Aku duduk di bangku halte sambil menunggu jemputan datang. Kupandang kosong jalanan yang rata-rata dilalui oleh kendaraan beroda dua. Terkadang ada juga kendaraan beroda empat yang berlalu-lalang di jalanan.
Aku merasa tidak bersemangat karena UAS hari ini berjalan dengan kurang baik. Aku sudah memperkirakan nilai Matematika dan Bahasa Indonesia ku; 70 dan 80. Bagi orang lain, mungkin nilai itu sudah bagus, tetapi bagiku itu tidak bagus.
Siku tangan kananku bertumpu pada lutut kananku yang disilangkan di atas kaki kiriku. Aku menopang daguku dengan telapak tangan kananku. Sebuah hembusan napas berat keluar dari mulutku.
"Kalau mama tahu nilaiku tidak 100, apalagi di bawah 90, siap-siap aku akan kena roti panggang darinya," gumamku dengan lesu.
Roti panggang yang kumaksudkan bukan roti yang dipanggang untuk dimakan, melainkan pukulan rotan. Dulu kecil, aku dan kakak biasa menyebut pukulan rotan dari mama sebagai roti panggang. Jangan tanya aku kenapa k
1 minggu telah berlalu, UAS pun berakhir. Selama UAS, aku merasa sangat tertekan karena memaksakan diriku untuk belajar sampai larut malam agar bisa mendapatkan nilai yang setinggi-tingginya.Ditambah lagi, geng Celestine yang sering menggangguku di sekolah dan mama yang sering menuntutku untuk mendapatkan nilai sempurna tak kalah membuat mentalku semakin tertekan.Kulangkahkan kakiku menuju gedung SMP dengan langkah santai. Sekarang aku tidak setertekan minggu lalu karena mulai hari ini adalah class meeting. Tidak ada lagi kegiatan belajar mengajar sehingga para murid bisa mengistirahatkan otaknya seusai UAS.Kulihat ada beberapa orang siswa berseragam olahraga sedang bermain bola basket di lapangan. Tidak ada yang menegur mereka karena seharusnya mereka mengenakan seragam putih biru pada hari Senin ataupun karena mereka berolahraga di luar jam pelajaran PENJAS.Aku mengalihkan pandanganku dari mereka. Kulangkahkan kakiku menaiki tangga teras lalu berjal
Mendengar jawaban dari Celestine, aku langsung terdiam dan tidak berkata apa-apa lagi. Aku hanya menundukkan kepalaku dan meremas rok biru yang kukenakan. 'Tidak akan puas sampai aku hancur sehancur-hancurnya? Kejamnya ....'Tanpa aba-aba, seseorang mengelus rambutku dengan kasar sehingga jadi berantakan. "Jangan murung begitu lah, aku hanya bercanda."Aku tidak membalas perkataannya yang berkata kalau yang tadi itu hanya candaan. Kutepis tangan yang mengacak-acak rambutku. Aku mengarahkan pandanganku ke arah orang yang membuat rambutku jadi berantakan; Celestine."Candaanmu sama sekali tidak lucu," balasku sambil menatap dia dengan tajam.Celestine tidak terlihat terkejut saat aku menepis tangannya, malahan dia terlihat marah. Dia mengepalkan tangannya yang barusan kutepis dan membalas tatapan tajam yang kulemparkan kepadanya."Hahaha ... kamunya saja yang tidak bisa diajak bercanda." Suara tawanya tidak terdengar seperti orang tertawa karena sesu
"Eh? Benaran, Bu?" tanyaku dengan tidak percaya."Iya, benaran kok," jawab bu Sinaga sambil menyenggol tanganku dengan piagam yang dia sodorkan.Aku pun menerima benda tipis yang diberikan kepadaku. Kubaca isi dari piagam penghargaan ini yang mengucapkan selamat kepadaku sebagai juara 3 lomba melukis tingkat provinsi Kalimantan Utara.Sebuah senyuman bangga dan bahagia tercipta pada bibirku. Ini pertama kalinya aku memenangkan lomba tingkat provinsi jadi aku merasa senang sekali saat mendapati namaku ditulis di atas piagam penghargaan. 'Yah ... walaupun hanya juara 3, tetapi itu sudah bagus.'"Sekali lagi saya ucapkan selamat, ya, Victor dan Freya," ujar bu Sinaga sambil tersenyum bangga kepada kami berdua."Terima kasih, Bu," ucap aku dan Victor dengan serempak."Oh, ya, sebentar ...." Bu Sinaga merogoh sesuatu di dalam ranselnya.Wanita berseragam dinas berwarna khaki itu mengeluarkan dua lembar amplop dari dalam ranselnya. Dia memb
Aku duduk di halte sambil menunggu jemputan. Beberapa orang yang lewat di trotoar pasti akan melirik ke arahku dan menatapku dengan pandangan iba atau aneh, mungkin. Kuangkat tangan kananku untuk memegangi pipi kiriku yang perih."Dasar, kalau cemburu jangan main kasar lah ... dikira tidak sakit kena tampar dan dipukul?" gumamku kesal.Aku sangat membenci Celestine dan anggota gengnya. Mereka selalu saja merundungku walaupun sebenarnya aku tidak melakukan kesalahan apa pun pada mereka. Tentang diriku yang dekat dengan Victor pasti hanyalah alasan bagi mereka supaya bisa merundungku.Aku menurunkan tanganku dan mengepalkannya dengan erat. Kuperhatikan luka memar pada lengan kananku akibat menahan pukulan Celestine. 1 bulan telah berlalu sejak pertama kalinya mereka membuliku, masih belum ada tanda-tanda mereka akan berhenti membuliku.Tiba-tiba terdengar bunyi klakson sehingga aku tersadar dari lamunanku. Aku pun menoleh ke arah sumber suara dan mendapati
1 minggu telah berlalu, tak terasa class meeting akan segera berakhir. Hari ini adalah hari terakhir kami bersekolah sekaligus hari pembagian rapor. Aku duduk diam di kursiku sambil memandang jam dinding dengan gugup.Benda penunjuk waktu itu menunjukkan pukul 09.19 pagi. Rasa gugupku semakin memuncak saat mengetahui 11 menit lagi acara pembagian rapor akan dimulai. Selain itu, orang tuaku masih belum datang juga, sedangkan orang tua murid lain sudah pada berdatangan.Aku mengedarkan pandanganku ke sekitar. Kulihat ada beberapa orang tua murid berkumpul di dalam ruangan ini. Para ibu dan bapak itu saling mengobrol dengan orang tua dari teman anaknya.Aku memalingkan mukaku dari mereka dan menundukkan kepalaku. Kuremas dengan erat rok biru yang kukenakan. 'Kapan mama atau papa datang? Bentar lagi pembagian rapor akan dimulai.'"Halo~ Freya, ya?" sapa seseorang.Saat mendengar namaku dipanggil, aku tersadar dari lamunanku. Aku tidak tahu siapa pemili
Akhirnya aku pulang setelah menghabiskan waktu di sekolah tanpa melakukan apa-apa. Kalau saja sekolah membolehkan kami untuk langsung pulang sesudah pembagian rapor, aku pasti sudah di rumah sejak beberapa jam yang lalu.Aku duduk di sofa ruang tamu, menunggu mama datang untuk mengomeliku. Batang hidungnya masih belum kelihatan karena sepertinya wanita itu masih memiliki pekerjaan yang belum terselesaikan di dapur."Bagaimana nilaimu semester ini, Nak?" tanya papa yang baru saja memasuki ruangan ini sambil menenteng helm berwarna biru tua di tangannya."Nilaiku turun, Pa," jawabku dengan jujur.Papa ber oh ria setelah mendengar jawaban dariku. Aku menatap heran pria yang meletakkan helmnya tepat di samping helmku dan menyimpan alas kakinya di dalam rak sepatu. Aku heran kenapa papa masih menanyakan pertanyaan itu walaupun sebenarnya dia sudah tahu.Aku mengangkat bahuku dan memejamkan kedua mataku selama sesaat. 'Aku yakin pas mama pulang duluan, m
Pagi esoknya, aku bisa bersantai karena libur Natal sudah dimulai. Akhirnya aku bisa mengistirahatkan otakku dan tidak bertemu dengan geng Celestine lagi. Aku akan menghabiskan waktuku dengan bermalas-malasan di rumah saja. Saat sedang main HP, tiba-tiba kudengar suara mama yang memanggil aku, papa, dan kakak untuk sarapan. Aku pun berhenti memainkan telepon pintarku dan segera keluar dari kamarku. Kulangkahkan kakiku menuju ruang makan. "Nanti sore kamu mandi cepat, ya, soalnya kita mau ke rumah nenekmu," ujar mama kepadaku. "Memangnya ngapain kita ke rumah nenek?" tanyaku heran. " 'Kan hari ini ulang tahun nenekmu," jawab mama sambil memandangku dengan wajah yang tidak ramah. Aku ber oh ria setelah mendengar jawaban darinya. Aku pun jadi teringat kalau hari ini adalah hari ulang tahun nenek. Tak kusangka aku akan lupa pada tanggal lahir nenekku sendiri. Kalau nenek tahu, dia pasti akan kecewa padaku. Terdengar bunyi derit pintu terbuka. Tampak kakak laki-lakiku baru saja keluar
Kurang lebih ada 20 kursi plastik berjejer dengan rapi di teras rumah nenek yang luas. Tampak beberapa orang dewasa saling mengobrol di bagian muka bangunan itu. Anak-anak dan para remaja pun berkumpul untuk bercanda tawa. Aku berjalan mengikuti rombongan keluargaku menuju meja dimana nenek duduk. Kami menghampiri seorang wanita lansia yang duduk di balik kue ulang tahun dengan lilin angka '74'. "Selamat ulang tahun, Ma," ucap mama dan papa dengan serempak. Mendengar ucapan dari mama dan papa, nenek menoleh ke arah kami. "Terima kasih, Arif, Ella." Saat pandangan nenek beralih ke arahku dan kakak yang berdiri di belakang kedua orang tua kami, aku dan kakak langsung mengucapkan selamat ulang tahun kepada nenek. Nenek merespons ucapan kami dengan sebuah senyuman hangat dan menganggukkan kepalanya. "Ini buat Mama," ucap mama sambil menyodorkan selembar amplop berwarna merah kepada nenek. "Eh? Tidak usah!" balas nenek sambil menyilangkan tangannya. Papa mengambil amplop yang ada di
'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
“Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti
"Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer
Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di
Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba
Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.
Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis
Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k
Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang