Lingerie Untuk Siapa
Part 6
Wulan
Waktu terasa berjalan sangat lambat. Dengan perasaan tidak menentu, aku menunggu Mas Haris pulang. Aku ingin menanyakan kebenaran soal janin yang dikandung Sarah. Meskipun ragu, tapi aku juga takut, seandainya apa yang dikatakan perempuan itu benar. Entah apa yang akan terjadi dengan rumah tanggaku nanti.
Suara mobil Mas Haris memasuki halaman rumah. Tiba-tiba jantungku berdetak kencang. Tubuh ini juga seolah kehilangan daya, bahkan sekedar untuk berdiri menyambut kedatangan suamiku.
Mas Haris memasuki rumah, wajahnya terlihat lelah. Melihatnya seperti itu, aku tak tega jika harus menceritakan soal pertemuanku dengan Sarah. Almarhum ibuku pernah mengajari, sebesar apapun masalah yang terjadi, jangan pernah membahasnya saat suami baru pulang dari bekerja atau sedang capek. Hasilnya tidak akan baik. Teringat almarhumah ibu, air mataku merebak. Dada rasanya semakin sesak.
Aku menarik napas, berharap sesak ini sedikit berkurang.
"Kamu, sakit, Lan?" tanya Mas Haris lembut, ia menyentuh keningku.
"Nggak, Mas. Cuma akhir-akhir ini cepet capek."
"Jangan terlalu memaksakan diri melakukan semua pekerjaan rumah. Kalo capek, istirahat aja."
"Iya, Mas. Maaf aku nggak masak. Tadi, pusing banget.
Mas Haris tersenyum, ngga apa-apa, beli aja. Kamu mau makan apa? Aku pesan sekalian."
Aku berpikir sebentar, pusing begini aku ingin makan sesuatu yang berkuah dan pedas. "Soto aja, Mas."
Mas Haris mengangguk, kemudian mengambil ponsel dari saku celananya dan mengutak atik layarnya. Dia memang tidak pernah menuntutku melakukan semua pekerjaan rumah termasuk memasak. Hanya, akunya yang memang tidak bisa berdiam diri. Soal makanan dia juga tak rewel. Sesekali kami beli di luar dalam keadaan tertentu.
"Kamu mau diantar ke dokter?"
"Ngga usah, Mas. Mungkin aku cuma masuk angin atau kecapekan aja. Besok juga sembuh."
"Ya udah, aku mandi dulu."
Mas Haris berlalu. Sementara aku bingung harus memulai bercerita dari mana soal Sarah.
***
Hari belum begitu malam, saat kami berdua memasuki kamar untuk beristirahat. Mungkin, inilah waktu yang tepat untuk membahas tentang pengakuan Sarah. Mas Haris duduk di tepi ranjang, dan aku memilih duduk di sampingnya.
"Em, Mas, aku mau cerita tentang sesuatu, boleh?"
Dahi Mas Haris berkerut, "soal apa?"
"Em, tapi, janji jangan marah." Mas Haris mengangguk. Kemudian dengan hati-hati aku menceritakan pertemuan dengan Sarah, juga tentang pengakuan perempuan itu.
Wajah Mas Haris yang semula tenang, berubah menjadi pucat dan tegang saat mendengar Sarah hamil. Juga tentang kemungkinan bahwa janin yang bersemayam di rahim Sarah adalah calon anaknya. Mas Haris mengusap wajahnya dengan kasar, ia juga menjambak rambutnya. Sementara aku, tak tahu harus berbuat apa. Hatiku sudah kebas. Tak ada lagi air mata.
"Maafkan aku, Wulan, maaf," bisiknya. Aku mengusap punggung Mas Haris. Mas Haris meraih tanganku dan menggenggamnya lembut.
"Maaf, Mas, bukannya aku lancang. Apa, kamu yakin kalo itu anakmu?"
Mas Haris mengangkat wajahnya, ia menatapku tajam. "Maksudmu?"
