Satu.. Dua.. Tiga..
Sudah berapa lantai berhasil kulalui dengan tangga darurat ini? Ah sial, sepatu high heels 9 centimeter Marc Jacobs ini memang sangat cantik, tapi sama sekali tidak membantuku untuk menuruni tangga dengan lebih cepat!Segera kulihat papan nomor akrilik berwarna hijau dekat pintu darurat menunjukkan angka 701-720.Bagus, lantai di mana kamarku berada.Aku harus segera menemukan kamarku karena aku sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi. Perutku yang kampungan ini memang tidak bisa mentolelir santapan ikan mentah. Tiga suap raw fish Hors d'eouvres yang dipaksakan oleh atasanku langsung, Direktur Jasc EO, cukup membuat perutku langsung bergejolak. Untung aku masih sempat melihat acara yang kuatur sendiri itu selesai dengan sempurna.Aku terengah-tengah sambil meringis kesakitan menahan sakit di perutku. Tanpa pikir panjang, kubuka pintu kamarku yang ternyata tidak tertutup sempurna karena terganjal linen keset hotel yang tebal.Apakah tadi pagi aku begitu buru-buru sampai lupa memastikan pintu tertutup dengan benar?Entahlah, aku tidak sanggup berpikir lagi. Dengan tergesa-gesa aku menjangkau pintu kamar mandi yang terletak dekat dengan pintu masuk.“Ah, lega,” aku menghela nafas lega sambil menekan tombol flush di kloset duduk setelah menuruti panggilan alamku. Sungguh merepotkan jika tidak mau menggunakan toilet area umum sepertiku.Sayup-sayup terdengar suara orang bertengkar.Astaga, apakah sistem kedap suara di Hotel Grand Luxy memang seburuk ini? Padahal ini adalah hotel bintang lima yang sangat mewah, mungkinkah suara dari koridor bisa terdengar sampai ke dalam kamar mandi di dalam kamar?Suara itu terdengar semakin jelas.Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Lampu di kamar mandi ini menyala terang, padahal tadi aku tidak merasa meletakkan power key card ke power slot. Apakah tadi aku juga lupa mengambil kunci kamar sebelum naik ke ballroom? Aku mengibas-ibaskan tangan setelah mencuci tangan di wastafel. “Entahlah, aku harus segera kembali ke ballroom. Event Director sudah seharusnya ada di tempat, bukan?” Kataku pada diri sendiri, mengabaikan suara-suara dari balik dinding.Aku baru akan mengarahkan kakiku menuju pintu ketika terdengar seseorang menggedor-gedor pintu kamar mandi dari luar.Brak.. Brak.. Brak..Aku kebingungan. Siapa yang bisa masuk ke kamarku? Apakah lagi-lagi aku tidak menutup pintu dengan benar?“Hei, keluar! Aku tahu ada orang di dalam. Keluar!” Teriak seseorang dari balik pintu.Masih kebingungan, aku membuka pintu karena merasa tertantang. Jika ada orang yang bisa menerobos masuk ke kamarku, aku harus mengajukan komplain.Lagi pula atasanku adalah putri pemilik hotel ini.“Berani-beraninya Anda…,” kata-kataku terputus ketika melihat sosok pria begitu aku membuka pintu kamar mandi.Di depan mataku, terpampang sebuah dada bidang mulus yang membuatku menelan ludah. Aku mengerjapkan mata beberapa kali sebelum mendongak untuk melihat wajah si empunya dada bidang ini.Rahang tegas, wajah khas pria asia yang tampan, kulit putih mulus, dan rambut yang dibiarkan sedikit panjang terurai berantakan.Aku mengerjapkan mata sekali lagi.“Bagaimana kau bisa masuk ke sini? Siapa kau?!” Cecar pria berwajah tampan di depanku ini.“Ah..,” aku menggeleng-gelengkan kepala untuk mengembalikan kesadaran. “Bukankah seharusnya saya yang bertanya kepada Anda? Bagaimana Anda bisa masuk ke kamar saya?” Aku balas menuntut jawaban dari orang ini, menghiraukan betapa aku ingin meletakkan tangan di dadanya.Hentikan pikiran mesum itu, Fiona!
