Liara melarang Hagan memanggil dokter atau membawanya ke rumah sakit. Mendadak alergi dengan dua hal itu, hingga Max yang sengaja diminta datang juga ia jauhi.
Perempuan dengan wajah kuyu itu bersikeras tak ingn mendapat perawatan atau pemeriksaan apa pun. Hanya ingin istirahat.
Hal itu membuat kepala Hagan nyaris pecah. Ia tak tega melihat Liara tampak pucat, lemas dan seperti kelelahan layaknya sekarang. Namun, ingin memaksa, ia juga tak bisa. Liara entah kenapa mudah sekali menangis sekarang.
"Aku hanya akan memeriksa beberapa hal." Max yang ikut-ikutan duduk di ruang TV berusaha merayu lagi. Ia juga cemas karena Liara terlihat tak bertenaga.
Masih dalam posisi berbaring di sofa, yang ditanyai menggeleng. "Menjauh dariku!" teriaknya.
Max belum hilang arah. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari saku. Menaruhnya di meja. "Kau tahu cara menggunakan alat itu?"
Melirik ke sana, Liara mengangguk. "Kau kira aku h
Hagan terbangun karena merasakan ada yang menggerakkan tangannya. Membuka mata, pria itu mendapati Liara sedang berusaha turun dari ranjang mereka."Ke mana, Liara?" Pria itu duduk, berusaha membuka mata sepenuhnya.Berjengit karena terkejut, Liara menoleh. "Aku lapar. Ayam gorengku tadi masih ada, 'kan?"Seminggu sejak pemeriksaan kemarin, artinya Liara sudah hamil enam minggu. Tidak banyak yang berubah pada perempuan itu, selain lebih sering mual di pagi dan malam hari dan jam makannya berubah.Tadi, sewaktu jam makan, Liara menolak. Hanya memasukkan nasi dan sayur sebanyak tiga suap. Sekarang, di pukul dua dini hari, perempuan itu malah terbangun karena lapar.Beruntung Hagan sudah mewanti-wanti Nia untuk tetap menyimpan ayam goreng tadi. Hagan hanya tinggal memanaskan sebentar, lalu menyajikannya pada sang istri.Pelan-pelan, meski masih sering ragu, Liara mulai terbiasa dengan kehamilan ini. Perempuan
Liara ingin menangis, tetapi ia tak bisa. Duduk memeluk lutut di sebuah bangunan yang entah di mana dan milik siapa, ia terus menatapi sosok pria yang terikat di kursi pesakitan di depannya.Liara tak tahu apa nama benda itu. Yang jelas, bentuknya seperti senter. Benda itu yang diarahkan salah satu pria berkaus hitam ke leher Hagan, hingga berhasil membuat suaminya itu jatuh tak sadarkan diri hingga sekarang.Tadinya hanya ada dua orang yang memintanya masuk ke mobil. Mata Liara ditutup, baru diizinkan melihat lagi saat tiba di tempat ini. LIma pria bertubuh tegap lainnnya menyambut mereka.Hagan didudukkan di kursi, lalu tangan juga kakinya diikat. Denagn cepat Liara menyadari apa yang terjadi. Seperti yang terakhir kali, mereka diculik.Perempuan itu takut. Ia ingin menangis karena Hagan tak kunjung sadar dan membayangkan akan diapakan mereka nantinya. Namun, Lira tak mau membiarkan air mata jatuh. Itu hanya akan membuat orang-or
Mustahil jika Liara baik-baik saja setelah semua yang dialami. Perempuan itu babak belur. Memar menghuni nyaris seluruh badan. Bagian paling parah, perempuan itu keguguran.Dokter menjelaskan itu pada Hagan beberapa jam lalu, saat akan mengambil tindakan kuretase.Janin Liara tak bisa selamat. Dipastikan karena si calon ibu mengalami banyak pukulan di daerah peut bawah dan panggul. Juga beberapa kali terjatuh dalam posisi salah.Hilang akal, nyawa Hagan seolah raib saat mendengar semua itu. Pria itu hanya mampu terduduk lemas di ruang tunggu selama istrinya menjalani tindakan.Habis. Hancur. Lebur tak bersisa. Hagan kehilangan dunianya dalam waktu sekejap.Anak yang begitu ia dambakan harus pergi, tanpa sempat dilahirkan atau bahkan berkembang lebih besar lagi. Patah. Mendadak dunia yang sebelumnya terlihat indah itu menjadi sungguh suram dan hampa.Di tengah duka yang juga dibalut kemarahan itu, Hagan men
Hagan yang sedang asyik melampiaskan amarah pada salah satu orang suruhan, diinterupsi Biru. Orangnya Orlando itu menariknya menjauh dari seorang pria yang wajahnya sudah bersimbah darah."Lakukan pekerjaanmu dengan baik, bajingan! Aku membayarmu bukan untuk melaporkan kegagalan!"Pria itu murka. Tak ada satu pun jejak yang bisa dipakai untuk menelusuri siapa dalang di balik apa yang menimpanya dan Liara kemarin.Hagan tak ingat nomor mobil yang mendatanginya dini hari itu. Ia tak ingat satu pun wajah mereka. Tempat yang dipakai untuk menyekap adalah bangunan lama yang sudah tidak digunakan dan tidak diketahui siapa pemiliknya.Hagan menyewa detektif. Yang paling andal katanya. Namun, dia tak mendengar satu pun kemajuan dari laporan orang itu. Padahal, ini sudah tiga hari berlalu.Sial. Sial. Sialan."Dengan begini, masalah tidak akan selesai, Tuan." Biru mengingatkan, meski setelahnya harus mendapat lempa