"Ya, dia dengan mudahnya menyerahkan tubuhnya padamu, jadi, bisa aja dia juga berhubungan dengan pria lain."
"Sarah bukan perempuan seperti itu."
Hatiku mencelos mendengar pembelaan Mas Haris untuk Sarah. Entah kenapa, keraguan tentang pengakuan Sarah tiba-tiba lenyap. Aku menarik tanganku dari genggaman Mas Haris. Kemudian beranjak ke tempat tidur dan berbaring membelakangi Mas Haris. Aku kecewa.
"Maaf, besok aku akan menemui Sarah," bisik Mas Haris sambil berbaring dan memelukku dari belakang.
"Terserah!" Aku berusaha melepaskan pelukan Mas Haris. Entah kenapa bayangan Mas Haris tengah memeluk Sarah, muncul tiba-tiba, membuatku merasa jijik dan muak. Aku bangun dari tempat tidur, mengambil bantal dan selimut, berniat keluar kamar.
"Mau ke mana, Lan?"
"Mau tidur di depan tivi! Tak sudi aku tidur dengan pria yang memeluk istrinya tapi sambil memikirkan perempuan lain!"
"Jangan gitu, Lan. Kamu kan, lagi nggak enak badan. Ntar, tambah parah."
Mas Haris bangun dan menarikku agar masuk lagi ke dalam kamar.
"Lepas! Kamu yang membuat sakitku tambah parah!"
"Oke! Kalo kamu ngga mau tidur sama aku, biar aku yang tidur di luar!"
Mas Haris mengambil paksa bantal dan selimut dari tanganku. Kemudian dia keluar dari kamar kami. Aku terpaku di tempatku berdiri, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Entahlah, aku merasa, mungkin aku akan benar-benar kehilangan dia.
***
Hampir semalaman aku tak bisa memejamkan mata. Kurasa Mas Haris juga sama. Semalam beberapa kali, kudengar suara langkah menuju kamar ini. Tapi, menjauh lagi. Mungkin Mas Haris ingin masuk, tapi ragu. Begitu terus hingga akhirnya aku terlelap. Dan, bangun saat hari sudah siang.
Jam setengah enam lebih lima menit. Bergegas aku menuju kamar mandi, berniat membersihkan badan dan berwudhu. Meskipun telat, aku tetap berusaha menunaikan ibadah Sholat Subuh. Kulihat Mas Haris juga sudah bangun. Tapi aku cuek saja, tidak menyapa atau menanyakan mau sarapan apa.
Mas Haris juga memilih diam. Ia bersiap berangkat kerja tanpa memintaku menyiapkan sarapan. Kami melakukan aktivitas masing-masing dalam diam. Tak ada tegur sapa. Lagi-lagi, aku teringat pesan ibu, agar tidak melepas suami bekerja dalam keadaan marah. Karena itu akan membuat suami tak konsentrasi dalam bekerja. Ah, Ibu, seandainya beliau masih ada, pasti aku punya tempat untuk mengadu. Tak terasa, air mataku menetes, teringat sosok ibu.
Aku terpaksa mencium tangan Mas Haris saat ia berpamitan. Mas Haris mengusap kepalaku, lembut sebelum masuk mobil.
"Maaf, aku janji akan menyelesaikan masalah ini. Kamu istirahat aja, jangan terlalu banyak pikiran."
'Kamu yang membuatku banyak berpikir, Mas,' gerutuku dalam hati.
Kutatap mobil Mas Haris hingga menjauhi pekarangan rumah kami. Mas Haris hanya pegawai biasa di kantornya. Kehidupan kami juga biasa saja, tak terlalu mewah dan tidak juga susah. Selama ini kami saling terbuka tentang semuanya. Aku pikir semuanya baik-baik saja. Ternyata aku salah.
Tiba-tiba aku merasa mual dan pusing. Mungkin karena semalam kurang tidur. Aku terpaksa duduk di kursi yang ada di teras. Rasa pusing dan mual semakin tak bisa ditahan. Akan tetapi, untuk masuk ke dalam rumah, rasanya aku tak punya tenaga. Kulihat Teh Yuyun yang baru pulang entah dari mana, setengah berlari menghampiriku.
"Ya Allah, Wulan! Kamu kenapa?" teriaknya panik. Teh Yuyun menyentuh keningku. "Kamu pucat banget, ayo kita ke dalam."
Teh Yuyun memapahku ke dalam rumah. "Kamu udah sarapan?"
Aku menggeleng lemah. "Ya sudah, aku bikinin teh manis panas, ya."
Teh Yuyun berlalu menuju dapur. Tak lama kemudian ia kembali dengan segelas teh panas di tangannya.
"Ayo, minum pelan-pelan." Teh Yuyun membantuku meminum teh buatannya. Rasa hangat menjalari tenggorokan dan lambungku.
"Makasih, Teh."
"Sama-sama. Udah ke dokter?"
Aku menggeleng lemah.
"Ya Allah, Wulan! Bandel banget sih, sakit kok dibiarin. Ayo aku anter ke dokter. Tapi, suamiku udah berangkat, kalo naik motor, kamu kuat?"
Aku mengangguk.
"Ya udah, habisin tehnya, kita ke dokter, tapi tunggu sebentar." Teh Yuyun meninggalkanku. Sekitar sepuluh menit kemudian, dia kembali.
"Ayo." Teh Yuyun membantuku berdiri, dan menuntunku keluar rumah. Motor matic warna merah milik Teh Yuyun sudah menunggu di depan rumahku.
Sekitar sepuluh menit, kami tiba di klinik terdekat. Setelah mengantri beberapa saat, akhirnya tiba giliranku. Didampingi Teh Yuyun aku memasuki ruang periksa. Seorang dokter perempuan menyambut kami dengan ramah. Setelah ditimbang berat badan dan dicek tekanan darah, dokter memintaku berbaring sambil menanyakan beberapa hal. Termasuk kapan terakhir kali datang bulan.
Aku mencoba mengingat, ya, sudah dua bulan aku tak mendapatkan tamu bulanan. Dokter memintaku untuk tes urine. Aku menurut saja. Dengan hati berdebar tak karuan, aku mencelupkan alat tes kehamilan. Mataku terpejam beberapa saat, menunggu garis yang akan muncul pada alat tersebut.
Lingerie Untuk SiapaPart 7Wulan Dengan perasaan tak karuan, aku menatap dua garis merah pada alat tes kehamilan di tanganku. Apa yang kunanti selama ini, akhirnya datang. Ada yang bersemayam di rahimku. Menurut dokter yang memeriksa tadi, umur janinku baru sepuluh minggu. Harusnya ini menjadi kabar bahagia.Ya, aku bahagia. Entah dengan Mas Haris. Aku takut seandainya apa yang dikatakan Sarah kemarin itu benar. Kemudian Mas Haris memilih untuk menerima Sarah masuk dalam kehidupan kami. Baru membayangkan saja, hatiku sudah berdenyut nyeri. Ponsel yang tergeletak di meja samping tempat tidur bergetar. Ada pesan masuk dari Mas Haris. Dia bilang akan pulang cepat. Sengaja aku belum memberitahukan tentang kehamilan ini. Aku merasa ini bukan waktu yang tepat untuk menyampaikan kabar gembira ini. Nanti saja, kalau Mas Haris sudah selesai urusannya dengan Sarah.Kulihat jam dinding yang menempel di tembok kamar. Ternyata aku tidur cukup lama. Sepulang dari dokter tadi, Teh Yuyun memaksaku
Lingerie Untuk Siapa? Part 8Wulan Beberapa titik air mulai turun dari langit yang tampak gelap. Mungkin sebentar lagi hujan akan turun. Sudah hampir setengah jam berlalu, dan aku masih berjalan kaki sambil menyeret koper. Jujur, aku masih sangat berharap Mas Haris mengejar dan mengajakku pulang.Hujan akhirnya turun, dan aku memutuskan untuk berteduh di depan sebuah kios yang tutup. Sepertinya kios ini sudah lama tak dipakai. Terlihat dari bangunannya yang kotor tak terawat. Untung ada sebuah bangku kosong, hingga aku bisa duduk untuk beristirahat. Aku sebenarnya tidak tahu akan ke mana. Kedua orang tuaku tumbuh besar di panti asuhan. Ayah meninggal saat aku masih SMP, dan ibu menyusul saat aku selesai kuliah. Hingga keduanya meninggal, aku tidak tahu siapa keluarganya. Sahabat? Sejak kecil, aku punya satu teman akrab. Namanya Hani. Dia tetanggaku saat di kampung dulu. Akan tetapi, setelah menikah dengan orang kaya, Hani memboyong keluarganya ke luar kota. Sudah lama kami tidak s
Lingerie Untuk Siapa? Part 9HarisNanar, kutatap kemeja yang robek pada bagian pundak, dua kancing depannya juga lepas seperti ditarik paksa. Mataku terpejam, menyesali apa yang kulakukan. Seharusnya aku mendengarkan dulu penjelasan Wulan, istriku. Akan tetapi, lelaki mana yang tidak marah dan gelap mata, saat melihat istrinya dijamah oleh lelaki lain. Apalagi lelaki itu kakak kandungku sendiri. Amarah tidak bisa lagi ditahan saat aku melihat Wulan diam dengan mata terpejam, seolah menikmati sentuhan Heru, kakakku. Tanpa pikir panjang, aku menghajar Heru dan mengusir mereka berdua. Tak kuperhatikan bekas tamparan di pipi Wulan. Juga raut ketakutan di wajahnya. Air mata yang membasahi wajah ayunya juga tak membuatku iba. Seharusnya baju yang robek dan bekas tamparan di wajah istriku, cukup membuktikan kalau Wulan dipaksa. Mungkin dia juga sudah melakukan perlawanan. Argh! Aku tak menghiraukan saat Wulan benar-benar pergi. Sengaja aku tak mengejar dan menahannya. Akan ke mana dia
Lingerie Untuk Siapa? Part 10Haris"Astagfirullah, Haris! Kenapa bisa ceroboh gitu? Harusnya kamu dengerin dulu penjelasan Wulan. Ya Allah, Wulan, ke mana dia sekarang? Mana dia nggak punya siapa-siapa. Haduh!" omel Teh Yuyun. Wanita yang akrab dengan Wulan itu, menanyakan Wulan. Teh Yuyun khawatir tentang keadaan Wulan dan mengomel saat aku menceritakan semuanya. "Ris, nih, Wulan itu bahkan minta ditemani aku waktu kakak kurang ajarmu itu meminta bantuan buat ngawasin pekerja di kiosnya. Dia emang nggak pernah menceritakan kejelekan Heru, tapi, aku tahu, Wulan nggak nyaman sama kakakmu, itu."Aku menunduk menatap lantai. Semua ucapan Teh Yuyun benar. "Apa, Wulan nggak menghubungi Teh Yuyun?"Teh Yuyun menggeleng."Atau barangkali cerita sesuatu?"Teh Yuyun menggeleng lagi, "Ya sudah, aku pulang dulu. Mudah-mudahan Wulan baik-baik aja. Nanti kalo Wulan menghubungi aku, pasti aku kasih tau kamu.""Terima kasih, Teh.""Sama-sama. Kamu jaga kesehatan, biar kuat cari Wulan. Insyaalla
Lingerie Untuk Siapa? Part 11WulanSatu bulan sudah aku tinggal di panti asuhan milik Bu Zubaedah. Tak ada yang mencari, atau mungkin Mas Haris senang aku pergi. Dia bisa leluasa berhubungan dengan Sarah, dan bertanggung jawab atas kehamilan perempuan itu. Sementara tentang kehamilanku, entah Mas Haris tahu atau tidak. Aku juga masih enggan menghubungi Mas Haris. Jujur, aku masih sakit hati karena dituduh merayu kakaknya. Aku tak menyangka, serendah itu aku di mata suamiku. Sakit sekali rasanya, tak dipercayai oleh orang yang seharusnya paling mengerti kita. Aku sempat mengirim pesan pada Teh Yuyun melalui messenger dengan meminjam ponsel Bu Zubaedah. Aku mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku tak ingin Teh Yuyun khawatir. Sengaja aku tak menanyakan kabar Mas Haris. Untunglah trimester pertama kehamilanku tidak begitu rewel. Hanya sesekali pusing dan mual saat mencium aroma tertentu. Mungkin calon anakku tahu, ia jauh dari ayahnya, sehingga tidak mau merepotkanku. Tak terasa ai
Lingerie Untuk Siapa? Part 12WulanKue ulang tahun yang diinginkan Kean sudah siap. Dibantu Salsa dan Tia, dua asistenku di toko, aku membawa kue itu ke luar. Kean yang setia menunggu bersama sang ayah, menyambut gembira kue impiannya. "Terimakasih Tante," ucap Kean sambil memelukku. "Perut Tante besar, kayak badut."Aku tertawa, sementara Mas Abi tampak terkejut dan terlihat tidak senang dengan ucapan anaknya. "Iya, Sayang. Di dalam perut tante ada adik bayi," terangku sambil mengangguk ke arah Mas Abi agar pria itu tidak memarahi Kean. "Wow! Nanti kalo adik bayinya udah keluar, aku boleh pinjam, nggak?"Aku, Salsa, Tia dan Mas Abi tertawa mendengar pernyataan Kean yang lucu. "Maafin Kean, ya Mbak Wulan.""Nggak apa-apa, Mas. Namanya juga anak-anak.""Jadi, berapa harganya kue Kean?"Aku menggeleng sambil tersenyum, "nggak usah, Mas. Anggap aja itu kado dari saya." "Terima kasih, Mbak. Aduh, jadi nggak enak. Baru kenal malah dikasih gratis.""Sama-sama. Kalo Mas nggak keberata
Lingerie Untuk Siapa?Part 13HarisBukan hanya rumah yang sepi dan tak terurus sejak Wulan pergi, aku pun kesepian dan tak terurus, terutama masalah makanan. Kuakui walaupun hanya makanan rumahan, masakan Wulan itu enak. Dia juga cekatan melakukan pekerjaan rumah. Memang, selama Wulan tak ada, aku membayar orang untuk membersihkan rumah dan mencuci serta menyetrika. Akan tetapi, tetap saja, rasanya berbeda. Hatiku terasa hampa setiap kali pulang ke rumah. Makanya aku sering menghabiskan waktu di kantor hingga malam. Beberapa rekan kerja juga mulai menanyakan kenapa akhir-akhir ini aku lebih betah di kantor. Datang paling awal, pulang paling akhir. Selain itu, menurut mereka, wajahku juga sering terlihat murung. Bagaimana aku bahagia, bila aku terus dikejar rasa bersalah terhadap Wulan. Hingga hari ini, aku tak mengetahui keberadaan Wulan. Setiap kali bertemu Teh Yuyun dan Kang Dadan, mereka menatapku iba. Pernah satu kali Teh Yuyun memberi tahu bahwa Wulan meninggalkan pesan di so
Lingerie Untuk Siapa? Part 14HarisHari libur kuhabiskan dengan berdiam diri di kamar. Aku sudah lelah mencari Wulan, hampir semua pelosok kota ini kususuri. Akan tetapi, tak ada tanda-tanda istriku ada di kota ini. Bahkan aku memberanikan diri menghubungi Hani, sahabat sekaligus tetangga Wulan. Bisa saja Wulan pergi ke rumah Hani, mengingat hubungan mereka yang cukup dekat. Akan tetapi, Hani juga mengaku sudah lama tak berkomunikasi dengan Wulan. Kampung tempat orang tuanya tinggal juga sudah kudatangi, barangkali Wulan datang ke sana. Hasilnya, nihil. Tetangga di sana mengaku tak ada yang melihat Wulan datang. Begitu juga makam kedua orang tua Wulan, tak luput kudatangi. Namun, lagi-lagi aku harus menelan rasa kecewa. Menurut penjaga makam, ia tak melihat kehadiran Wulan di sana.Rasa bersalah dan juga rindu yang kurasa, sama besarnya. Meskipun Teh Yuyun dan suaminya sering menghibur dengan mengatakan Wulan baik-baik saja, tetap saja tidak membuat hati tenang. Semenjak insiden Im
