Keesokan harinya, paman dan tante mengajak aku dan mama untuk pergi berwisata ke Jawa Timur Park 2, atau yang biasa disebut sebagai Jatim Park 2. Tempat itu sangat menarik karena berisikan hewan-hewan yang tidak pernah kulihat sebelumnya.Hari ini benar-benar menyenangkan karena aku bisa bersenang-senang dengan bebas, tanpa dikekang oleh bayang-bayang masalah yang membebaniku. Sayang sekali ada beberapa wahana yang tidak bisa kunaiki karena penderita penyakit jantung dilarang untuk menaikinya.Aku memandang kereta roller coaster yang meluncur di jalurnya dengan cepat. Suara teriakan orang-orang yang menaiki wahana itu kedengaran sampai di tempatku yang berada tak begitu jauh dari sana.Perasaan iri dan kesal mulai timbul di dalam hatiku saat memandang orang lain menaiki wahana itu. 'Padahal aku sangat ingin mencoba menaiki roller coaster sekali saja ... 'kan belum tentu aku punya penyakit jantung.'"Kalau kamu melamun terus, nanti Mama tinggal lho," ujar mama memperingatkanku.Sontak
Mama memperlihatkan hasil rontgen dadaku lalu menjelaskan kondisiku kepada dokter. Pria berambut putih itu pun menyimak penjelasan mama dan memperhatikan hasil rontgen yang diperlihatkan kepadanya."Kelihatannya jantungnya tidak bermasalah, tidak bengkak sama sekali," gumam dokter dengan mata yang terfokus pada kertas berwarna hitam putih di tangannya.Dia mengembalikan hasil rontgenku lalu menyuruhku untuk mengukur berat badanku. Aku pun menuruti perintahnya walaupun heran mengapa dia menyuruhku untuk menimbang berat badanku. 'Memang apa hubungannya berat badan sama penyakit jantung?'"39 kg? Ceking banget kamu," komentar dokter mengenai berat badanku.Aku turun dari atas timbangan badan tanpa mengatakan apa-apa. Aku merasa malu karena dikatai ceking a.k.a kurus kering. Aku tidak bisa membantahnya karena apa yang dikatakannya memang benar. Seharusnya berat badan idealku adalah 50 kg."Baring di atas ranjang," perintah dokter sambil mengarahkan tangan kanannya ke ranjang pasien berwar
Siang ini, aku, mama, dan tante pergi ke supermarket. Kali ini paman tidak ikut berpergian bersama kami karena ada urusan kantor. Kami bertiga pergi ke pasar swalayan untuk belanja bahan makanan dan buah-buahan.Aku berdiri mematung di hadapan rak yang memajang makanan-makanan ringan dan manis. Makanan ringan yang dijual di supermarket kota ini lebih lengkap dan beragam daripada di kota asalku. Ada banyak yang baru pertama kali kulihat dan ingin kucoba.Pandanganku terfokus pada jajanan manis yang biasa disebut sebagai rambut nenek. Jajanan itu dikemas di dalam kemasan plastik sehingga tetap higienis. Ini pertama kalinya aku melihat rambut nenek secara langsung, biasanya aku hanya melihatnya melalui internet."Lagi lihatin apa, Freya?" tanya mama yang berjalan menghampiriku sambil mendorong troli."Rambut nenek," jawabku sambil mengarahkan jari telunjukku ke jajanan berwarna pink itu.Mama pun melirik ke arah jajanan jadul itu. "Oh, gulali."Di tempat kami, rambut nenek memiliki bentu
Malam hari, paman mengantar aku dan mama ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi jantungku. Selain itu, kali ini tante ikut bersama kami sehingga suasana jadi sedikit lebih ramai. Menunggu giliranku untuk masuk ke ruang pemeriksaan pun jadi tidak begitu membosankan.Kami duduk di ruang tunggu sambil mengorbol untuk mengisi waktu, bersama dengan banyak pasien lainnya. Semua pasien yang memeriksakan dirinya ke poli jantung merupakan orang dewasa dan hanya aku seorang diri yang masih anak-anak di sini.Beberapa pasien yang duduk di dekatku ikut bergabung dengan obrolan kami dan dengan cepat menjadi akrab. Orang-orang di sini pada ramah walaupun baru pertama kali bertemu dengan kami."Anak Freya Renata," panggil suster setelah pasien sebelumnya keluar dari ruang pemeriksaan.Aku langsung bangkit dari bangku sambil mengucek mataku yang mengantuk. Akhirnya namaku dipanggil saat jam menunjukkan pukul 09.35 malam. Kulangkahkan kakiku menuju ruang pemeriksaan, berjalan di samping mama sambil
Esok malam, aku, mama, dan paman berada di dalam mobil yang melaju di jalanan yang gelap. Kami sedang dalam perjalanan menuju tempat praktik dokter ortopedi yang direkomendasikan oleh dokter spesialis jantung.Sesampainya di tempat tujuan, betapa kagetnya aku melihat berapa banyak orang yang sudah datang lebih dahulu daripada kami; ada lebih dari 20 orang di dalam ruang tunggu. Antrian sebanyak itu pasti akan memakan waktu yang sangat lama.Setelah mendaftar ke resepsionis, kami memutuskan untuk pergi cari makan di luar. Aku yakin pas kami sudah selesai makan malam dan kembali ke tempat itu, antrian itu masih panjang dan namaku masih belum dipanggil.Jam menunjukkan pukul 08.30 malam, kami pun memutuskan untuk kembali ke tempat praktik dokter. Kami mendapati ruang tunggu masih dipenuhi oleh pasien-pasien yang ingin berobat atau diperiksa, bahkan jumlahnya lebih banyak dari sebelumnya."Banyak yang ke dokter ortopedi, ya?" gumamku yang bertanya kepada diri sendiri"Iya, kalah-kalah dok
Aku menghabiskan waktu selama beberapa menit di ruang radiologi untuk foto x-ray badanku. Selama difoto, petugas radiologi memberikan aku arahan, seperti berdiri tegap hadap depan, samping, tangan kanan ditarik ke bawah, dan berbaring telentang.Setelah sesi foto selesai, aku tidak dibolehkan keluar sebelum petugas radiologi selesai 'mencuci' foto hasil rontgenku. Kertas fotonya benar-benar dicuci dengan air, selama ini kukira foto itu diprint atau menggunakan teknologi canggih semacamnya.Setelah foto x-ray badanku selesai dicuci, petugas radiologi mengajakku untuk keluar dari ruangan ini. Wanita paruh baya itu menyerahkan hasil rontgenku ke resepsionis, sedangkan aku ikut duduk bersama mama dan paman di bangku ruang tunggu.Kulihat resepsionis itu mengantarkan amplop yang berisikan hasil rontgenku ke ruang pemeriksaan saat pasien yang sudah diperiksa oleh dokter keluar dari ruangan itu. Tak lama kemudian, dia keluar dari ruangan itu dan memanggil namaku.Aku, mama, dan paman pun mas
Beberapa hari telah berlalu, kini aku dan mama sudah pulang ke kota asal kami. Sayang sekali aku tidak bisa berlama-lama di Malang karena papa sudah kewalahan mengurus rental PS seorang diri.Aku membantu mama mengeluarkan barang-barang kami dari dalam koper dan kardus. Barang yang kami bawa pulang mendadak lebih banyak daripada saat kami berangkat ke luar. Itu karena mama membeli oleh-oleh untuk keluarga di rumah."Haizz, kenapa Mama beli pia durian saja?" kesal kakak yang tidak suka makan durian, apalagi mencium aroma buah berduri itu.Aku hanya menggeleng-gelengkan kepalaku melihat kakak laki-lakiku asik membongkar kardus yang berisikan oleh-oleh dari kami. Bukannya membantu kami menyimpun barang, yang dia perhatikan malah oleh-oleh yang kami bawa. "Mama ada belikan yang isi keju kok," balas mama.Aku mengalihkan pandanganku dari kakak yang sibuk mencari oleh-oleh kesukaannya. Aku melanjutkan aktivitasku, yaitu mengeluarkan vitaminku dari dos khusus yang hanya berisikan botol-boto
Liburan natal berjalan dengan lebih cepat dari yang kukira. Aku disibukkan oleh terapi-terapi skoliosisku sehingga membuatku kurang bisa menikmati liburanku. Aku menurunkan kakiku dari kursi dan mulai bergelantungan pada bar besi.Setelah hampir seminggu melakukan aktivitas ini secara rutin, tanganku tidak terlalu pegal lagi saat menopang tubuhku yang beratnya 40 kg. Aku tidak bisa membayangkan seberat apa kalau aku memiliki berat badan ideal, yaitu 50 kg."Kak Freya, lagi apa?" tanya seseorang.Sontak aku melepaskan genggaman tanganku dari bar besi dan mendarat di atas lantai. Aku menoleh ke arah sumber suara dan mendapati adik sepupuku berdiri di depan pintu. Dia adalah anak laki-lakinya bibi yang sudah memberi tahu kondisiku kepada mama dan papa."Ya, kamu bisa lihat sendiri Kakak lagi ngapain." Aku tidak menjawab pertanyaannya dengan jelas.Lelaki yang lebih muda 6 tahun dariku itu naik ke atas tangga lalu duduk di anak tangga, tepat di samping pegangan tangga dimana bar besi itu
'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
“Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti
"Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer
Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di
Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba
Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.
Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis
Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k
Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang