Pagi sekali Ganis sudah terbangun. Badannya agak kurang enak, saat ia duduk dan menggeliatkan tubuh. Namun, bersyukur dalam waktu yang lama kena air hujan kemarin, ia tidak jatuh sakit. Berkat balutan selimut dari Prana dan segelas susu hangat yang diminum sebelum tidur.Ganis memilih pakaian untuk menghadiri acara peletakan batu pertama. Untungnya, ia membawa satu stel baju resmi. Berhubung bukan di tempat tertutup, jadi Ganis memilih celana panjang dibanding rok span.Setelah mandi dan mematut diri, Ganis bergabung dengan tim kerja di meja makan untuk sarapan. Tubuh yang ramping dan wajah yang terlihat segar, membuat semua mata mengaguminya. Yah, karena hanya Ganis satu-satunya perempuan yang ada di tim kerja mereka. Jadi, tentu saja ia yang paling cantik diantara semuanya. "Duh ... yang mau pulang hari ini, terlihat segar sekali" kata Aldy. Memulai paginya dengan mencandai Ganis."Iya, Al. Mungkin nanti aku akan kembali lagi, kalau hotel sudah terbangun dan butuh sentuhan interio
Ganis kembali masuk kantor. Membagikan oleh-oleh baju batik khas Papua, ke teman-teman yang ada di ruang kerja. Felix juga tampak ikut bergabung dengan mereka. "Tadinya aku berharap dapat oleh-oleh Koteka, Nis." candanya sambil tertawa. Ganis ikut tertawa menanggapi. "Tidak terpikirkan untuk membawa barang itu. Takut terkena razia pornografi." balasnya dengan candaan juga."Buat mereka, itu merupakan pakaian adat, yang dikenakan oleh para prianya." sambung Mila, ikut bergabung dalam obrolan."Terima kasih, Nis. Oleh-olehnya." kata Felix. Menatap Ganis dan dapat membaca jelas arti tatapan itu. Felix merindukannya."Maaf. Aku tidak punya banyak waktu untuk memilih barang-barang souvenirnya, karena waktu yang sangat mepet.""Ini juga sudah sangat berterima kasih, Nis. Kamu ingat sama kita." ujar Mila. "Tanpa kamu, ruangan ini terasa sepi." tambahnya. Ganis tersenyum sama sahabat terbaiknya itu. Karena sudah mulai jam kerja, mereka kembali ke meja masing-masing.Sebelum berlalu, Felix
Prana berdiam diri di kantor, dengan banyak kecamuk di hati dan pikiran. Betapa susah membujuk Ganis untuk kembali padanya. Padahal dia sudah berusaha merendahkan diri dengan menyatakan kalau akan melupakan segalanya dan memulai hidup baru.Apa sebenarnya yang jadi keberatan mendasar bagi Ganis? Jelas-jelas kalau soal hubungan fisik, mereka sama-sama memiliki gairah sama tingginya. Menunjukan, kalau mereka masih saling menyukai.Prana masih merasa marah saat Ganis menolak pemberiannya, mutiara itu sengaja dia pesan khusus untuk Ganis. Berarti wanita itu masih menganggapnya orang lain? Itulah, kenapa dia mendiamkan Ganis, supaya mau tidak mau mengambil mutiara pemberiannya itu.Disisi lain, Prana selalu ingin melihat Ganis. Selalu merindukan, meski ada di dekatnya. Apakah dia harus membuka ke semua orang bahwa Ganis adalah istrinya? Supaya Ganis tidak punya alasan lagi untuk mengelak kembali kepadanya? Dan menghentikan usaha Felix yang terus mendekati Ganis, tanpa mau menyerah.Prana
Prana baru saja turun dari mobil, di tempat parkiran perusahaan. Mukanya jelas tidak menunjukan persahabatan. Dia belum beranjak dari tempat, seolah sedang menunggu seseorang. Prana melirik tajam saat mobil Felix masuk ke area parkiran. Kedua orang itu turun dengan wajah tenang. "Gue udah ingatkan Lo, Fe. Jangan dekat-dekat wanita itu." Prana tiba-tiba sudah ada di hadapan Felix, begitu dia ke luar dari mobil. Menyemprotnya langsung dengan kata-kata kecaman. Sepertinya, amarah Prana sudah memuncak di atas ubun-ubun."Wanita yang mana? Maksud Lo, Ganis?" Felix kali ini tidak mengalah seperti biasanya."Memang Ganis siapanya, Lo?" tanya Felix lagi, lebih tajam.Mata Prana semakin menyala. "Lo hanya akan digoda. Akan membuat Lo tergila-gila padanya. Setelah bosan, ia akan mencari mangsa baru untuk dipermainkannya.""Maksud lo, pernah jadi korbannya, begitu?" Felix sepertinya tidak takut, mendesak Prana untuk mengakui adanya hubungan dengan Ganis.Prana membuang muka. "Gue hanya mau per
Gagah sedang ada dalam periksaan dokter di ruang UGD. Ibunya yang terus menangis dan Ganis yang berusaha tetap tenang, menunggu hasil observasi dari dokter. Anaknya yang biasa lincah itu, kini hanya terbaring lemah dengan infusan di tangan. Dokter sudah memutuskan kalau Gagah harus dirawat inap, dengan diagnosa sementara suspect DHF (Demam Berdarah). Suatu penyakit yang diakibatkan karena gigitan nyamuk Aedes Aegypti."Sebenarnya saat kamu di Timika, Gagah sudah menunjukan kalau tubuhnya tidak sehat. Sering mengalami panas tinggi, tapi hari besoknya biasa lagi.""Ibu gak ceritakan sama Ganis." "Ibu kira hanya demam biasa aja."Ganis pun tidak bisa menyalahkan ibunya yang sudah mencurahkan kasih sayang dalam merawat Gagah. Sudah sangat membantu Ganis, dalam menjalani hari-harinya.Sekarang Gagah sudah di ruangan rawat inap anak-anak. Kondisinya malah semakin lemah, hingga Ganis tidak sedikitpun melepaskan pegangan tangan pada anaknya. Kemudian ada kunjungan pemeriksaan dari dokter sp
Ganis ikut berlutut di hadapannya. "Pran ... jangan disesali, kamu sudah menolong Gagah. Darahmu akan mengalir di tubuhnya. Kamu sudah melakukan apa yang harus dilakukan seorang bapak kepada anaknya." Prana mengangkat wajahnya, sudah tidak bisa dijelaskan bagaimana ekspresi wajahnya. Membuat Ganis mengusap air mata suaminya dengan penuh pengertian. "Terima kasih, untuk tidak mengeraskan hatimu. Kamu telah menyelamatkan Gagah." Ganis merengkuh kepala Prana, ke pelukan. Tubuh Prana bergetar kembali, baru kali ini dia menangis melepaskan rasa sesak di dada. Tidak bisa berkata sepatah kata pun, terasa berat dengan penyesalan yang sedang dirasakan. Bahkan, untuk berkata maaf saja merasa belum sanggup. Ganis membantu mengangkat tubuhnya, hingga berdiri. Membimbingnya, mendekati ranjang di mana Gagah berbaring tidur. Ia membiarkan Prana menatap wajah anaknya. Momen ini tidak ingin Ganis ganggu.Ia melihat tangan besar itu menyentuh pipi Gagah, mengelusnya dengan lembut. Air mata Prana ter
Hasil pemeriksaan darah dari laboratorium sudah keluar, dinyatakan trombosit anaknya sudah normal kembali. Dokter memuji Gagah, sebagai anak pintar yang penurut dan tidak rewel. "Pasti anak sepintar Gagah, akan cepat sembuh." kata dokternya. Sebelum berlalu dari ruangan.Semua merasa lega dan Prana berlutut di di depan pangkuan Naning yang sedang duduk di atas sofa. "Ibu, ampuni Prana yang sudah meragukan kesetiaan Ganis selama ini. Berlaku tidak adil, membuat ibu ikut repot mendampinginya." aku Prana, tertunduk dengan penyesalan yang sangat mendalam.Naning memegang kedua bahunya, "Kamu anak ibu juga. Lupakan yang lalu dan teruskanlah rumah tangga kalian dengan berlandaskan saling percaya." nasihat Naning dengan bijak. Berusaha untuk tidak menghakimi dengan kata-katanya.Mengangkat tubuh Prana, untuk duduk di sisinya. Naning mengelus punggung menantunya itu dengan lembut. Ia mengerti, bagaimana beban rasa bersalah Prana kepada Ganis sangatlah besar sekali. Butuh kesiapan untuk menan
"Pran," panggil Ganis, menyadarkan Prana."Kenalkan teman SMA-ku, Yuni dan Duta." Ia menarik Prana lebih dekat, pada suami-istri sahabatnya itu.Dengan canggung Prana menyalami mereka, terutama saat bersalaman dengan Duta. Sepertinya dia berusaha mengendalikan diri.Tanpa disadari, Prana menghilang ketika mereka mengobrol cukup lama. Saat mau pamitan, Ganis mencari sosok Prana di sekitar ruangan, tetapi tidak menemukannya. "Maaf, Yun. Sepertinya suamiku lagi ke kamar mandi, atau ke luar.""Tidak apa-apa, Nis. Aku pamit pulang, ya? Salamin ke ibu." kata Yuni."Salam juga untuk suamimu, Nis." ucap Duta.Ganis terpekur, duduk menatap Gagah yang tertidur. Pikirannya mengingat sikap Prana tadi, yang menghilang begitu saja tanpa permisi.Ganis sama sekali tidak tahu, kalau Prana sengaja menghindari kedua temannya itu.Dengan tangan terkepal, Prana berusaha mengendalikan emosinya. Bulak-balik di sebuah lorong rumah sakit yang sepi. Dia tidak ingin merusak apa yang sudah membaik. Harus menyel
Wajah itu terlihat sarat dengan berbagai perasaan, kerinduan, haru, dan kagum. Ganis dipeluknya dengan erat oleh mertua perempuannya, Marie. Masih terlihat cantik, walaupun usianya sudah lanjut. Papanya, Edward. Menyenggol bahu anaknya. "Istrimu memang luar biasa, dengan kesabarannya sampai bisa meluluhkan hati Mamamu."Prana terkekeh. "Jangankan Mama, Gunung Es aja dia bisa taklukan!" kata Prana. Melihat pada Ganis yang masih berpelukan dengan Marie"Apa tuh, Gunung Es?" perhatiannya mendadak teralihkan dari menantunya. Marie melirik Prana."Itu julukan Ganis, Mam. Karena sikapku yang kaku dan dingin, jadi dia menjulukiku sebagai Gunung Es." jawab Prana, dengan senyumnya.Tawa Edward meledak. "Untung kamu ketemu Ganis yang punya kepribadian sehangat matahari." pujinya, sambil membuka rentangan tangan untuk Ganis. Ibu muda itu tanpa segan, masuk ke dalam pelukan papa mertuanya yang tampak ramah dan berwibawa.Dulu waktu mereka menikah, suasananya sangat kaku. Jangankan bisa beramah t
"Kamu hebat, Nis. Bisa melahirkan secara normal begitu." ucap Rini, dengan kagumnya. Saat Ganis sudah dipindahkan ke ruangan biasa. Ibunya, tante Rini dan om Gustaf, tampak mengelilingi tempat tidur. Sementara Prana duduk di dekat Ganis, tidak mau beranjak ingin terus di sisi istrinya."Waktu melahirkan Gagah pun, Ganis melahirkan dengan normal. Hanya waktunya tidak secepat ini, 10 jam baru bisa lahiran." terang Naning."Oh ya? Mungkin itu kelahiran pertama jadi agak susah, ya?" tanya Rini."Mungkin kurang motivasi juga, karena melahirkan tanpa suami." ceplos Naning, begitu saja. Prana yang di sisi Ganis sambil memegang tangannya, jadi merasa bersalah. "Ternyata perjuangan seorang ibu saat melahirkan itu benar-benar mempertaruhkan nyawanya." ada kabut di matanya dan ia mencium kening Ganis. "Kamu memang hebat, Nis. Maaf, saat melahirkan Gagah, aku tidak ada di sisimu." Ganis menatap suaminya dengan senyum. "Tidak usah dipikirkan lagi, semuanya sudah aku maafkan. Jangan diingat lagi
"Nis, tadi itu luar biasa, Lo. Prana udah kayak cacing kepanasan aja di belakang pintu." Felix tertawa, saat mereka sudah berkumpul di ruang gedung yang khusus disediakan untuk keluarga. Prana mengelus rambut Ganis. "Aku juga bilang Ganis itu suka nekat, itu yang bikin gue suka khawatir. Untung berakhir baik."Ganis hanya tersenyum menanggapinya.Bram muncul, setelah mengganti baju pengantinnya. "Mila, belum selesai, ya?" tanya Ganis kepada Bram."Yah, begitulah. Wanita lebih ribet." jawab Bram, tertawa."Cewek yang tadi itu, beneran sepupu, lo?" tanya Felix."Ya, dari nyokap. Bokapnya, kakak nyokap gue. Mereka keluarga tajir, jauh sekali dengan kehidupan keluarga gue yang kere.""Gue sempet naksir dia sih, dulu. Tapi yang dikejar dia, malah Prana. Orangnya udah ilang, tetep aja ditanyain. Sempet sebel jadinya gue.""Lo kenapa jadi sebel ma gue? Tahu juga kagak.""Tuh cewek, emang terobsesi banget ama lo. Desek-desek gue supaya ngasih tahu keberadaan lo." ucap Felix keki."Ke gue ju
Orang pada berteriak, melihat gelas runcing di sabetkan ke kiri dan ke kanan. Mata wanita itu sudah terlihat liar. Menatap Ganis, dengan segala kebencian. Prana menyembunyikan Ganis ke belakang punggungnya, dengan tatapan waspada.Beberapa keamanan sudah mulai bermunculan. Bram sudah turun dari pelaminan. Saat Mila mau mengikutinya, dia mencegah. "Mil, lebih baik tunggu di atas saja. Ini bukan kali pertama Rania ngamuk seperti ini.""Kamu mengenalnya?" tanya Mila."Dia sepupuku, dari ibu." jelas Bram. Dia segera mendekati ke arah wanita cantik itu berada."Rania, ini pesta pernikahanku. Ini bukan ajangmu untuk mencari perhatian." ucap Bram tampak tenang, tetapi tegas.Mata liar itu melihat padanya. "Lelaki sombong itu telah menpermalukanku." tunjuknya pada Prana. "Ok, dia temanku. Tidak mungkin mempermalukanmu, kalau kamu sendiri tidak bertingkah untuk mengganggunya." Bram menyanggahnya."Dia angkuh! Dia sombong!""Dia sudah punya istri! Dan Dia bukan jenis laki-laki yang tidak set
"Apakah Fe, ada?" tanya Prana. Mengagetkan yang ditanya.Seperti disengat kalajengking, mata bulat milik Siscka terbelalak. Membuat alis Prana terangkat sebelah. Prana tiba-tiba ada di depan meja kerjanya. Tumben-tumbenan manusia dingin ini, mau berbasa-basi. Seumur-umur kerja jadi sekretarisnya, belum pernah ditanya seramah itu. Makanya Siscka kaget."Apa aku seperti hantu?" tanya Prana lagi.'Ampun! Suaminya mbak Ganis ini, sungguh gak lucu bercandanya.' batin Siscka."Ma ... maaf, Pak. Saya merasa kaget. Tadi tiba-tiba Pak Prana datang begitu saja." ucap Siscka sedikit gugup.Prana hanya mengedikkan bahu, lalu masuk ke ruang Felix tanpa mengetuk pintu.Felix yang sedang asik memeriksa berkas-berkas dokumen, mengangkat wajah. "Wah! Yang baru pulang dari seminar. Bagaimana, hasilnya?" tanya Felix. Langsung berdiri mendekati Prana, lalu menggandengnya untuk sama-sama duduk di sofa."Gue gak nyampe akhir, ngikutinnya." jawab Prana."Kenapa emang?" Felix melihatnya."Gak terlalu penti
"Pran, siapa wanita itu?" tanya Ganis. Saat Prana sudah duduk kembali di sofa. Mereka masih tersabung dengan video call."Terus terang aku juga gak kenal, Nis.""Tapi dia tahu namamu, nyosor banget lagi sama kamu.""Begitulah, Nis. Kalau jadi orang ganteng, banyak yang suka." cengenges Prana, yang menurut Ganis tidak lucu.Wajah Ganis langsung ditekuk. "Kepedean, nyebelin! Dapat tontonan gratis tuh, mana besar lagi.""Apanya yang besar?" goda Prana, pura-pura tidak mengerti.Ganis bersiul. "Yang bulat, kayak batok kelapa." omong Ganis sekenanya.Prana terkekeh. "Itu kelihatan dicetak, berarti gak asli. Mending yang punya kamu, besarnya sama kayaknya.""Apa? Berarti kamu liatin terus dong, sampai tahu itu cetakan.""Mataku gak buta, Nis. Itu di depan mata.""Aish! Lelaki sama saja di mana-mana. Matanya gak bisa menghindar dari yang gituan.""Loh ... loh ... kamu kan, tadi lihat dan denger sendiri kejadiannya? Kamu beruntung loh punya suami kayak aku. Sepantasnya dimuseumkan karena suda
