POV DETEKTIF JOHAN
Pagi-pagi aku sudah kedatangan tamu tak diundang. Robert, orang dari divisi kepolisian khusus dia datang menemuiku di kantor. Wajahnya terlihat serius, ada kemarahan yang aku tangkap dari sorot matanya. Tanpa mengetuk pintu, dia masuk dan berdiri di depanku dengan memakai setelan jas berwarna putih dan kemeja abu-abunya terlihat sangat berkelas untuk profesi seorang polisi.
"Hallo Detektif!" sapa Robert, tanpa menunggu dipersilahkan dia sudah duduk di kursi depan mejaku.
"Hallo juga, ada angin apa yang membawamu datang ke kantorku?" tanyaku sambil menatap tajam ke arah Robert.
"Kemarin orang-orangku terbunuh dengan mengenaskan," kata Robert dengan wajah serius. Mendengar itu aku langsung mengerutkan dahi.
"Terus, apa hubungannya denganku?" tanyaku tak acuh.
"Jangan berlagak acuh seperti itu, aku serius dengan omonganku," sanggahnya sambil memajukan posisi
Mohon dukungannya dengan memberikan vote atau kirim masukan kritik dan saran melalui kolom komentar. Terima kasih..
POV MARIA Lega rasanya, bisa lalui hari ini. Terima kasih Ray, berkat kamu, aku bisa menyelesaikan semua soal-soal ujian Fisika hari ini. Senyum sumringah terukir dibibirku, ketika keluar dari ruang ujian. Soal Fisika bukan lagi pelajaran terberat untukku, aku akan merayakannya. Aku bergegas menuju ruang ujian Andre yang berada di ruang sebelah. Belum sempat aku meletakkan pantatku di bangku depan ruangan Andre, dia sudah keluar dengan wajah yang kusut. Berulangkali dia menggerutu sambil garuk-garuk kepala tak jelas. Saat melihatku, dia langsung menghampiriku. "Gile sayang, tadi susah banget," kata Andre dengan wajah sedih. "Ah masa sih sayang, itu kan biasa aja, bahkan aku bisa ngerjain semuanya," kataku sambil tersenyum. Andre menatap wajahku tak percaya dengan ucapanku, dan aku memperlihatkan wajah senangku. "Nah gitu dong, pacarku tuh harus pinter," kata Andre memuji sam
POV RAY Seperti pelajaran sebelumnya, Aku menyelesaikan soal-soal ujian lebih cepat dari yang lain. Bahkan aku selalu yang pertama menyerahkan hasil ujian ke meja pengawas. Gak bermaksud sombong sih. Tapi kupikir buat apa juga aku harus berlama-lama bengong ngeliatin kertas ujian bila sudah selesai aku kerjakan. Untuk mengisi waktu yang masih panjang, aku sengaja menunggu siswa yang lain pada keluar. Aku tak punya teman di sekolah, maksudku bukan tak punya sih tapi aku memang sengaja menjaga jarak dengan teman-temanku. Saat nongkrong seperti sekarang pun aku hanya duduk sendirian di depan sekolah. Walau kata nongkrong itu bukan gayaku, namun aku sengaja melakukannya agar bisa melihat gadis yang selama ini sudah mengisi hatiku, dia lah Maria. Mungkin ada kesempatan bagiku bisa mengantarnya lagi pulang sampai rumahnya. Dentang bel keluar berbunyi, aku segera berdiri sambil mengarahkan pandanganku melihat ke halaman sekolah, mencari sosok Mari
POV RAY Bangunan tua yang masih berdiri kokoh di tengah kota ini, menjadi satu-satunya rumahku. Tumbuh dan besar bersama dengan anak-anak lain yang senasib denganku. Mereka dan aku sama, terlahir kemudian ditinggalkan bahkan di antara mereka ada yang dibuang begitu saja di antara tumpukan sampah hingga hampir mati. Beruntung mereka keburu ditemukan warga dan dititipkan di panti ini. Dengan asuhan pendeta dan para suster, kami tumbuh tanpa kekurangan kasih sayang. Seperti anak-anak lain di luar panti, kami bersekolah di sekolah umum. Selain sekolah, di panti kami diberikan ekstra kullikuler yang dapat mendukung untuk masa depan kami. Dari mulai belajar menyanyi, masak hingga kami diajari bela diri. Pertemuanku dengan Alex tadi siang, membuka kembali ingatan bagaimana kami bertemu, tumbuh, bermain hingga bertarung mempertahankan diri. Ingatanku kembali pada saat usiaku baru tujuh tahun, ketika aku mulai mengetahui kalau ada keku
POV Ray Aku tumbuh dan besar bersama-sama dengan anak panti lainnya. Seiring dengan pertambahan usia, hal itu tak membuatku lepas dari pengawasan bapa Joseph, dia selalu menjadi orang pertama yang datang menghampiriku dan menjadi pelindung bila aku bertingkah dan membahayakan orang-orang di sekelilingku. Bapa Joseph selalu dapat membuat hatiku tenang dengan dengan semua ucapannya. “Ray, Bapa tahu kamu itu anak yang tangguh, tapi dengarlah nasehatku, di luar sana ada banyak sekali hal yang tidak kamu ketahui. Kamu harus bijak dalam menggunakan kekuatanmu. Ini adalah pemberian Tuhan yang tidak ternilai untukmu, jadi gunakanlah hanya bila kamu benar-benar berada dalam bahaya, atau ada yang mengacam saudaramu dan kamu perlu untuk melindunginya,” kata-kata Bapa Joseph yang sudah menempel di pikiranku dan menjadi kata terakhir juga yang di sampaikan padaku. Kedekatanku dengan bapa Joseph menjadikan aku sering diajaknya berkeliling m
POV Ray Tahun berlalu, kami pun tumbuh menjadi anak-anak remaja. Aku, Alex dan Troya mulai masuk sekolah menengah pertama, sedangkan Agni yang lebih tua dua tahun dariku sudah kelas tiga SMP. Aku dan Agni sekolah di tempat yang sama, sedangkan Alex dan Troya lebih memilih sekolah yang berbeda. Aku mulai menyukai Agni yang tomboy dan sifatnya yang berapi-api tapi dibalik itu dia adalah gadis yang baik hati. Rasa suka itu membuatku sering mencari perhatian Agni, aku sering mengajaknya untuk jalan berdua saja saat pulang sekolah. Seperti siang itu, saat murid-murid lain sudah pulang semuanya, aku selalu sengaja untuk pulang paling belakang, selain agar tak terlalu ramai, aku juga bisa nikmatin waktu bersama Agni untuk bermain. “Hei Ray?!” teriak Agni, Aku sempat mencari-cari arah suara Agni, ketika menengadahkan kepala, kulihat Agni sedang ada di atas gerbang sekolah sambil menertawakanku. “Ngapain lo di atas sana?”
POV RAYSejak pertarungan dengan tiga pria tak dikenal, Aku dan Agni semakin dekat. Kami berdua menyimpan kejadian itu hanya untuk kami berdua. Menurut Agni, aku tak boleh menceritakan kejadian itu pada siapa pun agar tidak membuat bapa Joseph dan ibu asuh merasa khawatir. Dari kejadian itu juga aku dan Agni semakin sering bersama-sama, entah itu di sekolah atau di panti. Ibaratnya di mana ada Agni di situ pasti ada aku. Yaa kecuali saat belajar di sekolah dan waktu tidur.Ada kebiasaan baru yang kami sering lakukan, saat semua sudah pada pergi tidur, Agni mengajakku untuk duduk-duduk di atas atap gedung panti sambil menikmati suasana malam. Seperti malam itu, ada sesuatu yang lain dari sikap Agni padaku. Aku tahu bagaimana Agni, dia type cewek yang pemberani dan agresif. Diam-diam aku sering memperhatikan dia, dan aku mengakui kalau sudah memedam perasaan suka padanya, walau tahu dia lebih tua dariku."Ray, kamu p
POV RayMelihat kemurungan Agni yang terlihat jelas di wajahnya, aku kembali memeluk bahunya dan mengusapnya perlahan. Merasakan sentuhanku, Agni menatapku sekilas lalu tersenyum, kemudian dia menepuk-nepuk tanganku yang ada di pundaknya.“Nggak apa-apa kok, kalau kamu nggak mau cerita, aku bisa mengerti," kataku pelan, ada rasa takut Agni akan marah.“Kami bertiga kabur dari kelompok sirkus...," jawab Agni pelan.“Hah.., kabur?” seruku.“Sttt..., biasa saja kali, gak usah teriak gitu,” gerutu Agni sambil mendelik ke arahku.“ups.., Maaf?” jawabku menutup mulut dengan telapak tangan.“Hmm..., sejak kecil kami sudah yatim piatu dan hidup di jalanan. Kami sering mendapat kesulitan walau sekedar untuk mengisi perut. Dari setiap menemui kesulitan itu, aku seakan mendapat bisikan-bisikan yang sebelumnya tak pernah aku hiraukan. Saat aku terdesak keti
POV RayKedekatanku dengan Agni juga tak mempengaruhi persahabatan aku, Agni, Alex dan Troya. Kami berempat sering berpetualang bersama, kadang dalam acara liburan atau pun hanya untuk seru-seruan saja. Kami empat sekawan sering pula menemani bapa Joseph dalam kunjungannya ke berbagai kota dalam perjalanan khotbahnya. Seperti hari itu, aku sama sekali tak mempunyai firasat apa pun. Semua berjalan seperti biasa bila kami menemani bapa Joseph.Selesai memberikan khotbah, bapa Joseph masih membereskan perlengkapan dibantu Agni. Sedangkan aku berada di belakang panggung bersama Troya. Aku melihat beberapa orang mendatangi bapa Joseph, sebenarnya sih sudah jadi hal biasa bila ada yang mendatangi bapa Joseph, mereka kebanyakan yang ingin konsultasi pada bapa Joseph. Namun aku merasa aneh dengan penampilan dan gerak-gerik mereka, hingga aku menghentikan pekerjaanku dan mengawasi mereka."Selamat malam Bapa Joseph," kata salah satu dari me
POV RAYAku berlari menghampiri Azazel yang masih berlutut di depan kursi kebesarannya. Tanpa banyak berkata lagi aku menerjang dengan pukuran dan tendangan yang yang bertubi-tubi. Dia sekarang tak lebih dari seorang manusia pengguna elemen, kekuatan yang ada pada tubuh Thomas hanya kekuatan milik Thomas saja.DUESH!Azazel beberapakalu terpelanting, walau begitu dia masih bisa bertahan dengan kekuatan elemen milik Thomas. Azazel pun berusaha untuk balik menyerangku dengan mengeluarkan elemen tanah dan membentuk sebuah palu besar, lalu diayunkan palu itu ke arahku sambil melompat. Aku bersiap menunggunya dengan membentuk palu yang lebih besar dari milik Azazel. Begitu serangan palu Azazel mendekat, dengan kekuatan palu yang aku buat, aku hancurkan dengan sekali hantaman paluku.Azazel bergerak secepat kilat dengan elemen petir, melontarkan panah-panah petir yang dengan mudah aku tangkis. Dia pun berusaha untuk lari, tapi aku tak akan melepas
POV RAY Ruangan sekarang menjadi terang lagi. Dengan susah payah aku berdiri sambil memegangi dadaku yang terluka. Mataku mulai berkunang-kunang. Darah sudah banyak yang keluar sepertinya. Tapi aku masih harus berdiri. "Creator?" kata Thomas. Tidak. Ia bukan Thomas. Dia Azrael yang telah mengambil alih tubuh Thomas. "Azrael?! Kenapa kamu tidak menjadi tubuhmu saja yang besar itu?" tanyaku. "Justru wujud manusia adalah wujud yang paling sempurna menurutku. Aku cukup menjadikan tubuhnya sebagai vesel untuk kebangkitanku. Segar sekali rasanya setelah lama terkurung di kegelapan oleh lima creator terkutuk itu selama ribuan tahun. Dan aku tak perlu membunuh mereka karena mereka sudah mati. Hahahahahah," kata Azrael. "Ugh!" rasa sakit didadaku. Ah...darah. Darah itu elemen air bukan? Aku terpaksa melakukannya. Obati lukaku siapa namamu? Dia tidak bernama. Tolonglah. Ahh...aku tertolong. Lukaku mulai tertutup.
POV ANDRE Pertarunganku dan Puri melawan laki-laki bernama Hund semakin seru, kami berusaha keras mengalahkan dia, walau beberapa kali kami harus berusaha menghindari semua serangan Hund yang tentu saja pengalaman bertarungnya jauh diatas kami berdua. Sering kali aku kewalahan dan hampir terkena sabetan-sabetan pedang besinya yang super tajam. Tapi beruntung aku terlindungi dengan kayu-kayu yang muncul dari penggabungan jolt yang aku pakai. Namun pertarungan kami mendadak terhenti, perlahan tapi pasti suasana menjadi gelap. Aku dan Puri saling pandang. Begitupun Alex dan teman-teman lainnya. Ada rasa panik yang aku rasakan dan mungkin juga Alex dan yang lainnya juga merasakan. "Puri, apa ini sudah saatnya terjadi gerhana?" Tanyaku sambil mendekati Puri. Puri yang terlihat kelelahan hanya menatapku sendu, lalu mengangguk pelan. "Puri, kita masih belum kalah, kita harus terus bertarung" bisikku sambil
POV BALANCER Aku kembali berhadapan dengan Robert. lelaki yang telah membunuh adikku satu-satunya. Aku tak dapat melupakan kejadian itu walau sesaatpun, jasad William yang dilemparkannya ke bawah jembatan. William yang berusaha melindungiku dan anakku dari orang-orang biadab ini. Dia tak dapat mengimbangi serangan-serangan yang diterimanya dari para agen SDI yang mengeroyoknya. Sedangkan aku, Ketika itu baru saja melahirkan. Dalam kondisi yang masih lemah Thomas yang sudah mengetahui keberadaanku, memerintahkan untuk membunuh ku juga William. "Balancer, akhirnya kita selesaikan pertarungan kita yang tertunda," kata Robert. Aku yang malas meladeni ucapannya, lalu memanggil kekuatan elemenku, besi. Seperti biasa, aku dengan kuku-kuku besiku sudah siap mencabik-cabik Robert. Aku langsung menerjangnya, melancarkan serangan-serangan untuk bisa cepat mencabik dan membunuhnya. Robert dengan memakai kekuatan joltnya, dia pun m
POV RAY Aku mengakui kekuatan Thomas, dia sangat kuat. Walaunsejauh ini aku dapat mengimbangi kekuatannya. Aku yang seorang Creator dapat mengimbangi cara bertarung Thomas, yang tak beda jauh dengan cara bertarungku. Aku berdiri di atas platform yang terbuat dari es, ketika aku mengimbangi dia membentuk golem raksasa bersenjatakan tombak bertarung dengan golem raksasa yang dia buat dengan bersenjatakan pedang. Pertarungan kami cukup aneh sekali, kami tidak melakukan pertarungan langsung. Kami saling melemparkan elemen dan menciptakan berbagai bentuk makhluk yang kamu gerakkan dari jauh. Seandainya ada yang melihat pasti mereka seperti melihat dua orang yang bermain mainan remote control untuk saling mengalahkan. Aku bisa mengimbangi cara bertarung seperti itu. Kalau ada kesempatan baru aku menyerangnya secara langsung dengan melemparkan sesuatu untuk melukainya, begitupun dengan Thomas. Dan Sial. Dia Kuat sekali, tak ada satup
POV ANDREAku, Puri, Alek, Tobi, dan para elemental lainnya, kini berhadapan dengan tiga anggota SDI. Mereka yang masing-masing menggunakan sarung tangan jolt, menyeringai ke arah kami. Senyum merendahkan pun tersungging di wajah mereka. Dengan sangat angkuh mereka mendekat ke arah kami."Halo kalian tikus-tikus elemen, kenalkan namaku John. Ada baiknya bukan, jika sebelum mati kalian mengetahui nama siapa yang sudah membunuh kalian, hahaha..." kata orang pertama sambil tertawa mengejek."Aku Scarlet," kata orang kedua, seorang cewek dengan dandanan layaknya laki-laki."Hahaha..., dan Hund, bersiaplah kalian untuk mati," katanya."Kalian tak lihat apa, jumlah kami banyak. Apa sanggup kalian melawan kami?" tanya Alex dengan lagaknya seperti biasa."Hahaha..., lihat teman-teman. Dia meragukan kita!" Kata John sambil melirik kedua temannya."Hahaha...., mereka memang cari mati John! Hai bocah sebanyak apapu
Pov RayAku dan sang Balancer ibuku memimpin para pengguna elemen menuju senayan, dimana bangunan aneh berada. Kami sudah berada di depan bangunan besar yang menjulang yang mengelilingi Tugu Monas. Menurut ramalan tepat jam dua belas siang nanti akan terjadi gerhana matahari, dimana seluruh planet berada pada satu garis lurus.Sebelum itu terjadi, kami harus bisa mengalahkan Thomas dan menghalanginya untuk menjadi wadah dari kekuatan Azazel. Walau kami tahu, itu tidak akan mudah. Tapi kami pantang untuk menyerah, demi kedamaian di dunia ini.Semua bangunan ini sudah dipersiapkan oleh Thomas. Bagunan yang dibuat dengan menggunakan elemen tanah, besi dan elemen es untuk atapnya."Ray cepat temukan Thomas, Kita tak punya banyak waktu lagi. Sebelum terjadi gerhana Matahari, terlambat saja, kita sudah dapat dipastikan akan binasa," kata Ibuku dengan tegas padaku."Iya Ibu, Ray tahu hal itu," jawabku sambil terus melangkah.
POV Ray (6 jam sebelum gerhana)."Sebuah bangunan megah yang aneh tiba-tiba saja muncul dari dalam tanah, kemunculan bangunan itu disertai dengan terjadinya gempa dahsyat. Gempa yang bukan saja terjadi di sekitar kemunculan bagunan aneh itu, tapi hingga melanda keseluruh kota Jakarta."Sebuah headline dari berita yang muncul di beberapa stasiun televisi nasional, yang tentu saja membuat geger seluruh warga. Apalagi peristiwa gempa telah membuat orang-orang menjadi panik, kaca-kaca gedung pecah. Bahkan sebagian bangunan milik warga ada yang rubuh, hingga ada juga yang rata dengan tanah.Seluruh stasiun televisi menyiarkan fenomena aneh ini. Aparat dari kepolisian dan militer pun mensterilkan sekitar Senayan. Hanya pihak pemberitaan yang bisa mendekati lokasi, walau area yang diliput di batasi. Tapi semua lapisan masyarakat bisa melihat bangunan megah itu dari jauh.Bangunan besar, menyerupai sebuah istana raja-raja. Yang tiba-tiba saja ter
POV MariaLelaki berambut abu-abu itu berdiri si depan kami, senyumnya tersungging. Namun aku tak merasakan keramahan dari senyuman itu, tapi kengerian yang mulai menjalar ke seluruh tubuhku."Halo Keponakanku, apa kabar?" sapa lelaki itu."Ahhh...., ponakan!" Pikirku."Thomas....," gumam Ray, dia berdiri dengan posisi waspada.Aku heran siapa laki-laki ini, meski menyebut Ray dengan kata keponakan, tapi Ray terlihat tak bergeming dari tempatnya. Sepertinya ada percakapan batin dari kedua orang ini, yang tak bisa aku dengar."Aku hanya ingin menyapa saja, tak apa kan," kata Thomas."Kenapa?""Wajar bukan seorang paman menyapa keponakannya. Apalagi kalau basa-basi ini diperlukan sebelum kita bertemu lagi dalam pertempuran," kata Thomas. Dia menoleh ke arahku."Sore nona, pacarmu Ray?""Thomas, sudahi semua ini. Kamu tahu siapa Azazel bukan?""Aku tahu Ray, hanya saja aku lebih