“F*ck!” Orang itu memaki sambil memegang kepalanya. Seolah-olah kesabarannya sudah habis.“Aldo! Berani-beraninya kau meninggalkan aku sendiri..,” seru seseorang yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar. Seorang wanita ber-make up tebal dan.. hanya memakai kain putih—yang kuduga adalah sprei—yang dililitkan dengan asal-asalan di sekeliling tubuhnya. Meskipun begitu, aku masih bisa melihat lekuk tubuhnya yang sintal.Ups.. Apakah sedang ada semacam pesta telanjang di sini?“Siapa kau?” Tuntut wanita itu sambil menunjukku dengan jarinya yang memakai cat kuku berwarna merah.Aku tidak bisa berkata-kata saking kagetnya.“Kalian..” kata pria itu masih sambil memegang kepalanya. “Kalian pasti orang-orang suruhan Jasmine,” lanjutnya.“Aldo..," kata wanita itu menggelengkan kepalanya. "Jasmine memang temanku, tapi seharusnya kau tahu kalau aku juga memang menyukaimu,” kata wanita itu sambil berkacak pinggang. “Bukankah kau juga menyukaiku? Setidaknya setelah melihat tubuhku tadi?”Wanita itu benar-benar percaya diri dengan tubuhnya. Mataku tertuju pada dadanya yang menonjol seperti buah melon di balik lapisan tipis kain sprei.Aku berganti mengarahkan pandang kepada pria yang ada di hadapanku. Wajahnya semakin terlihat murka.“Lalu, kau sendiri siapa?” kata pria itu sambil melihatku dengan wajah marahnya.“Saya..” aku masih berusaha mengembalikan diri dari keterkejutanku tadi. “Saya menginap di kamar ini!” Seruku membela diri.“Apa??” Jawab orang itu tidak percaya. “Berbohonglah dengan lebih baik. Aku tinggal di kamar ini sudah lebih dari setahun yang lalu!”“Apa? Bukankah ini kamar nomor 720?” Jawabku bingung.“Hah!” Orang itu mendengus tidak percaya. “Ini kamar nomor 702. Walaupun begitu, bagaimana caranya kau masuk ke kamar ini, hah?!” Tuntut orang itu.Aku kebingungan. Aku menundukkan kepala untuk berpikir. Saat itulah aku melihat bagian tubuh bagian bawah dari pria yang sedari tadi berdiri di depanku.Boxer. Dia hanya mengenakan boxer ketat berwarna hitam.“Kyaa!!” Teriakku sambil refleks mendorong dada bidang pria itu yang membuatnya jatuh terduduk dengan wajah terkejut.“Ah, maaf! Saya tidak sengaja, itu hanya refleks. Soalnya Anda hanya mengenakan.. Um..,” aku tidak mampu menyelesaikan kata-kataku.“Hei, kau ini tidak sopan!” Teriak wanita itu.“Maaf, saya benar-benar tidak sengaja,” kataku sambil melangkahkan kaki melewati pintu kamar mandi.Pria itu mengangkat tubuhnya, aku membuang muka agar tidak melihat “benda” besar yang menempel pada tubuhnya.“Ehem,” aku mengedarkan pandang ke sekitar ruangan agar mataku berhenti menatap milik pria itu. Kamar ini jauh lebih luas daripada kamar yang semalam kutempati. Kamar yang diperuntukkan bagi karyawan Jasc EO sambil begadang menyiapkan event besar di ballroom hotel ini.Seketika aku menyadari sesuatu. Ini bukanlah kamarku.“Ma.. Maaf. Sepertinya saya memang salah masuk kamar,” kataku terbata-bata. “Saya terburu-buru karena hendak ke kamar kecil. Sepertinya saya tidak melihat nomor kamar dengan benar dan kebetulan pintunya tidak tertutup sempurna.”