"Sebentar ...!" Wanita cantik itu, nekat mengejarnya.Prana tidak menggubrisnya. Terus berjalan, tidak sedikitpun memedulikan wanita yang terus bejalan cepat tanpa berhenti mengejar.Prana tahu, wanita itu tertarik padanya. Dia sering menghadapi wanita-wanita seperti itu. Kalau mau, mungkin sejak dulu dia akan jadi laki-laki yang sering bergonta-ganti pasangan.Namun, sebelum ketemu Ganis pun dia tidak berminat untuk terlibat dengan banyak wanita. Apalagi setelah ketemu Ganis, tidak ada lagi yang dapat mengisi hatinya. Sudah penuh, tidak tersisa lagi ruang buat wanita yang lain.Prana tidak bisa tergoda, karena selama ini dia tidak pernah memberi peluang untuk menarik perhatian wanita lain. Akan tetapi, dengan sikap dinginnya itu malah semakin membuat penasaran lawan jenis. 'Wanita memang suka bersikap aneh, semakin dijauhi malah semakin mengejar.' batinnya."Aku mengenalmu, Prana Guntara!" tandas wanita itu, ketika sudah ada di dekatnya.Prana menghentikan langkah, berada di tengah d
Ganis menghampiri Prana yang sedang duduk di ruang keluarga. Kepalanya langsung menyusup di antara sela-sela tangan yang sedang memegang ipad-nya. Menaruh kepala di atas pangkuan dia.Tangan Prana langsung mengelus perutnya yang masih rata. "Aku ingin melihat perut ini membuncit. Aku melihat gambar-gambar wanita-wanita hamil, ternyata seksi juga, ya?""Apa?" Ganis merasa kaget."Ini lihat, aku sedang mencari tahu tentang bagaimana wanita hamil itu. Belum buka artikelnya sudah dikasih gambar-gambar seperti ini." tunjuk Prana pada layar benda canggih delapan incinya."Mau lihat artikel atau gambarnya?" selidik ganis.Prana jadi terkekeh. "Aku sih sejak tahu kamu hamil, sudah banyak baca-baca artikelnya. Hanya ingin tahu juga kalau wanita sudah hamil besar itu seperti apa.""Mulai kelayapan tuh imajinasinya." sindir Ganis."Yang aku bayangkan istriku sendiri, kok. Tadi kan aku bilang, gimana kalau perutmu sudah buncit. Pasti tidak akan kalah seksinya dengan foto-foto ini.""Mana ada peru
"Bagaimana kamarnya, Nis?" tanya Prana, mengecup bahu istrinya. Tangan sudah mengitari tubuh Ganis, dari arah belakang.Mata Ganis diedarkan ke seluruh ruangan kamar. Rasanya tidak menyangka sama sekali, kalau kamar yang diciptakan olehnya itu, jadi kamar milik sendiri.Ganis memegang tangan Prana, menelengkan wajah, hingga berhadapan dengannya yang sedang menunduk. Mereka saling bertatapan, mengekspresikan rasa bahagia. "Terima kasih, Pran. Ini merupakan rumah impianku." Ganis memagut bibirnya dan Prana menyambut dengan segala rasa senang hati.Setelah melepaskan ciuman mereka, Prana berkata. "Terima kasih, Nis. Sudah dengan sabar menghadapi sikapku selama ini. Terima kasih juga, sudah mau mengandung dua anak kita, di rahimmu. Itu merupakan kebahagiaan yang sangat tidak terkira bagiku." Kemudian tangannya mengelus perut Ganis yang masih rata.Ia menggelinjang kemudian, saat tangan Prana tidak di tempatnya semula. Prana tertawa, meneruskan kenakalan tangannya. Membuat Ganis mencium b