PERNIKAHANNYA tidak meriah, tidak ada banyak tamu yang datang, tidak ada makanan apa pun yang terhidang, hanya ijab singkat, dan bubar. Lilya dibawa pergi oleh suaminya setelah ijab selesai dikumandangkan.
Lionel Ervan Gunawan, atau yang dikenal dengan nama Evan. Begitu yang Lilya ingat tentang nama suaminya.
Laki-laki mapan itu langsung membawanya ke sebuah rumah besar yang berisikan satpam, penjaga kebun, dan pengurus rumah. Lalu kemudian, Lilya dan Evan akan mulai tinggal di sana.
"Kuharap kamu bisa terbiasa dengan rumah baru, karena aku tidak mau tinggal bersama keluargamu."
Dada Lilya terasa tercubit mendengar penuturan itu. "Mengapa? Mereka orang tuaku, sekarang mereka juga menjadi orang tuamu."
Evan menghela napasnya kasar. "Jangan salah sangka, aku hanya ingin menjaga diriku sendiri dari bahaya ular yang ada di dalam sana."
Lilya memiringkan kepalanya. "Apa menurutmu, keluargaku seperti ular?"
Evan tersenyum sinis. "Gayamu yang polos begini membuatku ingin memukulmu sampai menangis setiap malam. Diam dan jangan banyak tanya."
Evan berlalu dari sana, meninggalkan Lilya yang mematung dan terbayang malam pertama mereka. Dia yang menangis dalam keadaan tubuh lebam akibat dipukuli.
Apakah begini tabiat asli suaminya? Dia suka memukuli wanita apalagi di ranjang?
Itu mengapa ... walaupun dia setampan itu, tapi dia tidak pernah menikah-menikah padahal usianya sudah tua.
Padahal, Lilya yakin, cukup dengan menampakkan wajah dan isi kantongnya, akan ada banyak wanita yang mengantre untuk diperistri.
Lalu, mengapa ia menunggu perjodohan tidak jelas semacam ini hanya untuk menikah?
Lilya mendengkus. Jawabannya jelas hanya satu.
Mana ada wanita yang mau dipukuli setiap malam oleh pria tampan yang berstatus menjadi suaminya?
Mungkin, kecuali dirinya yang hanya bisa pasrah saja, karena kalau dia melawan, bisa jadi Evan akan membatalkan bantuan yang akan ia berikan pada keluarganya.
***
Malam pun tiba. Lilya duduk dengan gelisah di pinggir ranjang, menunggu sang suami yang tak kunjung masuk kamar. Sejak pulang dan mengenalkannya pada semua pengurus rumah, Evan mengurung dirinya di sebuah ruangan, dia tidak keluar, bahkan untuk makan siang maupun makan malam.
Lama menunggu, Evan tetap tak kunjung datang. Lilya pun bangkit, masih mengenakan piama tidurnya yang berupa celana katun panjang dan kemeja panjang, Lilya menuju ruangan Evan berada.
Pintu diketuk, Lilya terdiam. Bagaimana cara ia memanggil suaminya? Abang, Akang, Kangmas, Kakak, atau Om Evan?
Panggilan terakhir sepertinya bisa membuat Lilya langsung dimasukkan ke rumah sakit selama seminggu.
Pintu di hadapannya tiba-tiba saja terbuka. Evan berdiri di hadapan sambil menatapnya datar.
"Ada apa?"
"Kamu ... sudah makan?" Lilya bertanya sembari mencoba mengulum senyum di bibirnya.
"Belum."
"Kalau begitu, kamu harus makan dulu. Ini sudah malam."
Evan membuang muka. "Jangan pedulikan aku," katanya sembari berbalik, hendak menutup pintu dan meninggalkan Lilya begitu saja, tapi anak SMA itu menarik tangan Evan dan membuat mereka kembali bertatapan.
"Jangan begitu, kalau kamu sakit, nanti kamu malah nggak bisa kerja lagi. Sekarang kamu makan dulu, ya, abis itu istirahat, kerjaannya dilanjut besok aja."
Evan mendekatkan wajahnya. "Apa kamu berkata begini, karena menantikan malam pertama kita, hm?"
Wajah Lilya memerah, kepalanya sontak menunduk dan hal itu membuat Evan tersenyum tipis.
"Dasar bocah mesum!"
"Aku nggak mesum!" bantah Lilya tidak terima.
"Lalu? Kenapa wajahmu merah begitu, malu? Membayangkan sesuatu tentang kita di atas ranjang?"
Lilya tidak bisa menjawab, wajahnya benar-benar memerah layaknya tomat. Gadis itu sontak mendongak dan menatap Evan kesal. Tambah satu lagi sifat Evan yang membuatnya tidak laku-laku di pasaran.
Menyebalkan!
"Nyebelin!" Lilya langsung menarik tangan Evan agar lekas turun menuju meja makan. "Pokoknya makan dulu, abis itu kamu mau kerja sampai mati juga nggak peduli aku!" teriaknya yang sudah kesal bukan main dengan suaminya.
Sedangkan Evan merasa harga dirinya hilang sudah karena ditarik-tarik oleh anak SMA yang tadi pagi dinikahi olehnya. Walaupun begitu ia hanya bisa menghela napas kasar dan pasrah saja.
Jujur saja, dia sedang malas berdebat setelah mengetahui apa saja kerugian yang akan dia dapatkan karena memutuskan untuk menolong keluarga Atmawijaya.
"Li?"
"Apa?"
"Kamu bukan anak kandung Mawar dan Kaisar, bukan?" serang Evan tepat ketika mereka sampai di ruang makan.
Lilya terdiam beberapa saat. "Memang kenapa kalau aku bukan anak kandung mereka?"
___
"MEMANG kenapa kalau aku bukan anak kandung mereka?" Lilya mengulang pertanyaannya, karena Evan tidak mengeluarkan balasan apa pun. Laki-laki itu hanya diam, menarik kursi, lalu duduk dengan nyaman. "Kak, memang kenapa kalau aku ....""Diam, jangan banyak bicara di meja makan," potong Evan yang kini membalik piring dan menatap Lilya tajam.Lilya terdiam, dia mulai mengambil piring Evan lalu mengisinya dengan nasi. "Mau lauk apa?" tanyanya, menawarkan pada orang yang tadi pagi resmi menjadi suaminya."Apa pun yang menurutmu enak," balasan Evan membuat Lilya membatu. Dia menatap Evan, lalu piring di tangannya secara bergantian, tapi dia urung bicara lagi karena laki-laki itu tadi menyuruhnya diam.Lilya menghela napas kasar, dia mengambil semua lauk satu per satu hingga piring suaminya penuh. Bahkan lebih banyak dari nasi yang dia tuangkan ke piring.Evan diam, tatapannya datar,
SEKOLAH tidak terlalu menyenangkan untuk Lilya. Karena statusnya hanyalah anak angkat yang diperalat keluarga, dia tidak berani berteman dengan anak-anak lain seusianya. Dia menjadi perangai pendiam dan sulit diajak bicara, karena takut aib keluarganya terbongkar. Dia pun membentengi diri dan fokus belajar.Sama seperti tadi pagi, Evan kali ini datang menjemputnya setelah tadi pagi mengantarnya ke sekolah. Bedanya, kali ini pria itu datang lebih awal, menunggu sembari memainkan ponselnya di mobil.Begitu Lilya sampai dan duduk di sebelah kursi kemudi. Evan mengambil sesuatu dari bawah kemudi, lalu melemparkan sebuah kotak seukuran tangan besar pria itu ke pangkuan Lilya. Lilya hanya memandangi kotak smartphone dengan wajah tidak mengerti."Pakai itu untuk menghubungiku," katanya, sembari menyalakan mesin dan mulai melajukan mobil.Lilya membuka kotak di pangkuannya dan sebuah ponsel baru kini