“Omong kosong!” Kata pria itu dengan keras. Kemudian menarik tangan wanita itu. “Keluar kalian semua!”Pria yang tadi kudengar dipanggil Aldo itu mendorong kami keluar pintu.Aku dengan cepat membuka pintu kemudian keluar kamar dengan sendirinya. Sedangkan wanita itu masih berteriak-teriak tidak terima. Hingga pintu kamar sudah ditutup, wanita itu masih menggedor-gedor pintu kamar hanya dengan balutan sprei menutupi tubuhnya.Aku berjalan cepat menuju lantai paling atas tempat acara yang diadakan perusahaanku berada. Setelah acara selesai, direktur akan sekalian mengumumkan promosi jabatan untukku. Tentu aku harus kembali cepat-cepat!Tidak.. Tidak mungkin.Aku sudah bekerja dengan sangat keras. Atasanku juga dengan jelas mengatakan untuk menaikkan jabatanku menjadi wakil direktur setelah event besar kali ini.Setelah event selesai, para karyawan yang bertugas berkumpul untuk evaluasi dilanjutkan dengan penunjukkan wakil direktur baru.Coba tebak siapa direktur baru itu? Yang pasti bukan aku, meski sudah melakukan berbagai pekerjaan yang setara dengan pekerjaan direkturku.Tapi Si Anak Baru, yang setahuku masih memiliki pengetahuan yang sangat minim mengenai bisnis EO ini, yang merupakan anak dari pengusaha lain. Bangsat.Benar-benar nepotisme busuk.“Ck.. Benar-benar keterlaluan,” kata sebuah suara yang tidak asing.Aku mendongakkan kepala cukup tinggi agar bisa melihat orang yang ada di depanku. Wajahnya disinari lampu jalan yang temaram.“Bagaimana sekarang kau akan menjelaskan keadaan ini? Pertemuan karena takdir?” Tanya orang itu sambil berdiri di pinggiran trotoar tempatku berhenti setelah berjalan tanpa arah
Hati dan pikiranku diliputi amarah yang luar biasa. Walaupun begitu, aku tidak bisa menolak Aldo yang menggenggam tanganku dengan sangat erat.Sepertinya dia lebih marah daripada aku.“Kau mau membawaku kemana?” Tanyaku ketika kami sampai di depan pintu kamar 702.Aldo tetap diam sambil membuka pintu. Dia bersikeras membuatku ikut masuk ke dalam kamarnya.Hanya keheningan yang ada di dalam kamar ini. Aldo tidak banyak bicara, dia hanya duduk menunduk di kursi sofa sambil memegang kepalanya. Keheningan ini membuat semua memori pengkhianatan tadi menyerang pikiranku kembali.Aku ikut-ikutan memegang kepala seperti Aldo.“Benar-benar tidak bisa dipercaya. Tidak hanya mengangkat anak bau kencur menjadi wakil direktur, tapi juga menghapus prestasiku?!” Kataku frustasi.“Berhentilah mondar-mandir. Kau membuatku pusing,” kata Aldo yang sudah berhenti memegang kepalanya.“Dan dia ternyata adalah adikmu??" Aku masih tidak percaya. Secara fisik, mereka memang sangat berbeda. Aldo bertubuh tinggi
Kantung mataku menghitam karena stres dan kurang tidur, walaupun sakit kepala yang kualami kemarin sudah mereda. Aku berterimakasih kepada Aldo karena mengizinkanku menginap di ruang tamu kamar suitenya, karena ternyata banyak wartawan yang berjaga di halaman depan hotel. Tidak pernah kubayangkan aku akan menjadi incaran para wartawan.Dan aku juga berterimakasih pada Aldo karena dengan sigap membelikanku obat pereda sakit kepala tanpa kuminta. Sikapnya ternyata sangat manis. Jauh berbeda dengan penampilannya.Ting tong..Bunyi bel terdengar pelan dari dalam kamar mandi tempatku bercermin. Apakah itu Aldo? Kenapa dia tidak langsung masuk saja?Aku bergegas membukakan pintu untuknya.“Kenapa…” kata-kataku terhenti ketika melihat orang yang ada di balik pintu.Dua orang pria bertubuh besar dan memakai jas hitam berdiri di depan pintu.“Harap ikut dengan kami, Nona Fiona,” kata salah seorang berbadan besar itu dengan singkat dan tegas.Aku sama sekali tidak bisa membantah. Yah, aku bisa
