Rumah Rico berada di daerah perumahan mewah di Jakarta Selatan, bertingkat dua, dan terlihat sangat megah dari luar. Seorang petugas keamanan membukakan pintu pagar waktu mereka tiba. Mobil Jeep Rico diparkir di garasi, yang terletak di basement. Lalu, mereka naik lewat tangga di basement ke lantai satu, langsung terhubung ke ruangan luas yang terang, sepertinya ruang tengah atau ruang keluarga. Satu ruangan itu saja lebih luas daripada seluruh rumah Elora.
Elora terkagum-kagum. Arsitektur rumah itu klasik, warna cream dan putih mendominasi. Ruang keluarga itu seperti terbagi jadi tiga bagian. Di sisi kanan dekat jendela besar, terpajang satu set sofa kulit warna putih dan meja kaca. Bagian tengahnya kosong, sepertinya diisi kalau ada acara saja. Di sisi kiri, ada rak besar dari kayu jati, yang berisi satu set home theatre berukuran ekstra besar. Di depan rak, terdapat lima buah reclining seat atau sofa rebah, berwarna cream. Sepertinya nyaman sekali kalau menonton sambDi kantor Deep Production, situasinya tidak heboh seperti di Max TV kemarin. Tidak ada yang menggosip atau membahas berita kemarin, jadi Elora merasa lega.Dia diperkenalkan oleh Victor dengan Ghani, sutradara yang akan menggarap film Sang Superstar dari naskahnya. Sutradara berambut panjang dan berumur sekitar empat puluh tahun itu orangnya sangat unik, tapi humoris. Dia lulusan IKJ juga, seperti Rico. Dan Elora merasa cocok berdiskusi dengannya.Mereka sedang menyesuaikan beberapa bagian naskah di ruang kerja Ghani, ketika Victor masuk, dan menyerahkan sebuah map kertas pada Ghani."Ini beberapa calon pemain hasil casting kemarin. Besok kamu yang tentuin aja, siapa yang mau kamu pilih. Aku minta mereka datang lagi jam sembilan ya...," kata Victor pada Ghani."Siap, Bos...," jawab Ghani dengan santai.Ghani menoleh memandang Elora. "El, kamu juga mau liat calon pemainnya?""Mmm... Kayaknya nggak perlu sih
Hari itu benar-benar mimpi buruk bagi Elora. Pertama, Trista. Setelah itu, Pak Iyan dan Raras. Berapa orang lagi yang akan memanfaatkan berita dia dan Rico, demi dapat ketenaran?Wajah Pak Iyan dan Raras tampak jelas kecewa, waktu Elora menolak mentah-mentah tawaran wawancara eksklusif itu."Tapi, ini demi rating Max TV, demi masa depan kita semua juga... Sebutin aja berapa yang kamu minta, Elora... Kami bisa ajukan ke manajemen..." Wajah Pak Iyan memelas.Yang benar saja? Memangnya Pak Iyan pikir, Elora mau menjual privasi dirinya sendiri dan Rico demi uang?Elora berjalan dengan cepat, kembali ke biliknya di The Nest, ketika dia mendadak menyadari tatapan mata dari seluruh rekan-rekannya di ruangan itu padanya. Elora membalikkan badannya, melihat ke arah layar monitor besar di tengah ruangan. Benar dugaannya! Mereka baru saja menonton siaran ulang acara infotainment yang menampilkan Trista tadi. Sepertinya, gosipnya baru menyebar sekarang. D
Di minggu-minggu dan bulan-bulan berikutnya, jadwal Elora jadi tambah padat. Kuliahnya sudah dimulai. Setiap hari sepulang kerja, dia harus kuliah online di depan laptop, dari jam tujuh sampai jam sepuluh malam. Hari Sabtu, kuliah tatap mukanya dari jam delapan pagi sampai jam tiga sore.Otomatis, dia cuma punya waktu libur di Sabtu sore dan hari Minggu. Capek memang, tapi tekadnya sudah kuat, dia harus kuliah dan lulus dengan baik, semuanya demi Rico.Para wartawan acara infotainment sepertinya pun sudah mulai capek memburu Elora dan Rico. Elora tetap diantar jemput Pak Tino tiap hari, belum sekalipun mereka dipergoki wartawan. Rico sering disorot kamera berulang kali, saat dia sedang berada di kantor, entah untuk konferensi pers, launching program baru, atau acara lain di UP-News dan Deep Production. Tapi, para wartawan tak pernah diberi kesempatan untuk wawancara tentang urusan pribadi. Rico punya staf yang memastikan semua kemunculannya di berita cuma untuk u
Acara roadshow hari itu ditutup sekitar jam dua sore dengan foto bersama. Dan yang menjadi favorit sore itu, bukan lagi Elang atau Adinda, melainkan Elora. Ratusan ABG cewek, gadis-gadis muda, bahkan ibu-ibu, berebut mau berfoto bersama Elora. Mereka meneriakkan nama Elora, menyerbu maju ke depan panggung, biarpun akhirnya ditahan oleh para petugas keamanan, karena jumlah penonton yang berfoto harus dibatasi. Mereka yang berhasil dipilih untuk foto bersama Elora, berebut menyalami, memeluk, dan meminta tanda tangannya.Elora terpana, ia tak pernah menyangka akan dapat sambutan dan penggemar seheboh itu. Pak Tino setia berjaga di dekatnya, tapi tak ada yang mengganggu Elora. Mereka semua bersikap baik padanya. Bahkan, ia juga mendapat banyak hadiah dari para penggemar barunya itu.Satu jam kemudian, barulah acara foto bersama itu bisa ditutup, biarpun banyak yang belum kebagian kesempatan. Panitia terpaksa harus membubarkan kerumunan penonton, yang masih ter
Akhirnya, Elora memutuskan untuk ikut ke Bali. Dia bosan sendirian di rumah, apalagi Rico belum pulang dari London, dan Mia pasti pergi kencan dengan Danu. Kapan lagi bisa ke Bali gratis?Sabtu pagi jam tujuh, Elora sudah berkumpul dengan tim di Bandara Soekarno-Hatta. Pak Tino tidak ikut. Elora memutuskan tidak usah mengganggu waktu libur Pak Tino. Lagipula, dia pergi ke Bali untuk liburan, dan rasanya tak mungkin wartawan mengikuti dia ke mana pun."Nggak apa-apa, Rico... Pak Tino nggak usah ikut ke Bali, cukup ngantar sama jemput aku di bandara aja," begitu jawab Elora pada Rico, saat mereka ngobrol di telepon satu hari sebelumnya."Mbak El...!" seruan Adinda membuyarkan lamunan Elora.Mereka semua sedang mengantri pemeriksaan barang di bandara. Adinda tampak gembira melihat Elora ada di rombongan. "Senangnya, Mbak bisa ikut juga...! Nanti, kita berenang di pantai, ya..."Elora merasa hatinya terang
Elora terbangun karena merasa silau, sinar matahari menembus masuk dari tirai jendela yang terbuka sedikit."Eh, Mbak El... Udah bangun?" suara Adinda memanggil. "Sorry ya, aku berisik ya? Aku habis mandi..." Adinda berdiri di dekat meja rias, di depan cermin besar. Dia tersenyum malu-malu, rambutnya masih kelihatan basah."Nggak...," gumam Elora. "Jam berapa ya?"Rasanya malas sekali untuk bangun, kepalanya masih agak berdenyut."Jam tujuh lewat, Mbak...""Astaga!" Elora tersentak bangun. "Pesawat kita jam sepuluh kan?""Tenang, Mbak... Cuma setengah jam kok ke bandara," Adinda menenangkan Elora. "Kita masih sempat sarapan juga."Elora buru-buru bangun, padahal kepalanya masih pusing. Uh, dia selalu begitu kalau kurang tidur! Akhirnya, dia mandi dengan cepat. Lalu turun ke restoran bersama Adinda untuk sarapan.Semua anggota tim yang lain juga masih sarapan, sambil mengobrol dengan santai. Elora mulai w