EVAN tidak tahu apa saja yang tengah Lilya lakukan. Dia lebih memilih beristirahat, walau tidak benar-benar bisa beristirahat.Dikeluarkannya ponsel dari saku kemeja dan ia mulai mengecek perkembangan saham perusahaan atau mengecek email Chris tentang berkas-berkas laporan yang harus dia tanda tangani nanti.Pekerjaannya sangat melelahkan dan membosankan. Satu-satunya alasan yang membuat Evan tidak mau menampakan dirinya sejak lama, karena alasan serupa. Dia tidak mau menambah daftar pekerjaan baru seperti diliput media atau masih banyak perkara lain yang bisa menambah beban di otaknya. Dia hanya ingin bekerja, memastikan semuanya berjalan baik-baik saja, walau dia tidak perlu melihat langsung ke lapangan.Seperti apa yang telah Kaisar lakukan. Dia menipu beberapa investor dan membuat nama perusahaannya buruk. Pria itu dituntut ganti rugi dan Kaisar tidak bisa lari. Terlebih, dengan anak sert
EVAN melirik Lilya dari ekor matanya. Kali ini, eskpresi wajah istrinya terlihat sedikit lebih cerah dan tampak sekali kalau ia sedang bahagia. Entah apa yang membuat Lilya senang hanya karena dia habis bantu-bantu Nayla di restoran, tapi Evan cukup puas melihat Lilya nyaman bersama ibu tirinya."Mommy kamu orangnya baik banget, ya?" Lilya membuka percakapan begitu keduanya sampai rumah."Kamu suka padanya?" tanya Evan, sembari melirik istrinya yang mengangguk-angguk penuh semangat."Entah kenapa dia kelihatan baik banget sama aku, padahal aku cuma——""Masih memikirkan soal kamu yang cuma anak angkat?" Evan mendengkus keras, dia berhenti dan menatap istrinya dengan serius. "Baginya, kamu adalah menantunya, salah satu anaknya juga. Jangan bicara seperti itu di depan Mommy, kalau nanti dia sakit hati, apa yang mau kamu lakukan?"Lilya menundukkan kepala. "Maaf!"
HARI demi hari berlalu, Lilya selalu menghabiskan waktu bersama mama mertuanya dan mulai belajar banyak hal soal memasak serta mengelola restoran. Nayla bahkan memuji Lilya yang begitu rajin belajar dan kerap membantunya jika pengunjung sedang ramai.Hadirnya Lilya banyak membantu Nayla dan Nayla membalasnya dengan memberi tahu Lilya beberapa rahasia kecil mengenai suaminya. Alhasil, Lilya sekarang tahu banyak, soal apa yang disuka dan tidak disukai Evan.Terutama tentang Evan yang aslinya suka makan, terutama makanan manis-manis dan hal itu membuat Lilya memandang mama mertuanya dengan tatapan tidak percaya."Mommy serius? Kak Evan di rumah jarang banget makan. Dia gila kerja, makan sampai lupa."Mendengar balasan menantunya membuat Nayla menghela napas kasar. "Pantas sekarang dia lebih kurus." Nayla menatap Lilya dengan wajah memohon. "Tolong, kamu ingatin Evan buat makan secara teratur, ya?
"BAGAIMANA kabar mereka?" tanya Evan yang duduk di hadapan Chris yang sedang memegangi tabletnya, siap membaca laporan yang ia dapatkan dari orang-orang suruhan Evan."Kedua orang tua angkat Lilya sepertinya pindah ke luar kota, sedangkan Kenanga tetap tinggal di sini." Chris menatap Evan serius. "Sepertinya, dia berencana mencari pekerjaan di sekitar sini, saya punya firasat kalau dia akan mengganggu rumah tangga Anda, Tuan."Evan menghela napas kasar. "Kamu bisa mengurusnya untukku, Chris?"Chris menganggukkan kepala. "Saya berpikir untuk sedikit bermain-main dengannya."Evan tersenyum tipis. "Lakukan sesukamu, jangan lupa kirimkan beberapa orang untuk mengawasi Kaisar dan Mawar di luar kota, jangan sampai mereka kembali dan mengusik Lilya."Chris mengangguk mengerti. Walaupun Evan sebenarnya sangat kejam, tapi pria itu masih punya sedikit hati nurani, terutama untuk sang ist
EVAN tidak menyangka, rencananya menjauhkan Lilya dengan keluarga perempuan itu berjalan lancar. Lilya tidak tahu sama sekali kabar kedua orang tua angkatnya, bahkan Kenanga yang kerap mencari Lilya ke sekolah, tapi dihalangi oleh orang-orang suruhannya pun tidak pernah diketahui perempuan itu sama sekali.Lilya kini lebih memilih membantu Nayla di restoran atau belajar dengan giat. Sepertinya, dia benar-benar serius ingin mengunjungi panti asuhan di mana dia dirawat dan dibesarkan dulu, sebelum dipungut oleh keluarga Atmawijaya."Kak, sibuk, nggak?" Pintu ruangannya dibuka bersama Lilya yang masuk dengan langkah ragu mendekat ke arahnya.Evan mendongak. Dia baru saja selesai menandatangani berkas yang dikirimkan ke rumah ini oleh Chris. Juga sebuah pesan dari Raffa untuk mengawasi kelakuan putrinya yang kini tinggal di apartemen Evan. Evan yang sebelumnya selalu menonaktifkan CCTV yang berada di apartemennya pun mulai menyal
MENIKAH dengan seorang pembunuh jelas tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun, Lilya pernah memikirkan calon suaminya yang jelek, tua, mesum, berperut buncit, dan memiliki banyak istri. Dia bahkan menyiapkan diri, jika suatu hari dia akan ditindas oleh istri-istri suaminya yang lebih tua.Kenyataannya, Evan hanyalah pria lajang yang kejam. Dia bukan pria tua mesum dengan banyak istri. Dia hanya pria mengerikan yang tidak tertarik akan pernikahan.Menikah untuk bertaruh. Meletakkan Lilya pada sebuah pertaruhan tentang pernikahan abadi dengan iming-iming kebahagiaan. Syaratnya sederhana, Lilya harus bisa memahami dan memaklumi apa pun yang telah Evan lakukan di luar sana.Jika dipikir-pikir, memang keputusannya untuk menikah dulu sangatlah rawan. Mengorbankan masa muda, membiarkan diri sendiri jatuh dalam jeratan yang salah. Namun, demi keluarganya dia rela mengorbankan dirinya.Dia rela melakukan apa yang t
SATU bulan yang lalu, kakek Lilya meninggal dunia. Lilya mau tidak mau harus merelakan kepergian kakeknya, karena memang sudah tidak ada harapan lagi untuk kakeknya bisa kembali seperti sedia kala.Saat pemakamannya, Arini datang bersama seorang polisi yang mengawasi pergerakannya. Lilya akhirnya tahu, bahwa tantenya terlibat kasus pembunuhan Kenanga sebelum ini. Dia hanya bisa tersenyum dan memeluk Arini dengan erat. Saling menguatkan satu sama lain, walau tak ada kalimat apa pun yang terucap.Walau sempat terguncang hebat atas apa yang dialaminya selama setahun terakhir. Lilya akhirnya bisa lulus dari sekolah dengan nilai yang ... cukup memuaskan.Evan tidak banyak berkomentar saat melihat nilai Lilya yang terbilang sangat biasa saja. Dia hanya bersyukur istrinya bisa lulus saat itu tanpa harus mengulang lagi setahun atau mengejar paket, karena ketertinggalannya.Sesuai janji yang telah
EVAN hanya ingin mengabulkan semua keinginan istrinya. Setelah malam itu dia mengenalkan Lilya pada semua anggota keluarga Gunawan, kali ini dia membawa perempuan itu ke rumah ibunya.Benar ... ibu kandungnya. Orang yang telah melahirkan dan membuat karakternya menjadi demikian. Dia bahkan tidak bisa menyalahkan sifat-sifat buruk yang dia bawa di dalam dirinya, karena semua itu dia dapatkan dari ibunya.Ibunya memang bukan orang yang baik ... tapi Evan tetaplah satu-satunya anak yang ia miliki hingga saat ini.Evan menghela napas kasar. Dia melirik Lilya yang kali ini terlihat begitu tegang. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, sedang tatapannya tampak tidak fokus. Dia terlihat gelisah dan Evan mengerti hal itu, karena dia telah mengatakannya sebelum ini, kalau ibunya mungkin tidak sebaik mama tirinya.Evan mengulurkan tangan, menyentuh tangan Lilya lalu menggenggamnya erat. Pria itu ter
LILYA tidak tahu harus mengenakan pakaian yang mana untuk pergi ke pesta. Dia hanya punya satu gaun yang indah dan itu adalah gaun yang ia kenakan di hari pernikahannya.Evan hanya mengajaknya pergi sebentar ke pesta, seharusnya tidak masalah jika dia mengenakan gaun lama untuk pergi ke sana. Namun, masalah lainnya hadir, Lilya tidak bisa mendandani dirinya sendiri.Dulu, ada Mawar dan Kenanga yang mendandaninya saat menjadi ratu sehari. Namun, sekarang dia tinggal sendiri. Dia tidak bisa dandan hingga menjadi perempuan cantik jelita, dia tidak punya alat make-up juga, dan dia tidak tahu harus berbuat apa untuk mengatasi masalahnya.Evan memasuki kamar dan melihat istrinya masih mematung di depan almari. Dahinya mengerut, dia mendekati Lilya dan menemukan perempuan itu sedang memegangi gaun pernikahan mereka dulu.Evan jelas mengingat baik tentang gaun itu, karena dia sendiri yang mem
SIDANG berjalan lancar. Gavin berhasil dipenjara atas kasus pembunuhan yang dilakukannya. Arini juga menyerahkan diri ke kepolisian, karena diam saja saat peristiwa itu terjadi dan ikut andil merusak TKP yang ada.Hukumannya tidak seberat Gavin yang mendapat tuntutan beruntun. Namun, Arini bersyukur, karena setidaknya dia bisa menebus rasa bersalah serta dosa-dosa yang telah dilakukannya selama ini.Lilya hanya mendengar tentang sidang itu, dia tidak diizinkan untuk hadir. Walaupun namanya dibawa-bawa dalam kasus pembunuhan Kenanga, tapi dia sama sekali tak diizinkan untuk mendengarkan semua tuntutan yang dilayangkan pada Gavin.Evan yang melarang Lilya untuk hadir. Alasannya, untuk menjaga mental Lilya yang bisa saja hancur setelah semua kenyataan itu terkuak. Biarlah kejadian itu tetap menjadi rahasia mereka. Lilya jangan sampai mendengar dan mengetahuinya agar hidupnya yang sekarang tetap baik-baik saja.
HANYA orang bodoh yang akan menyangkal jika Lilya dan Ariani tidak memiliki hubungan apa-apa. Lilya terlihat sama persis dengan kakaknya sewaktu masih remaja.Gadis lugu, polos, dan naif. Gadis yang menderita sebelum dia bertemu dengan pangeran yang menolongnya untuk keluar dari penjara.Lilya masih berceloteh banyak hal dengan ayahnya, walau ayahnya sama sekali tak merespon apa-apa. Matanya masih terpejam, sama seperti sebelumnya. Ayahnya ... kalau dibilang sudah meninggal pun tidak bisa, karena ia masih bernapas. Namun, dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang."Terima kasih," gumam Arini sewaktu ia keluar dari ruangan itu dan menghampiri Evan yang sedia menunggu di luar."Kenapa?"Evan menatapnya dingin. Terlihat jelas, bahwa pria itu tidak begitu suka dengannya. Padahal sebelum ini, Arini sempat mengira kalau Evan tertarik padanya. Namun, nyatanya dia benar-benar bodoh. Evan
SETELAH pemeriksaan terakhir selesai dan hasilnya baik-baik saja, Lilya diperbolehkan untuk pulang. Senyum di bibirnya tak kunjung hilang. Kakinya melangkah ringan ketika dia diminta untuk segera mengganti pakaian sebelum meninggalkan ruangan.Begitu keluar dari kamar mandi, Evan lantas menyodorkan bunga lili putih ke hadapannya. Lilya terdiam, dia menatap bunga itu dengan ekspresi tidak paham."Kiriman bunga dari Chris, dia tidak bisa datang menjenguk, karena sibuk," kata Evan sembari menyodorkan bunga itu ke tangan Lilya.Lilya menerima bunga itu, lalu mencium aromanya yang mengingatkannya akan wewangian di pemakaman. Lalu, dia menatap Evan. "Aku seperti sedan.g didoakan lekas meninggal olehnya."Evan tersenyum lebar. Dia juga tidak mengerti kenapa Chris membelikan bunga itu untuk Lilya. Namun, setelah melihat istrinya membawa bunga itu dalam dekapan kedua lengan kecilnya, dia pun mengerti a
"KAMU kenapa, Raffa?" Riri melongokkan kepala untuk mengintip ke dalam. Dia melihat Evan sedang memandang tajam ke arahnya dan Raffa. Wajah keponakannya tampak datar dan tatapannya yang dingin amat mematikan.Raffa berdeham tidak nyaman. Dia hanya memamerkan cengiran tak berdosa saat membalas, "Aku hanya agak sedikit kaget melihat mereka sedang ciuman."Riri mengerling ke arah suaminya. "Ciuman?" Lalu, dia menatap Evan dan Lilya secara bergantian. Raut kesal di wajah keponakannya ditambah wajah memerah Lilya lantas membuatnya mengerti situasi yang terjadi sebelumnya."Iya." Raffa menyeringai sambil melangkah masuk dan langsung mendekati ranjang Lilya, berdiri di samping Evan, lalu berkata dengan pelan, "Aku bisa melihatmu sedang menginginkannya, tapi tahan dirimu, dia sedang sakit, kan?""Tanpa Om beri tahu pun, aku sudah mengetahuinya." Evan mendengkus, tangannya bersedekap dada dan lantas me
HASIL rontgen menunjukkan bahwa Lilya baik-baik saja, tapi dia harus menginap untuk satu atau dua hari dan menjalani tes lagi untuk memastikan keadaannya.Mengingat, saat Lilya dibawa ke sana, dia dalam kondisi tidak sadar dan kepalanya berdarah. Dokter khawatir terjadi pengendapan darah yang belum terlihat dan hal itu akan menjadi fatal jika tidak ditangani dengan segera.Untuk kerusakan lain, Lilya tidak mengalami gejala yang berat. Dia memang sempat merasa pusing dan ingin muntah, tapi ingatan perempuan itu masih baik-baik saja. Dia juga masih bisa bicara selayaknya biasa. Evan pun bisa menghela napasnya lega.Nayla datang bersama suaminya untuk mengantarkan pakaian ganti Evan, juga menjenguk menantunya. Evan lantas pamit keluar untuk mengganti pakaian juga mencari makanan.Lilya yang semula tertidur, kali itu mulai membuka mata ketika Evan sudah tak berada di sana dan mendapati mama mertua
ARINI menepis pemikirannya ketika dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, bagaimana seorang Evan yang begitu tenang tampak gelisah di balik kemudi. Ketenangan yang sempat ditampilkan sebelumnya sirna begitu mobil berhenti di parkiran rumah sakit. Setelah memastikan Arini turun, dia mengunci mobil dan meninggalkan Arini tanpa pamit.Arini terdiam di tempat ia berdiri. Bagaimana dia bisa berpikiran naif dengan beranggapan seorang Evan tertarik padanya? Dia bukan Kenanga yang selalu percaya diri akan kecantikan dan pesonanya yang bisa menaklukkan semua pria di bawah kakinya.Dia Ariani Putri, seorang perempuan miskin biasa yang menjual tubuhnya untuk bisa bertahan hidup dan menyelamatkan ayahnya yang sedang sakit. Dia tidak berguna, tidak pula cantik, dia hanya wanita murahan. Tidak lebih.Arini mendesah kasar. Setelah Gavin masuk ke dalam penjara ... semuanya akan berakhir, kan?Arini mengepa