Aldo mengantarku ke kamarnya kemudian dia sendiri pergi entah kemana. Terdengar bunyi gebrakan dari pintu. Siapa lagi yang datang sekarang? Aku benar-benar lelah secara fisik dan emosi. Aku tidak sanggup menghadapi kejutan lagi. Aku sedikit membuka pintu untuk mengintip siapa yang menggedor pintu dengan sangat tidak sopan. Ternyata bukan pria kekar berjas hitam lagi seperti dugaanku, melainkan orang yang beberapa hari ini membuat hari-hariku serasa ada di neraka. Jasmine mendorong pintu hingga terbuka lebar, membuatku terhuyung ke belakang. “Wanita murahan..” gumam Jasmine dengan gigi gemeretak. “Sudah kuduga kau ada di sini,” lanjutnya, menatapku dengan mata nyalang. Ekspresi wajahnya, tatapan matanya, hingga nadanya dalam berbicara sungguh berbeda dengan sosok direktur Jasmine yang aku kenal selama ini. Dia bisanya bertutur kata halus dan bersorot mata lemah lembut. Hal itu membuatku terpaku. Seperti ada orang gila yang mau menyerangku. Tangannya tiba-tiba menjangka
Angin sepoi-sepoi menyapu wajahku dengan lembut. Di kejauhan sana tampak langit bewarna semburat jingga tanda sang kala akan segera beristirhat. Sangat menyenangkan. “Hei, masukkan kepalamu dan tutup jendelanya,” kata Aldo merusak suasana. “Kau jadi mirip Stella jika menjulurkan lidahmu sedikit saja.” “Siapa Stella?” Tanyaku curiga. Apakah di hari pernikahan kami ini dia sudah berani menyebut nama perempuan lain? Walaupun pernikahan kami tidak berlandaskan cinta, tapi tetap saja. “Apa dia perempuan sintal yang tempo hari kutemukan hanya terbalut sprei di kamarmu?” Sopir kami terbatuk-batuk tidak karuan mendengar omonganku. Ah, aku sungguh belum terbiasa dengan minimnya privasi para konglomerat ini. Mereka selalu saja ditemani oleh asisten atau pelayan kemana-mana. “Jangan menguping pembicaraan kami, Galih,” kata Aldo pada orang yang bertugas mengantar kami kembali ke rumah. Dan dia menjawab dengan anggukan kepala. “Perempuan waktu itu adalah teman Jasmine yang tidak waras. Dia men
Keesokan paginya, sebuah mobil box besar berhenti di depan rumah dan menurunkan sejumlah besar kado pernikahan yang aku tidak tahu pernah ada.Aku membiarkan sebagian besar kado itu tergeletak di ruang tengah agar bisa dibuka bersama Aldo malam nanti.Tadi pagi dia pergi untuk bekerja. Katanya dia menjalankan beberapa usaha kecil.Entah sekecil apa usaha yang dimiliki oleh seorang anak konglomerat.Ada satu kado yang menarik perhatianku. Kado berbentuk amplop besar berwarna keperakan yang indah.Tapi, bukan keindahan amplop itu yang menyita perhatianku. Tapi nama yang tertera di atasnya.‘Happy wedding. - Jasmine’Aku bergegas membuka amplop itu.***Aldo pulang ke rumah pada saat jam makan malam. Aku menunggunya di meja makan dengan amplop ‘kado’ pernikahan di tanganku.“Kau masak?” Tanya Aldo melihat beberapa lauk di atas meja.Aku mengangguk, “Setelah sekian lama.” Aku menyuruhn
Galih buru-buru membuang rokok yang sedang dihisapnya kemudian menginjak-injaknya dengan sadis.“Maaf, saya pikir Tuan dan Nyonya akan lebih lama berada di dalam,” kata Galih sambil tergopoh-gopoh membukakan pintu mobil.Aldo menahan pintu untukku dan mempersilahkan aku masuk lebih dulu. “Sepertinya kami harus makan di tempat lain,” katanya kepada Galih sambil memutari mobil untuk masuk melalui pintu satunya.“Ada yang ingin kau makan?” Tanya Aldo setelah duduk di sebelahku.“Yang sederhana saja,” jawabku setelah berpikir sebentar.“Bagaimana kalau burger?” Aldo menyarankan.“Setuju,” jawabku.“Ke tempat burger drive-thru, setelah itu kau kuberi tahu tempat selanjutnya,” kata Aldo kepada Galih.“Baik…” Galih menjawab namun segera dipotong oleh Aldo.“Jangan panggil aku ‘Tuan’ atau ‘Pak’,” katanya.“…bos?” lanjut Galih, meminta persetujuan dari balik spion tengah.“Itu lebih baik,” kata Aldo.“Baik, Bos,” Galih menyalakan mesin mobil sambil tersenyum.Kami sampai di pinggiran kota, di
