Steve melangkahkan kakinya.
Ia telah membuat keputusannya, entah dia akan menyesalinya atau ... justru sebaliknya.
Lynn menahan napas.
Kedipan matanya melambat seiring langkah kaki Steve yang berjalan mendekatinya.
Kedua tangannya memegang dadanya. Entah diliput apa sekarang perasaannya.
Dengan langkah kaki lebar Steve, dia kini berdiri dihadapan Lynn, hampir merapat agar Lynn bergabung dalam naungan payungnya.
Dalam temaram lampu trotoar, Lynn melihat jelas ekspresi Steve yang entah apa artinya, mata cokelat gelap teduhnya entah ingin menyampaikan apa.
"Aku mencintaimu, Steve!" ujar Lynn dengan suara terisak-isak. Tangisnya sudah reda. Ia memandangi mata cokelat pekat milik Steve, walau sedikit buram, rembesan air hujan dari rambutnya mengalir di wajahnya.
Steve menarik Lynn, mendekapnya. Dia tak tahu apa alasan dia memeluk Lynn. Dia hanya ingin saja. Steve mengelus-elus punggung Lynn. Segunung pertanyaan dalam kepalanya berke
Steve mengeluarkan mobilnya dari bagasi. Ia meluncur dengan kelajuan di atas rata-rata.Namun, sesampainya di rumah Jessica—yang gelap gulita— Steve terduduk lesu di kursi teras.Dia menunggu hampir dua jam lamanya. Sesaat lampu sorot mobil menyorotinya, ia berdiri kaku di depan pintu.Jessica berjalan lenggok dengan anggunnya menuju Steve, rahangnya berubah kaku dengan pandangan yang tersulut marah."Ada apa kemari?" tanyanya ketus."Aku ingin menemuimu."Jessica membuang pandangannya ke dinding pembatas rumahnya."Masuk," titahnya setelah membuka kunci rumahnya.Jessica langsung menuju dapur, keluar dengan membawa segelas jus di tangannya."Aku tinggal sebentar, gerah. Gak apa-apa, kan?" Jessica meletakkan jus tersebut di hadapan Steve.Steve mengangguk. Jessica berbalik. Namun, belum beberapa langkah, ia melongokkan kepala dari dinding."Toplesnya dibuka sendiri, ya!" Jessica memang tak panda
Steve meninggalkan rumah Jessica dengan perasaan lega menyergap. Kini, dia tak perlu mengkhawatirkan apapun tentang dia—perasaannya.Steve sengaja lewat depan rumah Lynn.Dia menghela napas. Masalahnya kini ada pada wanita itu. Steve berniat mampir di rumah Lynn. Namun, waktunya tidak tepat, pukul 23.00, Lynn sudan tertidur—biasanya, tapi entah sekarang. Barangkali pikirannya terganggu dengan insiden malam itu hingga membuatnya kesulitan tertidur, mungkin.**Steve bergerak gusar di kursinya, ujung sepatunya mengantuk-antuk ubin membuat suara tk ... tk.Fianne memutar kursinya menghadap Steve. "Bisakah kau diam? Kau mengganggu konsentrasiku," ujarnya menatap kesal ke arah Steve.Steve mengendikkan bahu. Fianne memutar kembali kursinya, suara ketikan jemarinya di atas keyboard terdengar menyakitkan. Wanita itu rupanya balas dendam.Steve kembali menghadapi komputernya.Sepuluh menit lagi jam istirahat.Fianne
Steve memperbaiki posisi duduknya."Sejak kapan?"Lynn menunduk, ia menautkan jari-jemarinya. Ia menggigit bibir bawahnya."Aku tak tahu pasti kapan, tapi aku menyadari perasaanku untukmu sejak kau dan Rose menjalin hubungan. Aku tahu, saat itu kau milik Rose ... perasaanku semakin tumbuh tak tahu malu."Steve memejam matanya, menarik napasnya kuat. Apakah ada hubungan dengan Rose? (Lagi)"Selama itu?"Lynn mendongak, menatap Steve. Dia mengangguk pelan.Steve menghela napas.Keduanya kembali terdiam. Steve tengah menyusun pertanyaan keduanya. Pertanyaan menggunung di kepalanya menyulitkannya mengeluarkan satu per satu.Tatapan mata Lynn berubah sendu, memorinya kembali berputar mengingat insiden di bandara dua tahun lalu. Hari itu, hari dimulainya runtuhnya kehidupan Steve dan hari bangkitnya perasaan Lynn yang semakin menjadi-jadi.Lynn menyandarkan punggungngya di sandaran sofa."Kau tahu, di saat aku me
"Apa kini semuanya berakhir?""Tidak, semuanya baru saja dimulai," jawab Steve.Steve membaringkan tubuhnya dengan kaki bersilangan. Senyumnya tak lepas dari wajahnya. Keputusan menerima Lynn sebagai kekasihnya tindakan yang benar dan sepenuhnya mengusir bayang-bayang Rose.Esok kembali memulai lembar memori baru**Cahaya matahari menyelisik masuk menembus tirai putih jendelanya. Steve membulatkan mata, melompat masuk ke kamar mandi.Sial, dia telat.Steve tak masalah jika dirinya telat barang lima menit—masih bisa ditoleransi. Namun, nahasnya, dia sudah sepakat dengan Lynn untuk ke kantor bersama hari ini.Steve merampas tasnya, memasang dasi sambil berjalan menuju mobilnya.Lynn mengetuk-ngetuk jam tangannya, sebentar lagi keduanya telat."Harusnya aku berangkat saja tadi," kesal Lynn.Mobil Steve memasuki pelataran rumah Lynn."Maaf, aku terlambat bangun," ujar Steve."Cepat!" titah Ly
Steve mengangguk, "Hanya beberapa kaleng soda," ujarnya."Pas sek–""Dan piza," tambah Steve. Dia menyengir mendapat tatapan Lynn yang seolah berkata, "Lancang sekali kau memotong ucapanku."Lynn mengacungkan dua jempol. Steve mengartikannya sebagai "Bagus, balas dendam yang bagus."Steve menarik Lynn keluar dari kamar.Kini keduanya duduk di masing-masing seberang meja. Steve mengusap kedua tangannya kala Lynn membuka penutup piza. Steve meraih satu potongan dan tangan satunya menggeledah isi kotak pazel. Kepingan-kepingan pazel ia tumpahkan di atas meja.Selembar kertas kecil tentang hasil jadi pazel tersebut, seorang gadis bermahkota bunga duduk di atas batu di tengah-tengah air danau, satu tangannya memainkan riak danau, burung-burung beterbangan di langit yang mulai memerah."Sempurna."Lynn mengangkat kepala, "Belum dimulai, Steve."Steve hanya tertawa.Lynn mengambil kepingan pazel dengan satu tangan
Keduanya kini berada di taman."Kau dari dulu tak pernah berubah," ujar Lynn."Banyak yang berubah. Namun, tidak dengan tempat ini."Lynn menoleh menatap Steve. Pikirnya, yang dimaksud Steve adalah kisah dua tahun lalu.Steve tersenyum menoleh mendapati wajah diam Lynn."Salah satunya kau. Kemarin aku hanya sahabatmu yang bodoh dan hari ini aku pacarmu." Steve terkekeh kecil."Ya, aku juga tak pernah menyangka hal ini akan terjadi, padaku."Steve bangkit berdiri dari bangku taman. Lynn mendongak."Kau haus?" tanya Steve.Lynn mengangguk samar. Steve berbalik menuju kedai minuman yang tak jauh dari mobilnya terparkir. Lynn menoleh menatap punggung Steve yang menjauh.Lynn merogoh cincin dari dalam tas sampirnya. Ia mengangkat agak tinggi cincin tersebut hingga berkemilau diterpa sinar matahari."Apa dia pria yang masih sama dengan pria dua tahun lalu?" ujar Lynn, ia menggerak-gerakkan cincin tersebut."
"Ingat, jangan coba-coba menjauh dariku. Kau tahu, beberapa pria belang mencoba menerkammu," bisik Steve."Dengan senang hati, Tuan Robinson."Steve tertawa kecil mendengar Lynn menyebutnya tuan. Tangan Steve terangkat. Namun, keburu Lynn menurunkannya."Jangan coba-coba mengacak rambutku. Kau tak tahu berapa lama aku menatanya."Kini keduanya sampai di pintu aula, dua penjaga meminta bukti undangan. Steve mengeluarkan dua undangan atas nama dirinya dan Lynn dari balik sakunya."Selamat datang Nona Meinen dan Tuan Robinson." Penjaga menyodorkan dua topeng untuk Lynn dan Steve, penjaga satunya membuka pintu aula.Aula gedung berubah layaknya istana dengan segala kemewahan di setiap mata memandang.Keduanya mengedarkan pandangan, rupanya sudah begitu ramai. Lynn menarik Steve mendekati seorang wanita yang nampak familiar.Lynn menyentuh pundak wanita itu lantas ia menoleh."Yes?""Leiss?" Leiss membuka topengn
Steve datang di rumah Lynn begitu awal. Katanya ingin sarapan lama-lama berdua. Kalimat sederhana itu sudah membuat pipi Lynn memanas di pagi buta.Ada yang salah dengan dirinya, dia mudah sekali terbawa perasaan oleh Steve bahkan hanya kalimat sepele pun."Terimakasih," ujar Steve lalu menggigit rotinya.Pergerakan tangan Lynn yang sedang mengoles roti terhenti, dia menatap Steve, "Ada apa?""Untuk kirimannya," jawab Steve."Kiriman?" Lynn kembali mengernyit tak menangkap maksud Steve."Kau lupa?""Aku tak mengirim apapun padamu, Steve.""Kalau bukan kau, lalu siapa yang mengirimiku dua buku?" tanya Steve.Lynn mengedikkan bahu seraya menggigit rotinya."Salah kirim, mungkin," ujar Lynn.Steve mengedikkan bahu tak tahu."Waktunya berangkat," ujar Lynn membuyar lamunan pagi Steve. Ia meraih luaran kemejanya yang tersampir di kursi sebelahnya lalu memasangnya.Sesampainya di kantor, Steve kemba
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve."Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve."Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk."Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—""Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas."Kapan kamu akan mene
[Aku di perjalanan menuju rumahmu sekarang.]Lynn membaca pesan masuk dari Rose. Senyumnya terukir, senang rasanya bisa dimaafkan walau dia masih bisa belum bisa memaafkan dirinya seutuhnya.Lynn meletakkan ponsel di pangkuannya. Akhir-akhir ini, halaman belakang menjadi tempat favoritnya terlebih saat menjelang sore. Di dalam rumah hanya makan dan tidur saja, sisanya dia habiskan di taman, memandang air mancur lekat-lekat, atau hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang tak menenangkan gundahnya sedikitpun.Suara bel pintu terdengar. Rose sudah tiba.[Aku di halaman belakang.]Lynn mengirim pesan. Selang beberapa menit, Rose muncul. Kemeja kedodorannya berkibar-kibar seiring langkah besar-besarnya. Rambut pirangnya dikuncir rendah, nampak berkilau saat mentari sore menyoroti.Rose tersenyum lebar. "Hai!" Dia beralih duduk di bangku panjang depan Lynn. Kotak yang ditentengnya tadi dibuka dari kantongnya."Apa kabarmu?" tanyanya
Lynn terduduk termangu, memandang kosong air mancur di halaman belakang rumahnya. Airnya berkilau seiring gemerlap lampu yang menyinari. Biasanya air mancur itu akan menenangkannya, deru airnya yang mengalun layaknya melodi yang indah, tapi kali ini tidak. Lynn tak merasakan ketenangan secuil pun.Jeff muncul dengan mug di tangan. Dadanya berdesir cemas melihat orang yang dicintainya masih terpuruk duka. Dia tahu betul bagaimana Lynn yang kini merasa hidup dalam bayang-bayang dosanya. Wanita itu belum memaafkan dirinya atas apa yang telah diperbuatnya."Kamu tak kedinginan?" Jeff memaksakan senyum tipisnya, dia menyodorkan mug berisi cokelat panas.Lynn membalas senyum Jeff kikuk. Dia menerima gelas itu, menghirup aroma manis dan wangi, tapi dia tak meminumnya. Dia hanya menggenggam mug itu, menatap kepulan kecil yang mengudara."Kamu tak boleh terus menerus seperti ini, Lynn. Bagaimanapun, kamu tetap harus melanjutkan hidup setelah—""Pantas