Menatapi batu nisan di hadapannya, Liara tak mampu berkata-kata. Perempuan itu merasa kepalanya seketika kosong.Demi membuktikan kebenaran ucapan Max, sedikit memaksa, perempuan itu minta diantar ke tempat ini. Lokasi peristirahatan terakhir Redrick.Max ternyata tidak berbohong. Itu memang makan Redrick. Nama adik tiri Hagan itu tertulis di keramik hitam itu. Tanahnya masih basah dan masih terdapat bunga tabur yang kelihatan baru."Kenapa bisa?" Liara bertanya lirih. Perempuan yang masih mengenakan pakaian rumah sakit itu mengusap nisan di sana. Wajahnya muram.Berjongkok di samping Liara, Max ikut-ikutan memasang ekspresi berduka. "Entah dari siapa, dia tahu di mana kau dan Hagan disekap. Dia sedang dalam perjalanan ke sana juga saat memberitahu aku dan Biru."Asumsi Max, mungkin, karena sagat kalut, Redrick mengemudikan mobilnya secepat yang dibisa dan karena kondisi emosinya itulah ia mengalami hilang kendali hing
"Kau sungguh akan melakukan ini?" Orlando penuh kemarahan sekarang. Laki-laki dewasa yang tertunduk di hadapan benar-benar membuatnya ingin meledak.Hanya karena takut Liara kembali menjadi sasaran orang-orang yang mengincar harta Arsenio, anaknya itu menceraikan Liara. Sudah sah, sebab saat ini Hagan sudah memegang surat pengesahan dari pengadilan."Aku tidak habis pikir kau bisa sedungu ini, Hagan! Apa yang kau dapatkan bila berpisah dari Liara?" Orlando tak peduli beberapa pasien atau perawat yang lewat melempar tatapan aneh pada mereka. Pria itu hanya ingin fokus pada Hagan, menyadarkan anaknya itu."Aku tahu seberapa besar kau membutuhkannya. Dan apa? Kau melepasnya? Sungguh bodoh! Jika kau tak ingin ia celaka oleh orang-orang yang mengincarmu, maka jaga dia. Tetap di sisinya."Orang yang ia ajak biara diam saja bagai patung, Orlando mengambil langah besar menuju ruangan Liara. Mungkin, ia bisa membujuk menantunya itu.
Waktu tak pernah berhenti. Ia tak akan memberi jeda dan menunggumu pulih dari duka, sedalam apa pun luka yang kau miliki.Liara berusaha meyakini itu. Pagi ini, ia memulai pekerjaannya di salah satu toko kelontong. Liara diterima bekerja di sana sejak kemarin.Sudah pindah dari rumah Hagan, putus hubungan kerja sama dengan pria itu, artinya Liara harus mencari penghasilan untuk menutupi biaya hidup selanjutnya. Walau tabungan masih ada, ia juga tak boleh berleha-leha hingga uang itu habis.Di luar prediksi juga, keinginan Liara untuk mengakhiri hidup perlahan tak terlalu terasa lagi. Perempuan itu sudah lebih pasrah. Seperti kata Red, semua orang sudah punya jadwal masing-masing untuk mati.Liara berubah? Sebenarnya tidak banyak yang berubah, Kecuali, celah kecil di hati. Perempuan itu mendadak merasa seolah kehilangan sesuatu sejak meninggalkan rumah Hagan seminggu yang lalu.Hal lucunya, beberapa hari lalu, Liara yan
Itu dini hari saat Hagan yang tak dapat tidur memutuskan pergi ke gazebo di belakang. Pria itu duduk di sana. Menghela napas beberapa kali, kemudian menatapi kolam renang.Rasanya menyesakkan dan hampa. Itu baru seminggu dan Hagan sudah merasa tak sanggup melewati hari esok. Ia lelah. Rindu untuk Liara tak habis-habis, malah semakin banyak.Pria itu kesepian. Kamarnya tak lagi hangat. Rumah tak lagi nyaman. Semua hal tak lagi menarik usai perempuan itu pergi dari sisi.Orlando benar. Hagan benar-benar kalah setelah Liara pergi darinya.Menoleh ke sisi kiri Gazebo, Hagan tersenyum pahit. Itu posisi yang selalu Liara tempati. Perempuan itu selalu duduk di sana, tiap ke gazebo ini."Hagan! Keluar dari ruang kerjamu sekarang juga! Kau mau aku seret?"Sebuah kenangan muncul di kepala. Kala itu Hagan yang sudah menghuni ruang kerja selama berjam-jam dipaksa Liara keluar.Awalnya menolak, tetapi teri
Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be
Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka
Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha
Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia
Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.
Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j
Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it
Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 
Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m