Setelah berjam-jam Rayzeul membuatkan penawar racun untuk adiknya Aciel, akhirnya penawar racun tersebut selesai juga. Rayzeul memasukkan cairan tersebut ke dalam suntikan, dan suntikan tersebut dia masukan ke dalam koper kecil berwarna abu-abu.
“Kau membuat berapa?” tanya Aciel.
“Aku hanya membuat tiga, cukup susah membuatnya jadi maaf kalau lama dan hasilnya hanya sedikit,” jelas Rayzeul.
“Tidak apa-apa, aku rasa tiga juga sudah lebih dari cukup,” ucap Aciel.
“Kalau begitu, mari kita rombak kapsul terbang mu itu.” Rayzeul melangkahkan kakinya keluar dari lab tersebut.
“Kemana?” tanya Aciel bingung.
“Ada ruangan khusus untuk membuat peralatan-peralatan sains di atas rumah ku, kau terbangkan saja kapsul mu ke atas rumahku, nanti akan kubukakan atapnya,” jelas Rayzeul kemudian berjalan menaiki tangga, yang diikuti Aredel dan Felix di belakangnya.
Aciel segera kelua
Aciel menghela napasnya lega, dia menidurkan tubuhnya di lantai sambil memandangi langit malam yang berisikan banyak bintang-bintang kecil dari atap rumah Rayzeul yang terbuka. “Ini sudah jam sepuluh malam tapi si Aredel itu belum juga kembali,” ucap Rayzeul sambil meminum kopinya. “Aku akan menyusulnya nanti, aku istirahat dulu sebentar.” Aciel memejamkan matanya kemudian menggunakan kedua tangannya sebagai bantal kepalanya. “Cepat, malam hari di hutan ini sangatlah berbahaya, aku jadi khawatir padanya.” Rayzeul berbicara dengan nada yang datar lalu berjalan ke meja komputernya. “Benarkah?! Aku harus cepat menyusulnya!” panick Aciel yang langsung berdiri dari tidurnya, lalu melangkahkan kakinya ke tangga. “Kau mau mencarinya naik apa?” tanya Rayzeul yang berhasil menghentikan langkah Aciel. “Jalan kaki?” tanya Aciel sambil menggarukkan kepalanya. “Dasar bocah. Sini, aku pinjami kau sesuatu agar bisa mencari Aredel dengan cepat
Aredel dan Aciel kini tengah berjalan santai berdampingan, dengan tangan mereka yang saling bergandengan satu sama lain. Felix terbang di atas mereka, sambil sesekali mengeluarkan suara kicauan yang sangat keras menikmati sejuknya angin malam di padang bunga.Aredel tertawa kecil, kemudian bertanya pada Aciel. “Apa kau sudah puas sekarang Aciel?”Aciel mengerutkan kedua alisnya bingung lalu bertanya balik, “Puas apa?”“Melihat banyak hal baru. Kau telah bertemu berbagai macam makhluk, dan salah satu dari mereka bahkan menjadi temanmu.” Aredel melepaskan gandengan tangan mereka, menatap manik keemasan pria bersurai merah di depannya dengan hangat.“Ya, dan salah satunya menjadi kekasihku,” goda Aciel kemudian menggandeng tangan Aredel kembali“Tapi aku minta maaf, karena perjalanan kita tidak seperti dongeng-dongeng indah pengantar tidur lainnya. Padahal baru setengah perjalanan, tapi aku sudah b
Aciel, Aredel, Felix, serta penumpang baru mereka Rayzeul sedang menikmati sarapan pagi di mini jet. Aciel menyalakan mode auto pilot, agar dia bisa menikmati sarapannya dengan tenang dan nyaman.“Kau tahu kan arah jalan kita?” tanya Rayzeul lalu meletakkan mangkuknya yang sudah kosong di meja belakang, samping microfast.“Ada peta ajaib yang menunjukkan jalan, jadi aku yakin kita tidak akan tersesat kok. Rayzeul tidak perlu khawatir.” Aredel menggigit apel hijau yang ada di tangannya, kemudian mengunyah apel tersebut.“Ya, meskipun aku masih trauma dengan peta ajaib itu,” jawab Aciel lalu meletakkan mangkuk kosongnya di samping mangkuk Rayzeul.“Oh iya, apa perjalanan menuju Gunung Rinjanist itu berbahaya? Maksudnya seperti akan ada serangan dari para Orc, Troll, atau makhluk lain?” tanya Aredel.Rayzeul menggelengkan kepalanya lalu berkata, “Tentu saja tidak ada, kalian pasti mengalami hal ber
Aciel, Aredel, dan Rayzeul sedang berada di dalam rumah tua. Rumah tua tersebut milik tiga penyihir. Rumah itu berwarna abu-abu yang di dalamnya ada beberapa kursi kayu, kuali besar berwarna hitam dengan cairan hijau di dalamnya, dan beberapa kandang yang berisikan hewan-hewan seperti ular kecil, tikus, dan katak.“Bisakah kalian mengatakan apa yang kalian inginkan? Karena jujur saja, kami tidak memiliki banyak waktu,” ucap Aredel dengan nada sinis.“Jangan terburu-buru begitu, kita bahkan belum berkenalan,” jawab salah satu penyihir berbaju hijau dengan burung hantu hitam yang bertengger di pundaknya.“Iyah aku belum kenal kalian semua kecuali Rayzeul,” ucap penyihir dengan baju berwarna kuning.“Rayzeul kau kenal dia?” tanya Aciel sambil menunjukkan jarinya ke penyihir berbaju kuning dengan burung hantu putih yang bertengger di kepalanya.“Iyah, sebenarnya aku kenal mereka karena sering lewat
Aciel menghela napasnya kasar, kemudian terbang mengelilingi goa yang lembab dan gelap itu bersama Felix. Felix terbang di depannya, mengikuti pria bersurai merah itu dari belakang.“Aku tidak merasakan ada yang aneh disini, kalau pun ada pasti Felix menyadarinya lebih dulu,” batin Aciel sambil melihat sekelilingnya.Felix tiba-tiba berhenti terbang, dia melayangkan tubuhnya di udara dengan mata yang melihat ke bawah.“Kau melihat apa?” tanya Aciel kemudian ikut melihat ke arah pandangan Felix.Kosong, Aciel tidak melihat apa-apa disana kecuali tanah yang lembab, digenangi air.“Test … test … dua menit telah berlalu, waktunya menghitung mundur.” Suara tersebut keluar dari langit-langit goa, yang membuat Aciel mendongakkan kepalanya ke atas.“Sepuluh … Sembilan … delapan … tujuh … enam … lima … empat … tiga … dua … satu. Mula
Mata hijau milik Rayzeul menajam, surai putihnya yang indah kini telah basah dan penuh dengan keringat. Tangan kanan pria bermata hijau itu, tiada hentinya menebas serat-serat akar yang mati-matian berusaha melilit tubuhnya. Rayzeul mulai lelah, kerongkongannya mulai kering dan butuh asupan air.“Kalau kalian ingin air atau makanan mintalah pada kami, nanti akan kami berikan pada kalian,” ucap salah satu penyihir dengan suara yang sedikit nyaring.“Dasar kalian ini benar-benar,” batin Rayzeul.“Aku minta air!” teriak Rayzeul Lubang hitan dari langit muncul setelah Rayzeul meneriakan bahwa dia membutuhkan air. Dari lubang tersebut, keluarlah botol berwarna biru yang dapat memuat air satu liter di dalamnya. Rayzeul menggerakan tubuhnya gesit, sontak terbang menangkap botol tersebut ketika melihat ada sebuah lubang hitam di langit. Rayzeul membuka tutup botol tersebut, kemudian meminum air dari botol itu.&ld
Aciel menarik napasnya dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya secara perlahan. Mata emasnya memincing tajam ke arah tubuh monster berkepala ular tersebut. Pria bersurai merah seperti tomat itu menyunggingkan senyumannya, kemudian beberapa detik setelahnya tubuh yang tadinya berada di dekat langit-langit goa, kini telah berada di belakang monster berkepala ular tersebut. Monster berkepala ular tersebut menyadari kedatangan Aciel di belakangnya, kemudian dengan lincah monster itu membalikkan tubuhnya dan langsung menyerang Aciel dengan lidahnya yang panjang. Slapp Slapp Aciel terbang cepat menghindari serangan lidah beracun dari monster itu. Tubuhnya sudah mahir sekarang menggunakan jubah terbang milik Rayzeul. Aciel mengeluarkan tongkat halilintarnya, kemudian mengarahkan tongkat tersebut ke tubuh monster berkepala ular. Ctarr Ctarr Monster berkepala ular tersebut juga sudah semakin gesit menghindari serangan halilintar-halilin
Aciel menepuk-nepukkan kedua tangannya pada celana hitamnya yang kini sudah kotor, dan bahkan ada bagian yang sobek. “Baiklah aku sudah siap.”“Pada hitungan ke sepuluh, pintu berwarna merah akan muncul dihadapan mu. Setelah pintu tersebut muncul, kalian bisa langsung masuk ke dalamnya dan menolong teman kalian. Semoga beruntung!” seru Greeny, yang suaranya menggema di langit-langit goa tersebut.“Sepuluh … Sembilan … delapan … tujuh … enam … lima … empat … tiga … dua … satu.” Lucy menghentikkan hitungannya, kemudian beberapa detik sebelahnya muncullah pintu merah dihadapan Aciel dan Felix.Aciel menghembuskan napasnya pelan, tangan kanannya kini mulai memegang kenop pintu tersebut. Dengan mata emasnya yang terlihat berapi-api, dia memutar kenop pintu tersebut dan melangkah masuk ketika pintu itu terbuka.Baru saja melangkahkan kakinya masuk, wajah Aciel sud
Sejak Aredel kembali, keadaan Aciel dan Rayzeul berubah. Mereka nampak lebih semangat, dan sering tertawa bersama. Kekhawatiran mereka akan keadaan perempuan bersurai putih itu menghilang. Karena dia telah kembali, dan bahkan sudah melakukan banyak hal berempat. Seperti berjalan-jalan, mencari sesuatu yang aneh di hutan, atau mencoba penemuan baru Rayzeul. Pip Pip Pip “Dalam hitungan ketiga … dia akan meledak. Satu dua ….” Dor Semua orang bertepuk tangan. Termasuk Aciel dan Aredel. Mereka layaknya kedua orang tua yang bangga saat melihat Rayzeul dan Irimie sedang mendemontrasikan alat buatan mereka. “Mereka keren!” seru perempuan bersurai putih itu dari kejauhan. “Mereka pasti berhasil! Kalau begitu ayo!” Grep Pria bersurai merah itu menarik tangan Aredel. Dia tertawa, seraya membawa perempuan cantik bersurai pendek itu ke suatu
Satu bulan kemudian.Hari-hari yang dijalani Aciel sangat berat.Bukan hanya tentang Aredel yang belum kembali, tapi juga tentang pekerjaannya yang bertambah. Akibat adanya perang kemarin, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.Misalnya mengembangkan senjata baru, mini jet untuk perang, dan menjinakan robot-robot perang kemarin agar bisa digunakan kembali.Tentu saja dia tidak sendiri melakukan hal itu. Bersama dengan timnya yang lain, dan Irimie serta Rayzeul yang membuat amunisi-amunisi seperti bom.Dar “Dasar ahli kimia menyebalkan! Sudah aku bilang jangan coba-coba dulu dengan senjata itu!”Aciel berteriak marah. Lantaran pistol gel merahnya meledak begitu saja ketika Irimie dan Rayzeul menambahkan sesuatu.“Kita kan sedang ingin mencoba! Siapa tahu berhasil bukan?” tanya Irimie kesal.“Lihat … apakah itu berhasil? Kau membuatnya menjadi potongan be
“Aredel! Hei bangun! Kau tidak bisa meninggalkanku!”Suara teriakan pria bersurai merah itu menggema di medan pertempuran.Dia putus asa. Terus menerus meneriaki nama Aredel. Meskipun si empunya hanya bisa diam bergeming. Tanpa menyahut sekalipun.“Kau bilang akan hidup selamanya … tapi kenapa hanya dengan tertusuk pisau saja kau sekarat begini huh?!”Aciel tidak terima. Dia terus menggenggam tangan Aredel yang kini tengah diobati oleh Rayzeul.“Aciel … kau harus menerimanya. Itu bukanlah pisau biasa, pisau it---“ ucapan Ratu Tauriel terputus.“Aku tidak peduli! Seharusnya dia bisa hidup selamanya! Aku mau di---“BughRayzeul meninju pipi Aciel kencang. Pria bersurai merah itu diam, tak bisa berkata-kata. “Dasar sialan! Bisakah kau diam?! Bukan hanya kau yang bersedih di sini! Apakah kau tidak membayangkan bagaimana sedihnya Ibu Aredel?!”
“Aredel … kenapa aku merasa telingaku gatal ya?” tanya Aciel tiba-tiba.“Di sebelah mana?”“Kiri … apakah mungkin?”Aredel tertawa. Dia menidurkan tubuhnya di atas rumput hijau sambil menatap jutaan bintang di langit. “Ada yang membicarakan hal buruk tentangmu.”“Siapa yang berani membicarakanku?!” Aciel kesal. Dia melipat tangannya di dada sambil menatap datar Aredel.“Mungkin Irimie dan Rayzeul sedang membicarakanmu sekarang.” Perempuan bersurai putih itu menarik tangan Aciel lembut. Agar dia berbaring di sebelahnya.“Bagaimana bisa? Ugh aku tidak suka melihat adikku berdekatan dengan Rayzeul!” ujar Aciel kesal sambil merebahkan dirinya di samping Aredel.“Kenapa? Kau cemburu?”“Tidak. Aku hanya takut kalau Irimie akan menyukainya. Bagaimana kalau nanti Rayzeul mengkhianati adikku?” Wajah Aciel nampak kesa
Serpihan bintang langit malam menghiasi latar belakang kedua insan yang tengah bercengkrama, membuat makan malam di pinggir air terjun ini menjadi romantis.Perempuan bersurai putih itu kesusahan. Ini pertama kali untuknya memasakkan sebuah hidangan.Bahkan jika diingat terakhir kali, dia lupa kapan pernah masak.“Aku tidak bisa masak Aciel,” ujar Aredel pasrah sambil terus membersihkan sisik ikan.“Aku tahu. Kalau begitu kau harus belajar masak dengan Irimie.” Aredel menghela napasnya kasar. Mendengar pria bersurai merah itu menjawab sesuatu yang tidak mungkin, terdengar sangat menyebalkan di telinganya.“Dia tidak ada di sini. Bisakah kita langsung meminta saja makanan jadi? Daripada aku harus susah-susah membuatkanmu makanan,” keluh Aredel kesal dengan bibirnya yang mengerucut gemas.“Lihat betapa menggemaskannya dia,” batin pria bersurai merah itu senang.Aciel tertawa lalu menghampi
ZrasshHujan turun di seluruh Kerajaan Cartenzeul. Seperti tanda berkah dan kesedihan karena perang balas dendam ini telah berakhir. Mereka semua yang berada di medan perang satu persatu kembali, ke rumah mereka masing-masing.“Kau akan pulang ke kerajaan elf?” tanya Irimie sok akrab dengan Rayzeul.Pria bersurai putih itu mengangkat bahunya cuek. “Entahlah. Aku juga tidak tahu harus ke mana sekarang. Aku ingin kembali ke rumahku di Hutan Lhokove tapi rasanya malas.”“Bagaimana kalau kau tinggal di sini? Aku dengar kau mempunyai kemampuan kimia yang hebat? Kau bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dengan kemampuan itu di kerajaan kami.”Seseorang dari belakang berbicara.Perempuan anggun bersurai kuning keemasan tersenyum ramah. Menatap pria bersurai putih itu lembut.“Tuan Putri ingin merekrutku?” tanya Rayzeul tanpa basa-basi.Putri yang kerap disapa Aurora itu mengangg
Sesaat setelah Aredel mengucapkan kata-kata itu. Mulut Tauriel terbuka.Dia ikut bernyanyi, bersama para peri dengan bahasa kuno yang tidak Aredel mengerti.Cahaya terang mulai kembali keluar dari lingkaran sihir di bawah mereka.SplashDan sesaat setelah cahaya itu redup, Aredel pingsan. Dia terbaring lemas di sebelah kekasihnya, Aciel.Kedua tangan Ratu nampak sibuk. Tangannya bergerak, menyentuh dada Aredel dan Aciel.Cahaya berwarna biru muda keluar dari dada Aredel.Suara nyayian Tauriel dan para peri terdengar semakin ramai. Cahaya tersebut terbang, melayang halus di udara.Para peri yang menari itu nampak bahagia sambil menyentuh cahaya berbentuk bulat itu. Mereka membawa cahaya itu hingga mendarat tepat di dada Aciel.“Bagus … empat kali lagi,” batin Tauriel.Mereka melakukan hal tersebut berulang kali, hingga akhirnya sampai di ketiga kalinya.Para peri berhenti menyanyi
“Apa itu benar?” tanya Aredel dengan manik hijau yang bergetar. Perempuan bersurai hitam nan anggun dan berwajah tegas itu menghampiri Aciel. Dia berjongkok dan meletakkan tangannya di kening pria bersurai merah itu. Sudut bibirnya naik lalu melirik ke arah Aredel dan Tauriel. “Kalian harus cepat. Waktunya tidak lama lagi,” ujar Nyram dengan wajah datar. Bola mata Aredel membesar. Dia memegang erat kedua tangan Tauriel, sambil berjongkok di depannya. “Aku tidak apa-apa. Tolong berikan saja nyawaku pada Aciel. Aku tidak bisa membiarkannya mati begitu saja.” Tauriel menatap penuh ragu elf yang sudah dia anggap seperti anaknya itu. Dia menggeleng pelan sambil menatap dalam manik hijau Aredel. “Setelah aku pikir-pikir ulang … sepertinya tidak. Apakah kau memikirkan bagaimana nasib ibumu nanti saat mendengarmu koma?” lirih Tauriel. Manik hijau Aredel membulat. “Koma? Jadi kau tidak mati?” tanya Aredel lagi. “Tidak. Tapi kau sulit un
Perempuan bersurai putih itu melesat cepat. Dia sudah bertekad untuk membebaskan Morie dari kurungan yang dibuat Ratu Tauriel.“Aku harus menyelamatkan Aciel! Harusnya aku yang terkena tombak es itu bukannya kau!” teriak Aredel dalam hati.Tubuh mungilnya meliuk-liuk handal. Dengan tekad sekeras baja, dan rasa penyesalan sebesar matahari … Aredel berjanji akan menyelamatkan Aciel.“Aku tidak bisa membiarkan Aciel mati karena kelalaianku,” batin perempuan bersurai putih itu.PyuhHembusan angin tornado tak membuat langkah perempuan cantik itu gentar. Dia mengeluarkan sihir yang baru dia pelajari dari Ratu Tauriel. Yaitu membuat tubuh menjadi tembus apapun. Sehingga tidak ada serangan yang bisa mengenai tubuhnya.Perempuan itu menghembuskan napasnya perlahan. Aliran energi sihirnya yang terasa sejuk mulai menyebar dari atas kepala hingga ke ujung kaki.PyuhDia berhasil.Tor