"Ingat, jangan coba-coba menjauh dariku. Kau tahu, beberapa pria belang mencoba menerkammu," bisik Steve.
"Dengan senang hati, Tuan Robinson."
Steve tertawa kecil mendengar Lynn menyebutnya tuan. Tangan Steve terangkat. Namun, keburu Lynn menurunkannya.
"Jangan coba-coba mengacak rambutku. Kau tak tahu berapa lama aku menatanya."
Kini keduanya sampai di pintu aula, dua penjaga meminta bukti undangan. Steve mengeluarkan dua undangan atas nama dirinya dan Lynn dari balik sakunya.
"Selamat datang Nona Meinen dan Tuan Robinson." Penjaga menyodorkan dua topeng untuk Lynn dan Steve, penjaga satunya membuka pintu aula.
Aula gedung berubah layaknya istana dengan segala kemewahan di setiap mata memandang.
Keduanya mengedarkan pandangan, rupanya sudah begitu ramai. Lynn menarik Steve mendekati seorang wanita yang nampak familiar.
Lynn menyentuh pundak wanita itu lantas ia menoleh.
"Yes?"
"Leiss?"
Leiss membuka topengnSteve datang di rumah Lynn begitu awal. Katanya ingin sarapan lama-lama berdua. Kalimat sederhana itu sudah membuat pipi Lynn memanas di pagi buta.Ada yang salah dengan dirinya, dia mudah sekali terbawa perasaan oleh Steve bahkan hanya kalimat sepele pun."Terimakasih," ujar Steve lalu menggigit rotinya.Pergerakan tangan Lynn yang sedang mengoles roti terhenti, dia menatap Steve, "Ada apa?""Untuk kirimannya," jawab Steve."Kiriman?" Lynn kembali mengernyit tak menangkap maksud Steve."Kau lupa?""Aku tak mengirim apapun padamu, Steve.""Kalau bukan kau, lalu siapa yang mengirimiku dua buku?" tanya Steve.Lynn mengedikkan bahu seraya menggigit rotinya."Salah kirim, mungkin," ujar Lynn.Steve mengedikkan bahu tak tahu."Waktunya berangkat," ujar Lynn membuyar lamunan pagi Steve. Ia meraih luaran kemejanya yang tersampir di kursi sebelahnya lalu memasangnya.Sesampainya di kantor, Steve kemba
Lynn membereskan mejanya cepat menyadari Steve sudah bersandar menunggunya di ambang pintu ruangannya. Setelahnya, dia berjalan bersejajaran dengan Steve keluar."Tiba-tiba saja aku teringat bubur kacang hijau Mbok Ibin," ujar Lynn setelah selesai memasang sabuk pengamannya."Mau kesana?" tanya Steve.Lynn mengangguk antusias, senyumnya melebar.Sesampainya di tempat tujuan, Lynn memberanikan diri menggenggam tangan Steve terlebih dahulu. Steve terkekeh kecil lalu mengambil alih tangan Lynn, menenggelamkan tangan kecil Lynn dalam genggamannya. Keduanya sontak tertawa dan menyusuri jalan setapak sepanjang lima meter menuju warung Mbok Ibin.Suasana warung Mbok Ibin cukup senyap di penghujung sore itu. Sesekali, Steve melirik Lynn menyantap lahap bubur kacang hijaunya.Sebelum mereka pulang, Mbok Ibin memberikan dua bungkus bubur."Ini untuk Neng Lynn dan si ganteng, ye. Jangan lupa dihangatkan lagi, ya." Mbok Ibin memang sedari dulu ke
Steve menoleh cepat, tapi tak ada siapapun disana, kecuali dahan pohon yang bergerak-gerak. Awalnya Steve ingin mengabaikannya, pikirnya barangkali tetangga. Namun, tak urung kakinya mengendap-endap menuju pohon tersebut. Hingga dia melihat siluet."Heyy!!" teriak Steve mendapati seseorang memanjat dinding pembatas. Steve berlari cepat hendak menarik kakinya. Namun, keburu orang tersebut berhasil melompat.Steve hanya mengingat jelas sepatu yang dipakai orang berbalut setelan hitam itu, sepatu converse hitam putih.Mungkingkah itu maling? Pikir Steve.Steve berbalik mengamati sekeliling rumahnya, tak ada tanda-tanda yang tertinggal. Steve berlalu masuk ke rumahnya.Steve langsung menuju komputernya, mengecek kamera pengawas. Tidak ada orang yang memasuki rumahnya sepanjang sore tadi. Bahkan rekaman sejam lalu, tak ada yang berlintas di depan rumah.Namun, satu rekaman—walau tidak terarah jelas ke are pohon. Steve melihat bayangan m
Lynn membaringkan tubuhnya, mengenyahkan pria asing tadi, menggantinya dengan wajah Steve. Senyumnya tiba-tiba melengkung, wajahnya kembali terasa panas. Lynn menangkup wajahnya, dinginnya tangannya setelah menyentuh es melelehkan panas di pipinya. Lynn menggigit bibir bawahnya. Bayangan Steve kini memenuhi ruang kepalanya. Akhir-akhir ini, Lynn terlalu sering jatuh terbuai dalam pesona pria itu. Ah, sial! Membayangkan Steve saja bisa membuatku gila! Batin Lynn. Kedua kakinya menendang-nendang ke udara. Hingga tanpa sadar, bayangan-bayangan Steve dalam kepalanya mengantarnya ke alam mimpi. "Pagi!" Steve muncul dengan senyum berbinar—terlalu berbinar malah—di pagi buta ini. Awal pagi Lynn menjadi begitu sempurna, dia lantas mempersilakan Steve masuk. Kini keduanya duduk berhadapan di meja makan. Lynn mengoles roti tawar dengan selai cokelat tebal, lalu menyerahkannya pada Steve. Dengan senang hati Steve menerima r
"Kau masih mencintaiku, kan?"Steve berbalik, tersenyum menatap wajah sendu Lynn."Aku mencintaimu!" ujar Steve.Di kamar, Steve membolak-balik lembar buku bacaannya tanpa minat membacanya. Pikirannya kini berada jauh dari tempatnya. Seseorang bersetelan hitam, Steve bertemu dengannya di tempat yang sama. Namun, tak mungkin secara kebetulan berada pada empat tempat yang sama dengan tempat yang Steve dan Lynn kunjungi hari itu.Bahkan di tempat yang jauh dari keramaian, terdengar mustahil jika bukan dia seorang penguntit, menguntit Steve dan Lynn.Steve mengecap bibirnya, menutup kasar buku bacaannya lalu berpindah ke ranjangnya. Kedua tangannya berada di belakang kepalanya, kakinya saling menyilang, tatapanna menatap hampa langit-langit kamarnya hingga dia jatuh tertidur.Steve terbangun lebih awal—mendahului alarmnya— bahkan fajar saja masih belum menampakkan diri. Steve beralih duduk di kursi, meraih buku kiriman dari si
"Bagaimana dengan kita saat ini?"Steve meneguk ludahnya susah payah, "Apa maksudmu, Lynn?" Dia mengacak rambut Lynn. Namun, pergelangan tangannya langsung dicekal."Kau tahu maksudku, Steve!!" Mata Lynn bergerak-gerak dan pelan-pelan berkaca-kaca."A-aku taku–"Steve menarik Lynn dalam dekapannya, mengelus-elus punggung Lynn. Dia kini merasakan apa yang dirasakan Lynn saat ini."Tak ada yang perlu ditakuti. Aku milikmu!" Steve mengecup pucuk kepala Lynn. Untuk saat ini mungkin kalimat itu masih tepat. Namun, bagaimana dengan esok? Tak akan ada yang menjamin esok kelak masih baik-baik saja seperti hari ini.Namun, pernyataan itu tak cukup bagi Lynn. Dia takut jika dia akan kembali di kondisi mengenaskannya.Bagaimana jika hanya dia yang merasa memiliki Steve, tapi Steve tak merasa memiliki Lynn.Lynn menenggelamkan wajahnya di dada Steve, mencari ketenangan. Dia tak boleh berpikir demikian.*Lynn mele
"Aku ingin kau berkata jujur padaku."Steve memperbaiki posisi duduknya menghadap Lynn. Menopang sisi wajahnya dengan siku menumpu di sofa.Lynn menarik napas. "Kau masih mencintai Rose?"Senyum binar Steve kini memudar kala mendengar pertanyaan yang tak disangka-sangkanya keluar dari bibir Lynn. Pria itu mengalihkan pandangannya dari Lynn, menatap mangkuk kosong yang tergeletak di meja."Jawab aku, Steve!" Lynn menyentuh lengan pria itu.Steve menghela napas sambil berkata, "Aku tidak tahu, Lynn. Aku belum bisa mengatakan apapun tentang itu. Maaf." Dia memandang lurus manik Lynn.Lynn berdehem, menetralkan degup jantungnya yang memacu. "Jika ... Rose masih berharap padamu? Apa kau juga masih mengharapkannya?""Kenapa kau bertanya tentang ini?" Steve memaksakan tawa kecil dari bibirnya. Dia tahu dan keduanya tahu, kalau topik ini sensitif bagi keduanya.Lynn meremas ujung bajunya, dia menunduk. "Aku ingin tahu isi hatimu saat ini.
"Terasa lebih baik, makasih." Lynn menghempas punggungnya di sandaran kursi mobil. Matanya yang terpejam mengerjap menoleh menatap Steve."Apa yang kau tunggu? Ayo pulang."Steve menyunggingkan senyum. "Bagaimana caranya bisa pulang kalau kau tak memasang sabuk pengaman." Steve menjulurkan badan memasang sabuk pengaman LynnWanita itu menahan napas saat wajah Steve berlalu di depan wajahnya. Steve tersenyum tipis melihat wajah Lynn."Kebiasaan kamu, ya, curi-curi start!" Lynn memukul pelan lengan atas Steve."Kan kamu yang mulai dahulu, siapa suruh lupa masang seatbelt atau pura-pura lupa, ya.""Sialan, buruan pulang!" Kali ini Lynn memukul keras lengan Steve."Sepertinya aku benar-benar lelah."Steve mengelus pucuk kepala Lynn, "Ya sudah, malam ini istirahat saja."Mobil Steve melaju meninggalkan pelataran rumah Lynn.Wanita itu menghela napas lagi. Maaf, Steve, bohong lagi. Batinnya.Saat jam sudah menunjukka
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve."Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve."Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk."Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—""Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas."Kapan kamu akan mene
[Aku di perjalanan menuju rumahmu sekarang.]Lynn membaca pesan masuk dari Rose. Senyumnya terukir, senang rasanya bisa dimaafkan walau dia masih bisa belum bisa memaafkan dirinya seutuhnya.Lynn meletakkan ponsel di pangkuannya. Akhir-akhir ini, halaman belakang menjadi tempat favoritnya terlebih saat menjelang sore. Di dalam rumah hanya makan dan tidur saja, sisanya dia habiskan di taman, memandang air mancur lekat-lekat, atau hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang tak menenangkan gundahnya sedikitpun.Suara bel pintu terdengar. Rose sudah tiba.[Aku di halaman belakang.]Lynn mengirim pesan. Selang beberapa menit, Rose muncul. Kemeja kedodorannya berkibar-kibar seiring langkah besar-besarnya. Rambut pirangnya dikuncir rendah, nampak berkilau saat mentari sore menyoroti.Rose tersenyum lebar. "Hai!" Dia beralih duduk di bangku panjang depan Lynn. Kotak yang ditentengnya tadi dibuka dari kantongnya."Apa kabarmu?" tanyanya
Lynn terduduk termangu, memandang kosong air mancur di halaman belakang rumahnya. Airnya berkilau seiring gemerlap lampu yang menyinari. Biasanya air mancur itu akan menenangkannya, deru airnya yang mengalun layaknya melodi yang indah, tapi kali ini tidak. Lynn tak merasakan ketenangan secuil pun.Jeff muncul dengan mug di tangan. Dadanya berdesir cemas melihat orang yang dicintainya masih terpuruk duka. Dia tahu betul bagaimana Lynn yang kini merasa hidup dalam bayang-bayang dosanya. Wanita itu belum memaafkan dirinya atas apa yang telah diperbuatnya."Kamu tak kedinginan?" Jeff memaksakan senyum tipisnya, dia menyodorkan mug berisi cokelat panas.Lynn membalas senyum Jeff kikuk. Dia menerima gelas itu, menghirup aroma manis dan wangi, tapi dia tak meminumnya. Dia hanya menggenggam mug itu, menatap kepulan kecil yang mengudara."Kamu tak boleh terus menerus seperti ini, Lynn. Bagaimanapun, kamu tetap harus melanjutkan hidup setelah—""Pantas