Lingerie Untuk Siapa? Bab 27Wulan Berjam-jam menunggu dengan gelisah, akhirnya selepas Isya' kami mendapatkan kabar baik. Mas Haris mengirim pesan berisi foto anakku. Mereka menemukannya dan sedang dalam perjalanan pulang. Walaupun Mas Haris tidak mengatakan siapa yang menculik bayi kami, tapi tak apa. Yang penting mereka berhasil membawa pulang anakku dalam keadaan baik-baik saja. Tak henti-hentinya kami mengucap syukur. Sambil berderai air mata, Teh Yuyun memelukku. Wanita yang sudah kuanggap seperti kakak sendiri itu, sejak tadi terus meminta maaf. Dia merasa bersalah karena telah lalai menjaga kami. Padahal sudah berkali-kali juga aku mengatakan ini bukan salahnya. Akan tetapi, Teh Yuyun mengatakan tak tenang kalau Abian belum ditemukan. Sementara Bu Zubaedah yang masih di sini terlihat mengusap air matanya. Wanita yang sudah kuanggap seperti ibuku itu bersikeras tak mau pulang sebelum melihat Abian kembali ke pelukanku. ***Hampir jam sepuluh malam, saat Kang Dadan diikuti
Lingerie Untuk Siapa? Bab 26WulanSeorang bayi laki-laki lahir dengan selamat melalui proses caesar. Aku dan Mas Haris memberikan nama Abian Bayanaka pada bayi tampan kami. Nama yang memiliki arti kegembiraan yang luar biasa. Ya, Abian adalah kegembiraan luar biasa untukku dan Mas Haris. Suamiku itu bahkan terlihat sampai menitikkan air mata saat mengumandangkan adzan di telinga jagoannya. Semuanya berjalan lancar dan tidak ada masalah berarti, sehingga hari ini juga, aku sudah boleh langsung dipindahkan ke ruang rawat inap. Mas Haris meminta kamar VIP untukku dan Abian. Alasannya, biar aku merasa nyaman. Ternyata Bu Zubaedah, Teh Yuyun dan Kang Dadan ada di sini, ikut menungguiku. Sungguh aku merasa terharu dengan perhatian mereka. ***Pagi ini, Mas Haris pamit untuk pulang bersama Kang Dadan. Mau mandi dan berganti pakaian serta mengambil beberapa keperluanku dan Abian. Bi Zubaedah juga berpamitan untuk kembali ke panti, karena terlanjur ada janji dengan salah satu donatur tetap
Lingerie Untuk Siapa? Bab 25Wulan Tanggal persalinan semakin dekat, membuatku semakin gelisah. Tak sabar rasanya menanti kehadiran buah hati tercinta. Menurut hasil USG yang kulakukan, calon anakku diperkirakan berjenis kelamin laki-laki. Tentu saja kabar ini sangat membahagiakan Mas Haris yang menginginkan anak laki-laki. Walaupun sebenarnya buat kami, laki-laki atau perempuan, sama saja. Akan tetapi, kata Mas Haris, dia ingin anak pertama laki-laki, agar bisa melindungiku dan adik-adiknya kelak. Sejak Mas Haris menjemputku di panti beberapa waktu lalu, hubungan kami semakin membaik. Dulu, aku masih sering bolak-balik ke panti untuk mengecek toko kue. Akan tetapi, semakin mendekati tanggal persalinan, Mas Haris, melarangku melakukannya. Lagi pula Tia dan Salwa sudah cukup bisa diandalkan untuk menghandle semuanya. Karena itulah aku sering merasa bosan saat di rumah sendirian seperti saat ini. Teh Yuyun sedang pergi bersama suaminya. Padahal aku ingin mengajaknya ke pasar, hanya s