Aku bangun ketika matahari sudah bersinang terang. Sial, aku kan bukan anak remaja ingusan, kenapa hanya dengan satu ciuman bisa membuatku tidak bisa tidur?Setelah ciuman yang hangat itu pun, Aldo menatapku lekat-lekat lalu mengusap kepalaku. Kemudian dia mengemudikan mobil dengan tenang sampai ke rumah.Satu-satunya hal yang diucapkannya adalah ‘selamat tidur’ ketika kami menuju kamar masing-masing.Apakah hanya aku di sini yang berpikiran bahwa seharusnya ada kelanjutan dari ciuman itu?Maksudku, ciuman semalam bukan ciuman impulsif karena terdorong suasana saja. Tapi aku benar-benar merasakan ada ‘perasaan’ yang tertuang di situ.Kecuali hanya aku yang berpikir demikian.Aku menemukan beberapa potong french toast di atas meja, terbungkus rapi dengan wrapping plastic. Di dekatnya terdapat memo dengan tulisan Aldo yang rapi:‘Makanlah. Aldo-‘Aku tidak memahami kenapa dia begitu perhatian padaku, namun tetap bersyukur atas makanan yang dia siapkan untukku. Apalagi karena rasanya sung
Kami berdua bersantai-santai di akhir pekan untuk pertama kali setelah Aldo menyelesaikan misinya untuk masuk ke manajemen Grand Luxy. Setelah mengetahui bahwa Aldo dapat memenuhi-bahkan melebihi-ekspektasinya, Pram Sastrajaya secara terang-terangan dan tidak tahu malu membangga-banggakan Aldo pada rekan-rekan bisnisnya.“Ini putraku yang punya banyak ide cemerlang,” ujar Pram Sastrajaya dengan suara menggelegar di pesta dua hari lalu.“Kenapa baru sekarang kau tertarik terjun untuk mengelola bisnis, Aldo? Kudengar dulu kau hanya suka bersenang-senang,” ucap seorang bapak-bapak pemilik bisnis A dengan suara tidak kalah menggelegar.Aldo pun menyunggingkan senyum bisnisnya, “Saya ingin membuat istri saya terkesan.”“Kalau begitu, seharusnya kau menikah sejak dulu,” sahut seorang ibu-ibu pemilik bisnis B, diiringi dengan suara tawa yang melengking.Secara tidak terduga ternyata Aldo cocok juga berada di lingkungan para pebisnis berlidah tajam, tidak sedikit pun dia terlihat gugup atau m
Aku mencium Aldo dengan cukup panas sehingga kupikir bibirku bisa lecet. Oh tidak. Biasanya tidak ada hal bagus yang terjadi ketika aku membiarkan naluriku mengambil alih. Aldo mengerjapkan matanya dengan bingung ketika aku melepaskan diri secara sepihak. Kupikir dia pasti sangat terhanyut pada momen barusan. Aku mencoba menutup mulutku dengan tangan. Bahkan Mary Phillips pun tidak akan bisa membuat lipstik bertahan di bibirku setelah melahap Aldo dengan ganas tadi. Mukaku pasti sudah tidak karuan. Sarina dan Alysse tidak melepaskan pandangan mereka dariku, meskipun aku sudah menghentikan pertunjukan barusan. "Memalukan..," Sarina berkata lirih. Alysse ternganga dengan takjub. Aku bersumpah sempat mendengarnya menahan tawa Aku merasa terlalu malu untuk mengucapkan apa pun, maka sebelum orang-orang yang menonton pertunjukan barusan mulai bergunjing aku memutar tumit tinggi sepatuku dan berjalan menjauh dari kerumunan. "Sayang..," Aldo mengikutiku seperti terhipnotis. Di