"Apa kabar, Rose?"Rose melirik ke arah Steve sebelum dia menjawab, "Lebih buruk!"Dia merasa lebih buruk, dia baru saja mendapat ingatannya dan Lynn menemuinya di hari itu juga. Sebut saja jackpot sialan."Maaf, aku baru menemuimu hari ini ...." Kalimat Lynn tercekat. Dia akui dirinya seperti pengecut. Terlalu takut dan malu menemui Rose.Rose melirik Steve dan pria di seberang kursi. Steve mengangguk kecil memahami arti tersirat tatapan Rose. Wanita itu ingin berempat mata saja dengan Lynn.Steve beranjak dari duduknya, merangkul Jeff meninggalkan ruangan itu. Sebelum Jeff benar-benar pergi, dia melirik Lynn seolah meyakinkan wanita itu akan baik-baik saja.Roe mengatur napasnya, berpindah duduk di samping Lynn yang duduk di kursi roda."Aku menyesal," lirih Lynn menatap Rose dan menunduk lagu.Rose memaksakan senyum tipisnya. Jika dia mau, dia bisa membalas perbuatan Lynn. Namun, dia enggan. Melihat kondisi Lynn yang cacat sep
Kepalanya terasa disengat dan diikuti pukulan-pukulan yang mendentum. Sakitnya menyerangnya, hingga Rose lupa apa dia masih hidup atau mati.Sebelum penglihatannya gelap, dia menyerukan nama Steve.Lalu dia tersadar.Rose berada pada ruangan putih, sangat luas. Tak ada seorang pun disana selain dirinya. Rose berputar, barangkali dia akan menemukan pintu. Namun, tidak ada sama sekali."Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" tanya Rose. Tapi itu terdengar mustahil baginya. Dia tak mungkin mati semudah itu. Mati karena menabrak pembatas jalan? Bah, keren sekali! Batin Rose.Lalu, dia memeriksa pakaiannya. Kalau dia mati, harusnya pakai putih-putih, tapi dia justru berbalut kaus kuning pucat dan legging, pakaian olahraganya tadi.Cahaya silau berpendar, dan dentum di kepalanya mendera."Akh!"Rose menahan kepalanya yang serasa ingin meledak. Dia berlutut. Lama-kelamaan dia bergelung di lantai putih itu."Kalau aku t
Steve kian mendekap tubuh bergetar Rose, mengecup pucuk kepalanya setidaknya menenangkan wanita itu. Namun, tidak tenang sama sekali."Jangan paksakan dirimu," lirih Steve."Aku tak bisa seperti ini, Steve. Aku ... tersiksa!" ujarnya dengan suara terputus-putus.Steve memindahkan Rose ke ranjang, mengusap pipi Rose yang basah."Kau tentu akan mengingatnya!" ucap Steve, terdengar yakin. Namun, dia sendiri meragukannya.Rose tak menyahut lagi, dia masih terisak-isak. Ucapan terakhir Steve tak menenangkan sedikitpun baginya, justru dia muak mendengar kalimat itu. Dia akan mengingatnya, tapi kapan? Itu membuat Rose kian tersiksa."Tinggalkan aku sendiri," lirih Rose sambil menepis pelan tangan Steve di pipinya."Rose–""Keluar," katanya, "aku ingin sendiri!"Steve menghela napas. "Berjanji padaku, kau tak akan mengacau seperti itu!"Rose tak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan Steve."Aku tak akan kelu
Malam itu, Rose termenung dalam kamarnya, jendela sengaja dia buka, rembulan bersinar masuk dalam kamarnya yang gelap itu, Rose sengaja mematikan lampunya.Dia menyandarkan punggungnya di dinding, semilir angin menerpa menembus tulang. Rambutnya yang melorot terumbai-umbai.Rose memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali ingatan yang dilupakannya. Dia mulai tersiksa dengan ketidaktahuan peristiwa yang dia alami."Argh!" erang Rose frustrasi, dia tak mengingatnya.Dia mengacak rambutnya, cepolan rambutnya sudah terurai dan nampak kian semrawut.Rose mengulangnya kembali. Memfokuskan titik pencariannya.Gelap.Suara datang bergemuruh.Gelap."Argghhh!"Deru napas Rose memburu, dia menyapu alat-alat kosmetiknya di meja rias, menendang kursi riasnya terpelanting menabrak pintu hingga terdengar suara gebuman."Kenapa aku tak bisa mengingatnya!" Rose menatap pantulan bayangannya di cermin yang kini tampak menye