Lingerie Untuk Siapa?Bab 24Haris"Gue nggak ada urusan ama itu anak. Dasar anak nggak tau diri! Udah dikawinin ama laki kaya, banyak duit, malah kabur!" omel Bu Romlah, ibunya Sarah. Wanita keturunan Betawi asli itu terlihat marah.Sementara Ayahnya cuma diam sambil memijat pelipisnya. Wajah orang tua Sarah terlihat gusar. Kami mendatangi kediaman orang tua Sarah, berharap mendapatkan sedikit informasi tentang keberadaan perempuan itu."Saya juga sudah menyerah dengan kelakuan anak saya. Kalo ketemu, terserah saja mau diapakan. Saya tak peduli lagi sekalipun dia dipenjarakan." Suara ayahnya Sarah terdengar parau. "Maaf, kalo gitu, kami permisi, Pak, Bu," pamit Pak Ahmad mewakiliku yang sudah sangat bingung harus mencari ke mana lagi. Sementara hari sudah mulai sore. Bagaimana kalau anakku menangis kehausan? Ya Allah, tak henti-hentinya aku berdoa untuk keselamatan anakku. Tadi, Teh Yuyun mengabarkan kalau Wulan masih histeris bahkan sampai diberi obat penenang. Walaupun di sana ba
Lingerie Untuk Siapa?Part 23HarisAku dan Kang Dadan menatap tajam rekaman CCTV pada layar komputer di depan kami. Tampak seseorang bermasker dan memakai topi mondar-mandir di depan ruang rawat inap yang ditempati Wulan. Sepertinya memastikan keadaan aman, lalu ia terlihat mengintip ke dalam. Kemudian dengan hati-hati, perempuan itu masuk, tak lama kemudian keluar sambil menggendong Abian. Orang itu dengan santai berjalan menuju pintu keluar, dan pada rekaman selanjutnya, dia pergi menggunakan mobil yang diperkirakan adalah taksi online. "Pak Haris, apa Bapak kenal sama orang itu?" tanya kepala keamanan rumah sakit. Selain kepala keamanan, hadir juga pemilik rumah sakit ini. Syukurlah, mereka tidak mempersulit keadaan. Meskipun wajahnya tertutup masker dan memakai topi, dari bentuk dan gerak tubuhnya, aku sangat mengenal dia. "Saya rasa saya kenal, Pak. Sepertinya dia teman saya.""Pak Haris, tau di mana tempat tinggalnya?" Aku mengangguk. Tiba-tiba ponselku bergetar, sebuah pes
Lingerie Untuk Siapa? Bab 22HarisSetelah satu jam berkendara, akhirnya aku tiba di rumah sakit dan bergegas ke ruangan informasi. Jantung berdetak kencang, keringat membasahi wajah, tangan pun rasanya gemetar. Aku sangat mengkhawatirkan keadaan Wulan dan calon anak kami. "Permisi Mbak, mau tanya pasien bernama Wulandari di rawat di ruangan mana, ya?" tanyaku pada perawat yang sedang bertugas di meja informasi."Wulan, pasien kecelakaan yang lagi hamil, bukan?""Iya, betul, Mbak. Saya suaminya.""Oh, Bapak silakan temui Dokter Himawan. Sebentar, Suster Ani!" teriak suster dengan name tag bertuliskan Nur itu. Suster yang dipanggil mendekati kami. "Ini suami dari pasien bernama Wulandari, tolong antarkan ketemu Dokter Himawan."Suster bernama Ani itu tersenyum sambil mengangguk sopan padaku, lalu memintaku mengikutinya. "Sebenarnya apa yang terjadi sama istri saya, Sus?" tanyaku penasaran."Biar dokter saja yang menjelaskan, ya, Pak."Kami tiba di depan ruangan yang pintunya tert