"Kalo nanti situasinya nggak baik, saya bawa Mbak El balik ke rumah Mas Rico aja...," kata Pak Tino.Pagi itu, Pak Tino datang ke rumah Kak Laura. Sebenarnya, Pak Tino datang untuk meminta Elora tidak usah masuk kantor saja hari ini. Dia curiga dengan situasi di Max TV. Tapi, Elora bersikeras tetap berangkat. Sekarang, Elora sudah duduk di jok tengah mobil Jeep putih."Lho, jangan Pak... Saya nggak enak sama Om Enrico dan Tante Sonia... Masa saya tiba-tiba seenaknya datang ke rumah mereka, cuma gara-gara masalah kayak gini?" Elora buru-buru menyela."Tapi, Pak Enrico yang bilang gitu, nggak apa-apa kok, Mbak...""Jangan, Pak... Lebih baik, saya tetap di rumah Kak Laura aja, kalo emang ada apa-apa... Tapi harusnya aman kok, paling hebohnya cuma satu hari kemarin.""Saya baru bisa yakin Mbak aman, sampai Mas Rico pulang nanti," jawab Pak Tino.Elora terdiam. Semalam Rico cuma kirim chat, memberitahu kalau me
Mereka mampir ke EZ Cafe untuk makan malam, di situ mereka bisa mengobrol dengan tenang. Zack tampak senang menyambut Elora. Dia memegang kedua bahu Elora, seolah ingin menunjukkan dukungannya."Don’t be afraid, El...," ucapnya sambil tersenyum.Elora membalas senyumnya. "Thanks, Zack..."Elora dan Rico duduk setelah memesan makanan. Rico sudah mencopot jas dan dasinya. Lalu, ia menggenggam kedua tangan Elora."Banyak yang mau aku ceritain...""Aku yang cerita duluan, Rico... Ini soal foto aku sama Elang di teras hotel," Elora buru-buru menyela.Akhirnya, Elora pun cerita semuanya yang terjadi Sabtu malam itu, di teras hotel di Bali. Bagaimana Elang tiba-tiba muncul, menggenggam tangannya, dan membuat dia bingung dengan ungkapan perasaan Elang. Tak ada yang disembunyikan Elora, termasuk jawabannya pada Elang."Aku jadi mikir..., setelah semua masalah ini, apa mungkin Elang terlibat?" Elora mengungkapkan rasa curig
Elora dan Rico berjalan bergandengan tangan, menyusuri jalan berumput yang masih agak basah oleh embun. Tadi pagi jam enam, Rico sudah mengajak Elora keluar. Seperti yang dikatakannya kemarin, mereka pagi ini mau trekking mengelilingi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Mungkin tidak sampai seluruhnya, tapi Elora tahu, Rico sangat hobi trekking seperti ini. Mereka berpakaian santai, kaus, celana training panjang, sepatu kets, dan membawa ransel berisi bekal. Elora mengikat rambutnya model ekor kuda."Kamu belum pernah trekking kayak gini? Daki gunung juga nggak pernah?" tanya Rico."Belum pernah... Aku suka baca novel petualangan, tapi kalo berpetualang beneran, belum pernah," sahut Elora."Mulai sekarang, aku bakal sering ngajak kamu berpetualang. Biar kamu bisa tau banyak tempat."Elora tertawa. "Emangnya kita mau ke mana lagi?""Ya banyak..." Rico memandangnya. "Asal kamu mau, aku bisa bawa kamu ke mana aja."Ah
Liburan akhir tahun yang dinanti-nanti Elora tiba juga. Setelah semua masalah yang terjadi, kesibukan di kantor, dan jadwal kampus yang padat, Elora merasa benar-benar perlu me-recharge energinya. Kak Laura, Colin, dan Arion, akan ikut bersama Elora dan Rico. Mia dan Danu juga. Ini pasti jadi liburan yang sangat menyenangkan.Seperti usul Rico, mereka berlibur ke Situ Gunung, bagian dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango di daerah Sukabumi. Setelah menginap di Situ Gunung selama dua malam, Elora dan Rico akan langsung ikut Mia dan Danu ke rumah Mia, di Sukabumi juga. Mereka mau menghadiri acara lamaran Mia dan Danu, yang diadakan tepat pada hari terakhir di bulan Desember ini.Mobil Jeep hitam Rico dan mobil SUV biru Colin berhenti di depan bangunan villa yang sudah mereka sewa, hari Rabu pagi. Dari villa itu, jaraknya sudah dekat ke objek-objek wisata di Situ Gunung."Waah... Segar banget udaranya...!" Mia setengah memekik, saat turun da
Elora sudah siap dengan semua kehebohan yang muncul di kantor hari Senin. Puluhan wartawan dari berbagai media sudah stand by di gedung Max TV dari pagi, mereka menunggu konferensi pers jam sepuluh. Semua manajemen Max TV dan sejumlah petinggi dari UP-News turut hadir. Rico sudah bilang, dia sengaja tak mau hadir, supaya orang-orang tidak mengaitkan merger ini dengan Elora.Tapi sepertinya, publik sudah terlalu jatuh hati dengan pasangan itu. Semua tahu kalau Elora bekerja di Max TV, dan Rico adalah direktur utama, sekaligus ahli waris UP-News. Merger itu ibarat makin menguatkan romantisme mereka berdua.Apalagi ketika nama Max TV diumumkan diganti menjadi ER-News. Kepanjangan sebenarnya adalah Education, Recreation, and News, menurut direktur baru ER-News, Ibu Kanaya, yang sebelumnya adalah salah satu petinggi di UP-News. Tak bisa dihindari lagi, nama baru itu pun dikaitkan dengan pasangan favorit itu. Elora and Rico News, itulah kepanjangan ER-News versi
Elora dan Rico berjalan bergandengan tangan di lorong menuju ruang ICU. Beberapa orang yang mereka lewati menoleh untuk memperhatikan mereka. Kamis sore ini, sepulang dari kantor, mereka langsung meluncur ke rumah sakit. Tante Fey yang menelepon, katanya Om Hilman sudah mulai sadar.Elora bahagia sekali mendengarnya. Dia rela izin tidak masuk kuliah hari ini, demi menjenguk Om Hilman. Dan dia juga baru sadar, ini pertama kalinya Tante Fey mau menelepon dia secara langsung. Biasanya, Kak Laura yang selalu jadi perantara.Kak Laura dan Colin sudah lebih dulu sampai. Mereka sedang duduk di ruang tunggu ICU."Hai, Kak... Hai, Colin...," sapa Elora."El…" Kak Laura langsung memeluk dan mengecup pipi Elora. Wajahnya tampak terharu."Aku sama Colin udah masuk duluan tadi. Kamu masuk sama Rico, ya..."Elora sejenak tertegun."Tante Fey yang minta," sambung Kak Laura, sambil memandang Elora dan Rico bergantian.
Elora lebih banyak diam di dalam mobil, waktu Rico mengantarnya pulang ke rumah. Berbagai perasaan berkecamuk di hatinya, antara sedih, bingung, galau, ragu... Tante Fey ingin Elora minta tolong pada Rico. Tapi Rico sudah pernah bilang, dia tidak kasihan lagi melihat kasus yang menimpa Trista. Trista pantas mendapat hukuman, katanya. Apa Rico masih mau membantu?Rico punya hati yang baik, Elora membatin. Dia pasti mau, dia tak mungkin membiarkan Om Hilman menderita seperti itu.Di sisi lain, Elora juga merasa sungkan kalau melibatkan Rico dalam masalah keluarganya. Semua ini mungkin saja berawal dari masalah dia dengan Trista. Trista yang selalu tak akur dengannya, mungkin iri melihat naskah filmnya sukses besar. Lalu semuanya jadi makin liar, seperti bola salju yang terus menggelinding makin besar, sampai-sampai Rico juga ikut terseret. Apa pantas dia minta Rico terseret lebih jauh lagi? Kenapa dia selalu bawa masalah? Kenapa selalu Rico yang menyel
"Bukan aku yang lapor," ucap Rico dengan wajah serius.Sepulang dari kantor, Elora dan Rico mampir makan malam, di sebuah warung lesehan yang menjual seafood. Rico tak pernah gengsi atau malu untuk makan di warung pinggir jalan bersama Elora, dan itu yang bikin Elora tambah kagum. Biarpun sesekali ada saja yang memperhatikan mereka, mungkin mengenali mereka, tapi untungnya, tak pernah ada yang mengganggu.Rico sudah langsung membahas berita tentang Elang dan Trista, biarpun Elora belum tanya. Berita itu memang sudah jadi berita utama di hampir semua stasiun TV. Makin sore, beritanya makin ramai berseliweran."Biarpun aku tau, tapi karena kamu yang minta jangan nuntut Trista, aku nggak lanjutin. Aku nggak bohong, El...," lanjut Rico. Dia asyik menggigit daging ikan gurame.Elora terkejut. "Kamu bilang, kamu tau? Maksud kamu, tau soal mobil selundupan itu? Atau arisan online itu?""Dua-duanya," jawab Rico, masih dengan s
Mereka mampir ke EZ Cafe untuk makan malam, di situ mereka bisa mengobrol dengan tenang. Zack tampak senang menyambut Elora. Dia memegang kedua bahu Elora, seolah ingin menunjukkan dukungannya."Don’t be afraid, El...," ucapnya sambil tersenyum.Elora membalas senyumnya. "Thanks, Zack..."Elora dan Rico duduk setelah memesan makanan. Rico sudah mencopot jas dan dasinya. Lalu, ia menggenggam kedua tangan Elora."Banyak yang mau aku ceritain...""Aku yang cerita duluan, Rico... Ini soal foto aku sama Elang di teras hotel," Elora buru-buru menyela.Akhirnya, Elora pun cerita semuanya yang terjadi Sabtu malam itu, di teras hotel di Bali. Bagaimana Elang tiba-tiba muncul, menggenggam tangannya, dan membuat dia bingung dengan ungkapan perasaan Elang. Tak ada yang disembunyikan Elora, termasuk jawabannya pada Elang."Aku jadi mikir..., setelah semua masalah ini, apa mungkin Elang terlibat?" Elora mengungkapkan rasa curig
"Kalo nanti situasinya nggak baik, saya bawa Mbak El balik ke rumah Mas Rico aja...," kata Pak Tino.Pagi itu, Pak Tino datang ke rumah Kak Laura. Sebenarnya, Pak Tino datang untuk meminta Elora tidak usah masuk kantor saja hari ini. Dia curiga dengan situasi di Max TV. Tapi, Elora bersikeras tetap berangkat. Sekarang, Elora sudah duduk di jok tengah mobil Jeep putih."Lho, jangan Pak... Saya nggak enak sama Om Enrico dan Tante Sonia... Masa saya tiba-tiba seenaknya datang ke rumah mereka, cuma gara-gara masalah kayak gini?" Elora buru-buru menyela."Tapi, Pak Enrico yang bilang gitu, nggak apa-apa kok, Mbak...""Jangan, Pak... Lebih baik, saya tetap di rumah Kak Laura aja, kalo emang ada apa-apa... Tapi harusnya aman kok, paling hebohnya cuma satu hari kemarin.""Saya baru bisa yakin Mbak aman, sampai Mas Rico pulang nanti," jawab Pak Tino.Elora terdiam. Semalam Rico cuma kirim chat, memberitahu kalau me
Elora terbangun karena merasa silau, sinar matahari menembus masuk dari tirai jendela yang terbuka sedikit."Eh, Mbak El... Udah bangun?" suara Adinda memanggil. "Sorry ya, aku berisik ya? Aku habis mandi..." Adinda berdiri di dekat meja rias, di depan cermin besar. Dia tersenyum malu-malu, rambutnya masih kelihatan basah."Nggak...," gumam Elora. "Jam berapa ya?"Rasanya malas sekali untuk bangun, kepalanya masih agak berdenyut."Jam tujuh lewat, Mbak...""Astaga!" Elora tersentak bangun. "Pesawat kita jam sepuluh kan?""Tenang, Mbak... Cuma setengah jam kok ke bandara," Adinda menenangkan Elora. "Kita masih sempat sarapan juga."Elora buru-buru bangun, padahal kepalanya masih pusing. Uh, dia selalu begitu kalau kurang tidur! Akhirnya, dia mandi dengan cepat. Lalu turun ke restoran bersama Adinda untuk sarapan.Semua anggota tim yang lain juga masih sarapan, sambil mengobrol dengan santai. Elora mulai w