"Mau bermain game?" tawar Steve.
Lynn mengangguk lalu keduanya berlari menuju ruang keluarga.Keduanya memainkan game yang sangat mudah dimenangkan. Namun Lynn tak pernah bisa memenangkannya. Lynn berdecak sebal, Steve benar-benar tak memberinya celah untuk menang. "Biarkan aku menang kali ini, Steve!" rajuk Lynn. Steve tertawa bahkan mengusap sudut matanya yang berair. Lalu membiarkan Lynn menang. Lynn bersorak senang bahkan melompat-lompat akhirnya menang juga. Steve tiba-tiba menarik tangan Lynn menyuruhnya diam. Keduanya menajamkan pendengarannya. Steve lantas bangkit menuju pintu, tampak terdengar suara seseorang yang mengetuk pintu padahal waktu sudah menunjukkan hampir jam sepuluh malam. Steve membuka pelan pintunya dan terkejut setelahnya."Jessica?" Steve membatu di tempat mendapati Jessica yang berdiri menatapnya. Steve bJessica memang sedikit kesal karena Lynn menerobos masuk kamar Steve tanpa mengetuknya, merusak suasana panas antara Steve dan Jessica. Selain itu, kurang satu inci bibir keduanya akan bertemu.Jessica masih mengalungkan kedua lengannya di leher Steve tanpa berbalik sedikitpun melihat Lynn yang diam membatu. "Ma-maaf, mengganggu aktivitas kalian. Aku akan keluar, silahkan lanjutkan!" ujar Lynn gagu setelah mendapatkan pengendalian dirinya. Lynn segera keluar menutup pintu, bersandar dibalik pintu sebentar menahan degup jantungnya lalu berlari ke kamarnya yang bersebelahan dengan kamar Steve. Lynn mengunci pintu kamarnya, mengusap-usap dadanya menenangkan debaran brutal jantungnya. Lynn memukul-mukul kepalanya, merutuki kebodohannya. Jessica kembali menyentuh lembut pipi kiri Steve, memberinya stimulus penyadar atas keterkejutan Steve yang ketahuan oleh Lynn. "Steve!" panggil Jessica menggoda seraya menangk
Lynn menghela napas, dadanya sesak antara perasaan lega dan kecewa. Lynn sendiri seolah menyalahkan Steve, seakan-akan pria tersebut memang sengaja memancing amarahnya. Terkadang, Lynn hanyut dalam buaian Steve, bagaimana Steve memperlakukannya layaknya ratu. Namun keduanya hanya sebatas sahabat. Disisi lain, Lynn menyalahkan dirinya sendiri kenapa harus dirinya harus jatuh cinta dengan Steve, sahabatnya. Jika saja Lynn mampu mengungkapkan perasaannya tanpa harus kehilangan Steve karena perasaan sepihak Lynn. Persahabatannya yang terjalin lama akan hancur hanya karena perasaan sepihak Lynn. Namun, itu semua hanya angan-angan belaka terbang terbawa angin. Jika memang bukan takdir yang menyatukannya, Steve dan Lynn tak akan pernah bersatu. Lynn akan tetap terpuruk dalam perasaannya. Satu hal yang disyukurinya ialah Lynn adalah teman paling dekat kedua Steve setelah keluarganya. Jika memang aku tak bisa menjadi pemilik hatinya, izinkan aku
"Minum?" tawar si bartender. Steve menggeleng-gelengkan kepala menolak tawaran lelaki bertubuh atletis di hadapannya. Sepuluh menit Steve duduk menyaksikan kerumunan orang-orang. Steve mengacak rambutnya, dia tak habis pikir, dari sekian banyak tempat kenapa kakinya justru masuk di tempat laknat ini. Steve beranjak dari duduknya hendak pulang, tapi langkahnya terhenti menatap sebuah punggung wanita yang nampak familier. Steve menajamkan penglihatannya. "Jessica?" terka Steve. Gaya pakaian dan kunciran tinggi rambutnya mirip dengan gaya Jessica waktu Jessica mengajak Steve ke klub dua bulan lalu. Steve memutuskan tak langsung pulang sebelum menuntaskan rasa penasarannya. Steve berjalan mendekati wanita yang membelakang tersebut. Steve langsung berbalik membelakang tiba-tiba, lantas mencondongkan ke bawah topi hitamnya. Jessica tadi berbalik u
"Maafkan aku, Lynn. Aku akan menemui Jessica nanti jam delapan. Tunda saja belanjanya jadi besok!" ujar Steve. "Kenapa kau tak mengatakan padaku jika kalian sudah baikan? Tak apa, aku akan berbelanja sendiri. Dah, semoga malammu menyenangkan," jelas Lynn tak memberikan celah bagi Steve untuk berbicara. Lynn melambai lalu berjalan menuju mobilnya. Steve menatap bahu Lynn. Aneh rasanya. Steve mengedikkan bahu tak peduli lalu melajukan mobilnya. Steve memerhatikan tatanan rambutnya di kaca spion tengah mobilnya lalu keluar. Dia kini berdiri di depan rumah Jessica, memencet bel rumahnya hingga Jessica muncul dengan senyum lebar. "Hai!" sapa Jessica menatap penampilan Steve yang masih utuh dalam setelan jasnya. Steve hanya tersenyum tipis membalasnya, menatap tampilan Jessica yang berbalut dress selutut dengan belahan dada yang rendah. "Aku sedari tadi menunggumu!" ujar Jess
"Kurasa kau harus ikut denganku nanti. Kau harus melihatnya langsung!" "Baiklah. Tunjukkan padaku nanti!" ujar Lynn lalu mendorong kursinya mundur kembali berhadapan dengan komputernya. Liliana si pengantar berkas baru saja masuk ke ruangan Lynn, menyerahkan sebuah dokumen terbungkus amplop cokelat. "O ya, undangan makan malam!" ingat Liliana membalikkan badan menyerahkan satu undangan untuk ruangan Lynn dan Leiss. Lynn menerimanya sembari berkerut kening. Liliana berbalik mendorong troli berkasnya menyeberang ke ruangan sebelah. Lynn buru-buru membuka amplop undangan tersebut. Leiss menatap Lynn bergantian menunggu isi undangan tersebut. "Makan malam perayaan menang proyek!"Leiss manggut-manggut mengerti. "Setelan hitam!" tambah Lynn. Setelahnya, kembali fokus menatap layar komputernya menunggu waktu istirahat makan siang. Leiss menyapu
Roy menuang alkohol di gelas Lynn. Lynn tak menghiraukan sorak ramai teman-temannya, Jeff hanya tersenyum kikuk. Di sisi lain, dalam hati Jeff berharap Lynn memilih menciumnya saja ketimbang minum. Lynn hanya tersenyum samar menatap lamat gelasnya. Tanpa peduli, jika gelas selanjutnya akan membuatnya mabuk. Lynn mengangkat tinggi gelasnya, sontak keriuhan di meja berangsur pelan dan berujar kecewa. Lynn menghela napas kasar, memejamkan mata menahan rasa yang tajam menusuk indera pengecapnya. Jeff menatap prihatin Lynn di samping kirinya. Jeff berdiri, tak kuasa melihat wajah masam Lynn lantas merebut gelas Lynn. Jeff menenggak habis minuman Lynn yang tersisa seperempat gelas. Leiss menatap Lynn yang nampak lunglai, wanita itu sudah mabuk. Pening di kepala Lynn menyerangnya. Bersamaan dengan Jeff yang menghentakkan gelas kosongnya di meja, Lynn tumbang, kepalanya terkantuk, untung tangan Yalte sigap menahan kepala Lynn sebelum membentur meja. &nbs
"Maafkan aku atas kejadian semalam!" ujar Lynn dalam satu tarikan napas. "Tak apa!" balas Jeff. "Apa aku ... mengatakan atau melakukan sesuatu semalam? Ya, aku tahu, aku mabuk. Tapi aku tak mengingat apapun selain mabuk!" tanya Lynn. "Ya ... kau memang mabuk! Kau memeluk pohon di pinggir jalan. Berlarian kesana kemari dan ...," gantung Jeff. Lynn mengusap mukanya merasa malu. Steve saja sering kewalahan jika Lynn mabuk, terlebih perilaku hiperaktifnya saat mabuk. Lynn tak bisa membayangkan bagaimana susahnya Jeff semalam membawanya pulang. Lynn merutuki perilaku anehnya itu, kenapa dia tak pingsang saja tak usah ditambah adegan-adegan penambah kacau suasana. Lynn tak menyukai membuat repot seseorang. "Dan apa?" tanya Lynn mengingat kalimat Jeff menggantung. Jeff menggaruk pelipisnya yang tak gatal sama sekali. Sesekali, ber
"Wohooo!" teriak Steve di jalan raya yang lengang. Mobil sport Arya melaju kencang. Terpaan angin mengibas-ngibaskan rambut keduanya. Steve sibuk memandang pemandangan luar. Mencoba untuk memotretnya namun kecepatan mobil sangat cepat. Arya hanya terkekeh kecil. Tempat pertama yang mereka kunjungi ialah menjajah kuliner. Tempat wisata pertama mereka sekaligus tempat untuk mengisi perutnya untuk memulai aksinya. Tiga warung sekaligus, membuat perut Steve terasa bengkak kekenyangan. Setelahnya, Arya membawa Steve ke pinggir tebing berhias air mancur. Deru air yang jatuh memekakakkan telinga. Air terjun Banyumala, Buleleng. Perjuangan dan rasa lelah terbayarkan dengan suguhan pemandangan di hadapannya. "Kedipkan matamu, bola matamu mengering,!" canda Arya. Steve meninju pelan lengan Arya. Air terjun di hadapannya sangat indah terlebih dengan airnya yang biru. Arya dan Steve menghabiskan waktu yang cukup lama ber
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve."Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve."Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk."Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—""Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas."Kapan kamu akan mene
[Aku di perjalanan menuju rumahmu sekarang.]Lynn membaca pesan masuk dari Rose. Senyumnya terukir, senang rasanya bisa dimaafkan walau dia masih bisa belum bisa memaafkan dirinya seutuhnya.Lynn meletakkan ponsel di pangkuannya. Akhir-akhir ini, halaman belakang menjadi tempat favoritnya terlebih saat menjelang sore. Di dalam rumah hanya makan dan tidur saja, sisanya dia habiskan di taman, memandang air mancur lekat-lekat, atau hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang tak menenangkan gundahnya sedikitpun.Suara bel pintu terdengar. Rose sudah tiba.[Aku di halaman belakang.]Lynn mengirim pesan. Selang beberapa menit, Rose muncul. Kemeja kedodorannya berkibar-kibar seiring langkah besar-besarnya. Rambut pirangnya dikuncir rendah, nampak berkilau saat mentari sore menyoroti.Rose tersenyum lebar. "Hai!" Dia beralih duduk di bangku panjang depan Lynn. Kotak yang ditentengnya tadi dibuka dari kantongnya."Apa kabarmu?" tanyanya
Lynn terduduk termangu, memandang kosong air mancur di halaman belakang rumahnya. Airnya berkilau seiring gemerlap lampu yang menyinari. Biasanya air mancur itu akan menenangkannya, deru airnya yang mengalun layaknya melodi yang indah, tapi kali ini tidak. Lynn tak merasakan ketenangan secuil pun.Jeff muncul dengan mug di tangan. Dadanya berdesir cemas melihat orang yang dicintainya masih terpuruk duka. Dia tahu betul bagaimana Lynn yang kini merasa hidup dalam bayang-bayang dosanya. Wanita itu belum memaafkan dirinya atas apa yang telah diperbuatnya."Kamu tak kedinginan?" Jeff memaksakan senyum tipisnya, dia menyodorkan mug berisi cokelat panas.Lynn membalas senyum Jeff kikuk. Dia menerima gelas itu, menghirup aroma manis dan wangi, tapi dia tak meminumnya. Dia hanya menggenggam mug itu, menatap kepulan kecil yang mengudara."Kamu tak boleh terus menerus seperti ini, Lynn. Bagaimanapun, kamu tetap harus melanjutkan hidup setelah—""Pantas