Lingerie Untuk Siapa? Bab 21Haris"Apa benar ini rumah Pak Haris?" tanya polisi yang terlihat sudah berumur itu. "Iya, betul, silakan duduk, Pak," jawabku sambil merasa was-was. "Terima kasih, Pak Haris." Polisi itu duduk di kursi kayu yang tersedia di teras."Maaf, ada apa, ya, Pak?" tanyaku tak sabar, sampai lupa menawarkan minuman. Polisi dengan name tag Ahmad itu menarik napas, lalu membuangnya perlahan. "Gini, Pak Haris. Perkenalkan nama saya Ahmad. Sebenarnya, maksud kedatangan saya ke sini, untuk mencari Pak Heru. Karena beliau memberikan alamat rumah ini pada saya."Mas Heru? Kenapa lagi dia. "Saya memang adiknya Mas Heru, tapi, Mas Heru tidak tinggal di sini," terangku. Pak Ahmad tersenyum. "Apa Pak Heru sudah pergi? Soalnya sebelum keluar dari tahanan, dia cerita mau balik ke Kalimantan.""Iya, Pak. Sudah.""Sayang sekali, padahal saya ingin bertemu dengannya sekali lagi."Aku semakin bingung. "Sebenarnya ada apa, Pak?"Lagi-lagi Pak Ahmad tersenyum. Tak ada kesan sang
Lingerie Untuk Siapa? Part 20Haris"Mas Heru?" aku bertanya pada diri sendiri saat melihat kakakku tengah duduk di teras rumahku, sendirian. Di sampingnya tampak sebuah tas ransel tergeletak begitu saja. Penampilan Mas Heru juga terlihat sedikit rapi. Rambut gondrong, kumis dan jenggotnya dicukur rapi. Sejak menemuinya di kantor polisi beberapa waktu lalu, aku memang belum pernah bertemu lagi dengannya. "Baru pulang kerja, Ris?" sapa Mas Heru saat aku berjalan mendekatinya. "Iya, Mas. Mas, kapan keluar dari penjara?" Mas Heru tertawa. "Apa kamu ini! Aku cuma seminggu di sana. Tidak ada bukti kuat kalo aku ini melakukan apa yang dituduhkan. Pelaku sebenarnya udah tertangkap, jadi aku bebas," terangnya. "Maksudnya?""Jadi, waktu itu, aku memang ada di tempat kejadian, kebetulan janjian sama teman sewaktu kerja dulu. Aku juga nggak tau, kalo di sana merupakan markas judi online. Nah, pas ada penggrebekan itu, tiba-tiba seseorang melempar ponsel ke pangkuanku. Aku dan temanku yang b
Lingerie Untuk Siapa? Part 19HarisRasa lelah yang mendera tubuh membuatku ingin segera pulang saat jam kerja usai. Setumpuk pekerjaan seolah tak ada habisnya. Rudi tiba-tiba izin karena istrinya sakit. Sedangkan laporan yang ia buat belum selesai, mau tidak mau kami membantu menyelesaikannya. Karena laporan itu harus sudah ada di meja atasan kami sore ini. Setibanya di rumah, aku langsung membersihkan diri dan menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Saat aku berniat memesan makanan lewat aplikasi, terlihat banyak pesan masuk yang belum sempat dibaca. Termasuk dari Wulan. Setelah mengunjunginya beberapa hari lalu, hubungan kami semakin membaik. Wulan berjanji akan ikut pulang akhir minggu ini. Karena, masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan. Ia juga merasa tak enak jika meninggalkan begitu saja, seorang anak bernama Kean. Sebenarnya aku agak keberatan Wulan dekat dengan anak itu. Karena mengetahui ayahnya Kean adalah seorang duda. Aku takut, lama-lama Wulan dan pria b