut sebagai mantanku. Pantas saja aku seperti mengenal suara orang yang membawakan lagu itu, rupanya Hadi sedang berada di atas panggung. Dia memang terkenal dengan suara merdunya sejak kami masih kuliah. Hadi sering mengisi waktu luang dengan memetik gitar di taman kampus bersama beberapa rekannya. Suaranya itu juga yang menjadi salah satu
Aku rindu, Ayah. Rindu sebenar-benarnya rindu."Hanum." Umak yang sedang tadi memerhatikanku dirias MUA dari sofa bed yang tersedia kamar, melangkah mendekat dan duduk di sampingku. Beliau mengusap punggungku lembut. Aku mengangkat wajah, menatap sendu satu-satunya orang tua yang kumiliki saat ini."Mak." Aku memanggil beliau lirih, ingin mengadukan perasaan yang berkecamuk di hati. Namun, aku tahu tanpa kuceritakan pun beliau sudah paham apa yang kurasakan."Jangan menangis, Hanum. Nanti riasan kamu rusak." Bukannya khawatir kondisi putrinya, Umak justru memikirkan riasanku. Walaupun, aku tahu apa yang baru saja beliau ucapkan itu hanya sekadar untuk menghiburku.Tangan tua beliau kemudian mengusap lembut butiran bening yang mulai banyak pecah di sudut mataku. Akan tetapi, semakin beliau mengusap, butiran itu justru semakin banyak. "Mak."Aku menjatuhkan diri ke dalam tubuh tua Umak, memeluk erat wanita yang telah berjasa mengantarku ke dunia itu. Tubuhku berguncang menahan tangi