"Apa kabar, Rose?"Rose melirik ke arah Steve sebelum dia menjawab, "Lebih buruk!"Dia merasa lebih buruk, dia baru saja mendapat ingatannya dan Lynn menemuinya di hari itu juga. Sebut saja jackpot sialan."Maaf, aku baru menemuimu hari ini ...." Kalimat Lynn tercekat. Dia akui dirinya seperti pengecut. Terlalu takut dan malu menemui Rose.Rose melirik Steve dan pria di seberang kursi. Steve mengangguk kecil memahami arti tersirat tatapan Rose. Wanita itu ingin berempat mata saja dengan Lynn.Steve beranjak dari duduknya, merangkul Jeff meninggalkan ruangan itu. Sebelum Jeff benar-benar pergi, dia melirik Lynn seolah meyakinkan wanita itu akan baik-baik saja.Roe mengatur napasnya, berpindah duduk di samping Lynn yang duduk di kursi roda."Aku menyesal," lirih Lynn menatap Rose dan menunduk lagu.Rose memaksakan senyum tipisnya. Jika dia mau, dia bisa membalas perbuatan Lynn. Namun, dia enggan. Melihat kondisi Lynn yang cacat sep
Kepalanya terasa disengat dan diikuti pukulan-pukulan yang mendentum. Sakitnya menyerangnya, hingga Rose lupa apa dia masih hidup atau mati.Sebelum penglihatannya gelap, dia menyerukan nama Steve.Lalu dia tersadar.Rose berada pada ruangan putih, sangat luas. Tak ada seorang pun disana selain dirinya. Rose berputar, barangkali dia akan menemukan pintu. Namun, tidak ada sama sekali."Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" tanya Rose. Tapi itu terdengar mustahil baginya. Dia tak mungkin mati semudah itu. Mati karena menabrak pembatas jalan? Bah, keren sekali! Batin Rose.Lalu, dia memeriksa pakaiannya. Kalau dia mati, harusnya pakai putih-putih, tapi dia justru berbalut kaus kuning pucat dan legging, pakaian olahraganya tadi.Cahaya silau berpendar, dan dentum di kepalanya mendera."Akh!"Rose menahan kepalanya yang serasa ingin meledak. Dia berlutut. Lama-kelamaan dia bergelung di lantai putih itu."Kalau aku t
Steve kian mendekap tubuh bergetar Rose, mengecup pucuk kepalanya setidaknya menenangkan wanita itu. Namun, tidak tenang sama sekali."Jangan paksakan dirimu," lirih Steve."Aku tak bisa seperti ini, Steve. Aku ... tersiksa!" ujarnya dengan suara terputus-putus.Steve memindahkan Rose ke ranjang, mengusap pipi Rose yang basah."Kau tentu akan mengingatnya!" ucap Steve, terdengar yakin. Namun, dia sendiri meragukannya.Rose tak menyahut lagi, dia masih terisak-isak. Ucapan terakhir Steve tak menenangkan sedikitpun baginya, justru dia muak mendengar kalimat itu. Dia akan mengingatnya, tapi kapan? Itu membuat Rose kian tersiksa."Tinggalkan aku sendiri," lirih Rose sambil menepis pelan tangan Steve di pipinya."Rose–""Keluar," katanya, "aku ingin sendiri!"Steve menghela napas. "Berjanji padaku, kau tak akan mengacau seperti itu!"Rose tak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan Steve."Aku tak akan kelu
Malam itu, Rose termenung dalam kamarnya, jendela sengaja dia buka, rembulan bersinar masuk dalam kamarnya yang gelap itu, Rose sengaja mematikan lampunya.Dia menyandarkan punggungnya di dinding, semilir angin menerpa menembus tulang. Rambutnya yang melorot terumbai-umbai.Rose memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali ingatan yang dilupakannya. Dia mulai tersiksa dengan ketidaktahuan peristiwa yang dia alami."Argh!" erang Rose frustrasi, dia tak mengingatnya.Dia mengacak rambutnya, cepolan rambutnya sudah terurai dan nampak kian semrawut.Rose mengulangnya kembali. Memfokuskan titik pencariannya.Gelap.Suara datang bergemuruh.Gelap."Argghhh!"Deru napas Rose memburu, dia menyapu alat-alat kosmetiknya di meja rias, menendang kursi riasnya terpelanting menabrak pintu hingga terdengar suara gebuman."Kenapa aku tak bisa mengingatnya!" Rose menatap pantulan bayangannya di cermin yang kini tampak menye