"Aku benci padamu!" Teriakku pada Aldo, melalui telfon. Galih menatapku dengan terkejut dan takut menjadi satu. Secara tidak sadar dia menjatuhkan boks yang akan diberikannya padaku. "Maafkan saya, Nyonya.. Tapi saya benar-benar berusaha mengambil pesanan sepatu ini dari toko secepat mungkin," kata Galih sambil mengambil kotak sepatu yang tidak sengaja dia jatuhkan. "Astaga, aku yang harus minta maaf. Aku tidak membentakmu," aku menunjukkan earphone yang menempel di telinga kiriku. Galih tampak lega mendengarnya. "Meskipun begitu aku akan benar-benar marah padamu kalau kita terlambat hadir di acara malam ini," kataku sambil mengambil kotak sepatu itu dari tangan Galih. Galih menyetir dengan tenang menuju Grand Luxy, kami masih punya waktu sekitar setengah jam sebelum pesta pengangkatan CEO baru dimulai. Waktu yang pas karena aku tidak mau terlalu lama berbasa-basi dengan orang-orang di sana. "Hei, Galih," panggilku dari kursi belakang. Galih menjawab sambil melirik dari
Semua berjalan dengan mulus dan lancar. Seperti seorang atlet profesional menggelindingkan bola bowling dan kemudian "Strike!" sepuluh pin bowling pun jatuh bersamaan. Aldo bekerja dengan sangat baik di Grand Luxy, bahkan dapat melebihi ekspektasi Pram Satrajaya. Semua berawal dari idenya untuk meningkatkan citra "feels like home" yang mulai pudar dengan menggaet Ramoda, produsen perabot eksklusif bercita rasa seni tinggi. Yang juga terkenal tidak pernah sudi melakukan hubungan komersial dengan korporat besar mata duitan macam Luxy Group. Terimakasih kepada Genta, yang dapat mengambil hati Ramoda. Kehadirannya sebagai manajer operasional, dan bukan aku sebagai direktur (dan juga menantu Luxy Group) yang datang untuk berunding memberikan kesan bahwa kami memang berniat untuk bekerjasama, bukan untuk membajak image yang dimiliki oleh Ramoda. Begitulah, tidak lama setelah peluncuran kampanye "Gather as Family", Aldo dapat memenangkan tantangan yang diberikan ayahnya. Aku sempat
"Kupikir mereka sudah tidak bertemu selama berminggu-minggu," bisik Santi pada Galih, tapi suaranya masih bisa kudengar. "Tuan Aldo tidak bisa berpisah dari Nyonya sehari saja, apalagi berminggu-minggu. Itu tidak mungkin," balas Galih. Mereka berdua mencondongkan diri satu sama lain agar bisa saling mengata-ngatai kami. Aku dan Aldo jadi tidak bisa fokus membaca buku menu yang kami baca bersama karena di depan kami ada dua orang yang tiba-tiba bisa jadi akrab karena menggosipkan kami berdua. "Aku bisa mendengarmu," kata Aldo menatap tajam ke arah Galih. Galih hanya cuek berpura-pura melihat ke langit sedangkan Santi berpura-pura menekuni buku menunya. "Sudah kubilang tidak usah membawa mereka," Aldo merengut memandang buku menunya. Aku jadi merasa bersalah. "Apa jadwal Aldo setelah dari Wale's?" Tanyaku kepada Galih. "Tidak ada jadwal lain, Nyonya," jawab Galih, jari telunjuknya berhenti menelusuri menu. "Kalau begitu, bawa dia pulang begitu rapatnya selesai," aku meniru
Orang itu ternyata adalah seorang perempuan berparas cantik. Aku mengingatnya sebagai orang yang memiliki wajah imut yang tidak sejalan dengan sifatnya yang meledak-ledak. "Berikan pekerjaan padaku," katanya lagi, dengan nafas memburu. "Apa-ah, tenang dulu," aku memberikan kode kepada Meylia untuk melepaskan cengkraman tangannya, lalu menyuruhnya keluar, demi keamanan dirinya sendiri. Bagaimanapun, orang itu memiliki sabuk hitam taekwondo. "Apa yang kau lakukan di sini?!" Semburku pada Santi, orang tidak waras yang barusan menyerbu ruangan kantorku. "Aku orang yang loyal, kau tahu itu bukan?" Matanya masih menyala-nyala karena emosi. "Mm.. Oke?" Kataku lambat-lambat. "Aku sudah begitu bersabar menghadapi Jasmine, tapi kali ini aku sudah tidak bisa toleransi lagi," rambutnya yang dipotong bob pendek bergoyang-goyang ketika dia berbicara dengan penuh semangat. Agak sulit menganggap serius ledakan amarah dari seorang perempuan bertubuh mungil dan memiliki wajah imut yang ti