"Apa kabar, Rose?"Rose melirik ke arah Steve sebelum dia menjawab, "Lebih buruk!"Dia merasa lebih buruk, dia baru saja mendapat ingatannya dan Lynn menemuinya di hari itu juga. Sebut saja jackpot sialan."Maaf, aku baru menemuimu hari ini ...." Kalimat Lynn tercekat. Dia akui dirinya seperti pengecut. Terlalu takut dan malu menemui Rose.Rose melirik Steve dan pria di seberang kursi. Steve mengangguk kecil memahami arti tersirat tatapan Rose. Wanita itu ingin berempat mata saja dengan Lynn.Steve beranjak dari duduknya, merangkul Jeff meninggalkan ruangan itu. Sebelum Jeff benar-benar pergi, dia melirik Lynn seolah meyakinkan wanita itu akan baik-baik saja.Roe mengatur napasnya, berpindah duduk di samping Lynn yang duduk di kursi roda."Aku menyesal," lirih Lynn menatap Rose dan menunduk lagu.Rose memaksakan senyum tipisnya. Jika dia mau, dia bisa membalas perbuatan Lynn. Namun, dia enggan. Melihat kondisi Lynn yang cacat sep
Kepalanya terasa disengat dan diikuti pukulan-pukulan yang mendentum. Sakitnya menyerangnya, hingga Rose lupa apa dia masih hidup atau mati.Sebelum penglihatannya gelap, dia menyerukan nama Steve.Lalu dia tersadar.Rose berada pada ruangan putih, sangat luas. Tak ada seorang pun disana selain dirinya. Rose berputar, barangkali dia akan menemukan pintu. Namun, tidak ada sama sekali."Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" tanya Rose. Tapi itu terdengar mustahil baginya. Dia tak mungkin mati semudah itu. Mati karena menabrak pembatas jalan? Bah, keren sekali! Batin Rose.Lalu, dia memeriksa pakaiannya. Kalau dia mati, harusnya pakai putih-putih, tapi dia justru berbalut kaus kuning pucat dan legging, pakaian olahraganya tadi.Cahaya silau berpendar, dan dentum di kepalanya mendera."Akh!"Rose menahan kepalanya yang serasa ingin meledak. Dia berlutut. Lama-kelamaan dia bergelung di lantai putih itu."Kalau aku t
Steve kian mendekap tubuh bergetar Rose, mengecup pucuk kepalanya setidaknya menenangkan wanita itu. Namun, tidak tenang sama sekali."Jangan paksakan dirimu," lirih Steve."Aku tak bisa seperti ini, Steve. Aku ... tersiksa!" ujarnya dengan suara terputus-putus.Steve memindahkan Rose ke ranjang, mengusap pipi Rose yang basah."Kau tentu akan mengingatnya!" ucap Steve, terdengar yakin. Namun, dia sendiri meragukannya.Rose tak menyahut lagi, dia masih terisak-isak. Ucapan terakhir Steve tak menenangkan sedikitpun baginya, justru dia muak mendengar kalimat itu. Dia akan mengingatnya, tapi kapan? Itu membuat Rose kian tersiksa."Tinggalkan aku sendiri," lirih Rose sambil menepis pelan tangan Steve di pipinya."Rose–""Keluar," katanya, "aku ingin sendiri!"Steve menghela napas. "Berjanji padaku, kau tak akan mengacau seperti itu!"Rose tak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan Steve."Aku tak akan kelu
Malam itu, Rose termenung dalam kamarnya, jendela sengaja dia buka, rembulan bersinar masuk dalam kamarnya yang gelap itu, Rose sengaja mematikan lampunya.Dia menyandarkan punggungnya di dinding, semilir angin menerpa menembus tulang. Rambutnya yang melorot terumbai-umbai.Rose memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali ingatan yang dilupakannya. Dia mulai tersiksa dengan ketidaktahuan peristiwa yang dia alami."Argh!" erang Rose frustrasi, dia tak mengingatnya.Dia mengacak rambutnya, cepolan rambutnya sudah terurai dan nampak kian semrawut.Rose mengulangnya kembali. Memfokuskan titik pencariannya.Gelap.Suara datang bergemuruh.Gelap."Argghhh!"Deru napas Rose memburu, dia menyapu alat-alat kosmetiknya di meja rias, menendang kursi riasnya terpelanting menabrak pintu hingga terdengar suara gebuman."Kenapa aku tak bisa mengingatnya!" Rose menatap pantulan bayangannya di cermin yang kini tampak menye