Tidak kusangka hari ini kami sudah harus meninggalkan vila ini. Tempat yang awalnya terasa menyebalkan karena tidak sesuai dengan ekspektasiku-aku mengharapkan vila di pegunungan yang dingin-tapi malah terasa seperti rumah ketika kami sudah hendak pergi. Kemarin, melalui Galih, Pram Sastrajaya menyuruh kami segera kembali. Karena berita tentang kejadian waktu itu sudah mereda, dan karena Aldo harus segera kembali bekerja. Aku pun sudah merindukan Grayscale. Walaupun bukan perusahaan besar, tapi aku menyukai atmosfer di sana. Walaupun aku belum bisa membayangkan harus bersikap seperti apa jika bertemu dengan Rody nanti-dan aku tidak mau membayangkan barang secuil wajahnya-aku harus tetap berani melangkahkan kakiku. Setidaknya, itu yang harus kulakukan untuk mengatasi mimpi buruk yang belakangan kualami. Mimpi buruk yang, untungnya, seringkali terlupakan berkat sentuhan-sentuhan Aldo. Walau mungkin kurang tepat menyebutnya dengan 'sentuhan'. Aku mengamati baju tidur baruku
Benar kata Aldo, dia memang tidak segan-segan. Dia melakukan hal-hal yang tidak pernah kubayangkan-atau kulakukan-sebelumnya. Dan, melakukan 'itu' di meja dapur adalah salah satunya. Tentu bukan hanya di situ saja Aldo menunjukkan ketidak-seganannya. Setelah membuat punggungku sakit karena berbaring di atas meja kayu jati yang keras, dia membopongku masuk ke dalam kamarnya. Saat kupikir kami seharusnya tidur, dia melanjutkan aksinya.Seharusnya dia menunjukkan belas kasih mengingat semalam adalah pertama kali kami melakukannya. Benar-benar deh. Bagaimana dia bisa menahannya selama ini? Aku berguling menjauhinya. Matahari sudah mulai tinggi dan aku ingin menutup tirai untuk mengurangi cahaya yang masuk melalui kaca jendela. "Mau ke mana?" Tanya Aldo setengah terpejam. "Sudah siang, memangnya kau tidak harus kerja?" Tanyaku sambil menyingkirkan tangannya dari atas perutku. Tapi dia malah semakin melingkarkan tangannya. "Tidak. Aku kan sedang bulan madu," katanya dengan wa
Apa gunanya ke pantai kalau tidak bermain-main di atas pasir dan bersantai sambil minum air kelapa? Aku malah menghabiskan waktu seharian dengan tiduran seperti orang sakit. "Kau memang sedang sakit. Tadi pagi kau demam, ingat?" Kata Aldo ketika aku berusaha menjelaskan bagaimana caranya menghabiskan waktu ketika sedang liburan di pantai. Dia kembali menjadi Aldo yang manis dan protektif. Aku akan dengan senang hati tinggal di dalam kamar seharian kalau saja ada kegiatan yang lebih menarik yang bisa kulakukan di sini. Tahu apa maksudku, bukan? Dengan kondisi sekarang ini-kami yang sudah berbaikan-tentu saja aku memiliki harapan besar ketika Aldo menuntunku masuk ke dalam kamar. Tapi ternyata dia hanya ingin tidur sambil berpelukan. Oh, Aldo yang manis. Aku menikmatinya, tentu saja. Tidak ada yang lebih nyaman di dunia ini selain berada di dalam rengkuhan dada bidang milik Aldo. Aku mengutuk diriku sendiri yang berharap untuk dapat tinggal di dalam pelukan Aldo untuk